Howard mencibir. Sharon harus dipecat kali ini.Simon terdiam beberapa saat. Ia samar-samar melirik tangan Sharon yang terbakar dan diperban dan berkata dengan nada monoton, "Kamu nggak perlu lagi mengerjakan proyek Mountain Linguistic City. Kerjakan proyek lain dengan orang lain dulu."Ia menatap mata Howard. Suaranya semakin dingin. "Sebagai direktur desain, kamu juga harus disalahkan atas apa yang terjadi. Kamu nggak perlu menjadi direktur lagi. Laporkan ke departemen logistik dan biasakan diri Kamu dengan aturan dan peraturan perusahaan terlebih dahulu."Ekspresi Howard tenggelam. 'Apa saya diturunkan pangkatnya?'Sharon menatap kosong ke arah Simon. 'Dia nggak memecatku?'Bukan ini yang diinginkan Penelope. Ia segera berkata, "Simon ..."Simon tiba-tiba bangkit. "Baiklah, itu saja untuk saat ini. Saya harus pergi, ada klien penting, dan kamu bisa balik kerja." Dengan itu, ia menyuruh sekretarisnya untuk mengikutinya keluar.Hati Penelope terbakar amarah ketika ia diinterupsi. Ia s
Sharon diam-diam mengepalkan tangannya di sisinya. Fiona pasti sangat memfitnah namanya sampai buat Penelope berpikir buruk tentangnya.Omong-omong, Fiona mungkin saja pembunuh ayahnya. Kemarahan mengancam dan mendidih di hati Sharon.Sharon hening sesaat dan Penelope membuka laci dan mengeluarkan cek, meletakkannya di atas meja dan mendorongnya ke arah Sharon. “Ada cukup uang di sini untuk kamu hidup dengan mudah selama sisa hidup kamu. Kalau kamu pinter, kamu akan ambil ini dan ceraikan Simon lalu bisa pergi dengan tenang.”Sharon melihat cek itu. Angka yang tertulis di sana benar-benar luar biasa baginya.Penelope pasti sudah menyiapkan cek ini jauh-jauh hari ya? Semua itu agar ia bisa mengusir Sharon.Bibir Sharon membentuk seringai mencela.Penelope melihat ekspresinya dan berkata dengan sedikit jijik, “Kenapa, terlalu dikit untuk kamu? Saya kasih tau ya, hanya ini yang bisa saya kasih kepada kamu. Jangan berharap kamu bisa peras lebih banyak uang dari Zachary.”Sharon bertemu pan
Mungkin kata-kata Sharon masuk akal baginya. Ekspresi Penelope terlihat rumit, emosi di matanya berubah berulang kali.Anak? Ia tidak akan pernah memiliki anak sendiri seumur hidup ini. Simon adalah putra yang dibesarkannya seorang diri!Sharon berjalan keluar dari kantor Penelope dan langsung menuju lift. Begitu masuk, ia akhirnya membiarkan membuat punggungnya yang dari tadi tegak agar sedikit rileks dan menarik napas dalam-dalam. Itu sangat mencekiknya. Ia khawatir Penelope akan kehilangan kesabaran dan mengusirnya dari perusahaan.Tidak lama setelah Sharon kembali ke departemen desain, ia melihat Howard muncul dengan sebuah kotak kardus besar di tangannya. Kotak itu penuh dengan barang-barangnya. Sepertinya ia secara resmi pindah ke logistik sekarang.Pemandangan itu membuat suasana hati Sharon yang buruk jadi membaik karena suatu alasan. Ia harus memberi Simon pujian untuk itu. Ia memindahkan Howard ke departemen logistic jadi ia dapat belajar lebih lanjut tentang cara kerja perus
Kaki Sharon tiba-tiba berhenti. "Apa katamu? Ada kejadian apa??"Riley bilang ia ada di rumah sakit dan meminta Sharon untuk datang.Sharon sangat khawatir jadi ia buru-buru mengambil cuti dan berlari ke rumah sakit.Pada saat ia tiba di sana, Riley sudah muncul dari UGD dan sekarang terbaring di ranjang rumah sakit.“Gimana kondisi kamu, Riley? Kok bisa kecelakaan?" Saat Sharon memasuki kamar rumah sakit, ia melihat kaki kanan Riley terbungkus plester. Ia pasti terluka cukup parah.Riley terlihat sangat marah. “Aku bener bener gak beruntung hari ini!”Ia menumpahkan isi amarahnya pada Sharon. Tadi saat sedang melakukan pengiriman ke kliennya, padahal sudah mengemudi di jalan yang benar tapi ada sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi tepat ke arahnya saat ia berbelok di tikungan.Akibatnya, kaki kanannya patah dan hampir kehilangan nyawanya.Jantung Sharon berdetak kencang ketika ia mendengar cerita Riley dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata, "Apa ... Dia nabrak kam
Menurut Sharon, perilaku pria tadi itu tidak masuk akal. Ia duduk di sisi tempat tidur dan berkata, “Oke, oke. Kamu kan masih sakit, jadi tenang aja ya. Kalau marah marah terus nggak akan bikin pulih.”"Shar, aku ngak mau tinggal di rumah sakit," kata Riley, menarik tangannya dengan menyedihkan."Kalo lukanya begini, mau ga mau sih.""Kalau begitu, bisa nggak kamu jenguk aku tiap hari?" Riley menatapnya dengan sedih.Sharon memikirkannya. Lagi pula, tidak ada yang lebih baik untuk ia lakukan di kantor dan Riley terluka parah. Ia tidak bisa memaksa dirinya untuk mengatakan tidak. “Ok, aku bakal datang jenguk kapanpun aku punya waktu.”Ekspresi Riley berubah dalam sekejap. "Betul? Janji ya? Jangan lupa bawa putra baptisku kalau jenguk ke sini.”Sharon tahu ekspresi sedih Riley tadi cuma akting, tapi... Ia tenggelam dalam pikirannya sejenak. Ia bahkan tidak bisa bertemu putranya sekarang, apalagi membawanya ke sini.Ia tidak kasih tahu Riley bahwa ia telah diusir oleh keluarga Zachary, j
Douglas terlalu tua untuk ini, tetapi anak laki-laki itu adalah cucu tertuanya. Itu adalah tugasnya untuk mencintai anak itu!“Oke, oke, duduk saja di sana dan jangan bergerak. Aku akan telepon ayah kamu sekarang dan minta dia pulang.” Douglas tidak bisa memikirkan hal lain. Bahkan meski dia kemarin ia sepakat untuk mengusir Sharon tapi sekarang yang satu satunya ia inginkan adalah agar wanita itu segera pulang."Yang bener kek? Apa kakek bener mau izinin ibu pulang?” Bocah itu berhenti menangis dan menatap lelaki tua itu dengan sungguh-sungguh dari atas pohon."Iya dong! Kapan aku pernah bohong padamu? Jadi turun sekarang, ya?” Jantung Douglas tidak bisa berhenti berdebar ketika dia melihat bocah itu duduk di pohon yang begitu tinggi. Bagaimana jika sesuatu terjadi dan dia jatuh? Oh, Tuhan!"Nggak! Saya hanya akan turun ketika saya lihat Ibu! Aku ingin ibu pulang!” Sebastian tidak begitu mudah dibodohi.Douglas khawatir dia akan jatuh jika dia terus memukul-mukul, jadi dia buru-buru s
”Ibu aku mau ikut dengan Ibu! Aku tidak mau jauh dari Ibu!” Anak itu memeluk Ibunya dengan erat dan menolak untuk melepaskan pelukannya.Simon terdiam, ekspresinya sulit dibaca. Wajah tua Douglas berubah. Apakah ia ingin aku memohon untuk ia pulang?“Jangan khawatir. Aku yang menyuruhmu pulang, jadi tidak ada orang yang akan memintamu keluar selama ada aku disini.”Douglas tidak punya pilihan selain menerima Sharon pulang demi cucunya.“Karena Ayah bilang begitu, ya lakukan saja. Tidak perlu khawatir.” Simon akhirnya berbicara, tatapannya tidak terduga.“Iya, Bu! Karena Kakek bilang begitu, kembali dan tinggal sama aku lagi aja!” anak itu berteriak.Sharon tidak terlalu ingin kembali, tetapi anaknya ada disini dan ia lebih baik tidak tinggal dengan Simon diluar. Ia tidak nyaman tinggal dengannya.Tapi, ia tidak punya pilihan selain mengangguk. “Iya, aku akan pindah kesini lagi.”Dengan kata-kata pria tua itu, Penelope akan lebih susah mengusirnya lagi.Malam itu, Penelope mas
Sharon melihat Penelope pergi dari ruang makan. Ia sudah mengira Penelope akan bereaksi seperti ini.Sejak ia pulang, ia sudah mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi Penelope. Tidak akan ada yang mengusir ia dengan mudah kali ini.Setelah makan malam, Douglas membawa Sebastian untuk bermain Catur Cina, sementara Simon sedang menelepon di koridor.Sharon naik keatas untuk membereskan kopernya. Baju-baju yang sudah dipindahkan ke kondominium pribadi Simon sebelumnya sudah sampai di rumahnya.Di tangga, ia bertemu dengan Penelope yang sedang turun ke bawah. Jalannya sempit sehingga mata mereka bertemu dan suasana menjadi tegang.“Kakak Penelope.” Saat Penelope melihat ke Sharon, Sharon menyapanya ramah.“Jangan panggil aku Kakak! Aku bukan Kakakmu!” Penelope berteriak tanpa ampun.Sharon dengan tenang menutup mulutnya. “Kamu nggak perlu anggap aku adik iparmu, tapi aku akan tetap memanggilmu Kakak.”Mata Penelope penuh dengan rasa hina. “Nggak punya malu ya? Nggak heran kamu pul