Keesokan harinya, Frank dan Billy, dua rekan kerja Grace, mendatangi apartemennya dengan raut wajah penuh penasaran. Mereka berdua terpaku saat melihat seorang anak kecil yang duduk di atas kasur, menatap mereka dengan mata bulat yang polos namun penuh rasa ingin tahu.
“Grace, ini anak siapa?” Billy memecah keheningan, wajahnya penuh tanda tanya.
“Anakku, namanya Wilson. Usianya empat tahun,” jawab Grace dengan nada tenang, meski ada sorot keraguan di matanya. Mendengar jawaban itu, kedua rekannya langsung menoleh ke arahnya, tercengang.
“Anakmu?” mereka bertanya serentak, tak percaya.
Grace menarik napas panjang, menatap mereka dengan sorot mata yang meminta pengertian. “Aku bisa jelaskan bila ada waktu,” katanya singkat.
Frank mengerutkan kening, rasa penasaran membuncah di dalam dirinya. “Bukankah pernikahanmu dan Kepala Jaksa belum memiliki anak? Lalu anak ini datang dari mana?” tanyan
Malam itu, Grace duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan yang gelap. Lampu jalan redup, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Ia menatap ke arah restoran mewah di seberang jalan, di mana Raymond Scott, seorang pejabat korup, sedang menikmati makan malam. Ia tak sendiri; di sampingnya seorang wanita muda tertawa, seolah dunia adalah milik mereka berdua."Selalu saja berganti pasangan, tidak sadar kalau dia sudah tua," gumam Grace.***Keesokan harinya, Grace melangkah dengan tegas menuju ruangan Jaksa Agung, Micheal. Dinding koridor terasa dingin, namun langkahnya tak gentar sedikit pun. Setibanya di depan pintu, ia mengetuk perlahan, lalu masuk setelah dipersilakan."Grace, kenapa kamu ke sini? Apa yang terjadi?" tanya Micheal, pria paruh baya yang duduk di kursi besar di belakang meja kayu penuh dokumen. " Rekan saya, Frank dan Billy, menemukan bukti kesalahan Raymond Scott," ujar Grace sembari meletakkan setumpuk dokumen di meja Micheal
Grace kembali ke kantornya dengan raut wajah yang hampa. Matanya yang biasanya penuh determinasi kini tampak lelah, seolah tak ada lagi cahaya yang mampu menembus kegelapan yang menyelimutinya. Langkahnya berat, dan saat ia duduk di kursi, tubuhnya terkulai lemas.Billy, yang sudah menunggu sejak tadi, memperhatikan perubahan di wajah Grace dengan cemas. Ia tahu betapa pentingnya dukungan dari Jaksa Agung untuk rencana mereka."Apakah Jaksa Agung menolak mendukung kita?" tanya Billy, suaranya bergetar tipis antara marah dan kecewa.Grace menghela napas panjang, matanya kosong saat menatap berkas-berkas di mejanya. "Iya. Semua penegak hukum sama saja," katanya pahit. "Mereka semua mendukung Raymond Scott. Mereka takut pada kekuasaan."Kata-kata itu bergema di ruangan sepi, membawa atmosfer yang semakin kelam. Frank, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan tangan terlipat di dada, menggelengkan kepala sambil menatap lantai. "Jaksa Agung, Kepala Jaksa,
"Apa yang kalian lakukan, ha? Di sini adalah kawasan kami!" bentak salah satu anak buah Arnold, suaranya bergemuruh di antara kerumunan yang mulai bergerombol. Matanya melotot tajam, penuh peringatan, sementara beberapa anak buahnya bergerak maju, bersiap untuk menghadapi ancaman.Frank melangkah ke depan dengan percaya diri, Ia mengangkat kartu identitasnya tinggi-tinggi, memperlihatkan keabsahannya dengan sikap tak tergoyahkan. "Kami adalah jaksa, Harap kerja samanya. Kalau kalian juga ingin menyerang kami, akan kami layani!" Suara Frank penuh dengan keyakinan, memperlihatkan bahwa mereka siap menghadapi konsekuensi apapun.Arnold yang terkapar sambil mengelap darah yang mengalir dari kepalanya, "Ternyata kalian adalah jaksa," katanya dengan nada yang bergetar."Iya," ucapnya singkat, namun nadanya menusuk. "Semua yang kau lakukan bisa menjebloskanmu ke dalam penjara," kata Grace, membuat Arnold semakin pucat."Kau adalah seorang pecandu yan
“Kenapa harus serahkan padamu, Kami yang mendapatkannya,” Grace menyuarakan penolakannya dengan nada tegas. Mata mereka saling menantang, kedua sosok itu seperti dua sisi koin yang enggan bertemu.Ethan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Apakah kamu mengira Jaksa Agung dan Hakim akan menjatuhkan hukuman terhadap Raymond Scott? Bukti apapun yang kau miliki tidak akan bisa menjatuhkan dia lewat jalur hukum,” katanya, suaranya rendah namun jelas.Grace menghela napas, menahan rasa frustrasi yang membakar dadanya. “Aku tahu, Siapa yang mengatakan aku akan menjatuhkan dia lewat jalur hukum? Aku akan menggunakan cara apapun untuk membuatnya hancur.” Tatapannya penuh dengan tekad, seolah menantang siapa saja yang mencoba menghalanginya.Ethan mengerutkan kening, ekspresinya nyaris menyiratkan keraguan. “Kau yakin?” tanyanya pelan.“Iya,” balas Grace, “Besok kita akan tahu apa re
Melihat Wang terdiam, Wilson menatapnya dengan bingung. "Kakek, kenapa?" tanya Wilson, matanya mencoba mencari jawaban dari wajah Guru Wang.Wang menggelengkan kepala, seolah ingin mengusir kekhawatiran yang mendadak muncul. "Tidak ada!" katanya, berusaha terdengar santai. "Hanya sedang memikirkan apakah Mamamu sudah makan atau belum.""Bagaimana kalau kita hubungi Mama saja?" tanya Wilson dengan harapan.Wang mengusap kepala Wilson dengan lembut. "Jangan dulu! Mamamu sedang sibuk," jawabnya, berusaha menenangkan Wilson meskipun hatinya tetap gelisah.Keesokan harinya, berita tentang Raymond yang menggelapkan dana negara serta kesalahan-kesalahan lain yang telah ia lakukan tersebar luas, disertai bukti-bukti yang lengkap. Berita tersebut sekali lagi mengguncang ibu kota Paris.Kemarahan Raymond memuncak, memanifestasikan diri dalam amukan yang meledak-ledak. Ia meraih gelas kristal di mejanya dan melemparkannya ke dinding, pecahan kaca berham
Grace menutup telepon dengan tangan yang sedikit gemetar, menandakan rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan. "Cepat, lacak keberadaan Wilson! Ada van hitam yang membawanya pergi. Di restoran seafood!" perintahnya kepada Billy dengan nada tegas, suaranya mengandung urgensi yang tajam."Iya," jawab Billy cepat tanpa keraguan."Wilson dibawa pergi, apa kau tahu siapa?" tanya Robert, tatapannya penuh selidik. Nada bicaranya tampak tenang.Grace menoleh dengan pandangan tajam, wajahnya mengeras. "Untuk apa kau bertanya, bukankah kau ada di pihaknya?" sindirnya, setiap kata terasa seperti pisau yang mengiris. "Tunggu saja! Kariermu akan segera berakhir," lanjutnya dengan nada penuh ancaman, sebelum melangkah pergi meninggalkan ruangan tanpa memberikan kesempatan bagi Robert untuk menjawab.***Setibanya di restoran seafood, Grace langsung melompat keluar dari mobil, mendapati Guru Wang sudah menunggunya di depan pintu masuk. "Guru!" serunya,
Dua pria yang menculik Wilson berdiri dengan tubuh tegang, matanya tajam memperhatikan pria yang baru saja turun dari mobil hitam mengilap. Sejenak suasana sunyi, sebelum Wilson menghela napas lega seolah beban berat terangkat dari pundaknya."Paman Ethan?" gumam Wilson, suaranya penuh harap dan sedikit gemetar.Ethan, seorang pria dengan sorot mata yang memancarkan kewibawaan dan ketegasan, memfokuskan tatapannya pada dua pria itu. Dengan langkah perlahan namun pasti, ia menghampiri mereka sambil menyipitkan mata. Lalu, pandangannya beralih ke arah Wilson yang terhuyung bangkit dari tanah, berusaha menghampirinya."Paman, tolong aku. Mereka ingin menangkapku dan Mama!" pinta Wilson dengan suara penuh kekhawatiran, tangannya meremas lengan baju Ethan dengan erat, seperti anak yang memohon perlindungan.Ethan menepuk bahu Wilson pelan, menenangkan bocah itu. Kemudian, tatapan dingin yang penuh amarah dilemparkan kepada para penculik. "Apakah Raymond yang m
Ethan menatap tajam bocah kecil di sampingnya, mencoba mempertahankan wibawanya meski dalam hati ada kekacauan yang tak dapat ia jelaskan. “Bocah kecil, urusan orang dewasa jangan ikut campur!”Wilson mengangkat wajah dengan senyum polos, tidak gentar sedikit pun. “Aku hanya meminta Paman menjadi papaku saja, tidak sulitkan? Paman sudah mendapatkan anak setampanku. Kita juga mirip. Paman Billy dan Paman Frank mengatakan kalau aku mirip denganmu.”Ethan menghela napas, mencoba menenangkan debar di dadanya. Bocah ini benar-benar pandai berbicara. Ia menoleh ke jendela mobil, menghindari tatapan Wilson sejenak.“Obati lukamu dulu, di depan mamamu nanti, jangan asal bicara!” Ethan menghentikan mobil di depan rumah sakit. Dalam satu gerakan cepat dan tegas, ia keluar dari mobil dan menggendong Wilson dengan hati-hati, melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Gerakannya penuh perhatian, meski ia sendiri tampak ingin menyang
Grace melangkah keluar dari gedung apartemen dengan langkah tegas, tatapannya tajam dan penuh amarah. Malam yang dingin tidak membuatnya goyah, meskipun udara menusuk tulang. Di depan gedung, Ethan berdiri dengan wajah tenang, namun matanya mengungkapkan penyesalan yang mendalam."Grace, kau sudah tahu semuanya," ucap Ethan, suaranya rendah namun penuh beban.Grace menghentikan langkahnya tepat di hadapan Ethan. Tatapannya menusuk, seperti pisau tajam yang ingin menembus hati pria di depannya. "Kau berencana menutupinya sampai kapan? Dengan cara ini kau mendekati kami? Apa tujuanmu sebenarnya? Kau ingin merebut Wilson dariku?" tanyanya dengan nada dingin, suaranya bergetar oleh amarah yang ia tahan."Tentu saja tidak, Grace," jawab Ethan dengan cepat, berusaha menjelaskan. "Aku tidak akan pernah melakukan itu. Selama ini kau yang merawatnya, kau yang memberikan segalanya untuknya. Aku tahu betapa sulitnya hidup yang kau jalani. Aku hanya ingin mencari waktu untu
"Wilson, ikut Mama pulang. Karena ada yang harus Mama selesaikan!" kata Grace dengan nada tegas, meskipun hatinya terasa berat. Wilson, yang biasanya ceria, hanya menatap ibunya dengan bingung. Ia menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Grace. Mata Grace berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu yang hampir meledak, namun Wilson memilih diam.Beberapa saat kemudianEthan tiba di rumah dengan wajah penuh kegelisahan. Langkahnya cepat, tapi hatinya terasa berat. Begitu masuk ke kamar, ia melihat laporan DNA yang tergeletak di atas meja. Amplop itu kini tampak seperti bukti nyata yang tak bisa ia abaikan. Ethan menghela napas panjang, lalu mengambil laporan itu dengan tangan yang bergetar."Grace, sudah melihatnya," gumam Ethan, usai membaca laporan itu untuk yang kesekian kalinya. Ia mengusap wajah dengan frustrasi, mencoba mengurai kekacauan dalam pikirannya. Tatapannya beralih ke arah kasur, yang hanya terlihat mainan Wilson.Apartemen GraceGrace duduk
Ethan yang terdiam seketika seolah sedang teringat sesuatu, mendadak merasa panik. "Gawat! Laporan DNA ada di rumahku. Aku menyimpannya di kamar, dan aku juga tidak mengunci pintunya. Karena Wilson suka tidur di kamarku," batin Ethan, yang langsung berlari mengejar Grace."Grace Anderson, tunggu aku!" teriak Ethan sambil keluar dari markas dengan wajah penuh kecemasan."Bos, Jaksa itu sudah pergi," ujar salah satu anak buahnya, memberikan informasi dengan raut khawatir melihat reaksi bosnya.Tanpa menjawab, Ethan langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak peduli pandangan heran dari anak buahnya."Kenapa aku begitu lalai? Seharusnya aku kunci laci mejaku," gumam Ethan, sambil menggenggam erat setir. Matanya fokus ke jalanan di depannya, berusaha melewati kendaraan yang menghalangi. Mobil Grace sudah jauh di depan, dan Ethan harus mengejarnya sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
Grace mengemudikan mobilnya dengan perasaan lega. Ia baru saja menyelesaikan misi penting, menahan Dom Hart dan putranya, James, dua sosok yang selama ini selalu lolos dari kesalahan."Sammy, mungkin lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku sudah memiliki hidupku sendiri, dan kamu pilih jalanmu sendiri," gumamnya dengan suara penuh tekad, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang mungkin akan mengganggu jalannya ke depan.Beberapa saat kemudian, Grace menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung besar dengan penjagaan ketat—markas Ethan Christoper. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu utama yang dijaga beberapa anak buah Ethan."Jaksa Shin? Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Emil, dengan nada terkejut.Grace menatapnya tajam. "Aku ingin bertemu dengan Ethan. Apakah dia ada di sini?""Ada, dia sedang di kantornya. Silakan saja," jawa
Grace dan timnya melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana menjadi tegang seketika. Matanya langsung tertuju pada Dom dan Jamez yang tergeletak di lantai, darah mengalir deras dari betis mereka, dengan senjata tajam yang menancap dalam. Pemandangan itu membuat Grace terdiam sejenak, namun ia segera menguasai diri."Bawa mereka pergi!" perintah Grace dengan suara tegas, matanya tetap tajam.Grace kemudian memandang keluar, perasaannya tiba-tiba menjadi kaku. Ia melihat sosok seorang pria yang tak asing baginya. Tubuhnya mendadak tegang."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Grace, matanya menyipit, mencari tahu apakah ia salah lihat atau tidak.Teriakan Sammy keras memecah ketegangan. "Lepaskan suami dan anakku! Jangan sentuh mereka!" Sammy berlari ke depan, berusaha menghalangi para jaksa yang hendak memborgol Dom dan Jamez. Suaranya penuh emosi, penuh kekhawatiran.Sammy yang kesal menoleh ke arah Grace, matanya berkilat tajam dengan kemarahan yang
Berita gempar di siang itu mengguncang masyarakat. Namun, bukan bencana alam yang menjadi perhatian, melainkan pengungkapan kasus besar yang melibatkan pejabat-pejabat korup. Nama-nama besar seperti Dom Hart dan James Hart tercantum dalam daftar penangkapan, membuat kegemparan meluas di seluruh kota.Kemarahan masyarakat memuncak. Mereka mencemooh para pejabat yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Negara yang seharusnya makmur dan adil, kembali tercoreng oleh skandal korupsi. Gelombang protes mulai terlihat, baik di jalanan maupun di media sosial, menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.Di tengah kekacauan tersebut, Grace dan timnya tidak tinggal diam. Dengan langkah tegas, mereka mendatangi gedung kementerian, membawa surat perintah penangkapan. Setiap langkah mereka mencerminkan determinasi dan keberanian.Setibanya di gedung para menteri, Grace mengetuk pintu utama dengan tangan yang mantap. "Kami dari tim penegakan hukum. Ini surat perintah pe
"Kau tidak percaya dengan kataku?" tanya dengan nada serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Grace dengan tajam.Grace menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan pikirannya. "Wilson tidak ada hubungan darah denganmu. Tidak ada alasan kau menjadikannya sebagai penerusmu," jawabnya tegas, mencoba menyampaikan logika di balik pemikirannya.Ethan mengangkat alis, senyumnya samar tapi penuh arti. "Aku dan Wilson sangat cocok. Dia juga menyukaiku!" katanya dengan percaya diri, seolah hal itu cukup untuk membenarkan tindakannya.Grace memutar bola matanya, merasa sulit untuk menerima alasan Ethan. "Aku akan segera menjemputnya," ujarnya dengan suara dingin. "Tidak baik tinggal di rumahmu begitu lama. Anak ini akan terbiasa jika dibiarkan seperti ini."Ethan mendengus kecil, tampak tidak setuju. "Jangan terlalu keras," ucapnya pelan namun tegas, nada suaranya sedikit melembut. "Lagi pula, kau sibuk seharian. Kalau dia bersamaku, dia aman. Ada anggotaku yang men
Sementara itu, di halaman belakang markas, Ethan berdiri sambil memandang pemandangan yang jarang ia nikmati—putranya, Wilson, tengah bermain dengan beberapa anggota gengnya. Suara tawa Wilson bergema di udara, membawa kehangatan yang hampir membuat Ethan lupa akan masalah-masalah berat yang menantinya. Wilson tampak begitu gembira, berlari mengejar salah satu anggota yang pura-pura menyerah. Untuk sesaat, dunia Ethan terasa lebih ringan.Namun, keheningan Ethan terusik ketika Emil mulai membuka topik pembicaraan, "Bos, hasil tes DNA sudah keluar. Bagaimana Bos akan menjelaskan ini kepada Jaksa Shin?" tanya Emil dengan nada penuh kehati-hatian.Ethan mengambil amplop itu tanpa berkata-kata, menatapnya sejenak sebelum membuka hasil yang sudah ia duga. "Dia pasti akan menyerang Bos setelah mengetahui kenyataannya," timpal Ekin, yang berdiri di samping Emil, memperhatikan ekspresi bos mereka dengan cermat.Ethan menarik napas panjang, lalu menatap mereka deng
Wilson memperhatikan keanehan pada Ethan. Pria yang biasanya terlihat tenang dan tak tersentuh itu tampak berbeda hari ini. Matanya terlihat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin tumpah.“Apakah Paman sedang menangis?” tanya Wilson dengan nada polos namun penuh rasa ingin tahu. Anak kecil itu menatap Ethan dengan pandangan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik wajah sang pria dewasa.Ethan terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tidak,” katanya sambil mengusap kepala Wilson dengan lembut, mencoba menghilangkan kecemasan di wajah bocah itu.“Lalu, kenapa mata Paman merah? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Wilson lagi. Kali ini nadanya lebih serius, seperti seseorang yang tak mudah dibohongi.Ethan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan emosinya. “Paman hanya bangga padamu, Wilson. Di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa mandiri dan bersikap dewasa,” jawabn