"Kamu berkeringat, Jani."Suara Biru terdengar jauh, apa benar? Bukankah di sini hawanya sangat dingin? Tidak sedingin di Bromo sana, tapi tetap dingin ketimbang Surabaya yang panas, lembab, dan lengket.Aku menggeleng, "Tidak apa-apa, Pak."Ia mengerutkan kening mendengar jawabanku. Aku hanya tersenyum hambar, sementara perutku merasa diaduk-aduk. Ke mana timku tadi? Apa mereka menyiapkan tempat untuk wawancara nanti?Aku melihat bayang-bayang mengabur, dan kepalaku terasa berputar-putar. Sementara suara Biru terdengar jauh. Ia begitu jauh. Hingga aku merasa semua terasa gelap.OOOSaat aku membuka mata, aku tidak melihat bayangan anggota timku di sini. Kelambu berwarna putih, berderak-derak di antara angin dingin yang lewat melalui jendela.Kamar ini terlalu besar untukku, mirip kamar-kamar dalam film klasik historical romance. Kamar bergaya Eropa di abad ke-18 atau ke-19. Kamar-kamar putri Bridgertone, bangsawan Inggris. Ini di mana? Apa aku sedang berhalusinasi?Ruangan terasa tem
"Jangan takut, ini aku Jani." Ia berkata samar, duduk di sandaran tempat tidur yang terbuar dari kayu pilihan. Ia tampak baru terbangun, ia mengucek matanya. Melihatku dalam keadaan paling jelek sedunia.Biru meletakkan kakinya di atas lantai."Aku kedinginan, Pak," ucapku dengan gemetar, "aku mau ke toilet, Pak." Aku seperti anak TK, ia berdiri membimbingku dengan telaten. Di mana toiletnya?Oh ternyata di sini. Ada sebuah pintu besar berukir keemasan. Aku membukanya. Ia sedikit menjauh. Lalu, aku masuk ke dalam. Toilet hotel di sebuah istana di atas bukit. Bagus benar nasibku hari ini.Aku mengejang, perutku terasa diaduk-aduk. Aku kembali mengeluarkan isi lambungku. Kali ini lebih leluasa, karena Biru tidak ada di sini. Aku melihat deretan pasta dan sikat gigi yang masih baru. Semua berlabel hotel de Borgh. Aku di mana ini?Aku menggosok gigi. Merasakan betapa mengesalkan ritual ini di saat badanku terasa sakit. aku merapikan pakaianku. Aku harus mengganti bajuku ini. Baju rapi, d
Aku terbangun. Rasanya masih gelap dan samar-samar. Ruangan masih seperti berputar, aku ingin duduk tapi terhuyung-huyung. Lidahku seperti terbelit di mulut. Aku ingin bersuara, tapi rasanya begitu pahit."Kau bangun lagi," Biru mendekat seperti bayangan dalam kegelapan, sebentuk wajah yang akrab di dalam lift, di dalam resto, dan di dalam kantornya yang megah dan mewah. Betul-betul bukan kelasku.Aku menyipitkan mata, masih bingung apakah ini mimpi ataukah bukan? Ia duduk di sebelahku. Bajunya masih kaos kasual yang tidak jelas warnanya, masih tampak memburam dan aneh. Kaos itu lengket di tubuhnya, sehingga aku bisa dengan jelas dan samar melihat otot dada dan perutnya.Ada apa dengan otakku ini, heh?"Aku kedinginan," tanganku meraba hijabku yang tampak miring dan awut-awutan, "apa Bapak melihat rambutku?" aku mendelik, tapi bahuku terasa kuyu."Kamu masih demam, harusnya minum air dan obat," ia memberikan segelas air. Aku menerimanya, tanganku gemetar. Setelah menelan pil, rasanya
"Saya nggak pernah lihat Bapak pakai kaus begini.""Iya, kau sudah bilang kemarin.""Krem, putih, biru garis-garis, biru muda, biru tua, hijau telur asin, hitam," aku menghitung dengan memberi isyarat jariku. Terasa melayang jauh. "Kenapa kau ini?" ia bertanya, senyumnya semakin lebar."Itu warna kemeja Bapak, dalam seminggu. Ada jadwalnya," aku mengoceh semakin aneh. Seperti lepas, tak terkendali. Ada apa aku ini?"Iya, aku mengaturnya. Lajang yang tidak diurus siapapun.""Seharusnya kemeja Bapak bisa lebih variative, agar tidak tertebak olehku.""Kenapa?" ia bertanya seolah aku ini balita, dan dia pengasuhnya.Kenapa wajah dan bajuku berantakan? Pasti aku sangat jelek di matanya. Gadis sakit yang menjengkelkan dan cerewet. Seharusnya, aku memakai gaun yang anggun, senada dengan ruangan klasik ini. Itu akan terasa dramatis seperti rumah ini. Istana di atas gunung."Agar lebih misterius." Aku menyahut, semakin melantur."Kau masih mengigau.""Saya haus Pak."Ia memberikan segelas air
Aku masih duduk memandangi Langit Biru yang terkapar lelah tak jauh dariku, di atas sofa klasik dalam kamar istana di atas gunung. Aku tersenyum, sedikit takut kalau ia terbangun. Apa ia akan terbangun?Aku masih duduk dengan hati-hati, ruangan diterangi cahaya matahari yang kekuningan dan berpendar bagus di dalam ruangan luas ini. Aku melihat dari jauh ranjang putri bangsawan Inggris—milik putri-putri Bridgertone, di sekitarnya berserakan handuk, waslap, wadah bersih, sebungkus plastik berisi obat-obatan yang diberi catatatan khusus dan thermometer.Tasku yang besar dan tampak lesu menggantung di sebuah kursi dan meja—seperti meja rias. Aku bangkit, berusaha mencari gawaiku yang menghilang entah ke mana. Aku merogoh tas besar, mengaduk aduk isinya hingga menemukan gawaiku tampak gelap, kehilangan baterai. Bagus benar di saat seperti ini.Aku berjalan ke samping ranjang besar, meraih thermometer di atas nakas, meletakkannya sebentar di mulut. Rasa-rasanya demamku sudah turun.Aku ter
"Kamu melihatku dengan aneh, Jani." Ia tertawa.Aku merasakan pipiku bersemu merah dan menghangat."Kau pasti sudah lebih baik, bisa melihatku seperti itu.""Saya—saya," aku tidak meneruskan kalimatku. Aku melihatnya melangkah menuju pintu, sementara hatiku diserang rasa panik ketika ia membuka pintu besar itu dan menoleh.Aku terburu-buru menyusulnya, lalu ia melihatku."Kau tak perlu buru-buru mengusirku, Jani." Dia memberi isyarat, "Aku mau ke kamarku di sana, di ujung koridor dekat taman. Kalau kau tersesat di rumah ini, kau bisa tanya aku atau asisten di sini. Mereka baik-baik, walaupun tampak bisu.""Iya, Pak. Terima kasih," kataku parau.Dia menghentikan langkahnya, tangannya ada di pegangan pintu, "kau harus tidur lagi. Istirahat yang banyak, ohya minum lagi dua pil setelah bangun nanti."Ia seperti bimbang, setelah melihatku mengangguk cepat, "Baik. Kau bisa tidur lagi, aku tak akan mengganggumu Jani."Begitulah hal yang terasa aneh."Jangan menceritakan ini pada biang gosip
Ini hari yang menjengkelkan, karena aku harus masuk kantor. Setelah mengajukan izin selama dua hari.Bagus benar aku ini.Pegawai baru yang suka izin karena sakit. Selain itu, aku juga telah membuyarkan proyek tim yang dibanggakan Bos Tisu. Apa nanti komentarnya kalau bertemu denganku?Wajahku masih sepucat kapas, dan aku melihat hantu di dalam cermin. Wajah-wajah baru sakit begini tidak akan membuat siapapun kagum. Itu hal yang pasti. Namun, aku tidak peduli.Ini hari Kamis, hari kemeja krem dan dasi Biru bergaris-garis tipis. Aku melirik jas Biru yang sudah ku-laundry dan kumasukkan dalam kemasan plastik yang wangi. Aku bisa membawanya nanti kan? Apa itu bisa? Harusnya bisa sih, tidak apa-apa. Tidak akan ada seorang pun menganggap ini semua skandal.Oke. Aku akan berterus terang sekarang. Aku hanya ingin menegaskan kalau aku bersedia berteman dengannya, bosku yang sombong dan sok cakep itu.Kami setidaknya sudah tertatih-tatih di jurang pertemanan. Mungkin sulit, bagi Biru--menging
Aku merasa seperti melayang-layang saat masuk ke dalam Terios-nya. Aku duduk di sampingnya, ia tersenyum melihatku mendekap rangkaian tulip di dadaku. Sementara pikiranku mengembara jauh.Begitu jauhnya seperti aku melayang-layang di antara awan. Lalu, apa yang sedang ada dalam pikiranku sekarang? Maaf, sudah membuat sarapanmu berantakan. Apa itu dari Biru?Aku menutup mulutku dengan dramatis, seperti seorang model yang sedang kaget. Mau ditaruh mana mukaku ini? Aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih padanya saat ia menyinggung buket mawar itu.Ya, Tuhan. Bodoh sekali aku ini."Kenapa Jani? Kau tampak sedikit pucat? Kau baik-baik saja?" Argo mengemudikan mobilnya dengan santai, melewati barisan mobil dan kendaraan lain dengan mulus.Aku menggeleng, "Aku baru saja sembuh, kemarin lalu demam.""Kenapa tak kau telepon aku? Aku bisa membantumu."Sudah ada yang merawatku. Tentu saja itu jawabanku dalam hati. Aku menghargai perilaku Argo yang ingin menjalin persahabatan kembali. Jadi,
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d