Hai Readers yang budiman! Kamu suka mengikuti kisah Bram dan Andra? Jangan lupa masukkan ke library ya. Biar nggak ketinggalan updatenya. Bantu semangatin Author juga, ya. Caranya gampang kok. Tinggalin komen, rate dan vote buat novel ini. I love you all! Terima kasih!
Jakarta, 8 Februari 2018 "Kalau sudah selesai makan malam, ke sini ya. Ibu mau bicara," pinta Bu Rima ketika Andra menjawab panggilan di telepon genggamnya. "Ada apa ya, Bu? Saya ke sana sekarang aja, ya?" "Ya, sudah." Gadis itu bangkit dari kasur tanpa dipan yang baru saja dia ganti spreinya. Dia mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang. Sambil bersidekap Andra beranjak meninggalkan kamar. Malam itu dia mengenakan celana dan kaos lengan panjang. Di luar hujan belum reda sejak sore. Udara Jakarta terasa lindap. Membuat orang ingin bergelung di dalam selimut. Untung saja Bram sedang sibuk menghubungi seorang suplier dari Italia menjelang pukul 18.00 tadi. Andra jadi bisa menyelinap diam-diam untuk pulang lebih dulu. Kalau tidak, mungkin saat ini dia baru keluar dari kantor. Bu Rima sendiri yang membuka pintu setelah Andra mengucap salam. Aroma bunga lili tercium dari tubuh perempuan berusia awal 50 an itu. Bu Rima baru selesai mandi rupanya. "Yuk, sini ngobrol di dalam," ajak
Surabaya, 13 Februari 2018 "Papa Bram!" seru Akira. Bocah lelaki berusia 4 tahun itu berlari menghampiri lelaki yang baru saja memasuki pekarangan. Sepasang kaki mungil beralaskan sandal jepit itu menapaki hamparan berlapis kerikil dengan lincah. Bram merentangkan kedua tangannya. Ketika bocah itu mendekat, dengan sigap dia menangkapnya. "Jagoan Papa kenapa belum tidur?" tanya Bram sambil bergantian mencium dan mencubit kedua pipi yang membulat itu. "Kira belum ngantuk, Pa," Akira melingkarkan lengannya di leher Bram selagi lelaki itu melangkah menuju teras. "Coba tebak Papa bawa apa?" Bram menyerahkan salah satu tas belanja yang dibawanya kepada anak itu. "Asyik! Terima kasih, Pa. Ini Ultraman?" sorak Akira gembira seraya mengambil oleh-olehnya. "Apa, ya? Coba Kira lihat sendiri nanti." Seorang perempuan ayu berkulit putih berusia 30-an berdiri di sana. Matanya berbinar menatap kedua lelaki berbeda generasi itu. Disambutnya beberapa buah tangan yang diulurkan Bram. "Aku sangk
Jakarta, 15 Maret 2018 “Bikin minum buat siapa, Ken?” tanya Gilang ketika seorang perempuan melewati mejanya. Gadis itu memakai kemeja pas badan dan dengan rok di atas lutut. Dia sedang membawa sebuah cangkir keramik beserta cawannya. Tapak tapak high heels nya menghasilkan suara mengetuk-ngetuk di lantai. Beberapa penghuni ruang procurement menoleh dibuatnyya. “Buat Pak Bram, Mas,” sahutnya semringah. “Kok Pak Bram aja yang dibikinin? Saya juga mau,” goda Gilang. “Iya, Ken. Mas Kevin juga mau. Kalau Mas Ranggi mau nggak?” Kevin ikut-ikutan menimpali. “Lain kali, ya, Mas.” Niken menjawab sebelum mendorong pintu ruangan Bram. “Dasar kalian! Ingat anak istri di rumah. Jangan pada ganjen! Tuh, lihat! Ranggi yang masih bujangan aja kalem,” cibir Alena. Perempuan itu tak habis pikir melihat kelakukan teman-temannya. Anak baru bernama Niken Andriani itu memang menarik. Wajahnya tirus dengan hidung bangir. Kulit putih bersih. Rambutnya bergaya ombre warna pirang sebatas leher. Tubuhny
Gianyar, 23 November 2012 Suatu pagi di Pulau Dewata. Perempuan itu berbaring di atas kursi malas dari anyaman rotan. Tangannya sibuk membolak-balik sebuah novel. Tubuhnya yang sempurna berbalut mini dress biru terang. Rambutnya yang ikal berwarna coklat gelap berkilauan terurai sebatas bahu. Kontras dengan kulit putih bagai pualam. Lipstick merah menyala menambah karakter pada penampilannya. Topi bundar berwarna putih menaungi wajahnya yang mirip maneken hidup. Para pengunjung dan karyawan resort yang kebetulan melewatinya pasti menoleh bagai tersihir. Dua orang pemuda pertengahan dua puluhan mencuri pandang dari seberang kolam renang. Siapa yang akan melewatkan pesona yang ditawarkan di depan mata? Perempuan itu seperti keluar dari cover majalah kelas atas. Sayangnya, tidak ada yang menyadari sesuatu. Sebuah lebam tersembunyi di balik kaca mata hitamnya yang besar. Orang mengenalnya sebagai Imelda Cakrawangsa atau biasa dipanggil Imel. Tentu saja sebelum dia menikah dengan Narendr
Jakarta, 9 Oktober 2012 Suatu malam di lantai tujuh gedung Cakrawangsa Persada. Tiga orang lelaki keluar dari lift dan langsung menuju ke ruang procurement. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berusia pertengahan empat puluhan. Dia memakai kemeja bercorak cerah dan celana pantalon putih. Kalung rantai di lehernya tampak berkilauan. Di belakangnya berjalan dua orang pemuda dengan postur serupa. Hanya saja dengan penampilan lebih kasual. Area procurement tampak remang-remang. Lampu yang masih menyala hanyalah yang berada di ruang kaca. Alunan Still Got The Blues dari Gary Moore samar terdengar dari sana. Sekarang sudah lima belas menit menuju pukul sepuluh. Sebagian besar karyawan di gedung ini pasti sudah berada di rumah masing-masing. “Masih punya harga diri kamu memilih bekerja di sini?!” cerca Rendra. Lelaki bergaya nyentrik itu menerobos ke ruangan Bram tanpa permisi. “Anda punya masalah dengan saya?” Bram mengernyit dan balik bertanya. Bram tahu apa yang menyebabkan Rendra b
New York, 22 Agustus 2011 "I want your baby, Bram," bisik Imel di telinga Bram. Membuat lelaki itu terhenyak. Detak jantungnya seakan berhenti. Tangan Imel masih mendekapnya dari belakang. Kulitnya yang sehalus sutra menempel di punggung Bram yang telanjang. Membuat darah lelaki itu bergejolak. Namun, permintaan yang terucap dari mulut perempuan itu memadamkan api yang tadinya mulai menyala kembali. "Kamu gila, Mel!" hentak Bram seraya melepaskan pelukan perempuan itu. Dengan bergegas, lelaki itu turun dari tempat tidur yang tampak tidak karuan. Lalu menyambar handuk di sandaran kursi dan melilitkannya di pinggang. "Kamu benar, Bram. Kamu sudah bikin aku gila." Imel tertawa getir melihat reaksi Bram. Sementara, lelaki itu melesat menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi. Imel merasa dicampakkan. "Aku harus ke kampus pagi-pagi sekali!" seru Bram di antara gemercik air yang berjatuhan dari shower. "Jadi kamu ngusir aku?" balas Imel. Dia meletakkan lagi tubuhnya di kasur denga
Jakarta, 9 Oktober 2012 Entakan drum dan ritme gitar listrik dari Highway Star milik Deep Purple memenuhi pendengaran. Memacu adrenalin hingga jantung berdetak lebih cepat. Dari belakang kemudi, Bram melajukan sedan hitamnya seperti sedang syuting adegan kejar-kejaran di film action. Mobil second hand keluaran Eropa itu dibelinya dari seorang teman lama. Sepasang matanya yang sewarna malam menatap jauh ke depan. Sementara itu bayangan tiang-tiang lampu penerang jalan menyisir wajahnya. Seorang sopir taksi yang dilewatinya menggeleng sambil menggumam, "Pasti orang sinting itu sedang mencoba metode 'mendekatkan diri pada Tuhan'" Waktu menunjukkan pukul 22.40. Lalu lintas di Jalan S. Parman sedikit lengang. Bram tidak ingin mencelakai siapa pun. Akan tetapi, dia butuh meluapkan emosi. Kepalanya hampir pecah. Dadanya seakan mau meledak. “Benar-benar kurang ajar badut Mc D***d itu!” maki Bram dalam hati. Terbayang peristiwa beberapa saat lalu di ruangannya. Bukan tuduhan Rendra atas
Jakarta, 23 Maret 2018 “Sekali lagi saya peringatkan agar kamu jangan lancang mencampuri urusan saya! Kalau kamu masih nekad, jangan salahkan saya jika kamu menanggung akibatnya!” cecar lelaki di ujung telepon. Ceracaunya langsung menyerbu gendang telinga Bram begitu dia menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau. Pantas saja si penelpon naik pitam. Bram baru meladeni setelah mendapat 26 miss call. Bram sendiri tidak ambil pusing. Yang dia tahu, si penelpon mengganggu keasyikannya menikmati semilir angin dari lantai 16. Apalagi, nama orang itu tidak masuk dalam contact list di telepon genggamnya. Jumat malam itu, Bram sedang bersantai di single sofa di balkon apartemennya. Sebelah kakinya terjulur ke lantai. Sementara yang satu lagi terlipat dan bertopang di atasnya. Bram menyesap kopi hitamnya kemudian meletakkan cangkir di meja. Sejenak kemudian dengan tenang, dia menyahut, “Apakah Anda merasa tidak perlu memperkenalkan diri?” Sang lawan bicara terbahak. Suara tawa beberapa o
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha