"Ada nanti kukirim alamatnya."Baguslah. Jangan cerewet lagi dong, Pit.Setelah mengakhiri ceramahnya, Lupita pamit dan katanya dia mau memakai masker wajah. Kalau diteruskan, nanti maskernya retak dan dia tidak mendapatkan hasil yang bagus untuk proses pengencangan kulit wajahnya itu.Aku mengangguk, dan berjalan ke kamar mandi. Ingatan kalau tadi aku bersama Biru di toilet segera terpampang nyata di mataku. Aku menggeleng-nggelengkan kepala dan mengusir bayangan aneh itu.Bayangan Biru dengan kemeja biru bergaris tipis, sedang berjalan ke arahku, dua kancing kemeja bagian atasnya sengaja dilepas agar aku bisa melihat tubuhnya yang keras. Terasa mengintimidasiku dengan matanya yang beriris cokelat. Aku mengerjap. Seperti baru saja bermimpi.Aku tidak boleh membiarkan kepalaku dipenuhi bayangan Biru lagi. Ini pasti karena aku tidak membaca doa masuk kamar mandi. Benar saja. Ada setan laki-laki dan perempuan yang bisa menyergap kalau-kalau lupa mengucapkan doa.Aku mendelik menatap waj
Aku meneguk ludah canggung, ketika mendapatinya di sini. Apa dia ini juga nggak kepagian? Dia kan CEO, nggak perlu berlagak menjadi babu sepertiku yang harus mematuhi jadwal kerja kantoran.Aku mundur ke belakang hingga punggungku menyentuh kaca. Di bawah sana, aku bisa melihat pemandangan metropolis."Jangan terlalu mundur, kamu bisa menekan kaca itu, Bu Anjani," suaranya tampak tenang setenang telaga di Nepal sana."I—iya Pak Langit," aku maju dong. Karena ia menegurku begitu."Kenapa pagi sekali datangnya?""Say—saya tadi mungkin salah melihat jam dinding. Jadi, begitulah. Rasa-rasanya saya merasa telat, tapi di kantor sepi seperti kuburan."Duh, kenapa aku harus memakai diksi horor lagi sih? Benar-benar deh.Biru menoleh kepadaku, di sampingnya berjarak hanya beberapa jengkal saja. Aku merasa ia seperti raksasa yang berdiri dengan Thumbelina."Apa kau sudah sarapan tadi?" mata cokelatnya bergerak memindai penampilanku hari ini.Kenapa sih dia harus berbasa-basi seperti itu, aku me
Silakan berpikir Jani, tik-tok-tik-tok."Mungkin kita bisa bertemu di sana," dia mengintip arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.Orang aneh."Tentu saja, Pak Langit. Dengan senang hati," jawabku dengan nada senang yang terasa palsu."Tapi, apa hanya itu kau punya ilham memakai baju seperti ini?" selidiknya."Saya bermimpi." Eh, keceplosan."Ohya, menarik sekali. Ceritakan.""Sejak tadi saya sudah bercerita, Pak Langit.""Iya, tapi kau tak pernah menyebut tentang mimpi."Wajahku memerah malu, bukan karena pertanyaan Biru tentu saja. Tapi, ketika aku kembali mengingat apa mimpiku tadi malam.Duh.OOO"Mimpi saya terasa aneh, sedikit romantis—" aku memulai mengarang bebas dan penuh bualan fantasi."Mimpi erotis mungkin? Iya kan?" ia sedikit menahan tawa, tapi aku bersumpah melihat wajahnya memerah. Ada rona merah samar merambat di pipi dan kulit lehernya."Bukan erotis, Pak Langit. Saya bukan orang seperti itu," tukasku. Tapi aku yakin wajahku sudah seperti kepiting rebus
Hah. Percaya diri sekali, sih Biru."Kenapa suara itu harus suara Bapak sih? Kan saya belum tahu." Jawabku dengan suara meyakinkan. Persis sekali dengan aktingku saat berada di balik microphone siaran radio, ketika melakukan acara prank pada beberapa pendengar terpilih.Acara yang sama sekali tidak mendidik, tapi justru dicari-cari pendengar. Ratingnya selalu tinggi, padahal topiknya sederhana, 'ngerjain orang'.Ia memandangku dengan jenaka, sedikit tersenyum, sama sekali tidak tersinggung atau galak seperti biasanya, "Aku hanya menebak, Jani. Kenapa wajahmu jadi pucat?" Ia masih saja curiga rupanya.Ah, masa sih wajahku pucat? Apa ini efek karena belum sarapan?Tapi, dia mengira kalau pucat ini karena aku berbohong begitu kah?Gawat.Tring!Aku terlonjak kaget. Nyaris sempoyongan, kalau tidak berpegangan pada pegangan logam di sisi lift ini.Aku bernapas sedikit lega, mencuri pandang ke wajahnya yang datar. Namun, penuh dengan rasa ingin tahu.Yes, bunyi lift penyelamat hidupku. Aku
Oh, itu mungkin karena aku terjebak dalam permainan toilet bersamanya. Saat itu, di sebuah resto bebek.Sesederhana itu kah?Aku mengedikkan bahu, merasa sedikit aneh.Suara-suara orang-orang ribut itu mirip sekali dengan podcast berantem yang trending di Youtube. Skandal memang berita terbaik. Hehe.Aku tertawa geli. Begitu riangnya, hatiku ini karena ternyata Biru hanya laki-laki biasa. Well, aku senang ia tampak manusiawi begitu. Ia masih juga terbelit skandal.Poor Biru. Biru yang malang. Aku menahan bibirku agar tidak terlalu lebar tersenyum, ketika kudapati di depanku sudah ada sosok yang terasa menakutkan itu.Mimpi buruk belum berakhir Jani.OOO "Ngapain kamu di situ?" suara itu tidak datar atau rendah seperti biasanya. Justru tampak sedikit menyeramkan.Aku menunduk dalam-dalam. Sedari tadi, aku nggak berniat apapun. Aku hanya sekadar lewat, kebetulan begitu. Kalau aku mendengar banyak-banyak, mungkin karena itu takdir."Tadi, saya hanya lewat Pak.""Lewat atau nguping?""S
Aku mencoba mengalihkan pandangan, tapi rasanya mustahil dong, aku berada di mobil pribadi Pak CEO pada hari kedua kerja. Ini apa-apaan? Semacam skandal murahan atau apa?Hus. Jangan kege-eran tidak baik untuk karyawan baru macam kamu, Jani."Jangan melotot begitu dong, Jani. Santai saja, kalau kau terus begitu. Bisa kena serangan jantung nanti," dia menghardik dengan suara berwibawanya. Mirip sekali dengan suara yang biasa dipakai guru-guru TK saat merapikan barisan anak-anak ketika hendak masuk kelas.Napasku terasa tertahan. Ya, Tuhan. Ini mobil kenapa kecil sekali sih? Begini rupanya mobil mahal itu, justru sangat sempit sehingga mau tak mau aku harus menahan lututku ini agar tak menyentuh kakinya.Dia menoleh sebentar, sembari memutar kemudi. Matanya sehitam racun, dan seperti menusuk tepat di iris mataku. Dia seperti hendak bergerak ke arahku. Tapi, bohong. Dia tersenyum. Dia tertawa kecil. Dikiranya aku badut."Pak, jangan nakutin saya begitu dong," protesku akhirnya ketika per
Aku mulai memejamkan mata. Merasa embusan hawa dingin menyembur dari pendingin. Merasakan aroma jeruk dan mint yang terasa maskulin. Ada campuran cendana dan kulit berkualitas tinggi.Aku seperti terseret ke malam itu. Saat baru melihat Biru, tepatnya pada kemasannya sebagai CEO JMTV.Ia di sana, duduk dan segera berdiri ketika aku jatuh terjerembab di depan pintu kantornya yang mewah. Ia membantuku berdiri. Lelaki itu, dengan matanya yang tajam, pakaian yang berkelas masih mau melihatku. Mengadakan interview kecil yang sedikit kacau.Dia menoleh, seperti merasakan kalau pikiranku sedang mengghibahinya. Mobil memasuki sebuah restoran yang taman-tamannya terasa hijau dan segar."Kita sarapan dulu," katanya sembari memarkir kendaraannya di salah satu sudut. Ia turun dan membukakan pintu mobil. Aku meringis, sembari mengucapkan terima kasih. Ia tak ambil peduli.Ia mengambil tasku. Lalu mendekapnya seperti membawa jaketnya sendiri. Jemarinya yang kukuh dan besar menangkup tas itu. Entah
"Pagi yang indah kan, Jani?"Apa dia sedang berkata-kata manis? Seorang Biru yang galak dan menyeramkan? Aku tentu saja menanggapi dengan senyum dan perkataan yang baik, sudah ditraktir, dan diberi kesempatan di sini."Tentu, Pak," aku berhenti sebentar, menimang-nimang, apa aku bisa berteman dengannya, orang yang terasa musuh bebuyutan ini? "Terima kasih ya Pak.""Buat apa?""Ya, kan sudah mentraktir saya makan. Untuk kedua kalinya.""Ah, lupakan."Lalu hening. Seperti ada gerakan listrik yang merambat di udara. Atau ini hanya perasaanku saja? Seolah semua yang ada di sini sedang bergerak melambat layaknya lilin yang mencair."Aku tidak tahu kalau kalian di sini. Sungguh kebetulan sekali kan?"Oh. Benar sekali. Rumus kebetulan yang luar biasa."Wow, Argo. Aku tidak tahu kau sering ke sini.""Apa Jani tak bercerita padamu?""Buat apa?" Biru mengedikkan bahunya. Ia menyesap teh, mengusap mulutnya dengan tisu, dan merapikan jasnya."Go, kamu sarapan di sini?" kataku, seperti terbangun d