"Alina..." Alina terhenyak dari lamunannya ketika suara Direktur Eric memanggil namanya. Ia mendongak, mendapati pria itu berdiri nggak jauh darinya, ditemani oleh Arion dan Clarissa. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih berat. Direktur Eric baru saja menyelesaikan pembayaran uang sekolah Alina, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. “Baiklah, mari kita selesaikan ini,” ujar Direktur dengan nada ramah, sambil memberikan senyum tipis. Dia merangkul bahu Alina dan mengarahkannya ke bagian administrasi. “Besok kamu masih harus sekolah, jadi pulanglah dan istirahat.” Istirahat. Kata itu menggoda, namun kenyataannya bakal jauh dari itu. Malam-malamnya di rumah bersama teman-temannya jarang tenang. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan senyum, ingin secepat mungkin keluar dari situasi ini. Dengan pernikahan rahasia yang nggak diinginkannya bersama Arion, ditambah kebencian yang jelas dari Clarissa, Alina berharap nggak perlu banyak berinteraksi dengan mereka di sekolah es
"Gue... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther bilang lo terkunci di dalam sama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian udah kenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Lo tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi lo beneran nggak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Dia merasa nggak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, nggak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Gue baik-baik saja." Darren mengerutkan kening, tidak sep
"Gue bisa bayangin rasanya kehilangan orang tua. Berat banget, pasti. Gue bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus lo harus ke sini… masuk sekolah elit, jadi sorotan kamera, terus Clarissa lagi. Gue tahu itu pasti bikin semuanya makin ribet buat lo. Gue nggak seharusnya jadi cowok nyebelin yang malah bikin lo kesel di tengah semua ini." Alina senyum kecil, berusaha bikin suasana lebih santai. "Lo nggak bikin gue kesel, kok." Dia pura-pura lihat sekeliling. "Lagipula, gue nggak lihat siapa pun yang datang buat bikin gue tambah kesel." "Semoga aja nggak ada. Kalau ada, suasananya bakal makin awkward dari sekarang." Alina terkekeh kecil. Sebagian rasa berat di pundaknya perlahan menghilang. "Tapi serius," Darren lanjut, nurunin tangannya ke samping. "Gue cuma mau lo tahu, gue nggak ada niat jahat. Gue malah seneng bisa ketemu lo di sini. Menurut gue, lo itu menarik, lucu, dan..." Darren mendadak berhenti, nyadar kalau omongannya mulai kedengeran aneh. Dia ketawa gugup. "E
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion. "Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat." Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.” Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mengajak kita ber
"Ya, kami mencari sesuatu yang pas untuk pertemuan dengan keluarga saya." Dia sedikit menekankan kata keluarga dengan sengaja. Alina berusaha menahan tawa, tapi gagal. "Keluarga? Kita kan cuma... ehm... sah-sah aja." Dia melempar senyum yang lebih ke arah mengejek. Pramuniaga yang mendengar itu hanya tersenyum kaku, sementara Arion menatap Alina dengan ekspresi yang bisa dibilang hampir cemas. "Ayo, jangan bikin kakekku ngerasa kita ini belum siap." Lalu, mereka mulai mencoba berbagai pilihan pakaian. Arion langsung memilihkan setelan jas hitam yang sangat formal. "Coba ini," katanya sambil mengulurkannya pada Alina. Alina mengernyit. "Aku gak mau kelihatan kayak bodyguard mu!" Dia meletakkan jas itu kembali dengan kasar. Arion melangkah lebih jauh ke dalam toko dan mengambil beberapa gaun, kemudian menggantungnya di depan Alina. "Coba ini. Kakek bakal suka," katanya, sedikit memaksakan. Alina melirik gaun-gaun tersebut dan hampir tertawa. "Ya ampun, Arion, apa kamu pik
Mereka sampai di helipad pribadi. Angin dari baling-baling helikopter mulai terasa meski belum menyala penuh. Kakek Hadi berdiri di dekat pagar pembatas, mengenakan jas ringan, sementara Alina dan Arion baru tiba. Alina membawa kantung kecil, berlari kecil menghampiri kakek, sementara Arion berjalan dengan santai di belakangnya. "Kakek! Wah, kakek terlihat luar biasa hari ini! Aku bahkan hampir tidak mengenali kakek!" Tanpa ragu, Alina memeluk kakek dengan erat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi kakek yang jauh lebih baik. Kakek tertawa kecil. "Alina, anak baikku. Lihat aku sekarang. Aku tidak butuh tongkat lagi, bahkan siap naik helikopter. Semua ini karena kamu!" Alina melepas pelukan, mata berbinarnya memandang kakek. "Kek, saya senang sekali. Kesehatan kakek benar-benar membaik. Saya sampai tidak percaya melihatnya!" "Sudah kubilang, kan, Alina? Kakek jadi luar biasa setelah pernikahan kita. Tapi aku juga nggak menyangka sampai secepat ini." "Arion, jangan mere
BRAKK! Pintu kamar terbuka dengan kasar. Arion tetap bersikap santai, sementara Alina tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang, dan ia refleks beringsut menjauh, tapi pegangan Arion di pinggangnya terlalu erat. "Apa-apaan ini, Arion? Kenapa ada dia di kamarmu?" suara Pak Remi terdengar tajam, sorot matanya penuh tekanan. Arion melirik sekilas ke arah ayahnya sebelum menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan adegan bersambung. "Aku cuma nonton sama dia. Itu aja. Kalau nggak keberatan, kita mau lanjut," jawabnya santai. Pak Remi semakin kesal, rahangnya mengeras. "Kamu mau bikin masalah apalagi? Clarissa nangis tadi, dia sampai telepon Eric sambil sesenggukan!" Arion menghela napas panjang, lalu meraih remote untuk mematikan TV. "Aku nggak pernah nyuruh dia ngurusin hidupku yah, jadi aku nggak ngerti kenapa ayah malah nyalahin aku." Alina menahan napas. Cara Arion menanggapi ayahnya begitu cuek, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, Pak Remi jelas-jelas tida
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d
“Jangan bandingin Alina sama nyokap gue.” Arion mendengus, ekspresinya penuh rasa muak. “Lo nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi stop ngomong asal.” Alina meletakkan tangannya di punggung Arion, berusaha menenangkannya. Tapi tubuh Arion justru makin tegang, jelas dia sedang berusaha menahan amarahnya. Clarissa melipat tangan dan memutar matanya. “Ya ampun, lo bisa yakin dari mana? Gara-gara dia pura-pura kena serangan panik di pesawat? Jangan bego, deh. Itu cuma otak bawah lo yang ngomong. Atau lebih tepatnya, kelamin lo.” Ruangan langsung terasa lebih sunyi. Napas Arion terdengar berat, dan Alina merasa seperti ada sesuatu yang akan meledak kapan saja. "Lo tahu nggak sih kalau Alina tiap hari jalan kaki ke sekolah?" "Terus kenapa?" Clarissa menatap malas sambil menghentakkan kakinya. "Lo juga tahu nggak kalau dia pulang kerja malem-malem, sendirian, pas keadaan udah nggak aman?" Clarissa mengangkat bahu santai. "Tapi nyatanya dia baik-baik aja, kan?" "Terus k
Loly ketawa di ujung telepon. “Gue ngerti lo pengen banget sampai dia... you know, keluar di dalem. Tapi please, jangan lakuin itu—” “Apa sih? Nggak bakal lah,” Alina memotong cepat sebelum menutup telepon. Dia mendengus. Hamil di saat hidupnya masih berantakan? Itu hal terakhir yang Alina butuhkan. Dan dia juga nggak bakal pernah ngelakuin itu sama Arion. Rasa penasaran menggelitik dirinya saat dia berjalan cepat ke pintu belakang. Begitu dibuka, seorang cowok berdiri di ambang pintu, posturnya memenuhi kusen pintu. Celana jins dan kemeja polo warna sage yang dia pakai begitu pas di badannya. Mata cokelatnya berkilat jahil. “Hei. Lo pasti kangen sama gue.” Alina mendengus, melipat tangan di dada. “Gue kira lo tukang service mesin cuci.” Arion terkekeh pendek sebelum menariknya dalam ciuman. Alina nggak ragu buat membalas. Tangannya mencengkeram kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Lidah mereka beradu, napas saling berburu. Arion menggeram rendah, memeluknya erat
Dengan langkah cepat, Alina keluar dari toko dan berdiri di luar. Udara segar sedikit membantunya bernapas lebih lega. Rasa sepi tiba-tiba menyerangnya. Dia rela ngelakuin apa aja buat bisa menelepon orang tuanya. Untuk sekadar denger suara mereka lagi. Tapi sayangnya itu cuma angan-angan. Nggak ada yang bakal nyariin dia lagi. *** Beberapa jam kemudian, Alina menemukan sedikit penghiburan di kamar sementaranya... kalau bisa dibilang begitu. Kamar itu gede banget, dua kali lipat ukuran ruang tamu rumah yang pernah dia tinggali sama orang tuanya dulu. Dia rebahan di atas tempat tidur king-size dengan headboard berbulu warna krem, matanya menatap kosong ke dinding putih pucat. Bahkan seprai di kasur itu putih dan krem, seakan-akan orang yang mendekorasi ruangan ini benci warna-warna cerah. Tapi jendelanya rapi, bagian atasnya melengkung, dan langsung menghadap halaman belakang. Sebuah TV besar tergantung di dinding, dan tanpa banyak berpikir, dia menyalakannya. Ponselnya b
"Iya, Pak. Ini kamar pasiennya," jawab suara perempuan, mungkin perawat yang berjaga. "Kami sudah usir wartawan, dan kami bakal pastikan nggak ada orang luar yang masuk sembarangan." "Bagus," kata suara laki-laki itu. "Anak ini udah cukup menderita. Dia nggak perlu media sok tahu ganggu hidupnya. Yang terpenting adalah dia bisa sembuh dan melanjutkan hidup. Itulah alasan saya ada di sini." Dia berhenti sebentar. "Ini, ambil kartu nama saya. Semua biaya rumah sakit yang nggak ditanggung asuransi, saya yang bayar." "Baik, Pak!" "Oh iya, satu lagi." Suaranya jadi lebih rendah, tapi tetep tegas. "Nggak ada yang boleh ngomong sama dia tanpa seizin saya. Ngerti?" Alina duduk tegak di tempat tidurnya, jantungnya mulai deg-degan. Itu suara yang dia kenal. Suara yang biasa dia dengar di TV atau berita politik. Orang itu… Eric Clapton Wijaya. Direktur Horizon International Academy. Kenapa dia ada di sini? Dia nggak perlu nunggu lama buat dapat jawaban. Pintu kamar
Alina menelan ludah. Tawanya hampir pecah cuma karena mendengar angka itu. "Bajunya bagus, tapi makasih." "Lo gak seru," Tasha mendengus lalu kembali membolak-balik pakaian. Sementara itu, Clarissa dan Tasha terus memilih baju satu per satu, menyerahkannya pada pramuniaga untuk ditaruh di ruang ganti. Setelah sekitar empat puluh lima menit, Tasha akhirnya berkata, "Gue mau coba beberapa baju." "Gue nyusul," sahut Clarissa tanpa mengalihkan pandangan dari rak pakaian. "Jangan mutusin apa pun sebelum gue lihat itu di badan lo." Saat Tasha bergegas pergi, Clarissa melangkah cepat ke arah Alina, membawa gaun ungu yang tadi sempat ia tunjukkan. Alina tahu ada sesuatu yang direncanakan Clarissa. Kepalanya berteriak ingin kabur, tapi nggak ada tempat untuk lari. "Inget ya," desis Clarissa. "Apa?" Clarissa menusukkan jarinya ke dada Alina, senyumnya menghilang. "Lo tuh nggak cocok ada di sini." Alina cuma terkekeh sinis. "Lo yang ngajak gue ke sini, inget? Atau lo udah
Arion baru aja buka mulut, "Tasha, udah tiga bulan sejak terakhir kali gue ketemu lo—" Tapi sebelum dia bisa lanjut, Tasha buru-buru menjatuhkan ponselnya ke meja. "Ayah! Please deh! Aku kan juga mau shopping!" Arion cuma diam, cahaya emas di matanya meredup. Awalnya, dia emang mau ngobrol sama adik tirinya, tapi jelas-jelas belanja lebih menarik buat Tasha daripada kakaknya sendiri. Pak Remi Mahendra melirik putrinya, alisnya berkerut. "Tapi Arion baru sampai, kan?" "Biarin aja, Yah. Lebih baik Tasha ikut jalan-jalan dengan Clarissa daripada dia sibuk main hp terus," kata Nyonya Mahendra sambil mengusap lengan suaminya. Pak Remi menghela napas pelan. Dengan ekspresi datar Arion mengibaskan tangannya. "Udahlah, biarin aja dia. Aku juga butuh istirahat." Suasana makin canggung. Arion berharap bisa punya waktu bareng keluarganya, tapi yang dia dapet malah ini. Tasha bahkan lebih milih jalan sama Clarissa daripada ngobrol sama kakaknya sendiri. Akhirnya, Pak Remi nge