“Apa maksud Kamu membawaku kemari?” Rose menuntut penjelasan dari, Zain. Pria itu tetap bungkam, ia turun dari dalam mobil setelah memarkirkan Roll Royce berjenis wraith tersebut di tepi trotoar.“Turun!” perintahnya dengan tegas, sehingga terlihat dengan jelas jika pria tersebut tidak sedang main-main.“Turuti perintahku atau aku ambil putrimu!” pilihan sulit itu terucap dari bibir, Zain. CEO di tempatnya bekerja tersebut, secara tidak sengaja mendapati dirinya menjadi bagian dari perusahaan yang telah ia pimpin. Sial bagi Rose yang telah meremehkan kekuasaan Zain, rahasia yang telah ia simpan rapat-rapat selama 5 tahun terkuak begitu saja.“Kau ….” tunjuk Rose tepat di depan pria berperawakan 179 centimeter tersebut.“Kamu sering ke sini? Bagaimana bisa?” kali ini Rose banyak bertanya.“Kamu menemui anakku?!” dengan sedikit berteriak, Rose berdiri tepat di sisi pintu mobil karena merasa terabaikan.“Zain!” Rose menarik lengan jas yang digunakan oleh pria tersebut.“Dia juga anakku,
“Pulanglah! Sekarang sudah larut,” Rose berdiri di ambang pintu dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Apa dia sudah tidur?” Zain menengok ke arah dalam sekilas. Pria tersebut tengah duduk di kursi teras depan.“Ya, Dania sudah tidur dengan pulas. Mungkin dia sangat lelah hari ini,” Rose mengedikkan sebelah bahunya.“Atau dia merasa sangat bahagia seharian ini?” ralat Zain yang membuat Rose memanyunkan bibirnya.“Apa kau tidak mendengarkanku, Pak Zain?” kali ini ia membuka kedua tangannya, agar Zain mengerti dengan apa yang baru saja diucapkannya.“A-Apa ….?” Zain balik bertanya. Ia pun membuka kedua telapak tangannya dengan bebas.“Apakah Nadia tidak akan curiga padamu? Kenapa hari ini Kamu pulang larut?” sepertinya pria itu lupa jalan pulang, atau lebih tepatnya lupa jika dirinya sudah mempunyai seorang istri.“O, oh, ya! Tentu saja,” ia jadi gugup, kebersamaannya dengan sang putri membuat Zain benar-benar lupa waktu. Ia beranjak dari tempat duduk dan berdiri tepat bebe
Deru mesin terdengar begitu kentara, akan tetapi Rose tidak bisa membuka kedua kelopak matanya dengan lebar. Tubuhnya mendadak lemas seperti tanpa tulang. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun. Perlahan perempuan itu kembali memejamkan kelopak matanya. Ia merasa kepalanya berputar-putar seperti sebuah gasing. Rose seperti sedang melayang ke udara tanpa adanya sepasang sayap, persis seperti cerita dongeng Maleficent.Kondisi Rose tersungkur di atas kursi mobil, dengan posisi tengkurap. Kedua tangannya terikat ke belakang tubuh, mulutnya sudah tersumpal oleh kain. Perempuan itu, tidak bisa melakukan apapun selain menunggu keajaiban dari Tuhan. ***"Aku sudah memiliki seorang putri dari wanita lain," ucap Zain tanpa basa basi. Ruangan itu semakin terasa dingin, tanpa ada cinta di dalamnya. Nadia menatap ke arah balkon yang kini terbuka bebas di hadapannya. Perempuan cantik yang kini mengenakan setelan kemeja lengan pendek berwarna broken white dan skinny jeans itu, terlihat m
“Uhuk, uhuk, uhuk ….!” Rose merasa jika kerongkongannya sangat kering. Entah kenapa ia begitu susah ketika hendak membuka kelopak matanya. Perempuan berusia 25 tahun tersebut merasakan sakit di seluruh tubuhnya. “Ah, ….!” mulutnya yang sudah tidak disumpal oleh kain, sedikit melenguh karena tidak bisa bergerak dengan bebas.“Oh, sial! Dimana aku sekarang?” umpatnya yang telah mengetahui jika saat ini dirinya terikat di atas sebuah kursi.Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya, Rose mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada apapun yang ia dapatkan di sana. Hanya ada satu ventilasi di atas berukuran 10 x 20 centimeter, yang mengalirkan sirkulasi udara dan cahaya matahari. Sepertinya hari sudah pagi, atau lebih tepatnya siang hari. Terlihat dari adanya satu ruas sinar yang masuk ke dalam ruangan pengap tersebut. Sinar itu menerpa tepat pada wajahnya, dan membangunkan Rose dengan paksa.Rose mencoba untuk mengingat kejadian semalam, “D-Dania ….!” ia sedikit terpekik ketika memoriny
“Maaf, Pak!” tanpa permisi, Nadine masuk menerobos ruangan sang CEO. Napasnya terengah-engah, gadis berusia 25 tahun itu terlihat begitu panik.Zain langsung berdiri dari tempat duduk, ia terkejut dengan kedatangan Nadine yang masuk dengan tiba-tiba. Sehingga membuat beberapa relasi yang tengah berdiskusi dengannya ikut menengok ke asal sumber suara.“M-Maaf, ….” ia pun membungkukkan badan untuk meminta maaf pada tamu yang masih duduk dan memandang aneh atas kehadirannya.“Ada apa ini ….?” Zain membuka kedua telapak tangannya dengan lebar. Ia menatap Nadine dengan pandangan penuh tanda tanya.“Bisa Kamu jelaskan padaku, Nona Nadine?” tanya Zain yang telah memiringkan wajahnya ke samping. Pria muda berusia 27 tahun tersebut merasa, jika para tamunya sedikit terganggu dengan ketidaknyamanan yang telah Nadine lakukan.Nadine berdiri dengan wajah gugup, ia gelisah dengan tatapan yang tidak fokus. “Bisakah Kita bicara di tempat lain?” ujar Nadine dengan gestur tubuh yang cemas.Zain meliha
“Aku menginginkan wanita itu. Bawa dia kepadaku!” perintah Zain dengan menunjuk ke arah, Ramon.“Baik, Pak!” Ramon mengangguk patuh tanpa banyak bicara.“Tunggu apa lagi? Cepat kerjakan, Ramon!” bentak Zain dengan nada tinggi, tentu saja wajahnya sekarang sudah merona karena terbakar emosi.“Baik, Pak Zain. Saya akan melaksanakan perintah Anda, permisi ….” akhirnya Ramon beranjak dari tempatnya. Ia pergi tanpa menunggu jawaban dari sang majikan, Tuan Zain yang terhormat.Zain melonggarkan letak dasinya, lalu membuka pintu balkon yang menghubungkan langsung menuju teras luar ruangan CEO. Sepertinya ia membutuhkan pasokan oksigen lebih dari biasanya, Zain menghirup udara bersih itu dalam-dalam. Ia menopangkan kedua tangannya di atas pagar balkon. Pria tersebut menunduk sebentar sebelum menghembuskan napas dengan kuat. “Sial! Kenapa aku bisa kecolongan seperti ini?” gumamnya dengan memukul pinggir pagar balkon.Pertemuannya dengan Nadine membuat isi kepalanya semakin penuh. Sehingga Zai
“Kau apakan ibuku, hah?!” suara keras itu berasal dari arah luar. Zain dan Maria yang tengah berada di ruang makan saling berpandangan. Dan Zain pun langsung tahu, siapa yang telah membuat keributan pagi-pagi begini.“Siapa ….?” Nadia yang baru saja turun dari tangga, sedikit terganggu. Ia bertanya pada suaminya yang melintas dan tidak mendapatkan tanggapan. Pria itu lebih memilih untuk pergi meninggalkannya begitu saja. Nadia menengok ke arah depan, sepertinya biang rusuh itu datang lagi. Ia lebih memilih untuk diam dan tidak ikut campur perseteruan di dalam keluarga, Dimitri. Apalagi sorot mata Maria menatap ke arahnya dengan tatapan tak suka. “Ck ….!” mulutnya mencebik tanpa menghiraukan wanita yang merundungnya kemarin. Nadia mengejar langkah Zain yang sudah berada di teras depan rumah. Ia berhenti di belakang pintu, sengaja ia menguping percakapan di antara kedua pewaris tersebut.“Ada apa ini, Kak? Kenapa datang marah-marah?” Zain mencoba untuk meredam emosi, Alexander Dimitri
Nadia menutup telepon genggamnya. Di sudut bibirnya tersungging segaris senyuman, ia terlihat begitu senang. Dan tak lama kemudian, ia membuka kembali telepon genggam yang sudah diletakkan di atas meja. Ia mencari nama seseorang, lalu mencoba untuk mengirim satu pesan.[Bagaimana kondisi di sana?] klik, ia menekan tombol send agar pesannya bisa terkirim dengan cepat.Tanpa menunggu lama, ia sudah mendapatkan jawabannya. [Aman, Nona Muda. Semuanya bisa saya kendalikan dengan baik,] jawab seseorang di balik layar telepon itu.Nadia menutup layar ponselnya, ia tidak berniat melanjutkan kembali. Segera ia beranjak dari dapur untuk menuju ke kamarnya. Ia akan menyiapkan sesuatu sebelum pergi untuk melihat beberapa bisnis yang terbilang cukup istimewa.Ia melihat Zain menaiki anak tangga dengan kondisi tergesa. Nadia sudah menduga jika hal tersebut pasti berkaitan dengan, Alex. Saudara iparnya itu, tak henti-hentinya merongrong suaminya demi—uang.“Mau kemana Kamu?” tanya Zain yang melihat
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga