Grace menatap suaminya dengan senyum sinis, penuh tantangan yang jelas terbaca di matanya. "Kau mengancamku? Seorang kepala jaksa mengancamku?" Ia menegaskan ucapannya dengan nada yang begitu sarkastik, seolah menunjukkan betapa kecilnya ancaman itu di matanya.
Robert membalas tatapan istrinya dengan ekspresi dingin, berusaha mempertahankan kendali meskipun ia tahu situasinya tak sepenuhnya menguntungkannya. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum yang lebih mirip ejekan. "Kita jalani saja hidup kita masing-masing," ucapnya, suaranya rendah namun penuh ancaman terselubung. "Aku bisa menjamin tidak ada yang akan tahu keberadaan anak itu. Seorang jaksa telah memiliki anak sebelum menikah. Mereka pasti penasaran siapa ayah anak itu."
Secepat kilat, Grace tanpa ragu mengayunkan tangannya, menampar wajah suaminya dengan keras.
"Plak!"
Robert tertegun, wajahnya memerah akibat tamparan itu. Namun, sebelum ia sempat merespons, Grace sudah berbicara lagi dengan na
Di dalam ruangan rumah sakit yang sunyi, seorang pria berdiri dengan tatapan kosong menatap anak kecil yang terbaring lemah di ranjang. Ada sesuatu yang menggelitik pikirannya, sesuatu yang sulit ia jelaskan. Wajah anak itu, yang sedang tertidur pulas dengan infus di tangannya, membuat hatinya terasa hangat dan... anehnya, familiar. Sementara itu, salah satu anak buahnya, berdiri di sampingnya, ikut memandangi anak kecil yang terlelap.Pria yang melarikan Wilson ke rumah sakit adalah Ethan dan Ekin."Bos, kenapa... Anak ini sangat mirip denganmu?" Ekin bertanya dengan nada penasaran, matanya meneliti setiap lekuk wajah anak tersebut.Ethan menelan ludah, tak bisa menutupi rasa bingung di wajahnya. "Aku juga tidak tahu," jawabnya dengan suara pelan, berusaha terdengar biasa saja. "Mungkin hanya kebetulan saja."Ekin memecah kesunyian, ekspresinya tampak serius. "Siapa anak ini, kenapa bisa pingsan di simpang jalan itu?" tanyanya dengan penasaran.Et
Anita menundukkan wajah, suaranya lirih ketika mengingat kejadian pahit yang dialami putra jaksa itu, "Beberapa waktu lalu, Wilson sering dibully oleh teman-temannya," katanya, suara penuh penyesalan. "Mereka menjauhinya, mengejeknya, mengatakan dia dicampakkan oleh orang tuanya. Kejadian itu membuat Wilson frustrasi. Aku masih ingat tatapan terluka di matanya. Ia sampai bertengkar dengan mereka, penuh amarah, hingga akhirnya memilih untuk bungkam selama dua minggu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Andaikan aku lebih perhatian padanya...mungkin Wilson tak akan pergi begitu saja."Grace menghela napas panjang, tatapannya jatuh pada wajah putranya yang sedang tertidur, begitu polos dan damai. "Wilson keluar untuk mencariku, Dia terluka, sedih… merasa diabaikan. Semua salahku yang selama ini terlalu fokus pada pekerjaan. Anak sekecil itu harusnya mendapatkan lebih dari sekadar kehadiran fisik. Harusnya dia tahu dia selalu ada dalam hatiku."Anita meng
Saat pisau tajam itu semakin dekat dengan Wilson, insting seorang ibu membuat Grace bertindak tanpa berpikir panjang. Dia mengangkat tangannya, menahan pisau dengan telapak tangannya yang terbuka. Rasa sakit yang tajam langsung menjalar, tapi dia menahan diri untuk tidak mengerang. Darah menetes, membasahi lantai di bawahnya, namun tekadnya tidak goyah.Dengan kekuatan penuh, Grace menendang pria itu, membuatnya terlempar ke belakang dan jatuh terkapar di lantai."Bruk!"Grace segera berbalik, menatap putranya yang tampak pucat. "Wilson, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Wilson mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan ketakutan yang dalam. "Tangan Mama terluka," ucapnya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada darah yang terus mengalir dari luka di telapak tangan ibunya.Grace tersenyum menenangkan, mencoba meredakan kekhawatiran putranya meskipun tangannya terasa berdenyut sakit. "Mama tidak apa-apa, Sayang," katanya le
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Grace dengan rasa penasaran yang jelas tergambar di wajahnya. Ada sesuatu dalam suara Ethan yang membuat hatinya merasa tidak tenang.Ethan hanya menggeleng. "Tidak ada! Dia tidak mirip sama sekali dengan kepala jaksa busuk itu," jawabnya dengan nada dingin. Tanpa menunggu tanggapan dari Grace, dia bangkit dari sofa, berniat meninggalkan apartemen itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara kecil yang memanggilnya."Paman!" panggil Wilson, yang terbangun dari tidurnya. Anak itu memandang Ethan dengan senyum lelah, tetapi tulus.Ethan berbalik menatap bocah kecil itu. Tatapannya sempat melembut, meski hanya sebentar. Anak itu melambaikan tangan kecilnya, seolah tak ingin Ethan pergi."Sampai jumpa!" ucap Wilson dengan polos.Ethan menatap anak itu dengan perasaan campur aduk, ada kekhawatiran, kehangatan, dan entah kenapa, sedikit keraguan yang ia sembunyikan. "Tidurlah lebih awal!" jawabnya singkat, lalu berbalik dan melangkah keluar
Ethan duduk di ruangannya, memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, pikirannya tenggelam dalam kenangan masa lalu. Di benaknya, berulang kali terbayang saat pertama kali ia melihat Grace di pengadilan. Seperti bara api yang kembali menyala, amarahnya membuncah saat mengingat pertemuan mereka di ruang tahanan. Ia bahkan melukai wanita itu tanpa berpikir panjang."Kenapa wanita itu terasa begitu familiar sejak awal aku melihatnya?" gumam Ethan pelan, mencoba menguraikan perasaan aneh yang membebani hatinya. "Dan anak itu... anak itu sepertinya bukan milik Jaksa Robert. Kenapa aku harus repot-repot memikirkan urusan mereka?"Ethan menarik napas panjang, seakan berusaha menyingkirkan bayangan yang terus menghantui. "Setelah ini, aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Bagaimanapun juga, Grace tetaplah putri dari pembunuh ibuku. Kali ini aku hanya membantunya karena anak kecil yang tak tahu apa-apa. Hanya itu," ucapnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Di gedung kejaksaan, Grace
Keesokan harinya, Frank dan Billy, dua rekan kerja Grace, mendatangi apartemennya dengan raut wajah penuh penasaran. Mereka berdua terpaku saat melihat seorang anak kecil yang duduk di atas kasur, menatap mereka dengan mata bulat yang polos namun penuh rasa ingin tahu.“Grace, ini anak siapa?” Billy memecah keheningan, wajahnya penuh tanda tanya.“Anakku, namanya Wilson. Usianya empat tahun,” jawab Grace dengan nada tenang, meski ada sorot keraguan di matanya. Mendengar jawaban itu, kedua rekannya langsung menoleh ke arahnya, tercengang.“Anakmu?” mereka bertanya serentak, tak percaya.Grace menarik napas panjang, menatap mereka dengan sorot mata yang meminta pengertian. “Aku bisa jelaskan bila ada waktu,” katanya singkat.Frank mengerutkan kening, rasa penasaran membuncah di dalam dirinya. “Bukankah pernikahanmu dan Kepala Jaksa belum memiliki anak? Lalu anak ini datang dari mana?” tanyan
Malam itu, Grace duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan yang gelap. Lampu jalan redup, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Ia menatap ke arah restoran mewah di seberang jalan, di mana Raymond Scott, seorang pejabat korup, sedang menikmati makan malam. Ia tak sendiri; di sampingnya seorang wanita muda tertawa, seolah dunia adalah milik mereka berdua."Selalu saja berganti pasangan, tidak sadar kalau dia sudah tua," gumam Grace.***Keesokan harinya, Grace melangkah dengan tegas menuju ruangan Jaksa Agung, Micheal. Dinding koridor terasa dingin, namun langkahnya tak gentar sedikit pun. Setibanya di depan pintu, ia mengetuk perlahan, lalu masuk setelah dipersilakan."Grace, kenapa kamu ke sini? Apa yang terjadi?" tanya Micheal, pria paruh baya yang duduk di kursi besar di belakang meja kayu penuh dokumen. " Rekan saya, Frank dan Billy, menemukan bukti kesalahan Raymond Scott," ujar Grace sembari meletakkan setumpuk dokumen di meja Micheal
Grace kembali ke kantornya dengan raut wajah yang hampa. Matanya yang biasanya penuh determinasi kini tampak lelah, seolah tak ada lagi cahaya yang mampu menembus kegelapan yang menyelimutinya. Langkahnya berat, dan saat ia duduk di kursi, tubuhnya terkulai lemas.Billy, yang sudah menunggu sejak tadi, memperhatikan perubahan di wajah Grace dengan cemas. Ia tahu betapa pentingnya dukungan dari Jaksa Agung untuk rencana mereka."Apakah Jaksa Agung menolak mendukung kita?" tanya Billy, suaranya bergetar tipis antara marah dan kecewa.Grace menghela napas panjang, matanya kosong saat menatap berkas-berkas di mejanya. "Iya. Semua penegak hukum sama saja," katanya pahit. "Mereka semua mendukung Raymond Scott. Mereka takut pada kekuasaan."Kata-kata itu bergema di ruangan sepi, membawa atmosfer yang semakin kelam. Frank, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan tangan terlipat di dada, menggelengkan kepala sambil menatap lantai. "Jaksa Agung, Kepala Jaksa,
Grace melangkah keluar dari gedung apartemen dengan langkah tegas, tatapannya tajam dan penuh amarah. Malam yang dingin tidak membuatnya goyah, meskipun udara menusuk tulang. Di depan gedung, Ethan berdiri dengan wajah tenang, namun matanya mengungkapkan penyesalan yang mendalam."Grace, kau sudah tahu semuanya," ucap Ethan, suaranya rendah namun penuh beban.Grace menghentikan langkahnya tepat di hadapan Ethan. Tatapannya menusuk, seperti pisau tajam yang ingin menembus hati pria di depannya. "Kau berencana menutupinya sampai kapan? Dengan cara ini kau mendekati kami? Apa tujuanmu sebenarnya? Kau ingin merebut Wilson dariku?" tanyanya dengan nada dingin, suaranya bergetar oleh amarah yang ia tahan."Tentu saja tidak, Grace," jawab Ethan dengan cepat, berusaha menjelaskan. "Aku tidak akan pernah melakukan itu. Selama ini kau yang merawatnya, kau yang memberikan segalanya untuknya. Aku tahu betapa sulitnya hidup yang kau jalani. Aku hanya ingin mencari waktu untu
"Wilson, ikut Mama pulang. Karena ada yang harus Mama selesaikan!" kata Grace dengan nada tegas, meskipun hatinya terasa berat. Wilson, yang biasanya ceria, hanya menatap ibunya dengan bingung. Ia menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Grace. Mata Grace berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu yang hampir meledak, namun Wilson memilih diam.Beberapa saat kemudianEthan tiba di rumah dengan wajah penuh kegelisahan. Langkahnya cepat, tapi hatinya terasa berat. Begitu masuk ke kamar, ia melihat laporan DNA yang tergeletak di atas meja. Amplop itu kini tampak seperti bukti nyata yang tak bisa ia abaikan. Ethan menghela napas panjang, lalu mengambil laporan itu dengan tangan yang bergetar."Grace, sudah melihatnya," gumam Ethan, usai membaca laporan itu untuk yang kesekian kalinya. Ia mengusap wajah dengan frustrasi, mencoba mengurai kekacauan dalam pikirannya. Tatapannya beralih ke arah kasur, yang hanya terlihat mainan Wilson.Apartemen GraceGrace duduk
Ethan yang terdiam seketika seolah sedang teringat sesuatu, mendadak merasa panik. "Gawat! Laporan DNA ada di rumahku. Aku menyimpannya di kamar, dan aku juga tidak mengunci pintunya. Karena Wilson suka tidur di kamarku," batin Ethan, yang langsung berlari mengejar Grace."Grace Anderson, tunggu aku!" teriak Ethan sambil keluar dari markas dengan wajah penuh kecemasan."Bos, Jaksa itu sudah pergi," ujar salah satu anak buahnya, memberikan informasi dengan raut khawatir melihat reaksi bosnya.Tanpa menjawab, Ethan langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak peduli pandangan heran dari anak buahnya."Kenapa aku begitu lalai? Seharusnya aku kunci laci mejaku," gumam Ethan, sambil menggenggam erat setir. Matanya fokus ke jalanan di depannya, berusaha melewati kendaraan yang menghalangi. Mobil Grace sudah jauh di depan, dan Ethan harus mengejarnya sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
Grace mengemudikan mobilnya dengan perasaan lega. Ia baru saja menyelesaikan misi penting, menahan Dom Hart dan putranya, James, dua sosok yang selama ini selalu lolos dari kesalahan."Sammy, mungkin lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku sudah memiliki hidupku sendiri, dan kamu pilih jalanmu sendiri," gumamnya dengan suara penuh tekad, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang mungkin akan mengganggu jalannya ke depan.Beberapa saat kemudian, Grace menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung besar dengan penjagaan ketat—markas Ethan Christoper. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu utama yang dijaga beberapa anak buah Ethan."Jaksa Shin? Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Emil, dengan nada terkejut.Grace menatapnya tajam. "Aku ingin bertemu dengan Ethan. Apakah dia ada di sini?""Ada, dia sedang di kantornya. Silakan saja," jawa
Grace dan timnya melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana menjadi tegang seketika. Matanya langsung tertuju pada Dom dan Jamez yang tergeletak di lantai, darah mengalir deras dari betis mereka, dengan senjata tajam yang menancap dalam. Pemandangan itu membuat Grace terdiam sejenak, namun ia segera menguasai diri."Bawa mereka pergi!" perintah Grace dengan suara tegas, matanya tetap tajam.Grace kemudian memandang keluar, perasaannya tiba-tiba menjadi kaku. Ia melihat sosok seorang pria yang tak asing baginya. Tubuhnya mendadak tegang."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Grace, matanya menyipit, mencari tahu apakah ia salah lihat atau tidak.Teriakan Sammy keras memecah ketegangan. "Lepaskan suami dan anakku! Jangan sentuh mereka!" Sammy berlari ke depan, berusaha menghalangi para jaksa yang hendak memborgol Dom dan Jamez. Suaranya penuh emosi, penuh kekhawatiran.Sammy yang kesal menoleh ke arah Grace, matanya berkilat tajam dengan kemarahan yang
Berita gempar di siang itu mengguncang masyarakat. Namun, bukan bencana alam yang menjadi perhatian, melainkan pengungkapan kasus besar yang melibatkan pejabat-pejabat korup. Nama-nama besar seperti Dom Hart dan James Hart tercantum dalam daftar penangkapan, membuat kegemparan meluas di seluruh kota.Kemarahan masyarakat memuncak. Mereka mencemooh para pejabat yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Negara yang seharusnya makmur dan adil, kembali tercoreng oleh skandal korupsi. Gelombang protes mulai terlihat, baik di jalanan maupun di media sosial, menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.Di tengah kekacauan tersebut, Grace dan timnya tidak tinggal diam. Dengan langkah tegas, mereka mendatangi gedung kementerian, membawa surat perintah penangkapan. Setiap langkah mereka mencerminkan determinasi dan keberanian.Setibanya di gedung para menteri, Grace mengetuk pintu utama dengan tangan yang mantap. "Kami dari tim penegakan hukum. Ini surat perintah pe
"Kau tidak percaya dengan kataku?" tanya dengan nada serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Grace dengan tajam.Grace menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan pikirannya. "Wilson tidak ada hubungan darah denganmu. Tidak ada alasan kau menjadikannya sebagai penerusmu," jawabnya tegas, mencoba menyampaikan logika di balik pemikirannya.Ethan mengangkat alis, senyumnya samar tapi penuh arti. "Aku dan Wilson sangat cocok. Dia juga menyukaiku!" katanya dengan percaya diri, seolah hal itu cukup untuk membenarkan tindakannya.Grace memutar bola matanya, merasa sulit untuk menerima alasan Ethan. "Aku akan segera menjemputnya," ujarnya dengan suara dingin. "Tidak baik tinggal di rumahmu begitu lama. Anak ini akan terbiasa jika dibiarkan seperti ini."Ethan mendengus kecil, tampak tidak setuju. "Jangan terlalu keras," ucapnya pelan namun tegas, nada suaranya sedikit melembut. "Lagi pula, kau sibuk seharian. Kalau dia bersamaku, dia aman. Ada anggotaku yang men
Sementara itu, di halaman belakang markas, Ethan berdiri sambil memandang pemandangan yang jarang ia nikmati—putranya, Wilson, tengah bermain dengan beberapa anggota gengnya. Suara tawa Wilson bergema di udara, membawa kehangatan yang hampir membuat Ethan lupa akan masalah-masalah berat yang menantinya. Wilson tampak begitu gembira, berlari mengejar salah satu anggota yang pura-pura menyerah. Untuk sesaat, dunia Ethan terasa lebih ringan.Namun, keheningan Ethan terusik ketika Emil mulai membuka topik pembicaraan, "Bos, hasil tes DNA sudah keluar. Bagaimana Bos akan menjelaskan ini kepada Jaksa Shin?" tanya Emil dengan nada penuh kehati-hatian.Ethan mengambil amplop itu tanpa berkata-kata, menatapnya sejenak sebelum membuka hasil yang sudah ia duga. "Dia pasti akan menyerang Bos setelah mengetahui kenyataannya," timpal Ekin, yang berdiri di samping Emil, memperhatikan ekspresi bos mereka dengan cermat.Ethan menarik napas panjang, lalu menatap mereka deng
Wilson memperhatikan keanehan pada Ethan. Pria yang biasanya terlihat tenang dan tak tersentuh itu tampak berbeda hari ini. Matanya terlihat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin tumpah.“Apakah Paman sedang menangis?” tanya Wilson dengan nada polos namun penuh rasa ingin tahu. Anak kecil itu menatap Ethan dengan pandangan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik wajah sang pria dewasa.Ethan terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tidak,” katanya sambil mengusap kepala Wilson dengan lembut, mencoba menghilangkan kecemasan di wajah bocah itu.“Lalu, kenapa mata Paman merah? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Wilson lagi. Kali ini nadanya lebih serius, seperti seseorang yang tak mudah dibohongi.Ethan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan emosinya. “Paman hanya bangga padamu, Wilson. Di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa mandiri dan bersikap dewasa,” jawabn