“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.
“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya.Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kitaSegelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
"Dah dengar belum kalau wakil kepala cabang yang baru itu duda baru?" Tika yang duduk di depanku memulai obrolan di sela istirahat siang."Baru lulus dari Pengadilan Agama." Wina yang duduk di sampingku menambahkan.Aku hanya mendengar obrolan kedua sahabatku itu sambil menikmati bekal makan siang yang kubawa. Sebuah ruangan di belakang kantor memang digunakan beberapa karyawan saat istirahat makan siang. Tiga buah meja ditata memanjang dikelilingi sejumlah bangku."Mbak Win … ini pesanannya, cabe mabelas kan?!" Aji, seorang OB kantor datang dengan membawa bungkusan berisi rujak cingur pesanan Wina.Obrolan sesaat berhenti ketika Aji datang. Wina terlihat langsung membuka pesanannya setelah Aji keluar ruangan. "Denger-denger sih masih muda, ganteng pula," cerita Tika kemudian dan obrolan kembali berlanjut."Iya aku dengernya gitu. Wah, bakal betah nih, di kantor. Hahaha." Wina menambahkan yang diakhiri suara tawa keduanya."Ish … asik banget makanya?" Wina mendekatkan tubuhnya ke ar
Duda itu Mantan PacarkuPart 2Oleh LinDaVin"Rey main sama Al di sana, Aunty tungguin di situ. Ingat jangan rebutan main sama-sama," pesanku pada kedua keponakanku itu dengan melebarkan sedikit mata."Iya Aunty," sahut kedua bocah itu hampir bersamaan dan langsung berlari ke area mandi bola.Aku berjalan pelan menuju sebuah bangku yang berada di dekat area bermain itu. Seperti biasa kedua kakak perempuanku sedang berbelanja dan aku bagian menjaga anak-anak mereka. Beruntung dua bocah itu sangat menurut padaku.Sebuah permainan di ponsel aku pilih untuk menghilangkan jenuh. Sesekali aku melihat ke arah arena bermain untuk mengawasi keadaan Rey dan Al. Mereka terlihat cukup akur hari ini karena aku menjanjikan membeli es krim selepas ini."Aen … aen." Pandanganku teralihkan dari layar ponsel pada sosok gadis kecil berkulit putih di depanku. Lebih kecil dari Rey dan juga Al, aku perkirakan berumur sekitar dua tahunan. Cantik dan menggemaskan dengan balutan baju berwarna pink dan juga
Duda itu Mantan PacarkuPart 3Oleh : LinDaVin"Mas Satria ada waktu? Aku mau bicara serius." Aku menoleh ke samping kiri, tempat dimana Mas Satria duduk."Nggak ada, aku sibuk," jawab pria berbadan tegap, berkaos putih itu sambil mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang ada di pangkuannya."Sibuk ngapain? Kan nggak ngapa-ngapain." Aku sedikit mencembik mendengar jawabannya."Apa?" tanyanya ketus sambil melihat ke arahku. "Aku sibuk, kurang jelas jawabanku."Aku menelan saliva melihat wajah jutek pria yang pernah berbagi hari denganku dulu itu. Tidak ada yang berubah dari wajahnya tetap tampan. Hanya sikapnya yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Dulu jangankan marah bicara keras saja tidak pernah."Apa?" tanyanya lagi galak dengan alis yang hampir menyatu. "Ngapain liatin kayak gitu?""Ish …." Aku mengalihkan wajah dengan bibir manyun kesal. Aku sadar aku salah, tapi, aku juga kesal dia jutek seperti itu.Untuk beberapa saat kami saling diam, Mas Satria terlihat sibuk dengan pon
"Nomor pesanan 129." Panggilan di pengeras suara sementara menyelamatkanku. Karena pesanan kami beberapa kosong tadi sehingga tidak bisa langsung kami bawa ke meja."Tuh … bentar." Aku langsung berdiri sambil menunjukkan struk pesanan kepada kedua kakak perempuanku itu."Silahkan Kakak, mohon maaf dan terima kasih sudah menunggu," sambut pegawai resto dengan seragam berwarna kuning ketika aku sampai di meja pemesanan."Makasih," balasku dengan senyum dan langsung mengangkat nampan berisi pesananku dari meja kemudian beranjak. "Makan … makan," ucapku pada kedua keponakanku yang pandangannya sudah mengarah padaku."Nasinya dulu baru es krim," ucap Kak Sisil menjauhkan tiga cup es krim dari anak-anak."Dikit aja, Bunda." Rey terdengar merayu Kak Sisil yang langsung dijawab dengan gelengan."Cuci tangan dulu yuk," ajakku kepada kedua ponakanku itu. Keduanya langsung turun dari kursi dan aku mengiring mereka ke wastafel yang berada di bagian samping."Aunty es klimnya," rengek Rey sambi
"Ya enggak bisa dong, Mas." Kembali aku membantah perintah yang bagiku tidak berdasar itu."Pak, panggil aku Pak. Bukankah aku atasanmu di kantor ini." Mas Satria meninggikan intonasi suaranya."Astaga kesambet apaan, sih. Salah makan palingan, makanya sarapan itu pake nasi bukan petasan cabe." Sengaja suaraku aku pelankan sehingga yang terdengar hanya seperti ngedumel saja."Apa? Bicara yang jelas. Jangan kayak orang kumur-kumur," bentaknya padaku.Tanpa sadar kertas yang berada di tangan aku remas-remas hingga tak berbentuk lagi. Aku bukanlah orang yang pandai mengontrol emosi. Bukan dengan kata-kata atau makian. Aku terbiasa melampiaskan dengan cara meremas apa saja."Hei … kamu, ya." Pria itu mengambil kertas yang sudah menyerupai bola tanpa bentuk itu dari tanganku.Aku hanya melihatnya dengan tatapan malas dan kesal. Masih terlalu pagi untuk merusak mood seseorang. Aku merasa dia ingin membuatku tidak betah dan hengkang dari kantor ini. Oh … tidak bisa, aku yang lebih dulu berad
Jawaban yang sama aku peroleh dari Bu Fitri dan Pak Agus, keduanya sudah menyetujui rotasiku ke divisi marketing. Meski kesal, tapi, aku bisa apa selain menerima. Orang aku juga hanya staf biasa tanpa power apapun. Seperti yang Tika duga, karena aku dari divisi marketing sebelum di pindah ke finance.Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan di mana saja aku ditempatkan. Hanya semua terkesan mendadak, sama sekali tidak ada pemberitahuan. Dan lagi kenapa harus duda menyebalkan itu yang menyuruhku."Kalau boleh digantikan aku mau loh," ucap Wina disela makan dan istirahat siang kami. Tika sepertinya sudah bercerita lebih dulu sebelum aku menceritakan pada Wina."Kamu mah modus," celetuk Tika, yang disambut Tawa oleh Wina."Kan lumayan sering ketemu sama si Bapak ganteng." Wina menambahkan, kedua sahabatku itu kembali tertawa. Aku hanya nyengir malas melihat keduanya.Andai saja mereka tau apa yang terjadi sebenarnya antara aku dan sesebapak yang mereka bicarakan itu. Tapi, aku malas berceri
Aku memejamkan mata menikmati sensasi rasa yang tercipta. Aku tidak tau apa ini namanya, dan seperti apa aku menguraikannya. Rasa yang pernah ada dalam dada, dulu. Apakah memang sebenarnya rasa itu tidak pernah pergi."Kamu sudah baikan?" tanyanya kemudian. Aku masih belum bisa bicara hanya mengangguk pelan. Tapi, aku yakin dia bisa mengartikannya."Mbak Rania …."Dari luar ruangan aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku. Itu suara Ahmad security yang berjaga malam ini. Pijar cahaya juga nampak dari arah pintu, bergerak mendekat. Bersamaan dengan itu aku merasakan tubuh Mas Satria yang menjauh."Mbak … oh, Pak." Ahmad terlihat berhenti di dekat pintu saat melihat Mas Satria bersamaku."Kenapa gensetnya tidak dinyalakan?" tanya Mas Satria sambil berjalan ke arah depan mejaku."Iya, Pak Satria. Rudi sedang menyalakannya, mesinnya agak ngadat lama tidak digunakan," jelas Ahmad kemudian."Tapi, bisa kan?" tanya Mas Satria lagi."Biasanya bisa, Pak. Saya permisi tadi saya kepiki
Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk