Share

36. Surprise!

Author: Nina Milanova
last update Last Updated: 2022-01-09 00:44:44
Jakarta, 29 Maret 2018

“Pak Bram, ini ada paket untuk Bapak,” serbu Niken.

Bram baru saja menginjakkan kakinya memasuki ruangan procurement. Gadis itu langsung menyambutnya.

“Paket untuk saya?” Kening lelaki itu berkerut. “Dari siapa?”

“Kurang tahu, Pak. Tadi office boy yang antar ke sini.”

“OK. Thanks.”

Bram menerima kotak berwarna merah dengan hiasan pita satin berwarna hitam itu. Kemudian, lelaki itu berlalu ke ruang kacanya. Arloji di pergelangan tangan kanan Bram menunjuk pukul 13.30. Usai mengurus kepulangan Andra dari rumah sakit, dia mengantar gadis itu pulang. Itu sebabnya dia baru sampai sesiang ini.

Lelaki itu menoleh ketika seseorang mengentuk pintu. “Ada apa, Al?”

“Imel telepon terus dari tadi. Dia nyari kamu , Bram,” ujar Alena seraya menyelipkan separuh badannya di sela pintu.

“Ada perlu apa?”

Perempuan itu mengedikkan bahu. “Kayaknya ada sesuatu yang penting banget.”

“Seharusnya, dia bisa menghubungi saya.”

“Dia bilang nggak ada respond. Ya sudah. Aku cuma m
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Asmara dalam Prahara   37. Ikuti Saja!

    Jakarta, 29 Maret 2018 Andra baru saja hendak memejam. Obat yang diminumnya membuat kantuk menyerang. Namun, nada dering ponselnya tak kunjung berhenti berbunyi. Gadis itu menegakkan tubuh lalu menggapai gawainya. Benda itu dia letakkan di atas nakas sejak kembali ke kamarnya. “Halo,” sahutnya usai menggeser ikon gagang telepon. “Rara, kamu tidak ke mana-mana kan?” tanya Bram. “Nggak, Pak. Saya baru saja mau tidur. Apa saya harus ke kantor sekarang?” Bram berdecak. Mengapa hanya pekerjaan saja yang ada di kepala gadis itu? Tiap kali Bram menghubunginya, dia selalu membicarakan masalah kantor. “Apa menurut kamu, saya sekejam itu?” “Nggak, sih, Pak. Siapa tahu memang ada yang harus saya selesaikan,” balas Andra. “Kamu istirahat saja dulu. Tidak usah pikirkan soal perkerjaan.” “Iya, Pak. Terima kasih. Saya kira Pak Bram menelepon saya karena ada yang penting.” “Memang ada yang penting. Pastikan pintu kamar kamu terkunci, Ra.” “Jangan khawatir, Pak. Saya memang selalu mengunci pi

    Last Updated : 2022-01-10
  • Asmara dalam Prahara   38. Menemui Baswara

    Jakarta, 11 Februari 2013 Dua minggu berlalu sejak Bram menghadiri pernikahan Satria. Pagi itu pukul 08.10, dia duduk berhadapan dengan Baswara. Sang ayah sudah sampai di ruang kerjanya. Ruang yang cukup luas untuk memarkir enam buah mobil. Letaknya di lantai 20 sebuah gedung di kawasan bisnis Jakarta Selatan. Bukan tanpa alasan Bram ada di sana. “Aku kemari hanya untuk mengembalikan ini,” tutur lelaki itu. Dia menyorongkankan satu set kunci mobil beserta surat-suratnya di atas meja. Kemarin, seorang pengawal Baswara mengantarkan sebuah sedan seharga milyaran ke tempatnya. Bram merasa sedikit tersinggung. Apa maksud Baswara melakukan itu padanya? Ketika bertemu di acara Satria, ayanhnya itu menunjukkan ekspresi tidak suka. “Masih sombong seperti biasa,” komentar Baswara. Lelaki dengan rambut yang telah memutih itu duduk di sebuah kursi besar. Di belakangnya, pemandangan gedung-gedung pencakar langit tampak dari jendela. Bram tersenyum simpul lalu berdalih, “Aku tidak sanggup

    Last Updated : 2022-01-11
  • Asmara dalam Prahara   39. Uang Suap

    Jakarta, 6 Februari 2002 Sedan silver yang Bram kemudikan baru saja keluar dari area gedung Cakrawangsa Persada. Langit Jakarta sudah meredup sejak dua jam lalu. Sinar matahari berganti cahaya lampu penerang jalan. “Bram, kamu nanti langsung pulang saja. Jemput saya lagi besok pagi,” titah lelaki berkacamata yang duduk di bagian belakang kabin. “Baik, Om,” sahut Bram. “Saya harus sampai jam berapa?” “Jam tujuh pagi. Kebetulan, besok saya ada meeting di Gatot Subroto. Kamu sekalian antar saya ke sana. Kamu tidak ada jadwal bertemu dosen kan?” “Kebetulan sedang kosong, Om.” “Besok kamu ikut saya. Kamu bisa belajar berinteraksi dengan klien-klien saya.” Gunawan berucap sambil menikmati pemandangan di luar jendela. Tumben sekali sore ini lengang. “Iya, Om. Terima kasih,” balas Bram. Dalam benaknya, pemuda itu bertanya-tanya, “Apa dia tidak salah?” Dari kaca spion Bram melihat Gunawan memijat keningnya. “Coba saja Stanley seperti kamu. Anak itu terlalu santai menghadapi hidup. Terl

    Last Updated : 2022-01-11
  • Asmara dalam Prahara   40. Bertemu Lagi

    Jakarta, 29 Maret 2018 Bram memarkir mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua. Jalan di depan rumah itu hanya bisa dilalui satu buah kendaraan roda empat. Itu sebabnya dia harus rela mengalah pada sebuah taksi. Sedan berwarna biru itu berpapasan di tikungan beberapa saat lalu. Dengan jantung yang berdetak tak karuan Bram memasuki pagar. Kamar Andra terletak di ujung. Tepat berbatasan dengan tembok tetangga sebelah rumah. Siang itu suasana kos-kosan Bu Rima tampak sepi. Tidak ada seorang pun yang tampak. Sebagian besar penghuninya adalah karyawati. Sisanya para mahasiswi. Pasti mereka sedang berada di tempat aktivitas masing-masing. Sekilas tak ada sesuatu yang mencurigakan. Namun, Bram tetap tak sabar untuk menemui Andra. Dia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Begitu tiba di depan pintu kamar Andra, lelaki itu melihat sepasang sandal perempuan. Bram tahu itu bukan milik Andra. Ukurannya terlalu besar. Pintu kamar tidak tertutup sempurna. Ada sedikit celah te

    Last Updated : 2022-01-12
  • Asmara dalam Prahara   41. Gawat!

    Jakarta, 29 Maret 2018 “Pak Bram? Bapak kenal dengan Mama saya?” Andra muncul di belakang Utari. Gadis itu mengernyit sambil memandang ke arah Bram dan ibunya secara bergantian. “Mama kenal atasan Rara?” “Apa? Ternyata, dia menjadi atasan Rara?” batin Utari dengan dada bergemuruh. Bram tidak menjawab. Sebisa mungkin lelaki itu bersikap tenang. Bram berharap Utari tetap diam seperti itu. Ini bukan waktu yang tepat untuk membongkar masalah yang sempat dilupakan. Ada hal yang lebih penting saat ini. Keselamatan Andra! “Oh, iya, Ra,” sahut Bram cepat. “Ibu kamu pemilik salah satu toko kue di Malioboro kan? Saya pernah mampir membeli oleh-oleh waktu berlibur ke sana.” Utari tersenyum mendengarnya. Meskipun lengkung yang tergambar di wajahnya terlihat kaku. Hampir saja perempuan itu mati berdiri. “Iya, Ra. Mama ingat. Dia pernah mampir ke toko,” timpal Utari seolah-olah mengiyakan pengakuan Bram. Andra menaikkan sebelah alisnya sambil membalas, “Oh, begitu.” “Kamu tidak apa-a

    Last Updated : 2022-01-14
  • Asmara dalam Prahara   42. Sebuah Perjanjian

    Jakarta, 25 Februari 2010 Bram memasuki sebuah restoran yang terletak di lantai paling atas sebuah pusat perbelanjaan. Matanya menilik setiap meja yang terisi. Mencari satu sosok yang membuatnya meluangkan waktu datang ke tempat itu. Rupanya, seorang perempuan menyadari kedatangannya. Dia mengangkat tangan dan melambai ke arah lelaki itu. Perempuan itu sudah sampai sejak setengah jam lalu. “Kenapa tiba-tiba Ibu berubah pikiran?” tanya Bram tanpa tedeng aling-aling. Dia baru saja meletakkan bokongnya di kursi. “Minumlah dulu. Kamu baru saja sampai,” sahut perempuan itu sambil menyodorkan buku menu. Perempuan berusia pertemgahan empat puluh itu tampak salah tingkah. Bram menukas, “Terima kasih. Tapi saya tidak punya banyak waktu.” Di benak lelaki itu terngiang peristiwa nyaris sebulan lalu. Peristiwa yang menggores perasaannya. Harga dirinya seakan dijatuhkan. Siapa lagi pelakunya jika bukan perempuan yang kini duduk di hadapannya. “Nak Bram, saya minta maaf. Saya tidak seh

    Last Updated : 2022-01-14
  • Asmara dalam Prahara   43. Salah Sangka ?

    Jakarta, 29 Maret 2018 Arloji di pergelangan tangan Bram menunjuk angka lima lewat sepuluh menit. Lelaki itu masih bertahan di depan rumah kos milih Bu Rima. Lelaki itu bersandar di kursi di belakang kemudi. Suara seorang penyiar radio menemaninya. Sesekali, Bram mengintip ke arah kamar Andra. Gadis itu menuruti perintahnya. Pintu kamarnya sejak tadi tertutup rapat. Beberapa orang penghuni kos mulai berdatangan. Mereka baru kembali dari tempat kerja masing-masing. Sebagian yang mengenali mobil Bram tampak melirik ke kaca depan. Mereka tahu lelaki itu beberapa kali datang ke mari. Beruntung sekali, Bu Rima, si pemilik kos sedang keluar kota. Kalau tidak, pertanyaan-pertanyaannya akan sedikit merepotkan. Juga membatasi ruang gerak Bram dan kedua anak buah Adhilangga. Benda pipih berwarna hitam di atas dashboard berbunyi. Melihat nama yang tertera di layar, Bram langsung menjawabnya. “Pak, kami sudah menemukan lokasi orang itu.” Begitu kalimat yang Bram dengar dari salah seor

    Last Updated : 2022-01-18
  • Asmara dalam Prahara   44. Siapa Dia?

    Jakarta, 29 Maret 2018 “Ada apa ini, Pak?” tanya laki-laki berusia 60 an. Wajahnya dipenuhi kumis, cambang dan jenggot yang lebat. Helaian uban menghiasi rambutnya yang lurus pendek berpotongan curtains. Lelaki itu duduk di kursi kayu dengan tangan terborgol di belakang. Wajahnya kebingungan mendapati tiga orang di sekitarnya. Seorang lelaki berpakaian rapi ala pekerja kantoran duduk di hadapannya. Matanya menatap lurus penuh selidik. Seolah-olah siap menguliti. Sementara, dua orang lainnya berdiri di dekat pintu. Yang satu memakai jaket denim biru muda. Yang satu lagi mengenakan polo shirt abu-abu. Raut keduanya tampak lebih tenang. Kalau berpapasan di jalan, orang tidak bakal menyangka mereka adalah penculik. Lelaki itu masih belum sepenuhnya sadar apa yang sedang terjadi. Kurang lebih dua jam lalu, dia tiba-tiba digiring ke sebuah mobil jeep. Padahal, dia sedang menunggu kedatangan kereta menuju Semarang. Seseorang menodongkan moncong senjata api ke pinggangnya. Lelaki itu mau

    Last Updated : 2022-01-18

Latest chapter

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

  • Asmara dalam Prahara   121. Menyerahkan Diri (?)

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta

  • Asmara dalam Prahara   120. (Bukan) Detik Terakhir (21+)

    Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole

  • Asmara dalam Prahara   119. Pillow Talk (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha

DMCA.com Protection Status