Alina, yang berusaha terlihat nggak peduli, cuma mendengarkan sambil menunduk ke buku catatannya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. 'Ya jelas lah nggak nggak datang latihan. Dua hari lalu, dia menikahi gue secara diam-diam.' Alina ingin menampar dirinya sendiri karena pikiran itu. Nggak ada yang bisa tahu, terutama orang tua Arion, apalagi dua anak laki-laki ini. Cuma kakek Arion dan kerabat dekatnya yang tahu. Juga Daniel... lebih tepatnya. Luther menatap Valerian dengan alis terangkat. "Menurut lo dia ke mana?" Valerian mengangkat bahu, "Mungkin dia punya pacar rahasia. Maksud gue, itu ngejelasin kenapa dia nggak pernah cerita soal kehidupan pribadinya lagi ke gue." Alina tersentak sedikit, tapi buru-buru menutupi reaksinya dengan membalik halaman buku catatannya. Luther memperhatikan gerak-geriknya, meskipun dia nggak ngomong apa-apa. "Apa mungkin dia sakit. Tapi, yah, itu emang aneh. Apalagi buat Arion." Valerian menoleh ke Alina ia baru menyadari keberad
Clarissa memulai, suaranya manis tapi penuh sindiran, menggema di kelas yang sunyi. “Alina Sari Mentari,” katanya dengan nada yang super dramatis. Semua mata langsung fokus ke arah Clarissa, dan Alina bisa ngerasain tatapan mereka yang kepo banget, nungguin drama yang bakal dia ceritain. Dalam kondisi lain, mungkin Alina bakal ngerasa sakit hati. Tapi sekarang? Nggak. Setelah semua yang dia lewatin, hinaan dan omongan miring kayak gini udah jadi makanan sehari-hari. Cuma kali ini, pas Clarissa mulai buka mulut, ada sesuatu di dalam diri Alina yang ngerasa cukup udah cukup. “Alina itu, bener-bener gadis paling… kasihan, ya, nggak sih?” suara Clarissa nyerempet sinis. “Kalian tahu, dia tuh sering tidur sama cowok-cowok dewasa.” Clarissa ketawa kecil, diikuti tawa temen-temennya yang duduk di sekelilingnya. “Oh, terus lo pada tahu nggak, siapa yang sempet ngancem bokap gue biar bisa sekolah di sini? Tentu aja, Alina.” Tatapan Clarissa berubah jadi penuh ejekan, matanya menatap Alina d
Gue nggak habis pikir, aneh banget ketemu sama orang yang katanya pernah ‘tidur’ bareng, dan sekarang duduk santai di samping anaknya. Alina sempat melirik Clarissa, mencoba menahan rasa nggak nyaman yang muncul. 'Apa mungkin Clarissa ngira gue ini ibunya?' pikirnya, sambil menahan kesal. “Selamat siang, Pak,” ucap Alina sambil sedikit membungkuk sopan, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Direktur Eric menoleh, wajahnya langsung kelihatan sumringah begitu lihat Alina. “Alina... akhirnya kita ketemu lagi. Dan… siapa ini?” Darren, yang dari tadi berdiri di sebelah Alina, langsung nyodorin tangan dengan ramah. “Darren, Pak. Terima kasih banget atas beasiswa sepakbola yang saya dapat. Saya sama beberapa teman lainnya sekarang bisa masuk sekolah HIA ini.” Direktur Eric menjabat tangan Darren sambil tetap tersenyum lebar. “Bagus sekali. Tapi, Darren, bisa tunggu sebentar di sebelah sana? Media nasional HorizoNews bakal mulai wawancara sebentar lagi sama Clarissa, Arion, da
"Alina..." Alina terhenyak dari lamunannya ketika suara Direktur Eric memanggil namanya. Ia mendongak, mendapati pria itu berdiri nggak jauh darinya, ditemani oleh Arion dan Clarissa. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih berat. Direktur Eric baru saja menyelesaikan pembayaran uang sekolah Alina, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. “Baiklah, mari kita selesaikan ini,” ujar Direktur dengan nada ramah, sambil memberikan senyum tipis. Dia merangkul bahu Alina dan mengarahkannya ke bagian administrasi. “Besok kamu masih harus sekolah, jadi pulanglah dan istirahat.” Istirahat. Kata itu menggoda, namun kenyataannya bakal jauh dari itu. Malam-malamnya di rumah bersama teman-temannya jarang tenang. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan senyum, ingin secepat mungkin keluar dari situasi ini. Dengan pernikahan rahasia yang nggak diinginkannya bersama Arion, ditambah kebencian yang jelas dari Clarissa, Alina berharap nggak perlu banyak berinteraksi dengan mereka di sekolah es
"Gue... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther bilang lo terkunci di dalam sama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian udah kenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Lo tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi lo beneran nggak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Dia merasa nggak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, nggak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Gue baik-baik saja." Darren mengerutkan kening, tidak sep
"Gue bisa bayangin rasanya kehilangan orang tua. Berat banget, pasti. Gue bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus lo harus ke sini… masuk sekolah elit, jadi sorotan kamera, terus Clarissa lagi. Gue tahu itu pasti bikin semuanya makin ribet buat lo. Gue nggak seharusnya jadi cowok nyebelin yang malah bikin lo kesel di tengah semua ini." Alina senyum kecil, berusaha bikin suasana lebih santai. "Lo nggak bikin gue kesel, kok." Dia pura-pura lihat sekeliling. "Lagipula, gue nggak lihat siapa pun yang datang buat bikin gue tambah kesel." "Semoga aja nggak ada. Kalau ada, suasananya bakal makin awkward dari sekarang." Alina terkekeh kecil. Sebagian rasa berat di pundaknya perlahan menghilang. "Tapi serius," Darren lanjut, nurunin tangannya ke samping. "Gue cuma mau lo tahu, gue nggak ada niat jahat. Gue malah seneng bisa ketemu lo di sini. Menurut gue, lo itu menarik, lucu, dan..." Darren mendadak berhenti, nyadar kalau omongannya mulai kedengeran aneh. Dia ketawa gugup. "E
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Jangan bikin malu ya, Nak. Kamu tahu sendiri dunia olahraga ini kayak apa. Nggak cukup cuma jadi pemain bagus. Kamu harus jadi yang terbaik! Kita udah usaha keras buat sampai di titik ini, jangan sampai sia-sia. Ayah yakin kamu bisa!" Pak Remi menepuk bahu Arion lagi, kali ini lebih keras. Arion mengangguk kecil, tapi ekspresi kosong masih menghiasi wajahnya. Nyonya Mahendra mengangguk singkat ke arah Arion, tapi tetap berdiri di samping putrinya, yang namanya—dari yang Arion pernah bilang—adalah Tasha Mahendra. Keduanya sama-sama berambut ikal, tapi mata Tasha lebih tajam dan dalam seperti ayahnya, bukan mata bulat lebar seperti ibunya. Tasha kelihatan keren dengan crop top hitam branded, rok mini denim, dan sneakers putih. Sementara Nyonya Mahendra mengenakan setelan celana panjang warna putih yang pas di tubuhnya. Tasha bahkan nggak repot-repot buat menoleh atau sekadar menyapa kakaknya. Pandangannya tetap terkunci di layar ponselnya, jarinya lincah mengetik entah apa. Al
Arion: Sayang? Gue nggak bisa nahan dia. Alina mendesah pelan sebelum membalas pesannya. Alina: Gue percaya lo, tapi itu bukan alasan buat lo jadi kursi manusia, kan? Tepat saat itu, suara pilot terdengar lewat interkom. "Kita sudah diizinkan lepas landas, dan penerbangan ini akan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Kita diperkirakan tiba di Bali sekitar pukul dua siang. Jika kalian belum mengenakan sabuk pengaman, mohon segera kenakan sekarang." Alina membuka Spotify di ponselnya, memilih lagu dari playlist-nya, berusaha mengabaikan suara Clarissa yang masih terus mencari perhatian. Matanya mulai terasa berat. Seks bersama Arion tengah malam tadi jelas bukan ide bagus, apalagi mengingat mereka harus jaga jarak selama liburan ini. *** Beberapa waktu kemudian… Air mulai memenuhi mobil. Alina tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ibunya lemas, tapi belum meninggal… belum. Tapi tetap saja, dia meninggalkannya. Tangisannya tertahan di tenggorokannya, tubuhnya
Clarissa memutar mata, jengkel karena Arion justru membalikkan situasi. "Hah, dasar. Terserah lo aja," gumamnya sebelum berbalik masuk ke pesawat. Begitu Clarissa menjauh, Arion menurunkan tangannya dan berbisik ke Alina, "Tenang aja, gue nggak bakal bikin lo malu di depan dia." Alina masuk ke pesawat, dia langsung menuju ke bagian yang memiliki dua baris kursi dengan kursi abu-abu gelap yang saling berhadapan. Clarissa sudah duduk di salah satu kursi di sebelah kanan, dengan kakinya yang telanjang nyentuh karpet abu-abu. Alina memilih duduk di seberang lorong dari Clarissa. Pramugari setengah baya datang dan mengambil tas Alina dari Arion, kemudian membawanya ke bagian belakang pesawat yang tampaknya lebih nyaman, dengan sofa dan TV. Alina sempat berharap bisa berada di bagian itu, betapa asiknya menjadi orang kaya. Clarissa menunjuk ke kursi di depannya. "Sayang, lo bisa duduk di sini sambil pijitin kaki gue," ujarnya sambil bersandar dan mengangkat kakinya ke arah Arion.
Arion mengerutkan kening. “Kenapa? Ada apa?” “Bisa nggak kita jalan sambil gue cerita? Gue nggak nyaman di sini terus.” Arion mengangguk, lalu menginjak pedal gas, memundurkan mobilnya keluar dari tempat parkir. Dari kursi penumpang, Alina menarik napas dalam. Tapi tatapan Arion yang terus mengawasinya bikin dia makin gugup. Cowok itu mendengus. “Lo bikin gue penasaran banget, sumpah. Gue bukan orang yang sabar, tahu.” Daripada kebanyakan mikir, Alina akhirnya cerita aja semuanya. Semakin lama Alina bicara, ekspresi Arion semakin serius. “Dengar, gue pengin banget lo ada di sana pas liburan,” kata Arion sambil meraih tangan Alina dan meremasnya sebentar sebelum melanjutkan, “Tapi lo nggak bisa gabung sama Clarissa.” Alina menghela napas. “Ya gue juga nggak mau kali. Tapi kalau gue nolak, menurut lo apa yang bakal terjadi?” Arion mengembuskan napas panjang. “Bakal ribet banget. Lo bener, Clarissa pasti nggak bakal tinggal diam. Gue juga nggak tahu harus ngasih solus
Sesaat, gue kehilangan kata-kata setelah melihat tatapan nyebelin Ines. "Apa, Ines? Lo mau ngomong apa?" Ines menjilat bibir bawahnya, pandangannya ke mana-mana kecuali ke Alina. Setelah berdeham sebentar, akhirnya dia buka suara. "Jadi, lo ngapain aja selama liburan akhir semester?" Alina melongo sebentar, bertanya-tanya apakah dia barusan salah dengar. "Maksudnya lo mau ngejek gue kan? Karena gue hidup sebatang kara jadi nggak punya siapa-siapa buat ngabisin waktu liburan?" Alina udah cukup stres mikirin minggu depan. Dia nggak punya keluarga buat menghabiskan liburan bareng, dan meskipun Arion sempat nawarin buat tinggal di rumahnya, Alina nolak. Arion harus ngabisin waktu sama keluarganya. Kalau dia nggak pulang, pasti bakal memunculkan banyak pertanyaan. "Nggak, gue—" Ines mendelik sebentar sebelum mendengus. "Gue cuma penasaran, lo bakal pergi ke suatu tempat nggak? Ya lo tahu... sama seseorang." Dan di sinilah mereka lagi. Balik ke pembicaraan tentang Darren. A
Alina kacau balau. Dia pengen banget ngebanting gelas wine di meja tadi. Daniel dan Clarissa? Mereka adalah duet maut pengacau yang rasanya emang ditakdirkan buat bikin hidupnya makin berantakan. Tangan Alina sedikit gemetar. Dia udah nggak sanggup berada di pesta itu. Matanya juga mulai memanas saat dia terburu-buru menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti begitu saja saat mendengar suara keras di kejauhan. Itu suara Daniel dan Arion. Alina berdiri di sudut ruangan, mengintip Arion yang masih tampak tegang setelah perdebatan panasnya dengan Daniel. Beberapa saat kemudian, Arion melihatnya dan berjalan mendekatinya. Langkahnya cepat, dan aura dinginnya begitu terasa hingga membuat Alina menahan napas. "Lo denger semua tadi?" Alina menggeleng pelan, tapi raut wajahnya jelas penuh tanda tanya. "Gue nggak denger, tapi gue lihat. Kenapa lo sama Daniel selalu ribut kayak gitu?" Arion mengembuskan napas panjang, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus menjelaskan
Arion menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Mata elangnya fokus ke Clarissa, yang sekarang berdiri dengan seringai menyebalkan, lalu beralih ke Daniel. “Gue bahkan nggak ngerti kenapa lo ada di sini sama Daniel, Clarissa,” ucap Arion dingin, suaranya menusuk. “Lo bahkan bukan bagian dari keluarga kita. Lo cuma…” “Cuma apa?” potong Clarissa sambil melipat tangan, ekspresinya puas. “Cuma seseorang yang lebih paham keluarga lo dibanding lo sendiri? Aduh, jangan terlalu sensi deh Arion sayang.” Clarissa tersenyum tipis, lalu tanpa permisi melingkarkan tangannya ke lengan Arion. "Gue udah dianggap keluarga sama bokap lo. Bahkan Pak Remi bilang, dia sedih banget waktu tau kita putus. Dia selalu bilang gue adalah calon yang sempurna buat jadi istri lo. Bahkan kedua keluarga kita udah setuju soal pernikahan itu, kan?" Nada suara Clarissa penuh rasa percaya diri, tapi Arion menepis tangan Clarissa dengan kasar, wajahnya semakin dingin. Ada sedikit rasa puas di hati Alin
Setelah mereka masuk, Arion langsung lepasin tangan Alina, dan Loly cabut bergabung sama segerombolan cowok. "Abis ngapain lo bareng Arion?" bisik Lara tiba-tiba, sambil narik lenganku menjauh. Dia melirik Arion yang lagi berdiri jauh, tapi matanya ngikutin Alina kayak elang. Alina jadi salah tingkah. Abis tadi dia sama Arion bermesraan. Tapi Alina cuman senyum tipis, berusaha nyembunyiin mukanya yang pasti udah semerah kepiting rebus. "Ayo main blackjack!" Lara nyengir sambil narik Alina lagi. "Gue bayarin uang mukanya!" "Seriusan?" Lara langsung narik tangan Alina dari genggamannya. "Lo pada beneran main pake duit asli?" Nada Alina nggak yakin, meskipun seharusnya dia nggak perlu kaget. "Ya iyalah!" "Gue nonton aja deh," Alina nyoba menghindar. 'Mana mungkin gue ikut-ikutan ngeluarin duit yang bahkan bukan duit gue.' "Nggak ada cerita nonton doang! Lo juga harus main. Santai aja, uang mukanya cuma 10 ribu kok," katanya santai. "10 ribu?" "100 ribu," poton
Alina bisa merasakan perhatian Arion di punggungnya, kayak ada arus listrik yang mengalir deras di antara mereka. "Alina," suaranya serak dan bikin telinga Alina gatel-gatel. Alina buru-buru balik badan, bahunya nggak sengaja nyentuh dadanya. "Lo cantik banget," Arion bilang, matanya turun ke bibir Alina. Alina mundur selangkah, dan Arion maju selangkah. Jarak di antara mereka makin tipis, napas Alina juga makin nggak beraturan. "Cuma cantik?" Alina pura-pura bercanda, meskipun suaranya terdengar goyah. Arion tiba-tiba nyamber pinggul Alina dan menariknya lebih dekat. "Bukan cuma cantik," katanya, suaranya rendah. "Cantik banget. Seksi banget sampai gue nggak bisa berhenti bayangin bibir merah lo melingkari punya gue di mobil gue." Arion narik Alina untuk pergi ke arah mobilnya di parkiran. Alina nelen ludah, panik campur malu. "Arion, di sini banyak orang..." Dia melirik kanan-kiri, takut ada orang yang ngelihat. Arion malah ketawa kecil, seolah nggak peduli.