[POV Fany]
-----
Mengutip kata-kata bijak dari orang paling tidak bijak yang aku kenal, 'doa yang penting berasal dari hati langsung ke Tuhan'. Mau di gereja California, atau di New York, sama saja. Yang penting doaku tulus.
Pantatku mati rasa setelah lima jam duduk di kursi kayu panjang dalam gereja, memandang patung raksasa Jesus tersalib. Doa-ku simpel, kesehatan Adrian, semoga dia cepat bebas. Doa-ku yang lain tolong beri kesempatan untukku bertemu dengan Ayah.
Derap kaki mendekat, dia duduk di sebelahku. "Kamu betah berada di sini?" bisik Alex.
Anggukan aku kira cukup untuk menjawabnya supaya dia pergi, tapi Alex malah memejam sambil merapatkan kedua telapak tangan ke depan dada. Dia berdoa?
Lucunya, bukan membatin tapi dia se
[POV Adrian]-----Kebenaran adalah obat terbaik. Walau pahit, apa pun realita yang menanti itu yang ingin aku ketahui.Puluhan pria berjas dan polisi mengawalku keluar dari gedung pengadilan. Beberapa wartawan menyerbu seperti tawon, tapi polisi menghalangi mereka. Aku merasa istimewa, seperti presiden dijaga ketat.Tiga mobil sedan hitam menantiku di tepi jalan.Belum juga kami naik mobil, wajah yang kukenal menyapa menghampiriku. Sontak dua pria berjas memasukkan tangan ke balik jas, seakan ingin mengeluarkan senjata untuk menjagaku."Tidak apa, dia sahabatku."Big B merangkul erat. Aroma keringat semerbak dari badan kekarnya yang len
[POV Adrian]-----Aku tahu ini bisa menjadi kotak pandora yang ketika dibuka, akan muncul banyak setan. Persetan. Apapun isinya, akan kuterima dengan lapang dada.Menggenggam telapak tanganku, Ibu menghela napas panjang. Aku tahu ini akan menjadi cerita panjang.Suara Ibu terdengar lembut, sedikit serak. Pasti berat baginya. Maafkan aku Bu."Alfred dulu sakit-sakitan. Dia terkena penyakit gagal ginjal dan terpaksa harus dioperasi. Ayahmu dan Ibu mendatangi rumah keluarga Carlone untuk meminjam uang."Biaya operasi sangat mahal. Kebetulan, ayahmu terkenal sebagai pengemudi terbaik di California. Entah apa yang ayahmu lakukan, tapi dia pergi selama dua tahun.
[POV Fany] ----- Kerangkeng mini. Begitu keadaan limosin ini. Seluruh jendela tertutup. Musik smooth jas menemaniku dan Alex. Aku ingin segera membuka SD card, tapi lupa ada satu hal yang menjurangi untuk itu. Walau niat kuat tanpa alat untuk menyetel itu, bagaimana bisa? Menonton jalan basah karena hujan rintik, aku mencoba berpikir keras kemana hilangnya handphone mu? Apa tertinggal di California? Ya Tuhan, bantu aku mengingatnya. "Kenapa diam saja?" Suara lembut Alex memecah lamunanku. "kan sudah bertemu kedua orang tuamu." Dia menawari secangkir kopi panas. "Tidak terima kasih. Alex, handphone-ku hilang. Aku but7h handphone baru."
[POV Fany]-----Sempurna sudah, tempat ini menjadi sarangku.Kututup gorden terakhir. Cahaya handphone menjadi sumber penerangan yang menunjukkan jalanku menuju kasur besar.Membanting diri ke kasur, badanku memantul seperti bola bekel. Kupakai earbud, terlentang menyetel rekaman suara Ayah. Ini dia saat yang aku nanti. Kira-kira ayah bicara apa?Selain rekaman suara ayah, banyak video, rekaman musik, juga foto. Sebelum menyetel menu utama aku membuka foto.Foto dan video ketika aku kecil digendong ayah membuat senyumku merekah. Sedikit kenanganku bersama beliau karena kesibukannya, jadi momen-momen itu begitu spesial. Aku mencoba beberapa musik klasik dan country. Ayah paham benar
[POV Adrian]-----Keadaan sepi kembali ketika para Carlone dan Mancini pergi ke hotel terdekat. Alfred menemaniku dalam diam, duduk berselonjor kaki meneguk bir."Kamu yakin tidak mau minum?"Aku menggeleng. Janjiku pada Fany harus diutamakan."Apa cerita Santino bisa dipercaya?" tanyaku."Benar-benar tidak terduga. Siapa sangka jika demi perusahaan, Paman tega membongkar persembunyian Ayah." Melempar botol kosong hingga pecah membentur pohon, Alfred mengumpat berkali-kali.Dia sangat dekat dengan paman. Bahkan Paman membiayai kuliahnya. "Sekarang bagaimana. Apa kita balas dendam atau bagaimana?"
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia