"Apa yang ingin kau tanyakan Jani?" mata itu berkilat lagi, sedikit jail. Ia menatap lurus ke arahku. Memandangi hijabku yang berwarna pastel, hari ini aku mirip ibu-ibu PKK."Apa Bapak dulu kenal Argo dengan baik?" tanyaku hati-hati.Tak kuduga, wajahnya mendadak tegang. Rahangnya mengatup, sepertinya ia sungguh membenci Argo, apa dia tahu Argo adalah mantan suamiku?Secara logis, dia pasti tahu. Bukankah ia juga mengerti di mana alamatku? Semua itu data-data privasi yang ada dalam database perusahaan. Tapi, itu hanya perkiraanku saja.Entahlah, siapa di antara kami yang sedang bersandiwara di sini. Apa aku yang kebingungan dengan sikapnya yang aneh, ataukah dia yang sedang tampak menimang-nimang bagaimana bersikap denganku."Aku mengenalnya, Jani. Sebab itu aku membencinya," ia berkata dengan nada dingin. Ia tersenyum tipis seperti pembunuh berantai, aku tentu akan mati di tangannya.Aku mengernyitkan dahi. Lukaku sudah selesai diobati. "Kau mirip dokter, apa Bapak dulu sekolah kedo
"Kau tahu kan, Jani. Tidak ada orang yang sempurna, saat itu aku khilaf. Aku mabuk, aku tidak begitu dekat dengan atasanmu. Aku merasa dijebak, Jani," ia berkata panjang lebar, hingga nyaris aku memercayai semuanya.Rasa-rasanya sakit dalam ulu hatiku kembali hadir, saat aku menemukan mereka bertarung di atas ranjang. Duel maut antar pasangan orang."Bagaimana dengan Mas Pram? Apa mereka bercerai?" tanyaku, sebenarnya aku tidak perlu menanyakan itu. Tapi sungguh, aku serasa tertarik dalam pusaran ini. Sungguh tidak menyenangkan.Aku berharap Julie Estelle datang ke sini, dan tertawa melihatku bersama Argo.Argo berhenti memotong stik dagingnya. Ia memandangku dengan lembut, tatapan mata itu sudah menemaniku selama bertahun-tahun, sayang sekali hanya dengan peristiwa itu aku sudah mulai melupakannya."Mereka tidak bercerai," sahutnya yakin."Oh, hebat sekali Mas Pram, tidak menceraikan istrinya yang selingkuh. Tapi justru memecatku dari radio," aku tertawa keras. Sungguh tidak terlalu
Aku tahu, kalau aku nyaris menjadi sinting saat hujan mulai merapat tapi aku masih berada di halaman kos. Aku masuk terburu-buru ketika langit semakin pekat. Hujan makin lebat. Aku merasa aneh dengan diriku yang lamban.Apa yang kupikirkan sehingga aku bisa menjadi demikian terganggu?Langit Biru sudah merusak makan malamku dengan Argo.Ya, baiklah. Akan kuperjelas, Langit Biru sudah menjadi orang ketiga ketika aku, Argo, dan meja bertaplak merah kotak-kotak serta lilin berkedip-kedip di sebuah restoran.Dia duduk di sana, memandangiku. Mengamati sendok makan Argo. Atau mencebik ketika Argo mulai gencar merayu—dalam diksi yang halus.Dia masih berada di antara kami. Di tengah-tengah menu yang tadi nyaris kulupakan, padahal aku biasanya paling doyan makan.Ketika aku sampai di pintu kosku yang besar, dan sedikit basah karena air hujan memantul ke sini—di sanalah aku menepi. Aku mengeluarkan gawai dari dalam tasku, dengan jemari sedikit basah, dan layar monitor mulai berdisko karena tet
Aku berangkat begitu pagi, menghindari Argo akan menjemputku. Aku mematikan gawaiku dari Subuh. Aku tidak ingin diganggu siapapun. Aku tidak ingin menjadi sinting karena Biru.Ingat, aku ini janda.Masa bisa kasmaran begitu mudahnya dengan atasan yang terkenal playboy kelas kakap?Apa kata dunia?Apa kata bapakku?Apa kata Kanjeng Mami nanti?Aku menaiki ojek yang mangkal tak jauh dari kosku. Terburu-buru meloncat ke boncengan. Mengatakan pada abang ojek agar segera membawaku ke JMTV.Karena sedikit bingung, sang abang ojek sampai mengklarifikasi beberapa kali—apa benar aku akan pergi ke JMTV. Tentu saja benar! Memangnya tampangku, tidak menunjukkan kalau aku adalah salah satu pegawai di sana?Dengan senyum masam, akhirnya aku meluncur dengan cepat ke arah yang benar. Menuju kantor.Setelah melewati protokoler pegawai di pagi hari yang sibuk. Aku masuk dengan berjalan hati-hati. Melihat ke kiri dan kanan, aku tidak ingin bertemu Biru. Ini terlalu pagi.Bagaimana perasaanmu jika kau mi
Aku masuk ke kantornya dengan canggung. Perasaanku seperti digulung ombak besar, aku seperti orang linglung. Apa dia tahu kalau aku sedang ada dalam lautan bingung?Duh, kenapa ini otak kananku malah memproduksi narasi macam syair begini? Aku tersenyum konyol dalam hati. Sementara bulu kudukku meremang, tempat ini terlalu sepi. Bahkan kalau ada kuntilanak ngadain party di sini, dijamin tidak akan ada yang tahu.Begitu."Ya, Pak?" aku bersuara seperti penyiar radio di depan microphone yang sudah dipakai puluhan orang, agak jauh tapi dengan nada suara komersil.Biru masuk, dan ia masih berdiri. Aku juga masih berdiri, aku belum dipersilakan duduk. Jadi, aku tidak duduk."Jadi, bagaimana Pak. Apa kita impas?" aku berkata manis, dengan senyum mengembang.Impas, adalah diksi paling mungkin kukatakan saat ini. Aku menjalani misi yang membingungkan, dan jelas sekali aku masuk dalam pusara itu."Hari ini kau pakai sepatu hak tinggi lagi," begitu komentarnya. Ia duduk dengan kaki menyilang mir
Aku hanya menutup mulut dan memandangnya tajam. Dia kira aku seperti perempuan lain yang gampang ditindas apa?"Ngapain sih kamu? Ganggu-ganggu terus!" Biru berkata tajam, matanya seperti memerah menatap perempuan berambut hitam panjang sepunggung dengan high lite jingga di ujungnya."Aku kan sering ke sini kalau pagi, Ru. Nemuin kamu, tapi aku nggak pernah lihat ada perempuan sepagi ini di kantormu.""Ini urusanku.""Tapi aku berhak tahu," perempuan itu nyolot."Kamu sudah bukan siapa-siapaku lagi, Mel. Kita dah selesai."Duh, sejelas itu kok nggak malu sih Mbak? Apa tidak punya kemaluan?Aku terkikik dan menutup mulutku, dasar kau Anjani!"Kamu—kamu ngapain ngetawain saya!"Duh, Mbak. Kurang akting sinetronnya. Aku hanya diam saja. Malas mencampuri urusan bos."Sebaiknya kamu keluar, Mel." Biru berkata dingin, ada emosi yang menggelegak dalam diri Biru, aku merasakan getaran suaranya yang berbeda.Perempuan itu hanya tersenyum miring, ia malah asyik memainkan kukunya yang dihiasi ma
Untuk beberapa jenak, aku hanya bengong. Rasa-rasanya tidak mungkin Langit Biru begitu saja mengatakan itu. Aku jadi curiga, dia ngomong itu hanya ingin membuat aku salah tingkah.O, kalau dia melakukan itu tentu saja dia salah. Dia belum tahu, kalau aku dulu juga suka nge-prank saat bekerja sebagai announcer di radio.Jadi, ketika ia mengatakan itu, dengan penuh keyakinan tingkat tinggi, dan suara maskulinnya yang mungkin untuk sebagian perempuan bisa termehek-mehek. Aku justru tidak memberi reaksi apa-apa.Betul sekali, aku masih memasang raut wajah sedatar teflon saat ia mengatakan kalimat-kalimat khas Don Juan itu."Ehem," aku berdehem, terbatuk dengan sengaja, seperti akan melakukan testing sebelum siaran atau live, "Bapak lagi nge-prank saya kan?"Lalu aku tersenyum lebar, dengan wajah geli, agar ia tahu kalau sekarang aksinya itu tidak akan mempan di depanku. "Nggak mempan, Pak. Saya sudah tahu."Dia pikir siapa sih aku ini? Aku ini Anjani, perempuan dewasa yang sudah makan gar
"Bapak tahu nggak kalau saya ini dulu pernah nikah? Nggak tahu kan? Jadi, nggak apa-apa kalau tadi ditarik omongannya," kataku dengan mimik wajah memelas, kok jadi seperti aku yang ngotot dinikahi Biru sih?Dih, malu-maluin saja!"Ya, sudah deh, Pak. Saya permisi dulu," aku berbalik meninggalkan Biru yang sedang berada di luar galaksi, di antara ribuan bintang dan terasa jauh. Mending, aku ke kafetaria buat sarapan, aku mau menu yang berat saja.Bye bye diet.OOOSudah hampir pukul tujuh malam, seharian tadi aku berolah raga di luar bersama Bang Napi dan tim. Kebetulan ada atlit golf lokal yang sedang berjaya di salah satu turnamen dunia, jadi tadi aku memburu kedatangannya di Juanda.Lalu, kami membuntutinya ke apartemennya yang berada di jantung metropolis. Aku seperti berada dalam drama Korea, karena aku masih belum bisa melupakan kejadian tadi pagi. Jiwaku melayang-layang mirip roh penasaran.Aneh soalnya, masa Biru mau nikahin aku? Kesambet apa sih dia itu? Jangan-jangan hanya un
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d