Malam ini semua orang tetap berkumpul, mereka menginap di kediaman Bagaswara kecuali Adhinatha yang memilih kembali ke kediamannya karena harus mengerjakan sesuatu.Kesesokan paginya semua orang tetap sarapan bersama, kemudian para pria bekerja sedangkan Amelia dan Nitara masih berada di sana, apalagi Amelia ditahan pulang oleh Miranda karena Nitara akan kembali bersama orangtuanya.“Mei, kamu temani saja mama selama beberapa hari,” kekeh Nitara yang masih merindukan suasana tempat kelahirannya.“Iya, tapi aku tidak yakin betah di sini.” Amelia tidak menutupinya, lagipula Nitara merupakan ipar sekaligus sahabat.“Pasti kamu betah kok. Mama sangat baik, apalagi Kenzo kan di sini, kok bisa sih kamu tahan berpisah sama anak?” heran Nitara karena walaupun dirinya belum memiliki pengalaman memiliki seorang anak, tetapi sudah terbayangkan jika dirinya akan selalu berada di samping anaknya karena tidak sanggup berpisah.“Sudah biasa. Hihi ....” Itu karena masa lalunya dan Kenzo yang sering t
Nitara mencoba mencari jawaban atas kebingungannya. “Ma, tadi tidak sengaja Tara mendengar Cristy menyebutkan Erland, seakan Cristy ingin sekali selalu menemui Erland. Apa Tara harus mengatakannya pada Amei?”“Cristy yang dulu sering kesini?” Mamanya Nitara tidak mengenal kawan-kawan putrinya selain Cristy karena setelah lulus sekolah tidak pernah ada yang berkunjung ke rumah selain wanita itu. Nitara terlalu malu menunjukan keadaannya, apalagi pada kawan-kawan bekerjanya, hanya saja Cristy berbeda dengan yang lain, yang cara bicaranya sangat tinggi. Cristy sama seperti Amelia maka dari itu Nitara bisa dengan luwes bergaul dengan keduanya.“Iya, sekalian pemilik butik yang tadi kita kunjungi.”“Tadi kalian duduk bersisian, kenapa tidak menyapa kawan kamu?” heran wanita ini karena yang dia tahu persahabatan putrinya dengan wanita bernama Cristy sangat lengket.“Tadi maksud Tara memang ingin menyapa. Hanya saja Cristy aneh, jadi Tara terlalu canggung menyapa.”“Lebih baik dibiarkan saja
Hari berganti, Nitara mencoba mencuci otak Amelia untuk kebaikan sahabatnya. “Mei, mungkin untuk siang ini kamu harus mengirimkan makan siang pada Erland sekalian menemani suami kamu makan siang, aku dengar kamu sering memasak bekal makan siang. Hihi ....” Panggilan udara dihubungkan sekitar pukul delapan pagi setelah William meninggalkan rumah menuju gedung perusahaan miliknya sendiri.“Iya, hampir setiap hari aku membuatkan bekal, hanya kemarin saja aku tidak membuatnya karena Erland melarang. Hihi ....”“Kenapa melarang?” Nitara pikir itu karena pertemuan Erland dengan Cristy walau dia sudah mendengar jika kemarin sahabatnya mengunjungi Tio, bukan Erland.“Kemarin Erland terlalu sibuk, jadi katanya entah jam berapa dia bisa makan. Tapi ternyata saat pulang Erland tidak makan siang sama sekali. Kasihan sekali suamiku,” desah Amelia.Nitara barusaja mendapatkan jawaban atas kecurigaannya. Lalu dengan antusias kembali mencoba mempengaruhi Amelia. “Kalau begitu lebih baik siang ini kam
Beberapa bulan berlalu, Cristy tidak pernah berhasil menemui Erland walaupun akhirnya dia mengetahui jika pria itu sudah memiliki gedung perusahaan sendiri itu karena kehadirannya sering mendapatkan penolakan, bukan karena Erland tidak ingin menemui salah satu sahabatnya, melainkan dirinya terlalu sibuk. Semua orang yang ingin menemuinya harus memiliki janji sekiranya dua sampai tiga hari ke belakang, semua janji pertemuan diurus oleh sekretarisnya.Cristy sempat meminta sekretaris Erland untuk memertemukannya dengan sahabatnya, tetapi tidak berhasil karena selalu saja jam kerja sang bos besar sudah terisi oleh berbagai macam hal yang membuatnya harus mengesampingkan Cristy.Erland sempat berpesan pada sekretarisnya untuk menolak dengan halus semua kawannya yang ingin bertemu karena dia tidak ingin mencampurkan urusan bisnis dengan kawannya yang bisa ditemui di luar jam kerja. Tetapi nyatanya semua waktu senggangnya digunakan untuk Amelia dan Kenzo.Kini, kehamilan Amelia sudah memasu
Hari ini Amelia dan Nitara membuat janji dengan Cristy, keduanya ingin membeli perlengkapan bayi di butik milik sahabatnya. Kini mereka sudah mengetahui jenis kelamin bayinya jadi tidak ada alasan untuk tidak melengkapi semua keperluan bayi. Kedua wanita ini ditemani ibunya. Maka, justru yang lebih aktif memilih adalah orangtua mereka.“Kita duduk saja, kita memilih sisanya saja.” Pasrah Amelia seiring menopang perut besarnya saat hendak duduk di sofa. Ukuran kehamilannya memang sedikit lebih besar dari Nitara, pun berat badan bayinya memang melebihi bayi yang berkembang dalam rahim sahabatnya.“Tadi sebelum kesini aku sudah banyak bertanya pada mama tentang apa saja yang harus dibeli. Aku kira mama tidak akan seaktif ini memilih. Hihi ....” Nitara membiarkan ibunya tanpa memerotes, dirinya sama seperti Amelia yang memilih pasrah.“Kalau aku sih tidak perlu bertanya-tanya lagi, aku sudah tahu semua perlengkapan bayi. Hanya tinggal memilih model dan warna yang berbeda saja. Hihi ....”
William terpaku di halaman rumah sakit, tatapannya masih sangat kosong karena sulit menerima kenyataan pahit yang didengarnya. “Kenapa, kenapa harus seperti ini?” Pria ini merasa dunianya hampir berakhir, dia merasa hidupnya juga tidak bermakna. Apalagi saat memikirkan hati Nitara ketika istrinya mengetahui kenyataan tentang bayi pertama mereka.“Apa yang harus aku lakukan?” William dihantui kebingungan saat menyikapi hal yang di luar jangkauannya. Jadi, pukul sembilan malam dirinya baru saja tiba dikediaman mertuanya.Seperti biasanya, Nitara menyambut hangat dan penuh kasih sayang, “Sayang ... apa kamu lembur? Pekerjaannya banyak sekali ya. Maaf ya, aku tidak bisa membantu apapun.” Kedua telapak tangannya menyentuh lembut dada bidang William yang masih berdiri di ambang pintu.William tiba dengan wajah semrawut, tetapi tidak dapat dipertontonkan terus menerus pada istrinya yang harus dibahagiakan. Maka, senyuman ditarik teduh. “Asalkan kamu tetap bahagia, itu sudah menjadi obat rasa
Bayi milik William dan Nitara menjadi bahan pemikiran Erland di sela-sela waktu luangnya. Pria ini barusaja menyantap dua suap makanan, kemudian menghentikannya. “Kasihan sekali William. Apa dia bisa makan sesuatu?” Saudaranya adalah ayah dari si bayi yang dinyatakan cacat, Erland mampu menebak isi kepala dan hatinya karena jangankan William, dirinya saja dibuat kurang nafsu makan padahal dia sempat mengatakan supaya William tidak terlalu memikirkannya.Panggilan diarahkan pada nomor ponsel William, tetapi tidak mendapatkan tanggapan. Jadi, Erland memanggil pada nomor kantor untuk menanyakan saudara kembarnya. “Apa William di sana?”“Tidak, Tuan. Sudah sejak pukul sepuluh pagi tuan William meninggalkan gedung karena harus menemui kolega,” jawab wanita yang berada di bagian lobby. Jadi, dia sangat tahu saat semua orang keluar dan masuk, apalagi William yang berpangkat pemilik.“Sekretarisnya di sana?”“Tidak, tuan William pergi bersama sekretarisnya.”“Berikan aku nomor sekeretarisnya,
Selama hampir satu minggu William hidup di dalam kesedihan, selama itu juga Erland mampu merasakannya hingga akhirnya William memutuskan menceritakan hal ini pada Bagaswara berharap bisa mengurangi sedikit kesedihannya.Saat Bagaswara mendengar cerita pilu tentang cucunya, dia dapat merasakan rasa sakit William dengan sangat dalam. Pelukannya begitu lama menangkup tubuh sang putra yang lebih besar darinya. “Nak, bersabarlah ... Papa di sini, mama dan semua keluargamu ada di sini. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan.” Saat ini hatinya sangat perih sebagaimana yang dirasakan William, tetapi Bagaswara mengerti maksud putranya bercerita, William ingin membagi kesedihan hingga mengikis perih yang menggerogotinya.“Tara tidak tahu. Hanya Erland dan Papa yang tahu ....” William masih berada dalam pelukan ayahnya-salah satu tempatnya mengadu. Ayah dan ibu adalah sosok terakhir pelariannya saat suatu masalah tidak dapat terselesaikan.“Ya, biarkan Tara dan mama, jangan sampai keduanya tahu.