Ini hari yang menjengkelkan, karena aku harus masuk kantor. Setelah mengajukan izin selama dua hari.Bagus benar aku ini.Pegawai baru yang suka izin karena sakit. Selain itu, aku juga telah membuyarkan proyek tim yang dibanggakan Bos Tisu. Apa nanti komentarnya kalau bertemu denganku?Wajahku masih sepucat kapas, dan aku melihat hantu di dalam cermin. Wajah-wajah baru sakit begini tidak akan membuat siapapun kagum. Itu hal yang pasti. Namun, aku tidak peduli.Ini hari Kamis, hari kemeja krem dan dasi Biru bergaris-garis tipis. Aku melirik jas Biru yang sudah ku-laundry dan kumasukkan dalam kemasan plastik yang wangi. Aku bisa membawanya nanti kan? Apa itu bisa? Harusnya bisa sih, tidak apa-apa. Tidak akan ada seorang pun menganggap ini semua skandal.Oke. Aku akan berterus terang sekarang. Aku hanya ingin menegaskan kalau aku bersedia berteman dengannya, bosku yang sombong dan sok cakep itu.Kami setidaknya sudah tertatih-tatih di jurang pertemanan. Mungkin sulit, bagi Biru--menging
Aku merasa seperti melayang-layang saat masuk ke dalam Terios-nya. Aku duduk di sampingnya, ia tersenyum melihatku mendekap rangkaian tulip di dadaku. Sementara pikiranku mengembara jauh.Begitu jauhnya seperti aku melayang-layang di antara awan. Lalu, apa yang sedang ada dalam pikiranku sekarang? Maaf, sudah membuat sarapanmu berantakan. Apa itu dari Biru?Aku menutup mulutku dengan dramatis, seperti seorang model yang sedang kaget. Mau ditaruh mana mukaku ini? Aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih padanya saat ia menyinggung buket mawar itu.Ya, Tuhan. Bodoh sekali aku ini."Kenapa Jani? Kau tampak sedikit pucat? Kau baik-baik saja?" Argo mengemudikan mobilnya dengan santai, melewati barisan mobil dan kendaraan lain dengan mulus.Aku menggeleng, "Aku baru saja sembuh, kemarin lalu demam.""Kenapa tak kau telepon aku? Aku bisa membantumu."Sudah ada yang merawatku. Tentu saja itu jawabanku dalam hati. Aku menghargai perilaku Argo yang ingin menjalin persahabatan kembali. Jadi,
"Apa kau harus membawa pacarmu itu ke sini sepagi ini?" hardik Biru, tiba-tiba. Ia berdiri dari kursinya, dan menatapku lurus-lurus.Aku balik menoleh, apa ia bicara padaku. Tentu saja, ya Tuhan. Keributan belum berakhir."Aku tidak membawanya Pak, dia membuntutiku sejak dari kos," bagus sekali sekarang Biru mengerti kalau Argo menjemputku dari sana."Oh, jadi sopir pribadi, tukang antar jemput?"Aku mengkerut di tempatku. Aku masih belum menyalakan computer meja, jadi rangkaian tulip ini terasa menyolok sekali. Sesekali mata Biru menatap rangkaian bunga di mejaku.Bagus benar, pagi ini.Beruntung, hanya ada aku dan dia serta para petugas kebersihan yang lalu lalang dengan cuek. Di mana Bos Tisu? Atau Mbak Tina, mungkin? Yang bisa menyelamatkan aku dari amukan Biru yang aneh."Jadi, begini Pak. Argo tiba-tiba ke kos, lalu menjemput. Dia masuk, saya mendaftarkannya sebagai tamu di lobi, dia sudah mendaftar secara resmi sebagai tamu. Di masuk lift, lalu dia ikut ke sini. Hanya itu saja,
Aku sudah menyelesaikan proses editing film documenter bersama Bang Napi dan tim. Aku yang memberikan suara narasi pada video tentang Taman Asoka, dan Juan de Borgh. Aku menggelengkan kepala di ruang editing yang dingin dan penuh perangkat elektronik."Ini liputan yang bagus, belum ada media yang meliput. Jadi kita yang terdepan," seloroh Bang Napi, ia mengamati suara narasi yang kurekam seharian tadi di dalam studio rekaman.Aku mengangguk lelah."Kau masih agak pucat, An.""Iya, Bang. Aku sedikit pusing ini.""Kau istirahat sajalah dulu, makan siang dulu saja. Atau ngeteh di kafetaria sebentar," ia memberi saran.Karena aku merasa sedikit limbung dan tidak terlalu kuat lagi berada di dalam ruangan pengap dan super dingin itu, aku mengangguk cepat. Jadi, aku keluar ruang rekaman, dan segera menghampiri mejaku.Membuka pintu kantor divisi yang begitu ramai dan riuh mirip peternakan ayam, dengan berpuluh orang yang bekerja dengan tenggat dan tim masing-masing. Kepalaku menjadi sedikit
Dia menatapku dengan wajah penuh kemenangan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Mata cokelatnya berkilat jahil. Aku seperti baru tersadar kalau sudah masuk perangkap yang kubuat sendiri."Ke mana, Pak?""Ya, ke toko, mal, atau butik. Kamu mau ngajak saya ke mana buat beli kemeja?"Aku meremas jemariku, cemas. "Kan ini kemeja Bapak, saya kan nggak tahu kesukaan Bapak bagaimana?""Lho kemarin kapan itu, katamu kemeja dan dasiku ngebosenin. Itu-itu saja kan?""Iya, sih Pak," sahutku sedikit tolol. Aku merasa seperti orang dungu."Nah, kan sudah tahu." Ia menjentikkan jarinya.Aku masih duduk tak merasa nyaman di tempatku. Sepertinya, ada yang salah, tapi apa ya?"Apa harus sekarang sih, Pak?" tanyaku lagi, ada rasa tak enak untuk keluar bersama atasan di jam kantor. Semacam apa ya? Kok kayak mirip orang lagi bikin skandal?"Tadi, kan sudah kubilang Jani. Saya butuhnya sekarang, bukan tahun depan," ia berkata dengan nada tenang, meyakinkan, dan berwibawa seperti biasanya.Aku menganggu
"Well, itu prinsip yang bagus.""Tentu dong Pak, masak saya cewek murahan yang mau dicium-cium sama yang bukan mahram sih, Pak?" sahutku kencang dan sebal. Aku berdiri menghadapnya, jarak kami mungkin hanya satu meter saja.Ia berjalan mendekatiku, meraih tanganku yang seketika kukibaskan, ia melirik dengan senyum miring, "Ayo jalan."Aku menurut seperti tawanan perang, sementara Biru berjalan di sampingku. Ia melihatku sesekali, wajahnya terlihat kaku dan sedikit tegang. Apa yang dia cemaskan?Melewati lobi dengan deretan gadis cantik sekretarisnya, sungguh menyiksa. Aku hanya menunduk, dan mengalihkan pandangan. Aku teringat gadis model yang keluar dari dalam kantor Biru saat itu, apa aku akan seperti dia?Oh. Tidak tentu saja. Itu tak akan terjadi.Aku mengintip mimik wajah Biru yang kembali kaku. Apa salahku sekarang? Kenapa dia menjadi aneh lagi?"Pak, Pak Biru nggak marah lagi kan sama saya?"Ia diam saja. Lift berdenting khas, suara tapak sepatuku dan sepatunya menggema dalam r
"Apa yang ingin kau tanyakan Jani?" mata itu berkilat lagi, sedikit jail. Ia menatap lurus ke arahku. Memandangi hijabku yang berwarna pastel, hari ini aku mirip ibu-ibu PKK."Apa Bapak dulu kenal Argo dengan baik?" tanyaku hati-hati.Tak kuduga, wajahnya mendadak tegang. Rahangnya mengatup, sepertinya ia sungguh membenci Argo, apa dia tahu Argo adalah mantan suamiku?Secara logis, dia pasti tahu. Bukankah ia juga mengerti di mana alamatku? Semua itu data-data privasi yang ada dalam database perusahaan. Tapi, itu hanya perkiraanku saja.Entahlah, siapa di antara kami yang sedang bersandiwara di sini. Apa aku yang kebingungan dengan sikapnya yang aneh, ataukah dia yang sedang tampak menimang-nimang bagaimana bersikap denganku."Aku mengenalnya, Jani. Sebab itu aku membencinya," ia berkata dengan nada dingin. Ia tersenyum tipis seperti pembunuh berantai, aku tentu akan mati di tangannya.Aku mengernyitkan dahi. Lukaku sudah selesai diobati. "Kau mirip dokter, apa Bapak dulu sekolah kedo
"Kau tahu kan, Jani. Tidak ada orang yang sempurna, saat itu aku khilaf. Aku mabuk, aku tidak begitu dekat dengan atasanmu. Aku merasa dijebak, Jani," ia berkata panjang lebar, hingga nyaris aku memercayai semuanya.Rasa-rasanya sakit dalam ulu hatiku kembali hadir, saat aku menemukan mereka bertarung di atas ranjang. Duel maut antar pasangan orang."Bagaimana dengan Mas Pram? Apa mereka bercerai?" tanyaku, sebenarnya aku tidak perlu menanyakan itu. Tapi sungguh, aku serasa tertarik dalam pusaran ini. Sungguh tidak menyenangkan.Aku berharap Julie Estelle datang ke sini, dan tertawa melihatku bersama Argo.Argo berhenti memotong stik dagingnya. Ia memandangku dengan lembut, tatapan mata itu sudah menemaniku selama bertahun-tahun, sayang sekali hanya dengan peristiwa itu aku sudah mulai melupakannya."Mereka tidak bercerai," sahutnya yakin."Oh, hebat sekali Mas Pram, tidak menceraikan istrinya yang selingkuh. Tapi justru memecatku dari radio," aku tertawa keras. Sungguh tidak terlalu
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d