Toko Obat Wang
Wang sedang sibuk mengolah ramuan herbal di meja kerjanya ketika Grace datang dengan napas tersengal. Wajahnya yang tegang menandakan bahwa ada sesuatu yang mendesak.
“Apa? Wilson dibawa pergi oleh Ethan? Untuk apa dia membawa anakku?” Grace bertanya dengan suara bergetar. Jelas, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Wang menatapnya sambil melanjutkan pekerjaannya. “Anakmu itu sangat dekat dengan Ethan. Dia selalu saja mengatakan ingin pria itu menjadi ayahnya,” jawab Wang dengan nada tenang, berusaha menenangkan Grace.
Grace mengerutkan kening, tidak percaya. “Anak ini... memang tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Seharusnya dia tidak ikut dengan orang asing,” ujarnya dengan kesal, lebih kepada dirinya sendiri daripada Wang.
Wang menghela napas panjang. “Tapi Wilson sangat dekat dengannya. Aku yakin Ethan juga menyayangi anakmu dan tidak akan menyakitinya. Grace,
Grace terdiam setelah memikirkan sesuatu, matanya menerawang jauh, memikirkan apa yang baru saja terlintas di kepalanya. Dengan cepat, ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir kebingungan yang mulai merasuk. Tanpa membuang waktu, ia masuk ke dalam mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju kantornya.Setibanya di sana, langkahnya tergesa-gesa. Ia hampir tidak menyapa siapa pun di sepanjang lorong. Sesampainya di ruangannya, Grace menjatuhkan tasnya di meja dan langsung menyalakan komputer. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, mengetik sesuatu dengan penuh rasa penasaran. Detik-detik berlalu sebelum layar komputer menampilkan sebuah artikel berita lama.Matanya fokus membaca setiap kata di layar. Artikel itu menceritakan kematian tragis seorang wanita yang menjadi korban pemerkosaan, seorang wanita bernama June Christopher. Grace membaca dengan cermat hingga menemukan informasi yang membuat napasnya tertahan."Nama wanita itu adalah June Christopher,
Angin malam yang dingin menyelinap di antara mereka, membawa serta ketegangan yang tak kasatmata. Di bawah sinar bulan yang pucat, wajah Grace memancarkan campuran keteguhan dan keresahan. Ethan berdiri tegap, matanya menatap Grace dengan intensitas yang sulit dijelaskan.Grace melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba menenangkan dirinya yang gemetar."Ada apa mencariku? Sepertinya ada masalah?" Ethan memecah kesunyian dengan suara rendah namun tajam, seperti pisau yang mengiris malam.Grace menatapnya lekat-lekat, berusaha membaca pikirannya. “Ethan Christophe … kenapa?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit, meskipun ia berusaha terdengar tegar.Ethan mengangkat satu alis, ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin. “Kenapa? Apa maksudmu?” balasnya dengan nada datar, seolah-olah ia sudah mengetahui arahnya percakapan ini, tapi menolak untuk mengakuinya.Grace menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirin
Grace memandang Wilson dengan tatapan heran. Anak kecil itu terlihat begitu yakin dengan ucapannya, seolah-olah ia tahu apa yang sedang dibicarakannya."Wilson, kamu kenapa bisa bicara seperti itu? Kamu masih anak-anak yang bahkan belum masuk sekolah," tanya Grace, suaranya penuh keheranan.Wilson menatap ibunya dengan ekspresi serius, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. "Mama, walaupun aku belum sekolah, tapi permintaanku tidak berlebihan. Mama tidak perlu mengeluarkan uang atau berkorban. Aku hanya ingin memanggil Paman Ethan sebagai papa. Karena dalam hidupku, aku memang kekurangan papa. Dan mama juga tidak ada pasangan di saat ini. Kenapa kalian tidak menikah saja?" tanya Wilson dengan nada polos, namun terus terang.Grace terkejut mendengar penuturan anaknya. Ia menelan ludah, bingung harus menanggapi bagaimana. "Sejak kapan anak sekecilmu bisa bicara soal urusan orang dewasa?" gumamnya lebih kepada dirinya sendiri daripada Wilson.Sementara itu, Ethan yang berdiri di sana tersenyu
Dari sisi lain, Grace berdiri tegak, menatap Sammy dengan mata yang penuh arti."Apa kamu masih ingat dengan rumah ini?" tanya Grace, suaranya tenang namun menusuk.Sammy berbalik, menatap Grace dengan wajah penuh tanya. “Apa yang ingin kau katakan? Sebenarnya apa yang kau ketahui?” tanyanya, nadanya mulai tegang.Grace berjalan pelan mendekat, matanya menelusuri setiap sudut rumah itu. “Rumah lama ini telah kamu tinggalkan 12 tahun yang lalu. Dan sekarang, setelah kembali dan berdiri di depannya, bagaimana perasaanmu?” tanyanya dengan nada tajam.Sammy menelan ludah, berusaha mengendal
"Cecillia, apakah kau melakukan itu untuk membalasku? Kau tahu kenapa aku pergi saat itu. Kalau aku tidak pergi, aku tidak akan hidup sampai sekarang. Papamu itu bukan manusia," ujar Sammy, suaranya terdengar getir dan penuh penyesalan. Ia menatap Grace dengan sorot mata yang tampak rapuh, seolah masih berharap bisa menjelaskan alasannya.Grace mendongak, matanya tajam menatap Sammy. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membalas dengan suara dingin, meskipun emosi di baliknya terasa kuat. "Aku tahu, Tapi kenapa kau meninggalkanku? Kau tahu aku sangat takut saat itu. Setiap dia pulang dengan wajah berseri-seri karena sudah mendapatkan korbannya, aku hanya bisa menggigil di kamar. Senyum jahatnya... itu membuatku jijik. Aku ketakutan. dan aku hanya bisa bersembunyi," katanya, suaranya pecah di akhir kalimat.Grace menatap Sammy lebih tajam, menahan emosi yang mendesak untuk tumpah. "Setiap kali dia melihatku, dia ingin memukulku. Kau ada di mana? Kau pergi begitu saja di
"Kenapa kau harus bersikap egois? Hidupku sudah hancur karena ayahmu. Dan kenapa sekarang kau tidak melepaskan aku? Cecillia, kau bisa pura-pura tidak tahu. Lupakan saja kami. Masih banyak penjahat yang harus kau tahan. Kenapa hanya kami yang menjadi sasaranmu," ujar Sammy dengan suara bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya memancarkan rasa frustasi yang mendalam.Grace menatap wanita di depannya dengan tajam, napasnya memburu, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Hancur hidupmu? Sehancur apa? Setelah pergi dari rumah, kamu bertemu dengan orang kaya dan menikah dengannya. Apakah ini masih dianggap hancur?" Ia tertawa sinis, namun suaranya penuh luka yang tertahan. "Lalu, bagaimana denganku? Apakah aku tidak hancur? Ketakutan, kedinginan, bahkan bermimpi buruk selama dua belas tahun! Kau menikmati hidup mewah selama ini. Sedangkan aku menghadapi semua masalah dengan cara sendiri. Kau tidak pernah ada untukku. Kau tidak layak menyalahkan aku!"Sammy terdiam
Wilson memperhatikan keanehan pada Ethan. Pria yang biasanya terlihat tenang dan tak tersentuh itu tampak berbeda hari ini. Matanya terlihat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin tumpah.“Apakah Paman sedang menangis?” tanya Wilson dengan nada polos namun penuh rasa ingin tahu. Anak kecil itu menatap Ethan dengan pandangan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik wajah sang pria dewasa.Ethan terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tidak,” katanya sambil mengusap kepala Wilson dengan lembut, mencoba menghilangkan kecemasan di wajah bocah itu.“Lalu, kenapa mata Paman merah? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Wilson lagi. Kali ini nadanya lebih serius, seperti seseorang yang tak mudah dibohongi.Ethan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan emosinya. “Paman hanya bangga padamu, Wilson. Di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa mandiri dan bersikap dewasa,” jawabn
Sementara itu, di halaman belakang markas, Ethan berdiri sambil memandang pemandangan yang jarang ia nikmati—putranya, Wilson, tengah bermain dengan beberapa anggota gengnya. Suara tawa Wilson bergema di udara, membawa kehangatan yang hampir membuat Ethan lupa akan masalah-masalah berat yang menantinya. Wilson tampak begitu gembira, berlari mengejar salah satu anggota yang pura-pura menyerah. Untuk sesaat, dunia Ethan terasa lebih ringan.Namun, keheningan Ethan terusik ketika Emil mulai membuka topik pembicaraan, "Bos, hasil tes DNA sudah keluar. Bagaimana Bos akan menjelaskan ini kepada Jaksa Shin?" tanya Emil dengan nada penuh kehati-hatian.Ethan mengambil amplop itu tanpa berkata-kata, menatapnya sejenak sebelum membuka hasil yang sudah ia duga. "Dia pasti akan menyerang Bos setelah mengetahui kenyataannya," timpal Ekin, yang berdiri di samping Emil, memperhatikan ekspresi bos mereka dengan cermat.Ethan menarik napas panjang, lalu menatap mereka deng
"Wilson, ikut Mama pulang. Karena ada yang harus Mama selesaikan!" kata Grace dengan nada tegas, meskipun hatinya terasa berat. Wilson, yang biasanya ceria, hanya menatap ibunya dengan bingung. Ia menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Grace. Mata Grace berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu yang hampir meledak, namun Wilson memilih diam.Beberapa saat kemudianEthan tiba di rumah dengan wajah penuh kegelisahan. Langkahnya cepat, tapi hatinya terasa berat. Begitu masuk ke kamar, ia melihat laporan DNA yang tergeletak di atas meja. Amplop itu kini tampak seperti bukti nyata yang tak bisa ia abaikan. Ethan menghela napas panjang, lalu mengambil laporan itu dengan tangan yang bergetar."Grace, sudah melihatnya," gumam Ethan, usai membaca laporan itu untuk yang kesekian kalinya. Ia mengusap wajah dengan frustrasi, mencoba mengurai kekacauan dalam pikirannya. Tatapannya beralih ke arah kasur, yang hanya terlihat mainan Wilson.Apartemen GraceGrace duduk
Ethan yang terdiam seketika seolah sedang teringat sesuatu, mendadak merasa panik. "Gawat! Laporan DNA ada di rumahku. Aku menyimpannya di kamar, dan aku juga tidak mengunci pintunya. Karena Wilson suka tidur di kamarku," batin Ethan, yang langsung berlari mengejar Grace."Grace Anderson, tunggu aku!" teriak Ethan sambil keluar dari markas dengan wajah penuh kecemasan."Bos, Jaksa itu sudah pergi," ujar salah satu anak buahnya, memberikan informasi dengan raut khawatir melihat reaksi bosnya.Tanpa menjawab, Ethan langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak peduli pandangan heran dari anak buahnya."Kenapa aku begitu lalai? Seharusnya aku kunci laci mejaku," gumam Ethan, sambil menggenggam erat setir. Matanya fokus ke jalanan di depannya, berusaha melewati kendaraan yang menghalangi. Mobil Grace sudah jauh di depan, dan Ethan harus mengejarnya sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
Grace mengemudikan mobilnya dengan perasaan lega. Ia baru saja menyelesaikan misi penting, menahan Dom Hart dan putranya, James, dua sosok yang selama ini selalu lolos dari kesalahan."Sammy, mungkin lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal. Aku sudah memiliki hidupku sendiri, dan kamu pilih jalanmu sendiri," gumamnya dengan suara penuh tekad, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang mungkin akan mengganggu jalannya ke depan.Beberapa saat kemudian, Grace menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung besar dengan penjagaan ketat—markas Ethan Christoper. Ia menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu utama yang dijaga beberapa anak buah Ethan."Jaksa Shin? Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Emil, dengan nada terkejut.Grace menatapnya tajam. "Aku ingin bertemu dengan Ethan. Apakah dia ada di sini?""Ada, dia sedang di kantornya. Silakan saja," jawa
Grace dan timnya melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana menjadi tegang seketika. Matanya langsung tertuju pada Dom dan Jamez yang tergeletak di lantai, darah mengalir deras dari betis mereka, dengan senjata tajam yang menancap dalam. Pemandangan itu membuat Grace terdiam sejenak, namun ia segera menguasai diri."Bawa mereka pergi!" perintah Grace dengan suara tegas, matanya tetap tajam.Grace kemudian memandang keluar, perasaannya tiba-tiba menjadi kaku. Ia melihat sosok seorang pria yang tak asing baginya. Tubuhnya mendadak tegang."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Grace, matanya menyipit, mencari tahu apakah ia salah lihat atau tidak.Teriakan Sammy keras memecah ketegangan. "Lepaskan suami dan anakku! Jangan sentuh mereka!" Sammy berlari ke depan, berusaha menghalangi para jaksa yang hendak memborgol Dom dan Jamez. Suaranya penuh emosi, penuh kekhawatiran.Sammy yang kesal menoleh ke arah Grace, matanya berkilat tajam dengan kemarahan yang
Berita gempar di siang itu mengguncang masyarakat. Namun, bukan bencana alam yang menjadi perhatian, melainkan pengungkapan kasus besar yang melibatkan pejabat-pejabat korup. Nama-nama besar seperti Dom Hart dan James Hart tercantum dalam daftar penangkapan, membuat kegemparan meluas di seluruh kota.Kemarahan masyarakat memuncak. Mereka mencemooh para pejabat yang telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Negara yang seharusnya makmur dan adil, kembali tercoreng oleh skandal korupsi. Gelombang protes mulai terlihat, baik di jalanan maupun di media sosial, menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.Di tengah kekacauan tersebut, Grace dan timnya tidak tinggal diam. Dengan langkah tegas, mereka mendatangi gedung kementerian, membawa surat perintah penangkapan. Setiap langkah mereka mencerminkan determinasi dan keberanian.Setibanya di gedung para menteri, Grace mengetuk pintu utama dengan tangan yang mantap. "Kami dari tim penegakan hukum. Ini surat perintah pe
"Kau tidak percaya dengan kataku?" tanya dengan nada serius. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Grace dengan tajam.Grace menghela napas panjang sebelum menjawab, berusaha menenangkan pikirannya. "Wilson tidak ada hubungan darah denganmu. Tidak ada alasan kau menjadikannya sebagai penerusmu," jawabnya tegas, mencoba menyampaikan logika di balik pemikirannya.Ethan mengangkat alis, senyumnya samar tapi penuh arti. "Aku dan Wilson sangat cocok. Dia juga menyukaiku!" katanya dengan percaya diri, seolah hal itu cukup untuk membenarkan tindakannya.Grace memutar bola matanya, merasa sulit untuk menerima alasan Ethan. "Aku akan segera menjemputnya," ujarnya dengan suara dingin. "Tidak baik tinggal di rumahmu begitu lama. Anak ini akan terbiasa jika dibiarkan seperti ini."Ethan mendengus kecil, tampak tidak setuju. "Jangan terlalu keras," ucapnya pelan namun tegas, nada suaranya sedikit melembut. "Lagi pula, kau sibuk seharian. Kalau dia bersamaku, dia aman. Ada anggotaku yang men
Sementara itu, di halaman belakang markas, Ethan berdiri sambil memandang pemandangan yang jarang ia nikmati—putranya, Wilson, tengah bermain dengan beberapa anggota gengnya. Suara tawa Wilson bergema di udara, membawa kehangatan yang hampir membuat Ethan lupa akan masalah-masalah berat yang menantinya. Wilson tampak begitu gembira, berlari mengejar salah satu anggota yang pura-pura menyerah. Untuk sesaat, dunia Ethan terasa lebih ringan.Namun, keheningan Ethan terusik ketika Emil mulai membuka topik pembicaraan, "Bos, hasil tes DNA sudah keluar. Bagaimana Bos akan menjelaskan ini kepada Jaksa Shin?" tanya Emil dengan nada penuh kehati-hatian.Ethan mengambil amplop itu tanpa berkata-kata, menatapnya sejenak sebelum membuka hasil yang sudah ia duga. "Dia pasti akan menyerang Bos setelah mengetahui kenyataannya," timpal Ekin, yang berdiri di samping Emil, memperhatikan ekspresi bos mereka dengan cermat.Ethan menarik napas panjang, lalu menatap mereka deng
Wilson memperhatikan keanehan pada Ethan. Pria yang biasanya terlihat tenang dan tak tersentuh itu tampak berbeda hari ini. Matanya terlihat merah, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin tumpah.“Apakah Paman sedang menangis?” tanya Wilson dengan nada polos namun penuh rasa ingin tahu. Anak kecil itu menatap Ethan dengan pandangan tajam, seolah berusaha membaca apa yang tersembunyi di balik wajah sang pria dewasa.Ethan terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tidak,” katanya sambil mengusap kepala Wilson dengan lembut, mencoba menghilangkan kecemasan di wajah bocah itu.“Lalu, kenapa mata Paman merah? Apakah terjadi sesuatu?” tanya Wilson lagi. Kali ini nadanya lebih serius, seperti seseorang yang tak mudah dibohongi.Ethan tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan emosinya. “Paman hanya bangga padamu, Wilson. Di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa mandiri dan bersikap dewasa,” jawabn
"Kenapa kau harus bersikap egois? Hidupku sudah hancur karena ayahmu. Dan kenapa sekarang kau tidak melepaskan aku? Cecillia, kau bisa pura-pura tidak tahu. Lupakan saja kami. Masih banyak penjahat yang harus kau tahan. Kenapa hanya kami yang menjadi sasaranmu," ujar Sammy dengan suara bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya memancarkan rasa frustasi yang mendalam.Grace menatap wanita di depannya dengan tajam, napasnya memburu, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Hancur hidupmu? Sehancur apa? Setelah pergi dari rumah, kamu bertemu dengan orang kaya dan menikah dengannya. Apakah ini masih dianggap hancur?" Ia tertawa sinis, namun suaranya penuh luka yang tertahan. "Lalu, bagaimana denganku? Apakah aku tidak hancur? Ketakutan, kedinginan, bahkan bermimpi buruk selama dua belas tahun! Kau menikmati hidup mewah selama ini. Sedangkan aku menghadapi semua masalah dengan cara sendiri. Kau tidak pernah ada untukku. Kau tidak layak menyalahkan aku!"Sammy terdiam