Pagi itu, Bella berdiri di balkon kamar hotelnya, memandangi pemandangan kota Dubai yang dipenuhi kemewahan. Angin sejuk meniup rambutnya, tetapi rasa gelisah di hatinya jauh lebih kuat daripada apa pun yang bisa ia rasakan di luar. Keputusan yang telah ia buat semalam terus bergema di pikirannya: ia harus kembali ke Indonesia. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir telah membuatnya lelah secara emosional. Pertemuan tak terduga dengan Cakra, konfrontasi di balkon, hingga ancaman terselubung yang dilontarkan oleh pria itu—semuanya telah mencapai puncaknya. Bella merasa bahwa meninggalkan Dubai adalah satu-satunya cara untuk memberinya ruang bernapas. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas barang-barangnya. Setiap pakaian yang dilipat ke dalam koper seolah-olah mewakili satu kenangan yang harus ia tinggalkan. Ketika ia mencapai meja kerja di sudut ruangan, matanya tertuju pada bingkai foto kecil yang ia bawa dari kantor—foto bersama timnya, termasuk Ain. Ia mengambilnya,
Pagi itu, Ain terbangun dengan rasa hampa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kamar hotel mewah di Burj Al Arab terasa begitu sunyi tanpa kehadiran Bella. Ketika ia membuka tirai dan membiarkan sinar matahari masuk, perasaan kehilangan itu semakin kuat. Bella sudah pergi. Ia melangkah ke meja kecil di sudut ruangan, dan di sanalah ia melihat amplop putih dengan namanya tertulis di atasnya. Tulisan tangan Bella yang anggun langsung membuat jantungnya berdebar. Dengan tangan gemetar, Ain mengambil amplop itu dan membukanya perlahan. Surat itu dimulai dengan sapaan lembut yang sangat khas Bella: _Ain, terima kasih untuk segalanya._ Ain menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca dengan penuh perhatian. Kata-kata Bella terasa seperti suara yang berbicara langsung kepadanya, seolah Bella ada di sana, duduk di sampingnya. _Bersamamu, aku merasa bahagia. Kau memberiku kesempatan untuk merasa bebas, meskipun hanya untuk beberapa hari. Namun, ada sesuatu dalam diriku yang tidak
Langit Jakarta pagi itu terlihat kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Ain yang masih berat setelah perjalanannya di Dubai. Ia melangkah keluar dari mobil dengan langkah perlahan, menyusuri lobi gedung kantornya yang ramai dengan orang-orang berlalu-lalang. Suara dering telepon dan obrolan para karyawan terdengar samar di telinganya, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar ia perhatikan. Semua terasa seperti latar belakang yang hampa—seperti dirinya saat ini.Setelah beberapa hari cuti untuk perjalanan bisnis sekaligus mencari jawaban atas misteri Bella, Ain merasa perlu kembali ke rutinitasnya. Ia berharap pekerjaan bisa menjadi pelarian, sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya dari surat Bella yang terus menghantui. Namun, begitu ia melangkah masuk ke ruang kerjanya, Ain sadar bahwa itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.Meja kerjanya dipenuhi tumpukan dokumen dan laporan yang menunggu untuk ditinjau. Laptopnya menyala dengan puluhan email belum terbaca, sebagian besar
Langit malam Jakarta terasa gelap dan berat, seperti suasana hati Bella yang kini dipenuhi kebingungan dan keputusasaan. Ia duduk di tepi ranjang di sebuah kamar yang tidak lagi terasa asing baginya—kamar yang pernah ia tinggalkan dengan tekad untuk tidak kembali. Namun, di sinilah ia sekarang, di rumah Cakra, pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Keputusan untuk kembali ke tempat ini bukanlah keputusan yang mudah. Bella tahu bahwa tinggal bersama Cakra berarti membuka kembali lembaran lama yang penuh luka dan kenangan pahit. Namun, tekanan emosional yang ia rasakan dalam beberapa minggu terakhir membuatnya merasa tidak punya pilihan lain. Dunia di luar terasa terlalu menakutkan, terlalu penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Di sisi lain, Cakra menawarkan sesuatu yang selama ini ia rindukan: kenyamanan, meski dalam bentuk yang beracun.Bella memandangi bayangannya di cermin besar di sudut kamar. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya—bekas dari
Langit Jakarta yang biasanya terasa penuh kehidupan kini tampak suram bagi Ain. Ia duduk sendirian di ruang tamu apartemennya, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin di meja. Suara lalu lintas dari jalanan di bawah terdengar samar, tetapi tidak cukup untuk mengusir keheningan yang menyelimuti pikirannya. Semuanya terasa hampa, seperti ada ruang kosong di dalam hatinya yang tidak bisa ia isi.Sudah beberapa hari sejak Ain mengetahui bahwa Bella telah mengundurkan diri sebagai sekretarisnya. Keputusan itu datang tiba-tiba, tanpa peringatan atau penjelasan. Bella pergi begitu saja, meninggalkan surat pengunduran diri yang formal tetapi tanpa emosi—tanpa alasan yang jelas. Dan sejak saat itu, hidup Ain terasa kehilangan arah.Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras, tetapi setiap kali ia membuka email atau membaca laporan, bayangan Bella selalu muncul. Ia teringat bagaimana Bella dulu selalu membantunya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sulit dengan senyuman dan
Langit Jakarta sore itu tampak cerah, tetapi hati Ain masih terasa mendung. Sudah berminggu-minggu sejak ia terakhir kali mendengar kabar tentang Bella, dan meskipun ia telah berusaha keras untuk mencari kejelasan, semuanya tetap terasa buntu. Ruang kosong di hatinya semakin sulit diabaikan, tetapi Ain tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam kesedihan ini. Ia harus menemukan cara untuk melanjutkan hidup, meskipun hanya sementara.Di tengah kekacauan emosinya, Ain memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa kehilangan yang terus menghantuinya. Ia memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di kantornya, sebuah acara sederhana untuk merayakan pencapaian timnya sekaligus memberikan suasana baru di tengah rutinitas yang monoton.“Pesta perpisahan untuk proyek besar ini,” begitu ia menyebutnya kepada rekan-rekannya. Proyek besar yang baru saja selesai menjadi alasan sempurna untuk mengadakan acara ini, meskipun dalam hati A
Langit Puncak yang biasanya sejuk dan menenangkan terasa seperti penjara bagi Bella. Vila kecil tempat ia tinggal bersama Cakra dikelilingi oleh pepohonan rindang dan udara segar, tetapi keindahan itu tidak mampu mengusir rasa sesak yang terus menghantuinya. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamar. Namun, angin itu tidak membawa ketenangan—hanya mengingatkan Bella pada kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya.Sudah beberapa minggu sejak ia memutuskan untuk kembali ke Cakra. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia buat dengan mudah; ia tahu betul risiko yang datang bersamanya. Namun, tekanan emosional dan perasaan tidak punya tempat lain untuk pergi membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Cakra, dengan segala janji manisnya, telah meyakinkannya bahwa mereka bisa memulai kembali dari awal—bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki.Pada awalnya, Bella mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan
Hujan masih mengguyur dengan deras, menciptakan irama yang semakin mendalam dalam kesunyian malam. Cakra berdiri di dekat jendela, matanya terfokus pada langit yang kelam, namun pikirannya jauh melayang. Sejak beberapa minggu terakhir, ia mulai merasakan ada yang berbeda dengan Bella. Wanita yang biasanya ceria dan terbuka, kini terlihat lebih sering menarik diri, menghindar dari percakapan dan cenderung menyimpan rahasia.Cakra mencoba mengabaikan perasaan curiga yang mulai merayap dalam dirinya, namun setiap kali ia berusaha mendekati Bella, ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Perubahan kecil, seperti ketidakhadirannya dalam percakapan yang biasanya penuh tawa, atau wajahnya yang tampak murung, membuat Cakra semakin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu darinya?Di satu sisi, Cakra merasa bingung. Ia tahu, dalam hubungan mereka, kejujuran adalah hal yang selalu dijunjung tinggi. Namun, apa yang bisa dia lakukan jika Bella malah semak
Langit pagi itu menyapa mereka dengan keheningan yang aneh, seolah turut merasakan keputusan besar yang baru saja mereka buat. Di luar jendela, langit yang cerah membentang tanpa awan, menyiratkan kebebasan yang akhirnya mereka ambil—setelah begitu banyak waktu terperangkap dalam kebingungannya masing-masing.Bella berdiri di samping jendela rumah sakit, tatapannya kosong, tetapi ada sedikit cahaya yang memantul di matanya. Ia memandang ke luar, mencoba menangkap perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Beberapa hari yang lalu, segala sesuatunya terasa berat, seperti beban yang tak terangkat. Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada secercah harapan, meskipun itu terasa rapuh."Ain," suara Bella terdengar lirih, namun penuh arti. Ain yang duduk di dekat ranjang, menatapnya dengan penuh perhatian, menyadari ada sesuatu yang baru dalam diri Bella."Apa?" jawab Ain, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Ia menatap Bella, sedikit ragu, tetapi juga penuh
Hujan masih turun dengan deras saat Ain menggenggam tangan Bella lebih erat, memimpin langkah mereka yang semakin lesu menuju rumah sakit terdekat. Bella terhuyung lemah di sampingnya, tubuhnya masih terguncang oleh apa yang baru saja mereka alami, dan lebih dari itu, hati Bella terbelenggu oleh rasa takut yang semakin dalam.Ain tidak tahu harus bagaimana. Setiap langkah yang mereka ambil semakin menjauh dari tempat di mana Alfi berjuang sendirian. Setiap detik yang berlalu semakin membuat rasa bersalahnya membengkak. Di dalam kepalanya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar: Apakah mereka telah membuat keputusan yang benar? Apakah mereka seharusnya kembali untuk Alfi?Lalu, saat matanya tertuju pada wajah Bella yang semakin pucat, rasa bersalah itu semakin mencekiknya. Mungkin seharusnya dia tidak membiarkan Bella pergi begitu saja. Seharusnya mereka bertahan, berdua, bersama Alfi. Tapi kenyataannya, mereka melarikan diri. Kini, mereka berada di tempat yang j
Hujan turun deras malam itu, mengguyur tanah dengan keteguhan yang sama seperti perasaan Bella. Setiap tetes yang menyentuh kulitnya terasa seolah membawa berat dunia yang tak bisa lagi ia tanggung. Angin dingin menyapu wajahnya, dan langkahnya yang terhuyung-huyung semakin sulit untuk dipertahankan. Bella mencoba berlari, meskipun kaki dan pikirannya seolah menentang niatnya.Cakra, dengan segala kekuatannya, telah mengejarnya, dan kali ini, ia tidak berniat untuk melepaskannya begitu saja. Saat Bella mencoba melarikan diri dari tempat yang semula ia kira aman, Cakra yang penuh amarah melesatkan ancaman yang lebih tajam dari pisau, membuat setiap keputusan Bella terasa semakin sulit. Dan meski hujan tak pernah berhenti, air mata Bella ikut bergulir, membasahi pipinya.Kakinya tersandung sebuah batu besar di tengah jalan, tubuhnya terjatuh ke tanah basah dengan keras. Sebuah rasa sakit yang tajam melilit di pergelangan kakinya, dan ia pun meringis. Cakra sudah terlalu
Pagi itu, sinar matahari mengalir lembut melalui sela-sela pepohonan yang tinggi, menyinari jalan setapak yang berkelok menuju desa terpencil. Ain dan Alfi berjalan bersama, langkah mereka mantap meski ada beban yang tak terungkapkan dalam setiap langkah itu. Mereka telah menempuh perjalanan jauh, melewati hutan-hutan dan bukit-bukit, demi satu tujuan yang kini ada di depan mata mereka: menemukan Bella.Ain memegang secarik kertas yang didapatnya dari pria tua yang bertemu dengannya kemarin. Pada kertas itu tertulis alamat yang mereka yakini sebagai tempat tinggal Bella. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada perasaan cemas yang menggantung di udara—perasaan yang tidak bisa disembunyikan oleh keduanya."Ain, kamu yakin ini tempatnya?" tanya Alfi, menatap peta di tangannya. Suaranya sedikit serak, menandakan betapa lelahnya mereka setelah perjalanan panjang ini.Ain mengangguk pelan, matanya tertuju ke jalan yang semakin menyempit, tanda bahwa mereka sem
Pagi itu, langit seakan merasakan beban yang tengah dipikul oleh hati manusia. Cahaya matahari yang biasanya begitu cerah, tampak muram, seperti tidak ingin ikut campur dalam kisah yang sedang berlangsung. Di sebuah apartemen yang terletak di lantai lima sebuah gedung tua, Bella berdiri di balik tirai yang memayungi dunia luar. Wajahnya yang dulu cerah kini pucat, seperti langit yang enggan tersenyum.Di sekelilingnya, dunia masih begitu tenang—tapi tidak di dalam hatinya. Di dalam hatinya, badai berputar. Cakra tidak tahu, dia tidak akan tahu, apa yang ada di dalam jiwa Bella. Namun Bella tahu satu hal pasti—dia tidak bisa tinggal di tempat ini lebih lama lagi.Matanya menatap ponsel di tangannya. Pesan itu—pesan yang ditulis dengan begitu hati-hati—seakan membawa Bella kembali ke sebuah tempat yang dulu ia kenal, tempat yang penuh dengan harapan, namun juga terperangkap dalam kenangan pahit. Bukit Kenangan. Tempat yang tak pernah benar-benar b
Malam menggantung seperti tirai kelabu yang penuh debu sejarah. Di kejauhan, suara klakson kendaraan terdengar samar-samar, seperti orkestra sumbang yang dimainkan oleh waktu. Ain berjalan menyusuri lorong sunyi menuju rumah Alfi, sahabat yang selalu menjadi labuhan dari setiap badai dalam hidupnya. Hujan yang tadi turun deras kini hanya menyisakan aroma tanah basah dan titik-titik gerimis yang jatuh malas ke bumi, seolah mereka pun enggan mengganggu ketenangan malam.Langkah Ain terhenti di depan pintu kayu tua yang sudah mulai lapuk di bagian ujungnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Ketukan pertamanya pelan, ragu-ragu—seperti perasaannya sendiri. Namun, ketukan kedua terdengar lebih mantap, sebuah keputusan yang sudah lama dipendam. Tidak sampai sepuluh detik, pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok Alfi dengan senyum yang sama seperti dulu: hangat, tenang, dan penuh pengertian."Ain?" Alfi menyipitkan matanya, tampak heran melihat wajah sahabat
Malam itu, Ain duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakannya yang kecil, menikmati kesunyian yang jarang ia rasakan. Setelah seharian bekerja keras, ia merasa sedikit lebih lega karena malam ini tidak ada pekerjaan menumpuk yang harus ia selesaikan. Ia memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk dirinya sendiri, beristirahat dari segala kewajiban yang selalu mengikatnya. Hujan yang turun di luar jendela menciptakan ketenangan yang nyaman, suara tetesan air menenangkan pikirannya yang terkadang penuh dengan kekhawatiran.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, memecah keheningan yang nyaman itu. Ain melirik layar ponsel yang tergeletak di sampingnya di meja kecil, dan melihat ada pesan masuk. Nomor yang tertera adalah nomor yang tidak dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, Ain membuka pesan tersebut. Pesan itu singkat, hanya terdiri dari beberapa kalimat yang langsung menarik perhatian. Meskipun tidak ada nama yang tercantum, Ain merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat pribadi dan mendala
Hujan masih mengguyur dengan deras, menciptakan irama yang semakin mendalam dalam kesunyian malam. Cakra berdiri di dekat jendela, matanya terfokus pada langit yang kelam, namun pikirannya jauh melayang. Sejak beberapa minggu terakhir, ia mulai merasakan ada yang berbeda dengan Bella. Wanita yang biasanya ceria dan terbuka, kini terlihat lebih sering menarik diri, menghindar dari percakapan dan cenderung menyimpan rahasia.Cakra mencoba mengabaikan perasaan curiga yang mulai merayap dalam dirinya, namun setiap kali ia berusaha mendekati Bella, ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Perubahan kecil, seperti ketidakhadirannya dalam percakapan yang biasanya penuh tawa, atau wajahnya yang tampak murung, membuat Cakra semakin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu darinya?Di satu sisi, Cakra merasa bingung. Ia tahu, dalam hubungan mereka, kejujuran adalah hal yang selalu dijunjung tinggi. Namun, apa yang bisa dia lakukan jika Bella malah semak
Langit Puncak yang biasanya sejuk dan menenangkan terasa seperti penjara bagi Bella. Vila kecil tempat ia tinggal bersama Cakra dikelilingi oleh pepohonan rindang dan udara segar, tetapi keindahan itu tidak mampu mengusir rasa sesak yang terus menghantuinya. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang terbuka lebar, membiarkan angin pagi masuk ke dalam kamar. Namun, angin itu tidak membawa ketenangan—hanya mengingatkan Bella pada kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya.Sudah beberapa minggu sejak ia memutuskan untuk kembali ke Cakra. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang ia buat dengan mudah; ia tahu betul risiko yang datang bersamanya. Namun, tekanan emosional dan perasaan tidak punya tempat lain untuk pergi membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Cakra, dengan segala janji manisnya, telah meyakinkannya bahwa mereka bisa memulai kembali dari awal—bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki.Pada awalnya, Bella mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan