Di ranjang rumah sakit, Sharon mencoba yang terbaik untuk membuka matanya tetapi ia merasa kelopak matanya terlalu berat. Ia bisa mencium bau antiseptik, dan di alam bawah sadarnya, ia pikir ia masih terjebak di laboratorium bawah tanah Tammy. Dalam sekejap mata, pikirannya dibanjiri bayangan Gerald yang ingin menembak Simon. Itu membuatnya sangat terkejut sehingga ia berteriak keras dan membuka matanya. "Tidak! Simon..." Ia terengah-engah, dan langit-langit putih bersalju terpantul di matanya. Bip, bip. Suara peralatan medis bergema di telinganya. Bahkan sebelum ia kembali sadar, sosok seorang anak terlihat berlari ke sisi tempat tidurnya. "Bu, akhirnya Ibu bangun!" Sharon tersentak dan menoleh untuk melihat, hanya untuk menyadari itu adalah Sebastian. Pikirannya belum sepenuhnya jernih dan ia tidak dapat memahami alasan kemunculan putranya di kamar. Sebastian memperhatikan bahwa ibunya sedang linglung dan tidak berbicara sepatah kata pun. Itu hampir membuatnya menangis.
Eugene mendapat petunjuk dari tatapan yang dilontarkan Sharon padanya. Ia mengangkat bahu dan berkata, "Mereka sudah ketemu tapi dia nggak ungkapin identitasnya ke Sebastian." Simon belum mengungkapkan identitasnya kepada putranya. Eugene berpikir mungkin tidak nyaman untuk menyebutkannya, maka ia tidak memberi tahu Sebastian bahwa itu adalah ayahnya. Sharon bingung. 'Apa maksud dia dengan itu? Apa mungkin Simon nggak mau akuin putra mereka lagi?' "Di mana dia? Aku mau ketemu dengan dia." Eugene melihat jam nya. "Dia akan segera datang. Kami bergiliran menjaga kamu." Ia sudah tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Sebelumnya, tidak ada yang bisa memastikan kapan ia akan bangun. Oleh karena itu, mereka hanya bisa bergiliran menjaganya. Lagi pula, mereka masing-masing memiliki pekerjaan masing-masing untuk diselesaikan juga. Sementara mereka sedang berbicara, pintu kamar didorong terbuka dan Claude mendorong Simon masuk. Simon tercengang melihat Sharon terjaga. Ada kila
Sharon memperhatikan putranya telah salah memahami Simon. Ia berbicara mewakilinya, "Sebastian, ayah kamu bukannya sengaja ubah penampilannya jadi kita nggak bisa ngenalin dia. Penampilannya rusak dulu dan ini dia nggak punya pilihan selain operasi plastik." Sebastian tiba-tiba marah. Lagi pula, selama dua tahun terakhir, ia menyalahkan dirinya sendiri karena sebelumnya mengatakan kepada ayahnya ia ingin memutuskan hubungan dengannya. Setelah mendengarkan apa yang dikatakan ibunya, ia memikirkan kembali apa yang ia katakan. Ayah telah melaluinya. Ia bahkan perlu bergantung pada kursi roda untuk bergerak sekarang. Ini hanya menunjukkan betapa parahnya luka-lukanya selama ledakan itu. "Ayah, kamu cacat karena ledakan saat itu?" tanya Sebastian. "Iya." Simon mengangkat kepalanya sedikit. Jika bukan karena itu, bagaimana lagi ia akan berakhir cacat? Sharon benar. Sebenarnya, ia baru saja memperbaiki penampilannya. Sharon mengakui keterampilan Tammy sangat mengesankan. Mampu mem
Sebastian juga bisa membaca suasana. "Ok. Bu, harap sabar dan tunggu sebentar. Kami akan pergi beliin ibu sesuatu yang enak untuk dimakan." "Maaf repotin kalian, kalau gitu." kata Sharon sambil tersenyum. Setelah mereka keluar dari kamar, mereka menutup pintu kamar. Di dalam ruangan, Sharon dan Simon mengunci tatapan saat mereka saling memandang. Seolah-olah mereka memiliki ribuan hal untuk dikatakan satu sama lain namun tidak tahu harus mulai dari mana. Setelah beberapa saat, Simon menyentuh tangannya dan dengan lembut bertanya, "Apa lukamu masih sakit?" Sharon tampak sedih dan cemberut. "Tentu saja, mereka terluka. Kamu nggak tau, tapi waktu aku dikurung di lab bawah tanah itu, aku pikir aku akan mati di sana." Mata Simon menjadi redup, dan ia merasa sedih. "Aku nggak akan pernah biarin hal seperti itu terjadi lagi." Ia mendengar itu dan tanpa sadar menggenggam tangannya. "Aku nggak bermaksud nyalahin kamu. Aku cuma takut… Takut aku mungkin benar-benar mati ketika aku ada
Sharon memperhatikan ekspresi Simon yang tiba-tiba menjadi dingin, dan ia punya firasat buruk. Ia dengan lembut bertanya, "Ada apa? Kamu belum berhasil temuin dia? Apa Tammy masih belum mau serahkan dia?" Kilatan dingin di matanya menghilang dan ia menurunkan matanya untuk berkata, “Nggak. Aku udah temuin dia." Sharon menghela nafas lega. "Kalau begitu, bagus. Dia nggak apa-apa, kan? Apa dia juga dikurung Tammy?" "Aku sudah kirim orang untuk bawa dia pulang." Selama hari-hari ketika Sharon masih tidak sadarkan diri, Simon sudah mengatur pemakaman Franky. "Pulang? Gimana kabarnya?" 'Atau, kenapa dia pulang secepat ini?' Pada saat itu, Simon menatap mata Sharon yang penuh rasa ingin tahu. Ia diam cukup lama sebelum berbicara dengan lembut, "Abunya sudah dikirim pulang dengan selamat." Sharon tidak bisa bereaksi terhadap kata-kata itu ketika ia mendengarnya. Lalu Sharon bertanya, "Apa ... Apa yang kamu bilang? Abu apa? Franky, dia..." "Dia udah nggak ada. Dia ada di surg
“Dia nggak mau kamu nangis gara-gara dia. Lagipula, air mata kamu cuma bisa ditumpahkan untuk aku,” katanya dengan suara serak. Ia menundukkan kepalanya dan menempelkan bibirnya di sudut matanya, mencium air mata sebening kristal itu. Sharon merasa geli dan menahan nafas. Ia cemberut. "Kok kamu nggak masuk akal banget? Itu air mata aku dan aku bisa nangis kapan pun aku mau. Air mata aku bukan punya kamu." 'Dari kata-katanya, apa dia bilang aku perlu dapat izin dia untuk menangis?' "Semua milikmu adalah milikku. Tubuh kamu, hati kamu, air mata kamu..." Ia mengangkat tangannya dan menyisir rambut di wajahnya, menyelipkan untaian di belakang telinganya. "Lagi pula, aku nggak akan pernah bikin kamu netesin air mata bahkan setetes pun. Aku cuma mau lihat kamu senyum." Suara Simon cukup menyenangkan untuk didengarkan namun tetap terdengar cukup mendominasi. "Jadi apa harus aku senyum kalau kamu mau lihat aku senyum? Aku bukan orang yang disewa untuk senyum sama kamu." Ia sengaj
Simon pergi mengunjungi Tammy. Di kamar ICU, Tammy terbaring di ranjang rumah sakit sambil menggunakan ventilator. Kondisinya tidak terlihat terlalu baik. Ia baru saja bangun dan terus membuat keributan tentang keinginan untuk bertemu Simon, atau ia tidak akan menerima perawatan dokter. Jesse kehabisan akal dan buru-buru memanggil Simon. Saat Tammy melihat Simon, wajahnya yang awalnya tampak tak bernyawa, tiba-tiba berbinar. "Henry ..." Ia melambaikan tangannya ke arahnya, ingin meraihnya. Tanpa Simon di sisinya, ia merasa tidak aman. Namun, Simon menatapnya dengan ekspresi datar. Bahkan nadanya juga hambar. "Apa ada sesuatu yang kamu butuhin yang buat kamu panggil aku dengan tergesa-gesa?" Pada saat itu, Tammy harus beristirahat dan menerima perawatannya. Tammy masih mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh Simon.Namun, ia tidak dapat melakukannya. Ini membuatnya sangat cemas sehingga ia mulai terengah-engah. Simon mengerutkan alisnya dan mendekati ranjang rumah sakit. "
Tammy menatap mata Simon dan merasakan sensasi dingin yang perlahan menyelimutinya. Ada rasa dendam yang bersemayam di dalam hati Tammy. "Apa kamu benar-benar mau bersikap kasar sama aku?" "Selain sebagai istriku, aku bisa setujui permintaan lain yang kamu punya. Tapi aku cuma bisa menyetujui salah satu permintaanmu, sebagai tanda penghargaan karena kamu telah merawat aku sebelum ini." “Tapi aku cuma mau jadi istri kamu!” “Kalau gitu aku minta maaf soal itu. Aku nggak bisa penuhi permintaanmu itu." "Aku tahu kamu nggak punya hati. Aku nggak pernah kira kamu akan jadi nggak berperasaan ini!" Tammy merasa ia belum pernah mengenal Simon secara mendalam. "Nggak berperasaan?" Simon melengkungkan bibirnya dengan dingin. "Siapa yang nggak berperasaan sepertimu? Kamu tau Franky itu tangan kanan terbaikku, tapi jadiin dia spesimen kamu?" Ekspresi Tammy berubah. "Kamu... kamu udah temuin dia?" Segera, ia menambahkan, "Bukannya aku mau buat dia spesimen aku. Aku cuma mikir untuk