Air mata mengalir deras di pipi mulus seorang wanita berusia 25 tahun, kini netra indahnya nampak tertuju pada sebuah adegan mesra di depannya.
Wanita cantik itu bernama Zeta, semua bermula saat ia datang ke sebuah kafe untuk bertemu kangen dengan sahabat-sahabatnya, ternyata dirinya datang lebih awal beberapa menit dari seharusnya.Setelah mengantar putranya ke sekolah TK, ia langsung menuju ke tempat janjiannya bersama Anni dan Sofia, sahabatnya. Kafe itu memiliki kaca yang besar dan tembus pandang, hingga Zeta bisa leluasa melihat pemandangan luar.Sembari menunggu Anni dan Sofia, ia meminum teh lemon favoritnya. Sesekali ia melihat ke arah luar jendela kaca, nampak ramai suasana kota hari ini, hingga manik matanya menangkap dua sosok yang ia sangat kenali.Di sebrang kafe yang tengah Zeta singgahi, terlihat sepasang pria dan wanita tengah asik mengobrol ria. Terlihat jelas jika sosok itu adalah Bima, suami Zeta.Sedangkan wanita yang tengah berbincang akrab dengan suaminya itu ada Melda, wanita yang pernah setahun lalu dikenalkan oleh Bima sebagai sekertaris pribadinya di kantor.Mereka tengah berjalan berdua memasuki sebuah hotel, yang memang letak hotel tersebut berseberangan dengan tempat Zeta saat ini.Keningnya berkerut, mencoba untuk berpikiran positif, tapi keakraban keduanya membuat Zeta tak bisa berfikiran yang bukan-bukan. Kini perasaannya mulai tak tenang."Zeta! udah sam-" ucapan sapa dari Anni terputus, di kala Zeta malah berlari melewati Anni dan Sofia tanpa menyapa seperti orang asing.Tampak Zeta berjalan dengan tergesa-gesa, membuat kedua sahabatnya bingung. Nafas Zeta memburu kencang, jantungnya pun tampak berdetak tak beraturan.Ia keluar dari kafe dan menuju ke hotel yang terletak berseberangan dengannya saat ini, wanita cantik dengan blazer berwarna coklat itu melangkahkan kaki jenjangnya untuk menyebrang melewati jalan yang tengah padat oleh kendaraan.Zeta menyebrang seakan tak sabaran, dirinya bahkan hampir saja tertabrak sebuah truk. Kedua sahabat Zeta mengikutinya keluar dari kafe sampai berlarian dengan panik.Ada sebuah mobil truk yang melaju cukup kencang ke arah Zeta, namun sang empu tak menyadari hal itu karena terlalu fokus dengan gedung hotel di seberangnya."Zeta! lo mau mati apa gimana sih?" tanya Sofia dengan penuh emosi.Untungnya Sofia sempat menarik lengan Zeta sebelum sahabatnya itu terserempet oleh mobil truk yang melaju dengan cukup kencang.Tangis Zeta pecah, tak kuasa lagi ia membendung air matanya. Kini Anni dan Sofia lah yang tampak bingung dengan kondisi sahabat mereka ini."Ta? kamu kenapa sih? kamu ada masalah?" tanya Anni begitu khawatir, ia mengelus-elus punggung Zeta untuk memberikan ketenangan.Dengan tersengal-sengal, ia menunjuk gedung hotel di depannya saat ini, Anni dan Sofia pun dengan kompak menoleh ke arah yang Zeta tunjuk.Mereka berdua mengernyitkan dahinya, dan menatap satu sama lain. Apa maksud sahabatnya ini?"Mas Bima ... hiks," ucap Zeta, suaranya bahkan sampai bergetar."Suami lo? kenapa Ta?" tanya Sofia dengan panik dan bingung."Gini aja, kita masuk dulu ke kafe lagi, gimana? gak enak diliatin orang-orang gini," bujuk Anni, memanglah benar jika saat ini mereka tengah menjadi objek perhatian dari beberapa orang di sekitar.Namun Zeta tak peduli, rasa penasaran di hatinya harus diobati. Jika yang ia takuti memanglah terjadi, ia harus melihatnya secara langsung, ia tak ingin hanya menerka-nerka lewat pikiran negatifnya.Saat Sofia dan Anni hendak menggaet tangan Zeta untuk membawanya masuk ke dalam kafe, sang empu menolak dengan keras kepala, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat."Engga! aku mau ke hotel itu, sekarang!" ucap Zeta dengan tegas, kini dirinya mulai bisa mengontrol emosinya."Kalo gitu kasih tau apa masalahnya Ta! jangan gegabah kaya tadi, Lo hampir ketabrak mobil tau gak sih?!" Sofia mengomeli Zeta, sepertinya ia sangat geregetan dengan sahabatnya yang satu ini."A-aku ... liat Mas Bima ke hotel itu, dan bersama seorang perempuan," ucap Zeta dengan suara yang kembali bergetar, Anni dan Sofia yang mendengar jelas lontaran kalimat mengejutkan itu pun ternganga tak percaya."Ta? lo ga halu kan?" tanya Sofia, ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Zeta.Yang Anni dan Sofia tau, pernikahan sahabatnya ini telah berlangsung selama 6 tahun lebih dengan segala keharmonisan dan keromantisan.Tak pernah terbayangkan sekalipun jika Zeta sang sahabat mereka bisa merasakan cobaan pernikahan yang semacam ini."Aku beneran liat pake mata kepalaku sendiri!" ucap Zeta dengan menggebu-gebu, membuat kedua sahabatnya tak bisa berkata-kata lagi."Kalo gitu, ayo kita ke hotel itu untuk memastikan!" seru Anni, ia mencoba untuk tidak ikut emosional dan tetap berpikir jernih.Hingga ke tiga wanita sebaya itu pun akhirnya bersama-sama melangkahkan kakinya menuju hotel yang terletak tepat di sebrang mereka.Kedua tangan kanan dan kiri Zeta, digenggam erat oleh Anni dan Sofia, mereka mencoba untuk menguatkan sang sahabat yang tengah rapuh.Sesampainya di meja resepsionis, Zeta langsung bertanya dengan seorang wanita berseragam, yang sepertinya ia merupakan seorang resepsionis di hotel ini. Tanpa basa-basi Zeta langsung menyuarakan apa yang ia ingin tanyakan."Mbak, boleh saya tanya? beberapa saat tadi, ada sepasang pria dan wanita masuk ke hotel ini, atas nama Bima dan Melda, boleh saya tau mereka kesini itu untuk check-in kamar atau bukan?" tanya Zeta dengan tak sabar."Maaf Nona, kami tidak bisa dengan sembarangan memberitahukan informasi personal milik tamu kami," ucap Resepsionis itu dengan sopan, dan memang begitulah aturan dari hotel tersebut."Mbak! teman saya ini istri sah laki-laki itu! kalo Mbak gak mau ngasih tau, artinya Mbak mendukung pelakor dong? Mbak mendukung perzinahan?" sergah Sofia dengan penuh emosi, bahkan ia lebih agresif dari Zeta.Wajar saja, karena memang sedari dulu, di antara mereka bertiga, yang paling bar-bar adalah Sofia, sedangkan yang paling kalem adalah Anni, dan Zeta ditengah-tengah, kadang penuh emosi dan kadang juga bisa kalem."Maaf Mbak, sekali ini saja, teman saya benar-benar butuh informasi itu Mbak, tolonglah," ujar Anni dengan memelas, juga dengan bahasa yang sopan.Hingga akhirnya sang resepsionis mau tak mau memberi izin, karena ia juga seorang wanita dan seorang istri, tentu hatinya terketuk untuk menolong Zeta."Baiklah, atas nama siapa tadi?" tanya sang Resepsionis, Anni dan Sofia menghembuskan napasnya dengan lega."Bima Siregar dan Melda, Mbak," ucap Zeta dengan mata berbinar penuh harapan, ia berharap jika suaminya di sini tidak untuk check-in di kamar hotel bersama Melda.Semoga saja suaminya memesan sebuah ruangan atau semacamnya untuk rapat, meeting, atau semacamnya. Beberapa saat setelah mengetik beberapa kata di layar komputer, kini akhirnya sang resepsionis membuka suara."Klien atas nama tersebut memang ada, baru beberapa saat lalu check-in sebuah kamar di lantai lima, lebih tepatnya kamar nomor 30," ucap resepsionis wanita itu."Hanya berdua?" tanya Zeta, kini air matanya tengah membendung di pelupuk matanya. Awalnya resepsionis itu sedikit ragu untuk memberi tahu, namun akhirnya ia menganggukan kepalanya."Iya," jawab resepsionis wanita itu, satu kata jawaban singkat yang mampu memporak porandakan hati Zeta saat ini.Brugh!"Zeta!"Tubuh Zeta tiba-tiba melemas dan tak kuat lagi kedua kakinya untuk berdiri, membuat dirinya jatuh tersungkur ke lantai dalam keadaan terduduk lemas."Zeta!" Sofia panik melihat sahabatnya yang tengah terduduk sambil menangis sesenggukan di lantai.Resepsionis yang melihat hal itu pun merasa serba salah dibuatnya, apakah seharusnya ia tak berkata dengan jujur?Hingga seorang satpam hotel menghampiri tiga wanita tersebut, yang satu sedang menangis dan dua lainnya panik serta sibuk menenangkan temannya."Ada apa ini? kok ribut-ribut," tanya seorang satpam hotel tersebut, ia melirik ke arah sang resepsionis, namun ia malah mendapat gelengan kepala dari sang resepsionis, dan satpam itu diperintahkan untuk tidak perlu ikut campur.Mendapat isyarat dari rekan kerjanya tersebut, akhirnya sang satpam kembali ke tempatnya berjaga, entahlah apa yang terjadi sebenarnya, untungnya hotel ini tidak dalam kondisi yang ramai."Ta? kamu ga mau ngecek dulu? siapa tau engga seperti yang kamu pikirin," buj
"El, makan yuk, Sayang?" bujuk Zeta, kini ia tengah memegang sepiring nasi berisi lauk pauk kesukaan putranya, namun bocah kecil itu masih saja enggan untuk membukakan pintu kamarnya.Saat ini Aziel sedang melakukan mogok makan, pasalnya sang bunda menolak ajakannya untuk berlibur ke kebun binatang bersama sang ayah."Kita ke kebun binatang kok El, Bunda janji, tapi ga sama Ayah, ya? Ayah lagi sibuk," ujar Zeta berdusta pada putranya."Gak mau! Bunda pasti bohong! itu kan hari libur, Ayah ga akan kerja di hari libur!" suara protes dari Aziel terdengar jelas di telinga Zeta, memang benar apa yang dikatakan oleh Aziel jika ayahnya tidak akan bekerja jika di hari libur.Tapi apalah daya? Zeta tidak ingin anaknya terus-menerus bergantung pada sosok Bima, ayahnya. Karena mau tidak mau, Aziel harus menerima kenyataan pahit jika nantinya ia hanya akan berdua saja dengan Zeta.Tumbuh menjadi seorang anak tanpa peran dari seorang ayah, apakah Aziel akan siap? sementara dirinya sangat tergantun
"Bunda, hari ini Aziel mau makan ayam goreng crispy, boleh?" pinta Aziel kecil dengan suaranya yang manis, tentu tak sampai hati Zeta mengabaikan permintaan sang putra tersayang."Boleh Sayang, pokoknya kamu belajar aja yang bener di sekolah, Bunda masakin ayam goreng crispy untuk makan siang El nanti," ujar Zeta."Bener ya, Bund!" ucap Aziel dengan semangat menggebu, lantas ia melambaikan tangannya untuk berpisah dengan bunda tercinta dan masuk ke dalam gedung sekolahnya."El, tungguin Acha!" seru seorang gadis kecil yang seumuran dengan Aziel, gadis itu berlari tergopoh-gopoh mengejar langkah Aziel."Ish! Acha ngapain sih nempelin Aziel mulu? risih tau!" gerutu Aziel dengan memasang wajah ngambeknya."Eitsss ... durhaka kamu bilang kaya gitu El ke Acha!" ucap Acha menghakimi sikap dingin Aziel."Durhaka? kan Acha bukan bundanya Aziel, kenapa bisa durhaka?" tanya Aziel dengan polosnya, membuat Mia yang melihat kejadian itu hanya menggelengkan kepalanya heran.Kedua sahabatnya itu tak
Ketika sedang menunggu lampu merah, Zeta melihat ke arah Aziel dan Acha yang tengah ketiduran bersama di kursi penumpang belakang.Meski awalnya mereka cek-cok dan berdebat ini dan itu, akhirnya karena lelah dan perjalanan yang panjang, kedua anak mungil itu tertidur pulas bersama.Zeta mengulas senyum saat melihat keduanya nampak seperti teman yang akur, ia kemudian melihat kearah jam tangan yang melilit di pergelangan tangan kirinya.Ternyata sudah 20 menit berlalu, sebentar lagi ia akan sampai tujuan. Sesaat setelahnya ia kembali fokus menatap ke depan, netra coklatnya terfokus pada satu titik.Sebuah mobil sedan bermerek Mercedes-Benz berwarna hitam melintas dengan kaca mobil depan yang terbuka, Zeta kenal betul siapa pemilik mobil tersebut.'Mas Bima? kenapa ada di sekitar sini?' batin Zeta bertanya-tanya, pasalnya kantor sang suami tidak berada di sekitar wilayah ini.Terkejut bukan main saat di mobil tersebut tak hanya memperlihatkan sosok Bima di dalamnya, tetapi juga ada seor
Zeta baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya, karena sekitar satu jam lagi mereka bertiga akan berlibur ke kebun binatang, maka dari itu Zeta harus memastikan suami dan anaknya sarapan terlebih dahulu.Untungnya hari ini butiknya bisa ia tinggal dan sedang tak ada pesanan gaun yang harus ia tangani secara langsung. Bima pun tampaknya sudah bersiap dan semangat untuk liburan kali ini.Drrrtt ... DrrrttSuara handphone Bima yang dalam mode getar pun membuat atensi Zeta tertuju pada panggilan telfon tesebut. Handphone yang diletakkan secara sembarang di atas meja makan oleh Bima, membuat Zeta pun dapat dengan jelas melihat siapa yang tengah menelfon suaminya pagi-pagi seperti ini.'Melda? lagi?' gumam Zeta dalam hatinya ketika membaca nama kontak yang tertera di layar handphone suaminya tersebut, belum sempat Zeta menyentuh ponsel itu, Bima menyambarnya dengan cepat."Hallo? iya?" ucap Bima berbicara dengan santai, bahkan di depan Zeta. Namun Zeta yang tak dapat mend
Akhir pekan ini aku dan Aziel memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan bulanan. Awalnya kami berencana untuk berlibur ke sebuah tempat wisata. Tapi tak kusangka, Mas Bima dengan tega membatalkan liburan itu secara sepihak."Bunda, El boleh ambil ini?" tanya Aziel padaku, tangan mungilnya tengah memegang sebungkus permen coklat. Aku memberi jawaban dengan anggukan dan senyuman."Boleh, ambil yang banyak!" ucapku, membuat Aziel menatapku dengan binar mata dan senyuman. "Bunda memang yang terbaik!" puji anak lelaki itu, aku terkekeh mendengar ucapannya.Huft ... Aziel memang tak pernah gagal membuatku tersenyum. "El, kita ke sana, yuk! Bunda mau cari sayur dulu," ajakku, Aziel pun menurut dan mengekori langkahku.Aku berjalan mendekati area sayur-sayuran yang ada di mall itu. "Bunda, jangan lupa beli ayam!" ujar Aziel, ia menunjuk lemari pendingin yang berisikan daging-dagingan di dalamnya."Siap, Bos!" Aku memperagakan tangan seperti murid yang tengah hormat saat upacara bendera. Azie
"Ayo Bunda, kita samperin Ayah," ajak bocah kecil itu pada Zeta.Ketika Aziel menarik tangan Zeta, wanita itu menahannya. Zeta menggelengkan kepalanya. "Gausah El, ayo kita cepat pulang. Bunda buatkan ayam goreng crispy saja untuk makan siang," ujar wanita itu.Seakan terhipnotis dengan kata ayam goreng crispy, akhirnya Aziel mengabaikan ayahnya, bocah itu pun langsung menuruti ajakan sang bunda. Zeta menggenggam tangan mungil Aziel dan segera bergegas pergi dari tempat itu dengan perasaan yang dongkol."Awh ... sakit, Bunda!" rintih El, tatkala sang bunda memegang tangannya terlalu erat. Tak sadar rasa kesal Zeta tersalurkan dari genggamannya pada Aziel."Eh? maaf Sayang, maaf, ya? Bunda ga sengaja," ucap Zeta sembari mengelus tangan mungil Aziel.Anak lelaki itu sampai berkata, "Bunda lagi marah, ya? Bunda marah sama Aziel?" ucapnya, hati Zeta sampai terenyuh. 'Ya Tuhan! apa yang aku lakukan? sampai membuat El berpikiran seperti ini.'"Enggak El, Bunda ga marah kok. Apalagi sama El,
"El ... tidur, yuk? ini udah jam 9 malam loh, Sayang. Besok kan El harus sekolah," bujuk Zeta. Kini ia tengah kebingungan sendiri menghadapi keras kepalanya Aziel."Enggak! Aziel mau nungguin Ayah pulang! pasti Ayah sebentar lagi pulang, Ayah kan udah janji buat nonton bioskop malem ini," ucap Aziel dengan keras kepala.Meski sudah mendengar dari telinganya sendiri jika sang ayah tak akan bisa menonton bioskop bersamanya malam ini, El tetap bersiap dengan baju rapih yang lengkap dan menunggu sosok Bima di ruang tamu. Sudah lebih dari tiga jam El menunggu, bocah itu tetap yakin ayahnya akan datang.Zeta membuang napasnya kasar, entah harus membujuk Aziel yang bagaimana lagi supaya bocah itu mengerti, Akhirnya Zeta menyerah, ia pun turut menemani sang putra di ruang tamu. Beberapa kali Zeta menelfon Bima, namun tak di-angkat sama sekali. Mengirim pesan pun tak kunjung mendapatkan balasan."Gimana, Bunda? Ayah bentar lagi pulang, kan?" tanya Aziel ke
Senyuman simpul terulas di wajah tampan Angga. Sepertinya ia tengah memahami situasi keluarga kecil Zeta saat ini. 'Bukankah ini adalah kesempatan emas?'"Kenapa wajahmu begitu, Cha? Kamu kenal sama dia?" Mia menunjuk Kayla yang tengah menyanyikan lagu ke atas panggung. Nampak sekali raut wajah jutek Acha ketika Kayla tampil."Dih! Acha ga kenal tuh!" jawab Acha dengan tak santai.Mia hanya bisa tersenyum getir melihat tingkah Acha. 'Tapi ... keliatan muka ga sukanya kamu, Cha!'"Oke juga suara keponakan lo, Ngga," celetuk Sofia. Membuat Bima pun ikut menoleh. 'Ponakan?' Bima menengok ke arah gadis kecil yang tengah bernyanyi di atas panggung.'Apa aku sudah salah paham dengan Zeta?' "Tentu, aku yang mengajarinya semingguan ini," jawab Angga dengan bangga."Heh? Serius? Tapi ... ga heran sih, dulu lo pernah bikin satu sekolah baper karena nembak Zeta sambil nyanyi," sahut Sofia tiba-tiba.Kalimat itu membuat Zeta menegang di tempatnya terduduk. sementara Angga hanya meresponnya denga
"Ah ... maaf, aku kejebak macet, ya ampun. Apa aku telat?" Di tengah kecanggungan tanpa kata itu, Anni tiba-tiba datang dengan menggandeng Mia. Seketika itu juga lamunan Zeta dan Bima buyar."Lo hampir telat, sini duduk di sebelah Acha sama gue," sahut Sofia.Sontak saja Anni langsung menurut, ia merasakan atmosfer yang tidak enak di sini. Segera ia melangkah melewati Melda, Bima, Zeta, dan juga Angga.'Loh? Kok ada Angga? Bentar-bentar, kok ada cewe pelakor juga?!' tanya Anni di dalam batinnya, ia dapat merasakan kecanggungan di antara mereka semua meski orang-orang itu terlihat mengulas senyum ketika ia datang."Hai, Acha," sapa Mia."Hai ....""Kenapa muka kamu kusut kaya baju belum disetrika?" tanya Mia yang melihat wajah tak bersemangat Acha, tumben-tumbenan Acha terlihat tak bersemangat."Enggak! Mia sok tau!" sahut Acha berdusta. Padahal ia masih sangat terbawa emosi ketika mengingat perkenalan Aziel dengan Kayla tadi."Acha, boleh duduk di kursi sebelahnya dulu sama Mia? Ada
"Angga?" "Masih inget kah? Gue pikir lo udah lupa sama gue," celetuk lelaki bertubuh jangkung itu. Angga menatap lekat Zeta, hingga membuat sang empu mengalihkan pandangannya karena merasa tak nyaman."Lah? Cuma Zeta doang nih, yang lo sapa?" sahut Sofia tiba-tiba. Membuat atensi Angga teralihkan. "Loh? Sofia, kan? Lo di sini juga?" tanya Angga keheranan.Plak!"Duh! Kenapa gue dipukul sih?!""Gue udah dari tadi di sini, Ngga! Lo pikir gue patung pancoran?!" sentak Sofia.Angga menggaruk tengkuknya. "Hehe ... sorry.""Iya deh iya ... cuma Zeta yang paling mencolok di mata lo," sahut Sofia. Sontak Zeta menyenggol lengan Sofia dengan kasar. "Jangan ngomong sembarangan kaya gitu, Sof!" bisik Zeta dengan geram.Tiba-tiba tidak ada lagi yang bersuara, suasananya menjadi sangat canggung. Sampai anak-anak yang akhirnya memecah keheningan orang-orang dewasa itu."Kamu siapa namanya?" tanya seorang anak perempuan yang sedari tadi telapak tangan kecilnya digenggam erat oleh Angga.Aziel yang m
Kini Bima dan Melda tengah menikmati makan siang bersama di sebuah kafe terdekat di kantor mereka. Sesekali Melda mengajak Bima berbincang, meski Bima selalu menjawab singkat dan ala kadarnya, namun Melda tak pantang menyerah.Bima tiba-tiba teringat akan satu hal. "Oh, iya. Besok sekitar jam 10 sampai jam makan siang, kosongkan jadwal saya, ya," pinta Bima tiba-tiba."Memangnya, Mas Bima mau kemana?" tanya Melda penasaran."Aziel akan lomba menyanyi besok, saya sudah berjanji untuk melihatnya. Jangan sampai ada rapat dadakan seperti kemarin-kemarin, loh!" Melda tersenyum. "Tentu, boleh saya juga ikut? Saya ingin melihat Aziel menyanyi juga," sahut Melda dengan nada mendayu."Di sana hanya akan ada banyak anak-anak dan para orang tua, memangnya kau tidak risih?" "Enggak dong, Mas! Saya ini suka anak-anak, apalagi jika itu Aziel. Entah kenapa saya sangat menyukai Aziel," ucap Melda dengan senyuman manisnya."Iya, kan? Anak saya memang selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa t
"Perusak rumah tanggaku? Melda?" Sofia mengangguk dengan serius. "Lo harus hati-hati sama orang itu, dengan terang-terangan di depan gue dia jujur ingin merebut suami lo, Ta! Lo harus cepat-cepat usir wanita itu sebelum dia melakukan hal yang lebih berani lagi," jelas Sofia."Bentar, kamu ketemu dia di mana?" "Lah, lo bahkan ga tau kalo Aziel dijemput sama cewe itu? Dia sih, ngakunya Bima yang nyuruh," ucap Sofia, sontak saja Zeta tertegun mendengar hal itu."Wanita itu yang jemput El?!"Sofia mengangguk mantap. "Waduh, Bima ga ngasih tau hal itu ke elo?"Zeta menggelengkan kepalanya. "Memang benar aku ga bisa jemput El hari ini, dan aku menyuruh suamiku untuk itu. Tapi ... aku ga nyangka, Mas Bima justru menyuruh wanita itu yang menjemput El," tutur Zeta. Ia meremas pangkal bajunya sendiri, hatinya pun merasa kecewa mendengar hal ini.Terlebih Zeta mendengar hal itu dari orang lain, bukan dari Bima secara langsung. Ka
"Eh? Siapa wanita yang bersama anakku dan El? Sepertinya bukan Zeta," monolog Sofia ketika ia melihat putrinya dan putra sahabatnya tengah berbicara dengan seorang wanita.Hanya dengan melihat punggungnya saja, Sofia sudah menebak jika itu bukanlah Zeta. Langsung saja Sofia keluar dari mobilnya untuk memastikan siapa wanita itu.Putrinya yang bernama Acha berlari menghampirinya. "Mama! Tante Jelek itu masa terus maksa-maksa El buat ikut sama dia!"Mendengar hal itu, Sofia menjadi waspada. Sofia pikir wanita itu adalah seorang penculik. Tapi, sesaat ia melihat wanita itu menoleh kearahnya, matanya membulat sempurna.'Bukankah dia wanita yang diceritakan oleh Zeta?!' "Kamu ...."Melda mengernyitkan dahi, ia tak mengenal wanita di depannya ini. Tapi kenapa wanita itu bertingkah seolah sangat mengenali dirinya?"Mama kenal sama Tante jelek itu?" tanya Acha, ia terus menyebut Melda jelek. Ingin sekali rasanya ia mencabik-cabik mulut gadis kecil itu.Melda berdiri dari posisinya saat ini.
"Bagaimana?""Desainnya cantik sekali, semoga bisa persis seperti yang ada digambar ini, Mbak!""Tentu, Anda tak perlu khawatir soal itu." Zeta tersenyum dengan ramah. Kini ia tengah sibuk mengurusi klien barunya yang ingin membuat gaun di butiknya."Tahu tidak? Desain buatan Mbak Zeta itu sudah terkenal di kalangan teman-teman saya, bagus-bagus semua dan ga pasaran," puji seorang klien wanita itu."Terima kasih kalau begitu, semoga selalu suka dengan hasil kerja saya," sahut Zeta yang semakin tersenyum mendengar komentar positif dari kliennya."Saya ingin jahit baju untuk para bridesmaids saya, bisa Mbak?" "Tentu, kami punya beberapa desain untuk itu. Jika belum ada yang cocok, Anda bisa request sesuka hati. Jika sudah deal dengan modelnya, para penjahit kami akan dengan sigap menyelesaikan pesanan itu," jawab Zeta dengan tanggap."Saya boleh lihat contoh desainnya seperti apa?" "Tentu, Lia! Ambil album khusus gaun bridesmaid kemari," titah Zeta.Segera Lia dengan cekatan langsung m
"Assalamualaikum.""Ayah ...." Aziel berlarian menghampiri Bima ketika mendengar suara khas lelaki itu.Greb.Bima menggapai tubuh mungil Aziel dan menggendongnya. "Udah makan?"Aziel pun mengangguk dengan senyum. "Besok lusa Aziel mau ikut lomba menyanyi loh, Ayah sama Bunda harus datang, ya?!" "Siap Bos!" sahut Bima dengan semangat."El, ayo cuci muka dan sikat gigimu. Sebentar lagi waktunya tidur," ucap Zeta sembari melangkahkan kakinya menuruni tangga."Iya, Bunda." Kaki mungil Aziel melangkah menuju kamar mandi meninggalkan Zeta dan Bima berdua. Sekilas Bima melirik ke arah wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu. Tatapan mereka saling beradu pandang. "Apa?" tanya Zeta dengan datar."Enggak."Hening tanpa ada percakapan di antara keduanya, Zeta memilih untuk ke dapur. Ia merasa sedikit haus, Bima masih duduk diam di sofa. Tiba-tiba pikirannya kalut mengingat perkataan Melda.
"Bukankah reaksi Anda terlalu berlebihan? ini hanyalah sekotak susu coklat, apa Anda tidak bisa mengalah dengan yang lebih muda?" Melda menyunggingkan senyum, yang entah kenapa senyuman itu membuat Zeta merasa ingin mencabik-cabik wajah wanita yang ada di depannya saat ini."Kenapa harus saya yang mengalah? saya duluan yang mengambil ini, maka saya yang lebih berhak," ucap Zeta penuh penekanan."Kau tahu? apa yang lebih murah dari susu kotak ini?" Zeta tersenyum hambar, sementara Melda hanya diam menyimak."Wanita yang melewati batasan dan tidak bisa menjaga harga dirinya," bisik Zeta. Setelah mengatakan kalimat itu, Zeta melenggang pergi meninggalkan Melda yang masih terdiam di tempatnya.Melda menatap kepergian istri atasannya itu dengan tatapan yang entah. "Feeling seorang istri memang kuat, ya? hmmm ... kalau sudah begini, aku lakukan saja secara terang-terangan."****"Bunda ...." Aziel berlari menghampiri Zeta yang sudah menunggunya di depan sekolah. "Bagaimana sekolah El hari