Sharon memperhatikan ekspresi Simon yang tiba-tiba menjadi dingin, dan ia punya firasat buruk. Ia dengan lembut bertanya, "Ada apa? Kamu belum berhasil temuin dia? Apa Tammy masih belum mau serahkan dia?" Kilatan dingin di matanya menghilang dan ia menurunkan matanya untuk berkata, “Nggak. Aku udah temuin dia." Sharon menghela nafas lega. "Kalau begitu, bagus. Dia nggak apa-apa, kan? Apa dia juga dikurung Tammy?" "Aku sudah kirim orang untuk bawa dia pulang." Selama hari-hari ketika Sharon masih tidak sadarkan diri, Simon sudah mengatur pemakaman Franky. "Pulang? Gimana kabarnya?" 'Atau, kenapa dia pulang secepat ini?' Pada saat itu, Simon menatap mata Sharon yang penuh rasa ingin tahu. Ia diam cukup lama sebelum berbicara dengan lembut, "Abunya sudah dikirim pulang dengan selamat." Sharon tidak bisa bereaksi terhadap kata-kata itu ketika ia mendengarnya. Lalu Sharon bertanya, "Apa ... Apa yang kamu bilang? Abu apa? Franky, dia..." "Dia udah nggak ada. Dia ada di surg
“Dia nggak mau kamu nangis gara-gara dia. Lagipula, air mata kamu cuma bisa ditumpahkan untuk aku,” katanya dengan suara serak. Ia menundukkan kepalanya dan menempelkan bibirnya di sudut matanya, mencium air mata sebening kristal itu. Sharon merasa geli dan menahan nafas. Ia cemberut. "Kok kamu nggak masuk akal banget? Itu air mata aku dan aku bisa nangis kapan pun aku mau. Air mata aku bukan punya kamu." 'Dari kata-katanya, apa dia bilang aku perlu dapat izin dia untuk menangis?' "Semua milikmu adalah milikku. Tubuh kamu, hati kamu, air mata kamu..." Ia mengangkat tangannya dan menyisir rambut di wajahnya, menyelipkan untaian di belakang telinganya. "Lagi pula, aku nggak akan pernah bikin kamu netesin air mata bahkan setetes pun. Aku cuma mau lihat kamu senyum." Suara Simon cukup menyenangkan untuk didengarkan namun tetap terdengar cukup mendominasi. "Jadi apa harus aku senyum kalau kamu mau lihat aku senyum? Aku bukan orang yang disewa untuk senyum sama kamu." Ia sengaj
Simon pergi mengunjungi Tammy. Di kamar ICU, Tammy terbaring di ranjang rumah sakit sambil menggunakan ventilator. Kondisinya tidak terlihat terlalu baik. Ia baru saja bangun dan terus membuat keributan tentang keinginan untuk bertemu Simon, atau ia tidak akan menerima perawatan dokter. Jesse kehabisan akal dan buru-buru memanggil Simon. Saat Tammy melihat Simon, wajahnya yang awalnya tampak tak bernyawa, tiba-tiba berbinar. "Henry ..." Ia melambaikan tangannya ke arahnya, ingin meraihnya. Tanpa Simon di sisinya, ia merasa tidak aman. Namun, Simon menatapnya dengan ekspresi datar. Bahkan nadanya juga hambar. "Apa ada sesuatu yang kamu butuhin yang buat kamu panggil aku dengan tergesa-gesa?" Pada saat itu, Tammy harus beristirahat dan menerima perawatannya. Tammy masih mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh Simon.Namun, ia tidak dapat melakukannya. Ini membuatnya sangat cemas sehingga ia mulai terengah-engah. Simon mengerutkan alisnya dan mendekati ranjang rumah sakit. "
Tammy menatap mata Simon dan merasakan sensasi dingin yang perlahan menyelimutinya. Ada rasa dendam yang bersemayam di dalam hati Tammy. "Apa kamu benar-benar mau bersikap kasar sama aku?" "Selain sebagai istriku, aku bisa setujui permintaan lain yang kamu punya. Tapi aku cuma bisa menyetujui salah satu permintaanmu, sebagai tanda penghargaan karena kamu telah merawat aku sebelum ini." “Tapi aku cuma mau jadi istri kamu!” “Kalau gitu aku minta maaf soal itu. Aku nggak bisa penuhi permintaanmu itu." "Aku tahu kamu nggak punya hati. Aku nggak pernah kira kamu akan jadi nggak berperasaan ini!" Tammy merasa ia belum pernah mengenal Simon secara mendalam. "Nggak berperasaan?" Simon melengkungkan bibirnya dengan dingin. "Siapa yang nggak berperasaan sepertimu? Kamu tau Franky itu tangan kanan terbaikku, tapi jadiin dia spesimen kamu?" Ekspresi Tammy berubah. "Kamu... kamu udah temuin dia?" Segera, ia menambahkan, "Bukannya aku mau buat dia spesimen aku. Aku cuma mikir untuk
Simon yang begitu proaktif malah membuat Sharon merasa aneh. Ia merasa itu lucu dan menatap Simon.Ia berkata sambil tersenyum, "Apa yang kamu bilang sama dia begitu? Apa maksud kamu nggak ketemu sama dia lagi?" 'Kurasa aku sama sekali nggak halangin kamu untuk ketemu Tammy, kan?' Simon sengaja beringsut ke depan Sharon dan napas hangatnya menerpa wajahnya. "Aku bilang sama dia aku cuma satu punya istri dan itu kamu dan dia nggak akan pernah punya kesempatan ini." Simon mengatakan komentar itu tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan ini membuat Sharon tidak dapat bereaksi terhadapnya."Dia ... dia minta jadi istri kamu?" Bahkan, dalam dugaan Sharon, Tammy tidak akan mudah menyerah. 'Hanya saja, bukannya Tammy benci Simon karena hancurin Chester Manor?' "Aku juga nggak tau apa yang harus aku lakukin lagi supaya dia nyerah." Simon mengerutkan kening karena ia hanya bisa mengatakan padanya bahwa mereka tidak akan pernah bertemu lagi.Selain itu, Simon tidak sepenuhnya memaafkan
Simon tiba-tiba menjadi begitu dekat di depannya. Matanya yang dalam menatap tepat ke arahnya. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar. "Jangan bilang kamu malu?" Sebelum Sharon sempat menjawab, Simon menambahkan, "Kita udah lama jadi pasangan, kenapa masih malu-malu?" Simon berpikir sejenak, dan seringainya semakin lebar. "Tapi kita memang kepisah lama ya.. Itu normal sih kalau kamu untuk malu." Simon bersikap pengertian karena Sharon selalu mudah tersipu. "Sejak... sejak kapan aku malu?" Tanpa sadar, setelah mengatakannya, Sharon menyesalinya. Ia seharusnya mengakuinya. Setidaknya, Simon masih akan mencari perawat atau penyedia layanan kesehatan lainnya. "Nggak malu? Jadi itu berarti kamu pikir aku nggak guna dan nggak bisa jaga kamu?""Aku nggak maksud begitu..." "Kalau begitu jangan cari perawat. Aku akan bantu kamu." Simon menambahkan dengan sangat cepat. Sharon membuka mulutnya, tetapi ia menyadari ia tidak bisa memaksa dirinya untuk menolaknya. Ia tidak ber
Ada tempat tidur lain di kamar dan Simon berbaring di tempat tidur itu. Seperti yang disebutkan Sharon sebelumnya. Karena tempat tidurnya terlalu kecil, dan mereka tidak bisa tidur bersama, maka membiarkan Simon tidur di tempat tidur yang lain juga bisa dianggap sebagai tidur bersama. Tempat tidur lainnya digeser dan ditempatkan di dekat miliknya. Ia bisa meraih tangannya jika ia mengulurkan tangannya. Saat ini, mereka berpegangan tangan satu sama lain. Ia juga tidak tahu mengapa ia tiba-tiba menempel pada Simon seperti ini. Ia takut Simon akan pergi begitu ia membuka matanya. "Kalau begitu aku mau tidur. Selamat malam."Sharon memiringkan kepalanya dan berkata kepada Simon. "Selamat malam." Simon menggenggam tangannya dan mencium punggung tangannya. Simon memperhatikannya dengan tenang sampai ia tertidur. Tangan mereka masih berpegangan satu sama lain dan akhirnya, ia juga memejamkan mata. Tepat ketika Simon hendak tertidur, ia mengendus aroma yang sangat aneh. Ia ingin m
"Aku bilang berikan pisau itu pada aku!" Tammy meraung. Jesse tidak ingin Tammy mengamuk. Oleh karena itu, ia hanya bisa memberikan pisau tajam padanya. "Nona Tammy..." "Tutup mulutmu!" Tammy segera memotongnya dengan kejam. Ia beringsut lebih dekat ke bagian depan Sharon dan menatap wajahnya yang masih agak pucat. Tammy merasa wajah Sharon tidak terlalu cantik jika dilihat dari keadaan, namun ia tidak bisa menahan rasa cemburu. "Aku akan hancurin wajahmu sekarang. Aku mau lihat apa Henry masih menginginkan kamu atau nggak ketika saatnya tiba." Tammy tersenyum dingin. Mungkin Sharon telah merasakan bahayanya atau mungkin ia tidak terlalu menikmati ekstasi karena ia hanya tertidur lelap, saat ini, ia mulai perlahan bangun. Sharon membuka matanya dan melihat sebilah pisau tajam tersaji di hadapannya. Matanya melebar drastis. Melihat lebih dekat, ia memperhatikan penampilan Tammy dan yang terakhir bibirnya melengkung menjadi seringai dingin. Sharon mengira ia sedang bermimpi