Alina berdiri dan berjalan ke dapur, berusaha keras buat gak menyenggol tubuh Arion. Dia menyindir sambil melirik, "Lo bilang lo lebih pilih nongkrong di rumah gue daripada pulang atau pergi ke party perayaan?" Arion angkat bahu sambil mengedipkan mata. "Party itu berisik, dan temen-temen tim gue suka ngelakuin hal aneh. Lagian, kalau gue mau jadi pemain profesional, gue gak bisa seenaknya sama tubuh gue. Gue juga harus bangun pagi buat ketemu seseorang soal program yang bakal dia mulai. Jadi, party tengah malem itu jelas bukan pilihan gue." Alina bisa ngerasain semangat Arion. Itu udah kerasa sejak pertama kali Alina bertemu dengannya. Mungkin itu juga yang bikin Arion beda. "Kalau lo lapar, berarti gue juga." Alina ngeraih lengan Arion dan menariknya ke dapur, "Kuy kita santai bareng sambil ngemil." Beberapa menit kemudian, mereka udah duduk di sofa, masing-masing di ujung yang berlawanan. Di depan mereka ada tumpukan makanan, sementara series di TV terus muter. Bebera
Jantung Alina langsung deg-degan. Bukan karena nggak suka rumah Arion—jujur rumahnya jauh lebih mewah dibanding tempat dia tinggal—tapi mereka bakal berduaan di sana. Kalau berduaan, siapa yang bisa menjamin Alina bakal tetap waras? Alina terlalu tertarik sama Arion sekarang. "Gue udah janji mau ngumpul sama teman-teman serumah gue malam ini. Kenapa lo nggak ikut aja? Kita bisa cari tontonan bareng di sana." Arion kelihatan sempat mikir, alisnya mengerut sebelum akhirnya dia santai lagi. "Lo yakin mereka nggak keberatan kalau gue ikutan?" "Nggak bakal keberatan, kok. Mereka malah mungkin senang karena bisa kenalan lebih dekat sama lo." Alina tersenyum kecil sambil mencoba santai, padahal dalam hatinya berharap mereka nggak bakal kepo berlebihan. "Dan gue juga pengen lo ada di sana," tambah Alina pelan sambil mengalihkan pandangan ke jendela. Arion mengangguk, matanya kelihatan sedikit berbinar. "Kalau itu yang lo mau, gue sih ngikut aja," katanya sambil masukin gi
'Oke, stop. Gue harus berhenti.. Gue sama dia cuma sepakat buat temenan. Dan hal terakhir yang gue lakuin adalah ngefans sama pantat, dada berotot, atau rahang Arion yang tegas.. Yuk bisa yuk. Stop mikirin itu, Alina... Sekarang juga, please.' Darren ngambil Kratingdaeng-nya lagi, tapi Alina langsung cegah tangannya. “Lo udah makan belum?” “Belum! Dia belum makan,” Glen nimbrung. “Udah gue suruh dia makan dari tadi, tapi dia malah keukeuh minum itu doang.” “Minuman energi bukan makanan,” kata Alina sambil angkat alis dan nyamber botolnya. “Ngapain lo ke sini kalau nggak fit begini?” Darren megang kepalanya lagi. “Gue harus belajar buat ujian besok, tapi kalau latihan dulu gue pasti tepar.” “Yah, lo nggak bakal bisa fokus belajar dengan keadaan kayak gini.” Alina berdiri dan pegang lengannya. “Kenapa kita nggak makan dulu? Gue juga lapar. Kalau lo makan, lo bakal lebih enakan dan siap buat latihan.” Alina tahu Darren nggak bakal nolak kalau dia pikir Alina juga butuh makan.
Clarissa menatapnya lama, lalu mengangguk. “Bagus. Kalau gitu, semoga lo tetap fokus.” Setelah itu, dia pergi begitu aja. Begitu dia pergi, Alina langsung kirim pesan ke Arion, ngasih tahu semua yang baru aja terjadi, terus minta Loly buat jemput. Loly bales cepat, bilang bakal dateng nanti. Setelah itu, Alina jalan ke kantin. Darren masih di sana, mukanya cemberut ngelihatin pilihan makanan yang ada. Alina ketawa kecil. Setidaknya ada satu hal yang bikin hari ini lebih baik: Darren akhirnya belajar buat nggak gegabah. Kemudian... beberapa minggu berikutnya berlalu begitu aja. Sudah pertengahan September, dan Arion masih rutin nganterin Alina ke sekolah. Dia cuma sampai parkiran, nggak pernah sampai ke gedung sekolah. Malamnya, dia juga selalu tepat waktu antar jemput Alina ke tempat kerja. Alina mulai terbiasa sama keberadaannya. Bahkan, ada beberapa kali dia iseng nge-chat Arion cuma buat ngajak jalan atau sekadar ketemu. Alina benci mengakui ini, tapi lama kelamaan Alina
"Val. Jangan ganggu Alina lagi. Lo ngerti maksud gue, kan?" Semua orang tahu siapa yang ngomong, bahkan tanpa harus nengok. Valerian langsung menyeringai, dan berhenti mengganggu Alina. Arion ngeliatin Alina sebentar, terus kembali fokus ke ujian, meski wajahnya masih menunjukkan ketegangan yang nggak hilang begitu aja. Lalu gak lama, Pak Rangga mengumumkan kalau sudah waktunya ngumpulin kertas ujian. Luther, sebagai ketua kelas, langsung berdiri dan mulai berjalan ke depan untuk ngumpulin kertas dari murid-murid. Setelah tugasnya selesai, dia bilang ke Pak Rangga kalau dia perlu ke kantor sebentar. Setelah beberapa menit, Luther masuk kembali ke kelas sambil ngos-ngosan. Matanya tampak panik, dan dia langsung mendekati Arion yang duduk tenang di bangku belakang. "Arion, lo harus dengerin gue!" Luther ngomong sambil berusaha ngatur napasnya yang masih berat. Arion yang tadinya asyik dengan buku di mejanya, langsung menoleh ke Luther. "Kenapa lo panik banget?" Luther hamp
Arion menyuruh Luther untuk pergi lebih dulu. "Pagi Daniel." Sebenarnya waktu Luther bilang Daniel tiba-tiba nongol, Alina langsung mikir, pasti ada hubungannya sama insiden di pertandingan minggu lalu. Dia kan pelatih kepala dan serius soal reputasi tim. Mungkin dia mau ngomong sama kepala sekolah atau ngurus laporan resmi soal tabrakan itu. Ada kejadian yang nggak diinginkan sebelumnya. Alina inget jelas momen itu. Arion lagi ngejar bola ke arah gawang lawan. Gerakannya cepat, kayak biasa. Tapi di detik berikutnya, pemain bertahan lawan datang dari samping, tabrakan nggak terhindarkan. Suara benturannya kedengeran jelas, sampai bikin Alina kaget. Pemain lawan jatuh duluan, kepala membentur tanah, sementara Arion cuma terhuyung sebelum balik berdiri. Daniel langsung ngelambaiin tangannya ke wasit, nyuruh Alina maju ke lapangan. Tapi pas dia jalan ke arah pemain yang jatuh, wasit malah fokus ke Arion. Mereka debat soal tabrakan itu—apakah pelanggaran atau nggak. Pemain lawan m
Alina melangkah masuk ke kelas dengan santai, tapi perhatiannya langsung tersedot ke keributan di pojok ruangan. Di sana, Arion lagi nangkring sambil menoyor kepala Valerian. “Gara-gara lo,” terdengar suara santai Arion. Valerian malah terkekeh santai sambil menangkis tangan Arion. “Ya ampun, bro. Gue enggak sengaja, sumpah! Lagian, lo juga yang salah duduk di situ.” “Apa urusannya salah gue? Lo tuh yang ceroboh!” Alina yang baru aja masuk cuma nangkep kata-kata itu sekilas, tapi jelas ada sesuatu yang aneh. Alina nggak tahan buat nggak penasaran, jadi dia mendekat. Saat Alina jalan ke arah mereka, mata Arion langsung ngelirik. Tatapannya tajam, kayak lagi ngelihat sesuatu yang nggak bisa dia baca. Sementara Valerian, ya ampun, dasar cowok playboy kelas, dia malah sempet-sempetnya mengedipkan mata ke arah Alina. “Eh, Alina! Lo pas banget dateng. Sini, duduk deket gue aja. Arion lagi bad mood, kayaknya butuh cewek buat nenangin.” Alina lihat Arion yang memperhatikanny
“Kayanya seru ngobrol sama Bu Sylvia,” kata Valerian, sambil senyum nakal. “Tapi saya lebih suka ngabisin waktu sama kelompok kimia saya... apalagi lihatin pasangan di depan kita beraksi biar tahu apa itu pemanas tangan.” Dia dan Luther langsung ketawa barengan. Alina langsung ngerasa panas banget di pipi. Ini sih udah bener-bener malu, apalagi Valerian dan Luther kayak nggak berhenti ketawa, sementara Arion tetep santai aja. Alina menunduk, berusaha nyembunyiin mukanya yang udah merah, dan tiba-tiba Alina menemukan tatapan tajam Clarissa di belakangnya. Dia nengok pelan, dan… jelas banget dia cemburu, matanya nyaris meledak. 'Mampus aja gue.' "Jadi apa sebenarnya penghangat tangan itu, Bu?" "Kimia termal, Arion," jawab Bu Sylvia datar sambil tetap fokus ke buku catatan. "Kita pakai buat menghangatkan tangan." Arion malah menyeringai, senyumnya lebar dan sombong banget. Dia sedikit menoleh ke Alina, ekspresinya udah ketebak bakal ngomong sesuatu yang ngeselin. "Tapi gue ya
enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia
BRAKK! Pintu kamar terbuka dengan kasar. Arion tetap bersikap santai, sementara Alina tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang, dan ia refleks beringsut menjauh, tapi pegangan Arion di pinggangnya terlalu erat. "Apa-apaan ini, Arion? Kenapa ada dia di kamarmu?" suara Pak Remi terdengar tajam, sorot matanya penuh tekanan. Arion melirik sekilas ke arah ayahnya sebelum menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan adegan bersambung. "Aku cuma nonton sama dia. Itu aja. Kalau nggak keberatan, kita mau lanjut," jawabnya santai. Pak Remi semakin kesal, rahangnya mengeras. "Kamu mau bikin masalah apalagi? Clarissa nangis tadi, dia sampai telepon Eric sambil sesenggukan!" Arion menghela napas panjang, lalu meraih remote untuk mematikan TV. "Aku nggak pernah nyuruh dia ngurusin hidupku yah, jadi aku nggak ngerti kenapa ayah malah nyalahin aku." Alina menahan napas. Cara Arion menanggapi ayahnya begitu cuek, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, Pak Remi jelas-jelas tidak
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d