Pak Rahmat, pria paruh baya tersebut duduk termangu memandang ke arah brankar. Di ruang ICU telah terbaring putrinya, Sarah. Luka tembak yang telah menembus bahu sebelah kiri, Sarah. Telah melumpuhkan beberapa syaraf otot di tubuhnya, terutama area jantung.Ia menatap dengan nanar, setelah menyadari ada seseorang yang datang dan berdiri di sampingnya. Pak Rahmat terkesiap, lekas ia bangkit dari tempat duduknya. "P-Pak Dokter," ujarnya dengan gugup. Sepertinya, pengalaman bersama petugas kepolisian membuat orang tua itu masih menahan rasa takut. Pak Rahmat takut dipenjara!"Tenanglah, Pak Rahmat. Maaf jika saat ini saya datang berkunjung tidak sesuai jadwal," dokter Frans menatap pasiennya dari balik kaca riben. Ya, tidak sembarang orang bisa masuk ke ruang ICU, meskipun itu adalah pihak keluarga."Tidak apa-apa, Pak Dokter. Apa ada hal penting yang akan dokter sampaikan pada saya?" lelaki itu menatap sang dokter dengan wajah kasihan. Ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi putri satu-
Angin sore begitu menyejukkan baginya. Perempuan yang dikenal tanpa nama tersebut tengah duduk di atas kursi roda, tatapan matanya kosong ke depan. Hingga ia tidak menyadari, jika suster membawakan semangkuk bubur untuknya. “Makan dulu, ya! Biar cepat sembuh,” ujar suster perawat tersebut dengan mengangsurkan sendok di depan mulutnya. Sampai beberapa detik berlalu, perempuan berwajah pucat itu tidak bergeming sedikitpun. Sang suster hanya bisa menghela napas dengan perlahan, lalu menaruh kembali mangkuk bubur ke dalam nampan yang terletak di sebuah meja taman. “Mau aku ambilkan minum?” suster mengambil segelas air putih, tapi tetap saja ia tidak merespon apa yang sudah ditawarkan oleh suster yang sudah merawatnya sore ini. “Huft ….” suster tersebut mencoba untuk mengatur kesabarannya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum meskipun terasa sangat pahit. “Kalau tidak mau makan, mana bisa minum obat? Kamu mau sembuh, kan?” rayu suster perawat itu dengan membelai rambutnya yang terurai.
“Nona Rose tidak saya temukan, Tuan,” Ramon memberikan sebuah informasi yang membuat Zain sedikit meradang. “Sudah kamu cari dengan benar, Ramon?” Zain menoleh pada pengawal pribadinya tersebut. Ia sempat memicingkan kedua matanya untuk memastikan ucapan sang bodyguard, Ramon.“Sudah, Tuan. Saya sudah menyambangi rumah, nona Rose. Tidak ada keterangan apapun dari sana, termasuk para warga.” Terang Ramon yang menjelaskan situasi yang telah didapatkan setelah mencari keberadaan, Rose.“Kenapa tidak usaha mencari ke tempat lain, Ramon?” lanjut Zain yang mulai murka dengan kegagalan tugas yang diperintahkan pada sang bodyguard.“Tempo hari saya mencari nona, ke sekolah putri Anda. Tapi tidak saya temui nona Rose di sana.” Ujar Ramon kembali, ia mengatakan apa yang telah dijalankan beberapa hari ke belakang. Ramon sibuk mencari keberadaan Rose yang tiba-tiba saja menghilang, setelah malam itu mereka bertemu untuk yang terakhir kalinya.Brak!“Brengsek!” Zain melempar sebuah map yang kini
Brak!Zain membuka pintu kamar dengan kasar, kosong. Ia tidak menemukan keberadaan istrinya di sana. Seorang istri yang tidak pernah dianggapnya—ada.Ia melempar jas yang dikenakan ke tepi ranjang berukuran, king size. Pria tersebut menghela napas dengan kasar dan berkacak pinggang dengan gelisah. Ia memikirkan ucapan Ramon siang tadi, ketika dirinya harus bekerja sama dengan Nadia untuk menemukan, Rose. “Kamu sudah pulang?” sapa perempuan muda itu yang baru saja keluar dari arah kamar mandi. Zain sedikit terperangah, ketika melihat istrinya hanya berbalut handuk dengan kondisi rambut yang basah. Ia menelan saliva dengan tanpa sengaja. Sementara itu, Nadia yang berjalan santai seakan menggoda zain dengan sikapnya yang manja.“Kenapa kamu pulang lebih awal? Apa Kamu sedang merindukan aku?” tanya Nadia yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.“Jangan berharap, cuih!” Zain melengos, ia mengalihkan pandangan ke arah luar balkon. Tapi entah kenapa, pemandangan tubuh Nadia
Marlon, seorang gadis berusia 20 tahun itu menatap sang nyonya dengan helaan napas yang tertahan. Di depannya sudah terdapat sebuah koper besar yang sudah siap dikemas. Bahkan Marlon masih duduk diam di tepi ranjang besar tersebut. Setelah kejadian kemarin, Nadia memilih untuk pergi ke mansion miliknya. Ia benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya sendiri. Hari ini, tiba-tiba saja ia memutuskan untuk kembali ke Australia. “Nyonya sudah memikirkan baik-baik rencana kali ini? Kasihan non Dania jika harus berpindah-pindah,” ujar Marlon yang mencoba untuk mencegah kepergian sang majikan.“Mungkin ini adalah pilihan yang terbaik, Marlon. Dania akan tumbuh bersamaku di sana, jangan khawatir soal itu,” jawab Nadia dengan perasaan yang kosong.Ia melihat pengasuh tersebut tengah menundukkan kepala–sedih. Mungkin dengan kepergian Nadia, ia berpikir telah kehilangan pekerjaannya.“Kamu tetap bekerja untukku, jaga mansion ini selama aku pergi!” ucap Nadia yang sepertinya mampu me
Pengasuh itu melarikan diri dari sang CEO. Ia takut tertangkap basah jika selama ini putrinya yang terlahir dari rahim wanita lain, telah disembunyikan oleh istrinya sendiri—Gita Nadia Atmaja.Hingga di perempatan jalan, sebuah mobil SUV telah menjemput mereka untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Dengan cekatan Marlon masuk ke dalam mobil tersebut, "Nanny, Kita mau kemana?" tanya Dania yang terbangun karena merasa tidak nyaman dengan tidur siangnya."Kita akan pergi jalan-jalan m, Sayang. Iya kan, Pak?" jawab Marlon yang memastikan pada gadis kecil itu agar percaya kepadanya. "Betul sekali, Nona Kecil," jawab Marco dengan semangat sambil menengok ke kursi penumpang.Kepala Dania menoleh kesana dan kemari, "Mama mana? Kenapa mama tidak ikut, Nanny?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya. "Nanti mama nyusul, Dania sama nanny saja dulu, ya." Marlon mengusap rambut Dania yang ikal. Ia menatap lembut pada bola mata Dania yang mengerjap beberapa kali karena masih mengantuk.Setela
Dokter Frans Reyga mengalihkan pandangan ke tempat lain, ia lebih memilih untuk berbalik arah. Raut wajahnya begitu masam, sepagi ini moodnya sudah rusak gara-gara, Rhea Zalina."Frans, tunggu!" teriak Rhea dengan sedikit berlari.Dokter Frans menghentikan langkahnya. Ia mendengus dengan kesal. Dan tak lama berselang, langkah Rhea sudah terdengar mendekat di sampingnya."Kenapa pergi? Bukankah banyak yang harus Kita bicarakan?" tanya Rhea yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Sedangkan, gadis semampai dengan kulit bersih tersebut tidak pernah merasa telah melakukan kesalahan."Tidak ada lagi, Rhea. Apa yang harus Kita bicarakan?" ujar dokter Frans yang kini berhadapan dengannya. Ia melihat gadis itu begitu cantik. Rambutnya yang bergelombang terurai bebas, ditunjang dengan outfit yang dikenakan saat ini. Setelan kemeja fresh body berwarna putih dan rok span selutut berwarna hitam, berpadu dengan sepatu hak tinggi warna senada. Penampilan Rhea terlihat begitu memesona sebagai dokt
Langkah zain terhenti seketika, saat Maria berdiri dengan angkuh di hadapannya. Bukan tanpa sengaja Maria menghadang putranya tersebut. Ia mengurai kedua tangannya yang semula menyilang di depan dada. Wanita itu berjalan perlahan dengan hentakan sepatu berhak tinggi yang terdengar bergema. “Bodoh Kamu, Zain!” ujar Maria yang membuat Zain langsung membuang muka. “Biarkan dia pergi! Segigih apapun Kau mempertahankan Nadia, perempuan mandul itu tidak akan memberikan keturunan pada keluarga Kita,” lanjutnya dengan menatap Zain yang mematung di ruang tengah. “Aku tidak bisa menceraikannya, Ma,” ucap Zain dengan singkat. “Ck! Kenapa Kau begitu payah, Zain? Dia hanya benalu di keluarga Kita,” Maria merasa jika putranya tersebut tidak tegas dalam memutuskan sesuatu. “Bukankah dulu Mama tahu, jika antara keluarga Dimitri dan keluarga Atmaja telah membuat satu perjanjian di atas dokumen bermaterai? Apakah Mama sudah lupa dengan semua itu?” Zain mencoba untuk mengingatkan Maria tentang perj
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga