Jam menunjukkan pukul 09.30, Sia sudah bersiap untuk piknik di luar bersama Arsa menikmati bukit yang katanya bagus di wilayah tersebut. Sia menyetujuinya, kemana saja asal bersama Arsa, Sia siap ujarnya.
Sesudah berpakaian dengan rapi, ia langsung turun ke bawah menghampiri Bi Jami yang sedang mengaduk kopi hitam, "Bi," panggil Sia sambil menyenggol lengan Bibi Jami.
"Astaga Non, bikin kaget aja," ucapnya. Hampir saja air panas tidak tumpah ke tangan Bi Jami.
Si empu hanya cengar-cengir melihatnya, "Bi, bikinin bekal dong," pinta Sia.
Bi Jami lantas menoleh ke arahnya, "Untuk apa? Mau dibawa ke atas?"
Sia menggeleng cepat seraya mengambil ponselnya di saku celana dan memperlihatkan gambar makanan, "Bekal gini yang lucu-lucu gitu, buat aku bawa jalan-jalan bareng Arsa. Bisa ga, Bi?"
Bi Jami menjentikkan jarinya, "Ini mah kecil, gampang buat Bibi mah. Mau dibawa kapan?"
Sia menepuk tangannya, "Wih Bibi hebat, kalau b
Sebelumnya, maaf kepada para pembaca. Karena akhir-akhir ini saya sibuk dengan urusan pribadi saya dan karena itu sampai tak ada waktu untuk menulis novel ini, saya akan berusaha untuk meluangkan waktu untuk update novel secepatnya. Maka dari itu terimakasih kepada semuanya. — Salam hangat, nadjae🥰💗
Sudah hampir seminggu Arsa tak kunjung muncul batang hidungnya. Terakhir kali mereka berkumpul di pesta wisuda Gibran, para sahabat Arsa pun begitu, berulang kali menelepon nomor Arsa karena lelaki itu tak ada di apartemen Satria, awalnya mereka mengira Arsa balik ke rumahnya tapi setelah 3 hari Arsa menghilang itu, Bunda Diana selaku ibu Arsa menelepon Satria untuk menanyakan kabar anaknya.Mereka sedang berkumpul di apartemen Satria."Arsa kemana coba dah, bikin khawatir anjing!" gerutu Satria sambil memijit kepalanya."Gua tanya-tanya ke setiap cewe yang dia deketin dan mereka bilang kalau Arsa sudah lama ghosting mereka dan malah ngeblok kontak mereka. Ah gila tu anak, kemana dah," jelas Radit menggaruk kepalanya frustasi.Gibran mengusap wajahnya kasar, "Mungkin dia nginep di ruma
Sia bersembunyi untuk menemui teman-teman Arsa yang sedang menunggu di kafe dekat rumahnya. Mereka sudah berjanji akan bertemu, untuk membahas tentang Arsa. Ia melewati tempat yang biasa ia lewati saat malam, kabur bersama Arsa. Tapi hari ini ia hanya bisa menatap sendu ke lubang tersebut dan akhirnya tanpa memikirkan apapun ia berhasil keluar, karena kalau ia terlalu lama membayangkan Arsa, bisa-bisa ia ketahuan dengan bodyguard Papa. Ia pun dengan cepat memberhentikan salah satu tukang ojek yang tak sengaja lewat di sana, "Mas tolong antar ke cafe Elegi." Awalnya tukang ojek itu terkejut saat tiba-tiba seorang gadis cantik menghalangi jalannya, hampir saja ia menabrak gadis itu kalau ia tidak cepat menarik rem motornya. Tukang ojek itu mengangguk dan melajukan motornya menuju arah yang disebutkan Sia. Tak perlu menunggu waktu lama untuk sampai di cafe yang letaknya hanya 7 menit dari rumahnya. Tak lupa memberi bayaran kepada tukang ojek yang sudah m
Kabar Mira sedang mengandung anak Arsa pun sampai ke telinga Tama. Tama jujur malu, semua kliennya memutuskan hubungan dengannya lantaran karena latar belakang keluarganya yang acak-acakan dan juga anak brengsek itu.Tama masuk ke rumah dengan keadaan mata yang merah tajam dengan dasi yang sudah tak beraturan serta rambut yang berantakan."Dimana Arsa! Anak sialan itu, selalu saja berbuat masalah," pekik Tama. Diana yang sedang membantu pembantu di dapur terkejut mendengar teriakan sang suami.Ia melepaskan Apron yang ia gunakan dan dengan cepat melangkah menghampiri Tama yang sedang duduk sambil menyenderkan punggungnya, "Ada apa lagi si Yah, selalu saja tiap pulang kerja seperti ini," cetus Diana.Tama menoleh ke Diana, "Ada apa kata kamu?! Anak kamu itu selalu saja bikin masalah, an
Satria sudah mengirim lokasi atau cafe tempat Diana meminta bertemu dengan Mira. Satria enggan datang walau tadi disuruh Mira untuk menemani, karena ia tahu ini masalah pribadi Mira dengan Ibunda Arsa jadi Satria mempertemukan mereka berdua.Sebenarnya niat Satria mempertemukan Diana dan Mira untuk membuat Mira berhenti berbohong dan membuatnya kapok karena berulah seperti kemarin.Ia sudah menjelaskan semuanya kepada Ibunda Arsa, awalnya Diana marah besar karena gadis itu dengan seenaknya membuat berita seperti itu. Tapi entah kenapa saat ia melihat tubuh Mira yang sedang berbadan dua dan dengan susah berjalan, sebagai seorang Ibu tentu Diana juga merasakan itu.Tanpa seorang suami di sampingnya membuat Diana miris menatap Mira.Di depannya gadis itu sudah duduk sambil menyeka keringa
Tama menghukum satu persatu anak buahnya, ia melayangkan kepalan tangannya dan mengarahkannya ke bagian perut 5 orang yang sedang berdiri tegak di depannya."Bodoh! Mencari preman seperti itu saja tidak bisa, kerja kalian ini apa! Sebegitu susahnya mencari preman. Cari di bar ataupun tempat hiburan, anak itu pasti bersembunyi di sana," tutur Tama sambil mengacak rambutnya kasar."Maaf Pak, saya sudah mencari di seluruh tempat hiburan yang pernah dikunjungi oleh tuan muda. Tapi, selama sebulan ini tak ada satu orang pun yang melihatnya, Pak," jawab salah satu pemuda yang tengah berdiri tegak.Tama mendengus dingin, "Bukannya tak ada, tapi kalian mencarinya kurang teliti. Saya tunggu sampai besok, kalau anak bermasalah itu tidak ketemu. Saya akan turun tangan dan kalian semua dipecat. Camkan itu!" ketusnya dan mengangkat kakinya meninggalkan gedung kosong tersebut.Setelah keluar dari gedung kosong tersebut. Tama mendapatkan ponselnya berdering, hampir ia m
Setelah kejadian kemarin, ia pingsan dan hari ini Arsa memaksakan diri untuk rawat jalan saja dari pada harus bermalam di rumah sakit. Namanya juga Dokter Daniel yang akan memaksanya menuruti perkataannya, tetapi pasiennya ini adalah Arsa anak yang keras kepala.Arsa menuju ke basement rumah sakit untuk mengambil motornya yang diparkiran oleh Daniel di sana. Tetapi ia merasakan ada yang janggal di sekitarnya dan ia juga mendengar langkah kaki dari tadi di belakangnya. Awalnya ia mengira orang tersebut berjalan ke arah yang sama.Tapi, saat Arsa memelankan langkahnya, orang di belakangnya juga mengikutinya. Ada yang tidak beres menurut Arsa.Saat ia memberhentikan langkahnya. Ia otomatis menoleh ke belakang dan melihat orang tersebut dengan sikap acuh melewatinya. Mungkin perasaan Arsa saja.Ia mengusap wajah sambil memejamkan matanya. Dengan perlahan Arsa membuka matanya, ia bertatapan dengan mata tajam seperti elang dan beberapa orang lainnya yang telah
Arsa duduk di halaman rumah sakit. Ia memijat keningnya. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi dan perkataan Dokter tadi membuatnya merenung.Flashback onArsa berlari memasuki rumah sakit dan menaruh Mira di salah satu ranjang pasien ruang UGD. Ia meminta perawat lekas memanggil Dokter. Tapi saat ia ingin pergi mencari Dokter yang berada di sekitar sana juga, tangannya dicekal oleh Mira, "Sa, anak aku ga bakal kenapa-kenapa kan?" tanyanya dengan mata yang sudah bengkak karena menangis sepanjang jalan ke rumah sakit.Arsa menggeleng, "Lo jangan mikir yang macem-macem. Gua panggil Dokternya dulu," ucap Arsa dan melepas tangan Mira.Dokter tersebut datang bersama perawat tadi dan langsung memeriksa Mira. Arsa menunggu di luar. Setelah menunggu beberapa menit, Dokter tersebut datang.Arsa langsung menghampirinya, "Bagaimana keadaannya, Dok?""Tidak terjadi apa-apa, cuma kontraksi dari bayinya karena sang Ibu stress dan itu membuat pe
Mereka berangkat bersama dengan mobil Satria. Setelah sampai di tempat tujuan, mereka semua turun dan berjalan masuk.Sebelum memasuki pintu masuk, Arsa berhenti dan membalikkan tubuhnya, "Kalian tunggu di sini, gua aja sendiri yang ke dalam. Ini masalah gua sama dia," celetuknya.Radit menggeleng, "Engga, kalau lo kenapa-napa nanti nambah ribet, mending salah satu dari kita temenin lo di dalam. Gua takut teman-temannya malah buat lo babak belur, sementara kondisi lo aja masih begini," jelasnya. Satria serta Gibran mengangguk menyetujui ucapan Radit.Arsa menghela napasnya, "Yaudah Dit, lo ikut gua. Satria dan Gibran, kalian tunggu di sini, jangan kemana-mana."Mereka berdua mengangguk mengikuti instruksi dari Arsa. Setelah itu, Arsa dan Radit masuk ke dalam Kelab Malam itu, suasana di sana sangat riuh dan juga suara musik yang mampu memekakkan telinga.Dengan santai mata Arsa fokus menyusuri setiap sudut ruangan di Kelab Malam tersebut. Kare
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik
Suasana di restoran bintang lima itu terlihat menegangkan. Terdapat dua orang sedang duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Satu pria paruh baya dengan setelan pakaian serta jas berwarna abu-abu mulai mengeluarkan satu map berwarna coklat dan menyerahkannya kepada pria yang berada di hadapannya."Ini data rekam medis palsu yang kemarin anda berikan kepada saya, bukan?" celetuknya pria paruh baya berpakaian serba hitam itu.Brian, pria paruh baya itu terkekeh kecil mendengar kalimat yang diucapkan oleh Tama, "Untuk apa saya memberikan anda data rekam medis palsu, Tuan," ujarnya sembari menekan kata tuan.Tama menarik senyumnya seraya mengambil map coklat itu dan membukanya. Ia menaruh kertas data rekam medis itu di tengah meja, "Saya tekankan kepada anda Tuan Brian terhormat, anak saya tak punya riwayat penyakit seperti ini!" ketusnya sambil menatap tajam ke arah Brian.Brian menyunggingkan senyumnya, "Anda yakin dengan perkataan anda?" tanyanya ke
Athanasia setiap hari mengunjungi Arsa dari mulai pagi sampai siang, sebenarnya ia ingin menemani Arsa selama dua puluh empat jam. Akan tetapi, papanya melarang akan hal itu.Ia membawa sebuah lukisan di tangannya dan juga setangkai bunga mawar merah. Senyumnya merekah lantaran kemarin mendapatkan kabar tentang kondisi Arsa yang mulai membaik, ia ingin Arsa cepat siuman, karena ia rindu akan kehadiran Arsa.Dengan perlahan langkahnya memasuki ruang rawat inap Arsa. Mungkin karena masih pagi, Radit ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah ke tebak kalau laki-laki itu baru saja kelar mandi."Pagi banget lo datengnya, Sia," celetuk Radit dan dibalas dengan senyuman oleh Athanasia.Gadis itu beralih ke nakas samping ranjang Arsa. Ia mengganti bunga mawar putih yang sudah layu dengan bunga mawar merah yang masih segar di tangannya. Radit hanya menggeleng melihat itu.Pandangan mata Radit menatap ke arah sebuah lukisan yang terletak di me
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam