Aku mencoba mengalihkan pandangan, tapi rasanya mustahil dong, aku berada di mobil pribadi Pak CEO pada hari kedua kerja. Ini apa-apaan? Semacam skandal murahan atau apa?Hus. Jangan kege-eran tidak baik untuk karyawan baru macam kamu, Jani."Jangan melotot begitu dong, Jani. Santai saja, kalau kau terus begitu. Bisa kena serangan jantung nanti," dia menghardik dengan suara berwibawanya. Mirip sekali dengan suara yang biasa dipakai guru-guru TK saat merapikan barisan anak-anak ketika hendak masuk kelas.Napasku terasa tertahan. Ya, Tuhan. Ini mobil kenapa kecil sekali sih? Begini rupanya mobil mahal itu, justru sangat sempit sehingga mau tak mau aku harus menahan lututku ini agar tak menyentuh kakinya.Dia menoleh sebentar, sembari memutar kemudi. Matanya sehitam racun, dan seperti menusuk tepat di iris mataku. Dia seperti hendak bergerak ke arahku. Tapi, bohong. Dia tersenyum. Dia tertawa kecil. Dikiranya aku badut."Pak, jangan nakutin saya begitu dong," protesku akhirnya ketika per
Aku mulai memejamkan mata. Merasa embusan hawa dingin menyembur dari pendingin. Merasakan aroma jeruk dan mint yang terasa maskulin. Ada campuran cendana dan kulit berkualitas tinggi.Aku seperti terseret ke malam itu. Saat baru melihat Biru, tepatnya pada kemasannya sebagai CEO JMTV.Ia di sana, duduk dan segera berdiri ketika aku jatuh terjerembab di depan pintu kantornya yang mewah. Ia membantuku berdiri. Lelaki itu, dengan matanya yang tajam, pakaian yang berkelas masih mau melihatku. Mengadakan interview kecil yang sedikit kacau.Dia menoleh, seperti merasakan kalau pikiranku sedang mengghibahinya. Mobil memasuki sebuah restoran yang taman-tamannya terasa hijau dan segar."Kita sarapan dulu," katanya sembari memarkir kendaraannya di salah satu sudut. Ia turun dan membukakan pintu mobil. Aku meringis, sembari mengucapkan terima kasih. Ia tak ambil peduli.Ia mengambil tasku. Lalu mendekapnya seperti membawa jaketnya sendiri. Jemarinya yang kukuh dan besar menangkup tas itu. Entah
"Pagi yang indah kan, Jani?"Apa dia sedang berkata-kata manis? Seorang Biru yang galak dan menyeramkan? Aku tentu saja menanggapi dengan senyum dan perkataan yang baik, sudah ditraktir, dan diberi kesempatan di sini."Tentu, Pak," aku berhenti sebentar, menimang-nimang, apa aku bisa berteman dengannya, orang yang terasa musuh bebuyutan ini? "Terima kasih ya Pak.""Buat apa?""Ya, kan sudah mentraktir saya makan. Untuk kedua kalinya.""Ah, lupakan."Lalu hening. Seperti ada gerakan listrik yang merambat di udara. Atau ini hanya perasaanku saja? Seolah semua yang ada di sini sedang bergerak melambat layaknya lilin yang mencair."Aku tidak tahu kalau kalian di sini. Sungguh kebetulan sekali kan?"Oh. Benar sekali. Rumus kebetulan yang luar biasa."Wow, Argo. Aku tidak tahu kau sering ke sini.""Apa Jani tak bercerita padamu?""Buat apa?" Biru mengedikkan bahunya. Ia menyesap teh, mengusap mulutnya dengan tisu, dan merapikan jasnya."Go, kamu sarapan di sini?" kataku, seperti terbangun d
"Mama! Ada orang berkelahi betulan, Ma," teriak seorang anak kecil kegirangan. Dikiranya ini pertunjukan mungkin."Seru!""Hah? Apa?""Lihat, cepat-cepat dong.""Wah, asyik nih bisa dibuat konten.""Ada yang lagi berantem. Betulan berantem lho!" teriak seorang anak remaja. Sembari menangkup kedua pipi gembulnya dengan dua telapak tangan. Mirip sekali gaya Macaulay Culkin dalam film Home Alone yang termasyhur di masanya.Hih. Di mana sih petugas keamana restoran ini?Dugh!Dugh!Brak!Hais. Nggak keren banget sih, ini dua orang. Berantemnya nggak brutal dan macho seperti Iko Uwais di The Raid. Jauh banget. Ini malah seperti jambak-jambakan. Ya, tapi sesekali diiringi adu jotos, biar ada kesan manly-nya.Aku meringis, saat dua tinju Biru menghantam rahang Argo. Argo terhuyung-huyung seolah ada ribuan bintang kuning kecil-kecil di kepalanya. Berputar-putar begitu mungkin.Biru mengibaskan tangannya, "Nyerah, lu?" katanya dalam bahasa yang kutahu jarang sekali digunakan. Bahasa yang sedik
Keesokan pagi, aku sangat sulit bangun dari tempat tidur. Kepalaku diserang rasa sakit luar biasanya, mirip sekali vertigo. Semoga saja bukan. Hanya pusing sebelah. Pandangan mataku berkunang-kunang.Aku menelepon Bos Tisu, mengabarkan jika aku akan terlambat. Di luar dugaan Bosi Tisu mengiyakan, dengan penuh kasih sayang. "Istirahatlah, yang baik An. Aku tahu kamu butuh waktu untuk sendiri."Lha, dikiranya apa aku sedang patah hati?Ulah orang-orang di divisi Aneh Tapi Langka memang di luar nalar sehat. Seperti tanggapan Bos Tisu tadi. Berbeda dengan Bang Napi, yang kemarin sepanjang perjalanan menjahiliku dengan video viral di taman resto.Secepat itu bisa viral di medsos, apa mereka tahu kalau orang yang sedang mengomeli dua laki-laki yang berkelahi itu aku. Aku melihat video itu hanya memperlihatkan stiletto merahku saja. Bersama suaraku yang khas.Sialan, kalau jeli para pendengar di radioku dulu bisa saja mengenali kalau perempuan misterius itu aku.Judul video berdurasi dua men
Aku menyambar jilbab kaos dari balik pintu, segera membuka dan menemukan senyum sang kurir dalam kesan terpaksa."Mbak Anjadi?""Anjani.""Eh, iya maksud saya Anjani.""Ada apa?""Ini ada kiriman, tolong ditanda tangani di sini."Setelah basa basi protokoler penerimaan paket, aku menutup pintu. Mimpi apa aku semalam, ada yang mengirimkan buket besar bunga mawar seperti ini? Ini betul-betul mawar merah kan? Bukan bunga pemakaman?Maaf, sudah membuat sarapanmu berantakan.Hanya itu. Tidak ada nama pengirim apapun di sana. Aku kembali berpikir, apakah ini kiriman Argo? Jelas sekali Biru tak mungkin mengirimkan bunga-bunga ini. Lagi pula, ia tak pernah tahu di mana aku tinggal. Satu-satunya yang tahu alamat kosku ada Argo.Kenapa harus Argo sih?Tapi, ketika memandang bunga-bunga cantik ini mood-ku langsung meninggi. Tiba-tiba aku merasa begitu dihargai. Setidaknya, tidak dianggap tidak penting lagi. Aku suka bunga-bunga mawari ini.Ini terasa romantis. Bentuk permintaan maaf yang terasa
Aku menggantungkan blazer dan langsung menuju ruang MUA. Di sana, sudah berjajar beberapa presenter, artis, dan narasumber untuk program komedi dan talk show di divisi sebelah. Ruang penuh oleh orang-orang yang lalu lalang. Suara-suara MUA yang melengking dan kemayu. Aku berdiri kaku menatap semua keriuahan yang aneh ini. Kenapa aku harus ke sini sih? Biasanya, aku cukup hanya berdandan tipis ala-ala make up flawless yang tidak tebal atau norak. Sesekali, berdandan saat liputan kadang tidak tepat, misalnya saat di peternakan sapi aku sama sekali tidak berdandan, kecuali hanya untuk menghilangkan minyak di wajah. Aku tahu sapi tidak akan bisa menyaingi kecantikanku, camkan itu pemirsa! Aku terkikik geli, ketika membayangkan liputan di peternakan sapi yang riuh dan begitu ramai. Tiba-tiba seseorang mencolek pinggangku, aku tahu kalau itu Mbak Tina. Sekretaris divisi yang luwes dan terasa jauh lebih dewasa ketimbang anggota lainnya yang begitu aneh, seperti diriku ini. "Mbak juga mau
Aku berjalan perlahan dengan stiletto merah, menurut timku sebaiknya aku memakai heels karena narasumber kali ini adalah orang yang begitu penting, dan memiliki postur tinggi.Leherku akan sakit jika nekad mengenakan sepatu tanpa hak. Jadi, inilah aku dalam pakaian presenter talk show resmi, jauh sekali seperti hari-hariku bersama Bang Napi.Aku mengenakan rok span panjang dan licin dari bahan jersey dan wool, atas blus sutera dan blazer dengan bahan lembut layaknya beludru, serta hijab voal bercorak lembut dan samar.Aku tadi, nyaris protes kenapa harus memakai pakaian seperti ini. Mbak Tina, berkata nanti aku akan mendatangi narasumber di sebuah tempat peristirahatan yang sangat dingin.Tempatnya, tidak jauh. Mungkin satu jam lebih berkendara dalam minivan. Tempat itu adalah Tretes, laiknya tempat wisata di dataran tinggi yang dekat di sekitar Surabaya. Kalau berkendara ke Malang, atau Batu malah lebih jauh lagi. Aku bersyukur hanya sampai di Tretes saja."Apa kau bisa mempertahanka
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d