Terjadi ketegangan di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Luna yang tidak ingin melibatkan Rayyanza dalam hal apapun, spontan menujukkan reaksi tak sukanya. "Eum ... maaf, Manda. Bukan maksudku membentakmu. Aku hanya tidak ingin sampai merepotkanmu, apalagi jika sampai meminjam jas kepunyaan suamimu," terang Luna sembari terbata. "Kamu itu selalu saja berkata tidak ingin merepotkan! Aku sama sekali tidak pernah merasa direpotkan. Lagi pula, Rayyan pasti tidak akan keberatan untuk meminjamkan jasnya padamu. Ya, kan, Sayang?!" ucapnya yang dilanjut dengan menoleh ke arah Rayyanza. Pria tampan itu melepas jas hitam yang ia kenakan, menyisakan kemeja putih dengan dasi salur berwarna biru navy. Kemudian, menyerahkannya pada Luna. "Pakai saja. Aku hanya mengenakannya saat pergi dan pulang barusan. Jadi, samasekali tidak berbau dan tidak terkena keringatku!" Luna tidak ingin meraih jas yang disodorkan oleh Rayyanza. Ia menggeleng pelan dan lebih memilih menggigil menahan dingin.
Di sebuah kamar yang tidak terlalu luas dan tampak sederhana, dengan dinding berwarna soft cream yang mulai memudar. Luna berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya yang terlihat cantik. Ia menyisir rambutnya yang panjang dan masih basah. Suara musik dari ponsel yang tergeletak di atas meja rias mengalun dengan lembut, mengisi setiap sudut kamar dengan melodi yang menenangkan. Ia tersenyum tipis, menemukan ketenangan yang ia cari meskipun hanya untuk sementara waktu. Braaaak .... Luna tersentak oleh suara benturan pintu kamar yang terbuka secara tiba-tiba. Terlihat Nikita berdiri dengan raut memburu penuh emosi. "Loh ... kamu kenapa?" "Mana laki-laki itu, hah?! Apakah dia bersembunyi?" Luna mengerutkan dahi, "Apa maksudmu?" "Jas hitam yang di atas sofa itu pasti punya dia, kan? Tadi pagi aku bertemu dengannya di halteu bus. Ia mengenakan jas yang sama!" cecar Nikita. "Oh ... jas itu. Iya itu memang miliknya," jawab Luna seraya menyisir rambutnya, "tadi, aku bersama M
Luna melangkahkan kakinya di trotoar jalan. Hembusan angin menggoyangkan rambut panjangnya. Di tengah asiknya berjalan, suara klakson mobil tiba-tiba memecah kesunyian. Luna menoleh dan melihat mobil Rayyanza mendekat dari arah belakang. "Rayyanza? Sedang apa dia disini?!" gumamnya.Suami dari sahabatnya itu berhenti di sampingnya dan menurunkan kaca jendela. Wajahnya yang tampan mengembangkan senyum. Tapi, Luna merasa muak setiap kali melihatnya. Pasalnya, sudah berkali-kali ia menghindar namun Rayyanza terus mengganggunya. "Luna ... tunggu sebentar. Aku perlu bicara denganmu," kata Rayyanza, suaranya memohon. Wanita yang sudah merasa lelah akibat bekerja itu enggan menanggapi. Ia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh Rayyanza. "Tidak! Aku tidak mau berbicara denganmu!" ketus Luna. "Sebentar saja, Luna. Aku mohon." Luna menghela napas berat. "Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan, Rayyan. Pulanglah! Aku yakin Amanda sedang menunggumu di rumah." Tanpa menunggu j
Malam yang semula hangat itu, berubah menjadi penuh ketegangan. Rayyanza terdiam selama beberapa saat setelah Amanda melontarkan pertanyaan yang tajam. "Kamu sedang membayangkan siapa, hah? Kenapa kamu tidak bisa melihatku?!" Pertanyaan itu begitu mengguncangnya hingga ia tidak bisa langsung menjawabnya. Rayyanza terlihat kikuk dan salah tingkah. Namun, dengan cepat ia menjawab pertanyaan amanda secara asal."Aku tidak membayangkan siapapun. Aku hanya sedang meresapinya!"Mendengar jawaban Rayyanza, Amanda merasa jika suaminya tengah berbohong . Ia menolak melanjutkan aktivitas ranjang yang telah terhenti secara mendadak itu.Namun, pria yang merasa keinginannya belum terpenuhi itu tidak mau menerima penolakan tersebut. Ditambah dengan dorongan hasrat yang masih menggelora. Ia memaksa Amanda untuk melanjutkan aktivitas ranjangnya. "Ayo, Sayang. Aku masih menginginkannya." Bisik Rayyanza sembari menindih tubuh Amanda. Ia tidak memedulikan perasaan marah dan kecewa istrinya.Setelah
"Manda, aku benar-benar tidak yakin bisa datang. Pekerjaan ini mendesak sekali," jawab Luna, berusaha untuk tetap tegas.Namun, Amanda terus memohon. "Luna, tolonglah. Kedatanganmu penting bagiku. Aku ingin sahabatku ada di malam spesial ini. Lagipula, kamu kan bisa mengatur waktu. Aku yakin kamu bisa meluangkan sedikit waktu untukku."Luna merasa semakin terdesak. Ia tidak ingin mengecewakan Amanda, tetapi ia juga tahu bahwa kehadirannya bisa memperumit banyak hal. "Baiklah, Manda. Aku akan usahakan untuk datang, tapi tidak bisa lama-lama, ya?!"Mendengar itu, Amanda tersenyum lega. "Terima kasih, Luna! Aku sangat senang kalau kamu datang. Sampai bertemu nanti malam!""Oke, Manda," jawab Luna, meskipun hatinya masih diliputi keraguan dan kecemasan.Setelah percakapan berakhir, Amanda merasa puas telah meyakinkan sahabatnya untuk datang. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.Di sisi lain, Luna berusaha menenangkan pikirannya, mempersiapkan diri untuk menghadapi ma
Di sebuah halaman rumah mewah yang luas dan asri, pesta kejutan ulang tahun yang diadakan oleh Amanda untuk sang suami sedang berlangsung. Dihadiri oleh kerabat dekat dan keluarga yang merupakan seorang konglomerat. Suasana malam itu dipenuhi dengan tawa riang dan percakapan hangat. Lampu-lampu hias menggantung indah di pepohonan menerangi halaman dengan cahaya yang temaram, menambah kesan intim pada acara tersebut.Rayyanza, yang tengah berulang tahun tampak sangat tampan malam itu. Mengenakan setelan jas yang rapi. Aura percaya diri dan karismatiknya membuat semua mata tertuju padanya. Tidak hanya tampan, tetapi juga penuh pesona yang memikat hati banyak orang.Di salah satu sudut halaman, berbagai hidangan lezat dan minuman berjejer di atas meja panjang. Beraneka ragam jenis makanan mulai dari hidangan tradisional hingga internasional tersaji dengan rapi dan menggiurkan. Wangi harum dari masakan menyeruak menggoda setiap tamu yang lewat. Ada sushi, pasta, sate, dan berbagai kue-k
Pesta ulang tahun Rayyanza masih berlangsung dengan meriah. Musik lembut mengalun di antara gelak tawa dan percakapan para tamu. Namun, di sudut taman yang agak tersembunyi dari keramaian, suasana terasa berbeda."Ma, mungkin sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini sekarang. Ini kan pesta ulang tahunku," kata Rayyanza dengan lembut namun tegas sembari meraih tangan Amanda dan membawanya menjauh dari ibunya."Aku tidak mengerti kenapa Mamamu tidak suka aku berteman dengan Luna hanya karena dia bukan berasal dari kalangan seperti kita. Sudah lebih dari 10 tahun Luna menjadi sahabatku, tentu saja aku tidak mungkin melepasnya begitu saja!" bisik Amanda penuh penekanan."Aku tahu, Sayang. Luna adalah sahabatmu, dan dia sangat berarti bagimu. Aku juga tidak setuju dengan Mama, tapi mari kita coba untuk tidak memperkeruh suasana," jawab Rayyanza, memeluk Amanda untuk memberinya rasa nyaman.Mereka kembali ke tengah pesta, berusaha menikmati malam yang seharusnya penuh kebahagiaan. Karena
Masih berdiri di samping mobil Rayyanza, Nikita menatapnya dengan wajah serius. Udara pagi yang sejuk seakan tidak mampu meredakan ketegangan di antara mereka."Kak Rayyan, aku sudah memperingatkanmu berkali-kali," suara Nikita terdengar tegas. "Jangan pernah mendekati kakakku lagi. Selain karena Kak Manda, keluargamu juga tidak akan pernah menerima Kak Luna. Mereka tidak suka dengannya hanya karena dia berasal dari keluarga miskin."Rayyanza menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Nikita, aku tahu ini sulit. Tapi perasaanku pada Luna tidak bisa hilang!"Nikita menggeleng, tetap pada pendiriannya. "Ini bukan tentang perasaan, Kak. Ini tentang kenyataan!"Saat itu, suara bus sekolah terdengar mendekat. Nikita mengambil langkah mundur, bersiap untuk naik ke dalam bus."Aku harus pergi. Ingat dengan apa yang kukatakan barusan, Kak Rayyan," kata Nikita sebelum masuk ke dalam bus, meninggalkan Rayyanza yang terpaku di dalam mobilnya.Pria tampan itu t
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka