Nadia menutup telepon genggamnya. Di sudut bibirnya tersungging segaris senyuman, ia terlihat begitu senang. Dan tak lama kemudian, ia membuka kembali telepon genggam yang sudah diletakkan di atas meja. Ia mencari nama seseorang, lalu mencoba untuk mengirim satu pesan.[Bagaimana kondisi di sana?] klik, ia menekan tombol send agar pesannya bisa terkirim dengan cepat.Tanpa menunggu lama, ia sudah mendapatkan jawabannya. [Aman, Nona Muda. Semuanya bisa saya kendalikan dengan baik,] jawab seseorang di balik layar telepon itu.Nadia menutup layar ponselnya, ia tidak berniat melanjutkan kembali. Segera ia beranjak dari dapur untuk menuju ke kamarnya. Ia akan menyiapkan sesuatu sebelum pergi untuk melihat beberapa bisnis yang terbilang cukup istimewa.Ia melihat Zain menaiki anak tangga dengan kondisi tergesa. Nadia sudah menduga jika hal tersebut pasti berkaitan dengan, Alex. Saudara iparnya itu, tak henti-hentinya merongrong suaminya demi—uang.“Mau kemana Kamu?” tanya Zain yang melihat
“A,a,a, ….” teriaknya dengan suara yang gagap.Tubuh Pak Rahmat terjengkang ke belakang, sehingga lelaki tua itu terjatuh dalam kondisi terduduk. Jari telunjuk kanannya menunjuk ke arah gulungan karung goni yang teronggok di bawah sebuah pohon yang rindang.“A-Ada apa, Pak?” sarah, putrinya yang berdiri tak jauh dari dirinya pun ikut merasa cemas. Wajahnya terlihat begitu panik ketika mengetahui Pak Rahmat seperti orang yang tengah melihat keberadaan sosok hantu.“I-Itu …. a-ada, m-mayat!” Pak Rahmat masih menunjuk ke arah depan dengan kondisi yang sama.“A-Apa ….?!” Sarah melihat ke arah ayahnya dengan tatapan tak percaya. Kepalanya menggeleng pelan, sedangkan kedua tangannya membekap mulutnya sendiri.“M-Mayat? Ah Bapak, jangan bercanda!” bibir Sarah tersenyum hambar,pasti ada yang salah dengan apa yang diucapkan oleh ayahnya—Pak Rahmat.Tidak ada jawaban dari, Pak Rahmat. Lelaki paruh baya tersebut tak ubahnya seperti sebuah patung hidup. Akhirnya Sarah mendekat dan memegang pundak
"Aduh!" Sarah berguling-guling dari atas bukit. Secara tidak sengaja, ia terperosok di tepi pematang yang licin. Sehingga mengakibatkan dirinya jatuh bersama, dengan sosok misterius yang telah diburu oleh beberapa orang berbadan besar."Argh ….!" ia merasa jika tulang belulangnya telah remuk satu persatu, ketika dirinya menyadari ada luka yang diakibatkan oleh insiden tersebut.Ia membuka matanya perlahan, mencari sosok yang telah membuat dirinya kerepotan seperti ini. "Oh, syukurlah! Ternyata Kamu di sana," gumam Sarah ketika mendapati korban tersebut tak jauh dari tempatnya terjatuh.Sarah sedikit kesusahan ketika hendak berdiri. Ia menahan napas, setiap kali hendak bergerak. Lalu menghembuskan perlahan ketika berhasil berdiri dengan baik.Ia mendekati sosok itu kembali. Kemudian mendekatkan kedua jarinya di sisi urat leher korban. Sarah takut jika ia tidak memenuhi janji, ketika sosok tersebut mati terlebih dahulu akibat kecerobohannya."Fiuh, Kamu pasti wanita hebat! Di saat kond
Suara deru mesin terdengar di sepanjang perjalanan. Baik Marco maupun Lucas sama-sama meredam emosi mereka. Keduanya sudah bisa bernapas dengan baik, setelah beberapa waktu yang lalu mereka harus lari menyelamatkan diri dari kejaran para warga. Tiba-tiba saja, Marco menepikan minivan di pinggir jalan. “Brengsek!” Marco memukul kemudi mobil dengan cukup keras. Hal tersebut membuat Lucas melirik dengan kesal. Mulutnya mencebik, lalu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.“Kacau, kacau, kacau!” sambung Marco yang gemas dengan diri sendiri. Ia membuka kancing atas kemejanya agar bisa bernapas dengan leluasa. Hingga beberapa menit, mereka saling diam untuk mengontrol keadaan. Marco membuka kaca jendela untuk menghirup udara segar. Ia mengeluarkan satu kotak rokok filter, lalu menyalakan api dengan pemantik. Marco menghisapnya, dan tak lama kemudian kepulan asap sudah mengudara. Sehingga tercium aroma mint yang khas dari arah, Marco.“Maaf,” kata yang keluar dari mulut Lucas memecah
Elektrokardiograf (EKG), sebuah alat yang bisa mendeteksi irama detak jantung tersebut terdengar memecah keheningan. Di sebuah kamar Rumah Sakit Umum Daerah, di dalam kamar berukuran yang tidak seberapa besar. Terbaring seseorang dengan selang infus di pergelangan urat nadi sebelah kanannya. Seseorang yang berjenis kelamin perempuan tersebut, semakin terlihat menyedihkan dengan selang oksigen yang terpasang di bagian hidungnya.“Apa tidak ditemukan identitas apapun pada pasien ini, Sus?” tanya dokter umum yang datang berkunjung pagi ini. “Tidak ada, Dok. Kebetulan pasien ditemukan dalam kondisi yang …." kalimat suster mengambang, ia menghentikan ucapannya. Suster tersebut ragu, lalu menggigit bibir bawahnya karena takut salah bicara."Kenapa, Sus? Apa ada masalah?" tanya dokter yang baru saja selesai masa magangnya tersebut dengan mengernyitkan kedua alisnya."Kebetulan pasien di kamar ICU yang menyelamatkannya, Dok,” jelas suster jaga pada Dokter yang berperawakan 175 centimeter ter
Attala Zain Dimitri, atau yang lebih akrab dipanggil Zain meraih tangan, Rose. Keduanya lebih memilih untuk menepi dari hingar bingar dan hentakan musik dari atas panggung yang digelar. Pesta kelulusan sekolah, membuat muda mudi itu harus mengadakan satu perhelatan akbar di luar kota. Tepatnya di pulau Dewata, Bali. Sebuah pulau yang sangat indah dengan panoramanya.Ya, di sinilah mereka sekarang. Di sebuah resort tepi pantai Kuta, yang sangat indah dengan sunsetnya. Banyak hal yang mereka ukir di tempat tersebut, tak terkecuali mereka berdua—Zain dan Rose."Aku harus meneruskan sekolah ke Australia. Papa, menginginkan aku agar kelak bisa memimpin perusahaan keluarga." Zain, yang berdiri di depan balkon sedang memandang indahnya pantai Kuta. Dimana saat malam seperti ini, air laut sedang pasang dan ombaknya berlomba-lomba saling menggulung untuk mencapai ketepian."Lalu, bagaimana dengan hubungan Kita Zain?" Rose, seorang gadis bernama lengkap Diana Rosalina itu terlihat muram."Aku
Pak Rahmat, pria paruh baya tersebut duduk termangu memandang ke arah brankar. Di ruang ICU telah terbaring putrinya, Sarah. Luka tembak yang telah menembus bahu sebelah kiri, Sarah. Telah melumpuhkan beberapa syaraf otot di tubuhnya, terutama area jantung.Ia menatap dengan nanar, setelah menyadari ada seseorang yang datang dan berdiri di sampingnya. Pak Rahmat terkesiap, lekas ia bangkit dari tempat duduknya. "P-Pak Dokter," ujarnya dengan gugup. Sepertinya, pengalaman bersama petugas kepolisian membuat orang tua itu masih menahan rasa takut. Pak Rahmat takut dipenjara!"Tenanglah, Pak Rahmat. Maaf jika saat ini saya datang berkunjung tidak sesuai jadwal," dokter Frans menatap pasiennya dari balik kaca riben. Ya, tidak sembarang orang bisa masuk ke ruang ICU, meskipun itu adalah pihak keluarga."Tidak apa-apa, Pak Dokter. Apa ada hal penting yang akan dokter sampaikan pada saya?" lelaki itu menatap sang dokter dengan wajah kasihan. Ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi putri satu-
Angin sore begitu menyejukkan baginya. Perempuan yang dikenal tanpa nama tersebut tengah duduk di atas kursi roda, tatapan matanya kosong ke depan. Hingga ia tidak menyadari, jika suster membawakan semangkuk bubur untuknya. “Makan dulu, ya! Biar cepat sembuh,” ujar suster perawat tersebut dengan mengangsurkan sendok di depan mulutnya. Sampai beberapa detik berlalu, perempuan berwajah pucat itu tidak bergeming sedikitpun. Sang suster hanya bisa menghela napas dengan perlahan, lalu menaruh kembali mangkuk bubur ke dalam nampan yang terletak di sebuah meja taman. “Mau aku ambilkan minum?” suster mengambil segelas air putih, tapi tetap saja ia tidak merespon apa yang sudah ditawarkan oleh suster yang sudah merawatnya sore ini. “Huft ….” suster tersebut mencoba untuk mengatur kesabarannya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum meskipun terasa sangat pahit. “Kalau tidak mau makan, mana bisa minum obat? Kamu mau sembuh, kan?” rayu suster perawat itu dengan membelai rambutnya yang terurai.
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga