Akhirnya sampai juga kami di tempat Bang Chand memarkir mobilnya, aku langsung membuka pintu penumpang. Sementara Abang Chand duduk dibalik kemudi dan Bang Benny duduk di sampingnya. Seorang petugas parkir lengkap dengan tongkat lampunya memberi arahan saat mobil akan keluar ke jalan raya. Terlihat Bang Chand membuka kaca mobil dan mengulurkan selembar uang kertas, karena gelap aku tidak tahu nilainya. Biasanya lima ribu rupiah tarif parkir di sini.Mobil mulai memasuki jalan raya aku memelih mengatur jok mobil sehingga sedikit ke belakang dan menyadarkan tubuhku sembari memejamkan mata. Bukan hanya badan tapi hatiku juga lelah, terasa malas memikirkan semuanya. Berharap kantuk datang dan lelap segera mendekap. Setidaknya aku tidak terus kepikiran tentang Mas Satria dan segala hal yang membuatku kesal.“hp-mu bunyi itu,” ucapan Bang Benny terdengar samar olehku, sepertinya aku setengah sadar. “Iya, biarin,” jawabku kemudian.Terasa dari dalam tasku ada getaran di sertai suara panggil
Aku dan Kak Regina saling pandang, siapa tamu malam-malam begini. Sudah lebih dari jam sembilan juga. Jangan-jangan Mas Satria lagi yang datang, bisa saja karena aku malas mengangkat telponnya tadi. Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Dan benar ada Mas Satria yang sedang bicara dengan Bang Benny.“Itu Rania.” Tunjuk Bang Benny saat aku berdiri di depan pagar rumahnya. Iya Mas Satria sepertinya langsung dari rumah sakit karena baju yang dia kenakan masih sama dengan yang tadi.“Silahkan.” Bang Benny kemudian mempersilahkan Mas Satria untuk masuk, aku masih terdiam di depan pagar hanya melihatnya tanpa kata.“Itu … Satria, malah bengong.” Kak Regina menyenggol lenganku , aku menolehnya sekilas. “Marahan?” tanya Kak Regina lagi aku hanya mengangkat bahu.“Mari masuk.” Kembali Bang Benny mempersilahkan, kedua pria itu berjalan bersisian. “Saya tinggal dulu, ya.” Bang Benny berpamitan sambil mengapit Kak R
Apa memang harus seperti itu? Sebuah pernikahan harus melewati pemikiran yang matang. Juga harus ada pembicaraan dari kedua keluarga yang lebih serius. Menikah adalah sebuah hubungan yang sakral dan aku berharap hanya satu kali menjalaninya. Mungkin mas Satria benar dengan pemikirannya, Ayra memang salah satu alasan Aleya untuk bisa berada di sekitar Mas Satria. Bila Ayra sudah memiliki aku bukankah tak ada alasan lagi untuk Aleya berputar di sekitar Mas Satria.“Kamu mau kita mempercepat rencana pernikahan kita?” tanya Mas Satria lagi.“Tapi, sekarang kondisinya tidak memungkinkan. Mas tau sendiri kan keadaan Arya bagaimana, mana mungkin aku menyela dengan keinginan seperti ini.” Keluargaku sedang terkena musibah, tidak mungkin aku bicara perihal pernikahan pada mama.“Iya aku tau, tidak sekarang juga. Tapi secepatnya, paling tidak aku akan utarakan niatku pada mama dan keluargamu terlebih dahulu. Baru setelah kondisi membaik dan memungkinkan kita membaha
“Iya, mas pulang gih … cepet rehat.” Tangan kananku mengusap rambut bagian belakangnya.“Masih kangen,” balas Mas Satria lagi.“Ish … seharian juga dah barengan,” jawabku kemudian.“Ye namanya juga kangen, mau seharian bareng namanya kangen ya kangen,” ucap Mas Satria masih menyadarkan kepalanya di bahuku.“Iya Sayang, iya. Tapi, udah malam … nggak enak sama Kak Regi, sama Abang Chand sama semuanya.” Aku mencoba memberi pengertian pada Mas Satria."Ya udah, aku pulang dulu. Sampai rumah aku telepon," ucap Mas Satria yang akhirnya berdiri bangun dari duduknya.Aku ikut bangun dan berdiri di samping Mas Satria. Tiba-tiba pria itu memelukku, dan mendekapku erat. "Mas kenapa?" tanyaku bingung."Kamu tau aku sedih kalau kamu ngambek kayak tadi, aku bingung," jelas Mas Satria masih tetap memelukku."Janji jangan seperti itu lagi, kalau kamu nggak angkat teleponku itu rasanya, ah … gimana, ya. Pokoknya ga en
“Kok nggak minta sendiri?" Aku mengulang pertanyaanku bingung.“Ya nggak tau, kan yang minta Danta, bukan kakak. Lagian mintanya ke papanya Rey, bukan ke papanya Al.” Lagi- lagi Kak Regina mengendikkan bahunya. “Pisahin beberapa buat papanya Rey roti bakarnya, sekalian antar sama kopinya.”Aku yang masih sibuk dengan roti bakar di depanku hanya mengangguk membalas kak Regi. Sebuah piring aku ambil beserta nampan dari rak. Abang Chand berdua saja dengan Rey karena Kak Sisil sekarang berada di ruamah sakit untuk menemani mama. Aku meletakkan empat tangkup roti bakar yang sudah keluar dari mesin pemanggang di piring. “Ini kopinya.” Kak Regina meletakkan secangkir kopi panas di atas nampan yang tadi aku ambil dari atas rak piring.Aku memindahkan piring roti dari atas meja ke atas nampan berdampingkan dengan kopi yang telah Kak Regina letakkan lebih dahulu. Sedangkan roti bakar yang lain aku letakkan di piring yang berbeda untuk di makan di sini. Ha
“Aku ambil tas tasnya dulu,” pamitku kemudian.“Aku bantu,” ucap Mas Satria sambil mengangkat sepasang alisnya.“Nggak usah cuma dikit,” ucapku sambil berlalu menyusul Kak Regina yang sudah masuk terlebih dahulu.Kak Regina sudah mengambilkan lebih dahulu tas tas yang akan aku bawa kerumah sakit, sebuah ransel berisi barang Arya. Tas pakaian berukuran sedang berisi pakaian dan barang-barang mama dan juga sebuah tas selempang berisi barang- barangku. Aku mengambil tas selempang dan ransel dari tangan Kak Regina. Kami berjalan kembali menuju ke luar dan sesampainya di depan pintu Mas Satria mengambil tas dari kak Regina.“Berangkat dulu, Assalamualaikum,” pamitku kemudian, demikian juga dengan Mas Satria.Setelah berpamitan aku dan mas Satria langsung berjalan menuju mobil, dua tas Mas Satria letakkan di kursi belakang. Seperti biasa Mas Satria terlebih dahulu membukakan pintu mobilnya untukku. Jam sepuluh lebih sepuluh mobil mulai meningg
“Sama,” ucapku menimpali seraya membalas pelukan mas Satria. Semakin rumit dan berliku semakin membuat aku merasa takut, bagaimanapun hati tidak bisa berbohong kalau aku juga benar-benar mencintainya. Ketika kesempatan bersama hadir untuk kedua kalinya aku tak ingin melewatkan begitu saja. Sejauh apa pun jarak pernah memisah raga, tetap saja hati selalu terpaut. Mungkin benar adanya cinta pertama itu nyata ada, aku merasakan perasaan yang sama dan cinta ini tidak berubah pada Mas Satria.“Kita bisa.” Mas Satria melepaskan pelukannya dan kemudian menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya.Wajah kami berhadapan dengan posisi sangat dekat, pandangan kami beradu dalam diam. Sesaat hanya saling pandang dan menikmati sensasi rasa yang hadir di dalam dada. Tidak perle penjelasan ada cinta yang jelas aku dapati di sorot mata Mas Satria. Dan aku yakin dia bisa menangkap perasaan yang sama yang ada dalam hatiku dan terpancar dari sepasang mataku. Tapi, tid
“Lah … ini nomor Rania, Mas. Bukan nomor-nya Kak Sisil, kalau mas mau aku kirim kontak Kak Sisil selepas ini.” Pantas saja aku seperti mengenal suara itu, ternyata mas Danta yang salah sambung ke nomor ponselku.“Bo … boleh,” jawab Mas Danta kemudian. “Em … eh kamu lagi ngapain?” tanya Mas Danta setelahnya. Mas Satria yang tadinya terdiam menjawil tanganku yang membuatku langsung menoleh ke arahnya, dagu pria itu terangkat seakan bertanya aku sedang bicara dengan siapa.“Aku lagi makan ini, Mas.” Aku menjawab kemudian. Dengan hanya menggerakkan mulut aku memberitahu Mas Satria.“Oh lagi istirahat ya?!” sambung Mas Danta lagi.“Siapa?” tanya Mas Satria sedikit menyuarakan, di tengah pembicaaraanku dengan Mas Danta. Aku hanya mengangguk sembari mengangkat tanganku sebagai isyarat untuk Mas Satria menunggu sebentar.“Iya, Mas.” Aku menjawab singkat pertanyaan Mas Danta sambil terus melihat ke Mas Satria yang menatapku dengan tatapan ingin Taunya.“Ya sudah kalau gitu, maaf jadi ganggu.
Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk