Grace terbaring dengan wajah sedih, aroma alkohol masih menyelimuti tubuhnya. Cahaya lampu dari apartemen yang redup menyinari rambutnya, menambah kesan lembut di wajah wanita itu. Ethan berdiri beberapa langkah darinya, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa penasaran.
Dia mengusap wajahnya, seolah mencoba menyadarkan dirinya dari pikiran yang berkecamuk. "Aku harus menemukan gelang itu. Wilson...anak ini.." gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Pandangannya kembali tertuju pada Grace, dan untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Ethan menarik napas panjang, membiarkan pikirannya melayang ke kemungkinan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. "Apakah mungkin... dia adalah anakku?" tanyanya dalam hati, rasa gelisah mulai menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku harus cari tahu," batinnya dengan tekad.
Tanpa membuang waktu, Ethan berbalik dan berjalan cepat keluar dari apartemen.
Setelah masuk ke mobilnya,
“Tuan, jangan simpan dalam hati dengan ucapan anak kecil. Wilson hanya merindukan papanya. Oleh karena itu, dia sangat berharap memiliki seorang papa,” ujar Wang dengan nada lembut, mencoba menjelaskan tingkah cucunya.Ethan mengangguk pelan, menatap Wilson yang duduk di sampingnya. “Tidak apa-apa, aku bisa memahaminya. Kalau tidak keberatan, apakah aku bisa membawanya ke rumahku?” tanyanya dengan suara tenang, tapi penuh keinginan untuk membuat bocah itu merasa diterima.Mata Wilson langsung berbinar. Ia mendongak ke arah Ethan, memastikan apa yang baru saja didengarnya. “Apa benar, Paman akan membawaku ke rumah Paman?” tanyanya dengan penuh harap, suaranya nyaris bergetar karena kegembiraan.“Tentu saja!” jawab Ethan sambil tersenyum, senyum yang membuat hati Wilson melompat kegirangan.Namun, Wang, meski tersenyum kecil, tetap berusaha mengingatkan cucunya. “Wilson, tidak baik mengganggu orang,” ujarnya, berusaha agar bocah itu tidak terlihat terlalu memaksa.“Tidak mengganggu sama
Ethan membawa Wilson kembali ke rumahnya, sebuah bangunan besar dan megah yang berdiri di tengah halaman luas yang terawat. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran elegan, dan lampu-lampu kristal menggantung di sepanjang koridor. Wilson terbelalak melihat kemewahan yang jarang sekali ia temui dalam hidupnya."Wah... Paman, rumahmu luar biasa sekali," ujar Wilson dengan mata berbinar, suaranya dipenuhi kekaguman. Ia berlari kecil ke tengah ruang tamu, memutar tubuh sambil terus mengamati sekelilingnya.Ethan tersenyum kecil melihat reaksi polos bocah itu. "Kalau kamu suka, kamu bisa tinggal di sini sampai kapan pun," jawabnya, nada suaranya penuh ketulusan.Wilson berhenti berlari dan menatap Ethan dengan ragu. "Apakah benar?" tanyanya, seolah takut harapan kecilnya bisa pupus.Ethan mengangguk mantap. "Iya, Wilson. Kamu aman di sini."Namun, keraguan tetap menghiasi wajah Wilson. "Tapi Mama pasti tidak izinkan aku tinggal di sini. Mama selalu pesan janga
Grace terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing berdenyut. Ia memijat pelipisnya perlahan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, ingatannya kabur, seperti film yang terputus-putus."Sepertinya aku terlalu banyak minum," gumamnya sambil merapikan rambutnya yang kusut. Ia bangkit dari kasur dengan langkah gontai dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, tetapi tidak ada siapa pun di sana."Mungkin dia sudah pergi. Dia menyelamatkanku lagi," pikirnya, lalu bergumam pada dirinya sendiri, "Apa yang aku bicarakan semalam? Kenapa aku tidak ingat? Semoga saja aku tidak bicara aneh-aneh."Grace menghela napas panjang, kemudian menuju kamar mandi. Di sana, ia mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menyegarkan pikirannya. Saat ia mengeringkan wajahnya dengan handuk, suara bel pintu mendadak terdengar, memecah keheningan.Dengan langkah cepat, Grace berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana berdiri Frank, meng
"Nyonya, mereka jumlahnya cukup banyak. Mobil kita tidak bisa bergerak!" kata sopirnya dengan nada panik, sambil melihat kerumunan reporter yang menghalangi jalan."Sialan! Untuk apa aku harus takut pada mereka?" Jamez berujar dengan kesal, membuka pintu mobilnya dengan kasar, lalu melangkah keluar tanpa memedulikan keributan di sekitarnya."Jamez, jangan!" seru Sammy, ibunya, yang mencoba menahan Jamez. Tapi usahanya sia-sia; Jamez sudah terlanjur maju ke arah kerumunan dengan ekspresi penuh amarah."Ada apa, hah? Siapa kalian? Berani sekali menghalangi jalanku! Apa kalian ingin kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran seumur hidup?" kecam Jamez dengan nada tinggi, menatap para wartawan yang kini mengerumuninya.Salah satu reporter maju, membawa mikrofon. "Tuan, kami mendengar informasi bahwa Anda berniat melarikan diri. Sementara Anda adalah tersangka. Apakah betul?" tanyanya dengan nada penuh ketegasan.Jamez tertawa sinis, lalu melip
James, yang sudah tidak tahan lagi, berdiri dengan wajah merah padam dan berbalik menghadap kaca besar di ruangan itu. Tangannya mengepal, dan matanya memandang tajam ke arah kaca yang ia tahu ada seseorang di baliknya."Hei! Bebaskan aku! Untuk apa mengurungku di sini, ha?" teriaknya penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan kosong itu.Di luar ruangan, Grace yang mengamati semuanya tetap tenang. Ia melirik ke arah Billy sambil memberi perintah singkat, "Bebaskan dia."Billy menatap Grace sejenak, memastikan ia mendengar dengan benar, lalu mengangguk. "Baik," jawabnya, segera beranjak menuju ruangan tempat James berada.Sesampainya di ruangan itu, Billy membuka pintu dengan santai. Klek! Suara kunci pintu yang terbuka menggema."Maaf, Tuan Hart. Kami hampir lupa karena sedang sibuk. Anda sudah bisa pulang," ucap Billy dengan nada yang datar, seolah tidak ada yang aneh.James melangkah maju dengan ekspresi tidak percaya. "Apa? Lupa? Bisanya kau bicara begitu santai," ujarnya denga
Toko Obat WangWang sedang sibuk mengolah ramuan herbal di meja kerjanya ketika Grace datang dengan napas tersengal. Wajahnya yang tegang menandakan bahwa ada sesuatu yang mendesak.“Apa? Wilson dibawa pergi oleh Ethan? Untuk apa dia membawa anakku?” Grace bertanya dengan suara bergetar. Jelas, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Wang menatapnya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Anakmu itu sangat dekat dengan Ethan. Dia selalu saja mengatakan ingin pria itu menjadi ayahnya,” jawab Wang dengan nada tenang, berusaha menenangkan Grace.Grace mengerutkan kening, tidak percaya. “Anak ini... memang tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Seharusnya dia tidak ikut dengan orang asing,” ujarnya dengan kesal, lebih kepada dirinya sendiri daripada Wang.Wang menghela napas panjang. “Tapi Wilson sangat dekat dengannya. Aku yakin Ethan juga menyayangi anakmu dan tidak akan menyakitinya. Grace,
Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan. Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah perg
Ethan, setelah memuaskan hasrat yang disebabkan oleh pengaruh obat itu, terbaring lemas di kursi mobil. Nafasnya terengah-engah sebelum akhirnya ia kehilangan kesadaran, tidak menyadari kekejaman yang baru saja ia lakukan.Sementara itu, Grace hanya bisa menangis. Hatinya hancur, tubuhnya lemah, dan air matanya mengalir deras. Kehormatannya direnggut tanpa ampun, oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Dalam ketakutan dan rasa malu yang mendalam, Grace berusaha keluar dari mobil itu dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya terasa seperti dihantam ribuan jarum, namun ia tak punya pilihan selain pergi secepat mungkin dari tempat itu. Ia tak ingin mengingat atau mengetahui lebih lanjut tentang wajah pria yang telah menghancurkannya. Ia berjalan tertatih-tatih di jalanan yang gelap, berusaha menahan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tangisnya semakin keras, namun tempat itu terlalu sepi, tak ada satu pun yang mendengar ratapannya. Malam itu menjadi saksi kesedihannya yang mendalam.K
Toko Obat WangWang sedang sibuk mengolah ramuan herbal di meja kerjanya ketika Grace datang dengan napas tersengal. Wajahnya yang tegang menandakan bahwa ada sesuatu yang mendesak.“Apa? Wilson dibawa pergi oleh Ethan? Untuk apa dia membawa anakku?” Grace bertanya dengan suara bergetar. Jelas, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Wang menatapnya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Anakmu itu sangat dekat dengan Ethan. Dia selalu saja mengatakan ingin pria itu menjadi ayahnya,” jawab Wang dengan nada tenang, berusaha menenangkan Grace.Grace mengerutkan kening, tidak percaya. “Anak ini... memang tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Seharusnya dia tidak ikut dengan orang asing,” ujarnya dengan kesal, lebih kepada dirinya sendiri daripada Wang.Wang menghela napas panjang. “Tapi Wilson sangat dekat dengannya. Aku yakin Ethan juga menyayangi anakmu dan tidak akan menyakitinya. Grace,
James, yang sudah tidak tahan lagi, berdiri dengan wajah merah padam dan berbalik menghadap kaca besar di ruangan itu. Tangannya mengepal, dan matanya memandang tajam ke arah kaca yang ia tahu ada seseorang di baliknya."Hei! Bebaskan aku! Untuk apa mengurungku di sini, ha?" teriaknya penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan kosong itu.Di luar ruangan, Grace yang mengamati semuanya tetap tenang. Ia melirik ke arah Billy sambil memberi perintah singkat, "Bebaskan dia."Billy menatap Grace sejenak, memastikan ia mendengar dengan benar, lalu mengangguk. "Baik," jawabnya, segera beranjak menuju ruangan tempat James berada.Sesampainya di ruangan itu, Billy membuka pintu dengan santai. Klek! Suara kunci pintu yang terbuka menggema."Maaf, Tuan Hart. Kami hampir lupa karena sedang sibuk. Anda sudah bisa pulang," ucap Billy dengan nada yang datar, seolah tidak ada yang aneh.James melangkah maju dengan ekspresi tidak percaya. "Apa? Lupa? Bisanya kau bicara begitu santai," ujarnya denga
"Nyonya, mereka jumlahnya cukup banyak. Mobil kita tidak bisa bergerak!" kata sopirnya dengan nada panik, sambil melihat kerumunan reporter yang menghalangi jalan."Sialan! Untuk apa aku harus takut pada mereka?" Jamez berujar dengan kesal, membuka pintu mobilnya dengan kasar, lalu melangkah keluar tanpa memedulikan keributan di sekitarnya."Jamez, jangan!" seru Sammy, ibunya, yang mencoba menahan Jamez. Tapi usahanya sia-sia; Jamez sudah terlanjur maju ke arah kerumunan dengan ekspresi penuh amarah."Ada apa, hah? Siapa kalian? Berani sekali menghalangi jalanku! Apa kalian ingin kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran seumur hidup?" kecam Jamez dengan nada tinggi, menatap para wartawan yang kini mengerumuninya.Salah satu reporter maju, membawa mikrofon. "Tuan, kami mendengar informasi bahwa Anda berniat melarikan diri. Sementara Anda adalah tersangka. Apakah betul?" tanyanya dengan nada penuh ketegasan.Jamez tertawa sinis, lalu melip
Grace terbangun dengan kepala terasa berat dan pusing berdenyut. Ia memijat pelipisnya perlahan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, ingatannya kabur, seperti film yang terputus-putus."Sepertinya aku terlalu banyak minum," gumamnya sambil merapikan rambutnya yang kusut. Ia bangkit dari kasur dengan langkah gontai dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, tetapi tidak ada siapa pun di sana."Mungkin dia sudah pergi. Dia menyelamatkanku lagi," pikirnya, lalu bergumam pada dirinya sendiri, "Apa yang aku bicarakan semalam? Kenapa aku tidak ingat? Semoga saja aku tidak bicara aneh-aneh."Grace menghela napas panjang, kemudian menuju kamar mandi. Di sana, ia mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menyegarkan pikirannya. Saat ia mengeringkan wajahnya dengan handuk, suara bel pintu mendadak terdengar, memecah keheningan.Dengan langkah cepat, Grace berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana berdiri Frank, meng
Ethan membawa Wilson kembali ke rumahnya, sebuah bangunan besar dan megah yang berdiri di tengah halaman luas yang terawat. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran elegan, dan lampu-lampu kristal menggantung di sepanjang koridor. Wilson terbelalak melihat kemewahan yang jarang sekali ia temui dalam hidupnya."Wah... Paman, rumahmu luar biasa sekali," ujar Wilson dengan mata berbinar, suaranya dipenuhi kekaguman. Ia berlari kecil ke tengah ruang tamu, memutar tubuh sambil terus mengamati sekelilingnya.Ethan tersenyum kecil melihat reaksi polos bocah itu. "Kalau kamu suka, kamu bisa tinggal di sini sampai kapan pun," jawabnya, nada suaranya penuh ketulusan.Wilson berhenti berlari dan menatap Ethan dengan ragu. "Apakah benar?" tanyanya, seolah takut harapan kecilnya bisa pupus.Ethan mengangguk mantap. "Iya, Wilson. Kamu aman di sini."Namun, keraguan tetap menghiasi wajah Wilson. "Tapi Mama pasti tidak izinkan aku tinggal di sini. Mama selalu pesan janga
“Tuan, jangan simpan dalam hati dengan ucapan anak kecil. Wilson hanya merindukan papanya. Oleh karena itu, dia sangat berharap memiliki seorang papa,” ujar Wang dengan nada lembut, mencoba menjelaskan tingkah cucunya.Ethan mengangguk pelan, menatap Wilson yang duduk di sampingnya. “Tidak apa-apa, aku bisa memahaminya. Kalau tidak keberatan, apakah aku bisa membawanya ke rumahku?” tanyanya dengan suara tenang, tapi penuh keinginan untuk membuat bocah itu merasa diterima.Mata Wilson langsung berbinar. Ia mendongak ke arah Ethan, memastikan apa yang baru saja didengarnya. “Apa benar, Paman akan membawaku ke rumah Paman?” tanyanya dengan penuh harap, suaranya nyaris bergetar karena kegembiraan.“Tentu saja!” jawab Ethan sambil tersenyum, senyum yang membuat hati Wilson melompat kegirangan.Namun, Wang, meski tersenyum kecil, tetap berusaha mengingatkan cucunya. “Wilson, tidak baik mengganggu orang,” ujarnya, berusaha agar bocah itu tidak terlihat terlalu memaksa.“Tidak mengganggu sama
Grace terbaring dengan wajah sedih, aroma alkohol masih menyelimuti tubuhnya. Cahaya lampu dari apartemen yang redup menyinari rambutnya, menambah kesan lembut di wajah wanita itu. Ethan berdiri beberapa langkah darinya, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa penasaran.Dia mengusap wajahnya, seolah mencoba menyadarkan dirinya dari pikiran yang berkecamuk. "Aku harus menemukan gelang itu. Wilson...anak ini.." gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Pandangannya kembali tertuju pada Grace, dan untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.Ethan menarik napas panjang, membiarkan pikirannya melayang ke kemungkinan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. "Apakah mungkin... dia adalah anakku?" tanyanya dalam hati, rasa gelisah mulai menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku harus cari tahu," batinnya dengan tekad.Tanpa membuang waktu, Ethan berbalik dan berjalan cepat keluar dari apartemen.Setelah masuk ke mobilnya,
Grace memandang ke arah langit-langit, matanya kosong, seolah terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. “Aku baru berusia 22 tahun,” katanya dengan suara parau, penuh rasa sakit. “Malam itu… malam itu adalah mimpi buruk yang menghancurkan seluruh duniaku. Aku tidak punya siapa-siapa untuk melindungiku. Tidak ada. Aku hanya seorang gadis muda yang bermimpi menegakkan keadilan, tapi justru keadilan itu yang mengkhianatiku.”Grace memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali berbicara. Suaranya kini bergetar. “Aku tidak sempat melihat wajahnya. Semuanya terlalu cepat, terlalu kacau. Dia menarikku ke dalam mobil seperti binatang buas. Nafasnya berat, matanya liar, seperti seseorang yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Dia memohon padaku, memintaku untuk membantunya, dia seperti kerasukan. Belakangan aku baru sadar, dia mungkin di bawah pengaruh obat. Tapi saat itu… aku hanya ingin selamat.”Ethan merasa kepalanya berdenyut, dadanya terasa sesak. Ingatanny
"Siapa anak itu?" tanya Ethan, matanya penuh rasa ingin tahu, tapi juga ketegangan yang jelas terlihat.Grace menatap kosong, wajahnya suram seolah mengingat masa lalu yang tak bisa ia lepaskan. "Korban terakhir! Ibunya meninggal karena bunuh diri setelah dilecehkan oleh ayahku yang tidak tahu malu. Adil, bukan? Ayahku melakukan banyak dosa hingga merenggut nyawa mereka. Dan aku sebagai putrinya menanggung dosanya selama ini. Ini adalah karma yang tidak bisa dihindarkan," jawab Grace dengan nada yang berat, suaranya bergetar antara marah dan kesedihan.Ethan terdiam, hatinya mencelos. Kata-kata Grace mengingatkannya pada tragedi yang pernah menimpa ibunya. Ia merasa seperti terjebak dalam kebingungan, tak tahu bagaimana merespons apa yang baru saja didengarnya. "Membunuhnya membuatmu bermimpi buruk, apakah selama ini hidupmu tidak pernah tenang?" tanya Ethan.Grace menatap kosong pada kaleng minumannya, seolah minuman itu bisa menghapus bayangan kelam yang mengganggu pikirannya. "Tida