Husni yang masih fokus dengan setir, tidak segera menjawab pertanyaan Wenny. Jalanan sangat padat masuk akhir minggu. "Pak! Kak Juan kenapa?" Wenny tidak sabar karena pertanyaannya seperti diabaikan. "Ealahh, Non! Bentar, ini masih fokus!" sahut Husni. Matanya tetap lurus ke depan ke jalanan yang ramai.Wenny cemberut. Wajahnya menengok keluar jendela. Kota Pahlawan, selalu ramai, padat, dan penuh. "Pak Juan jarang keluar kamar. Jarang ngobrol lagi sama aku sama Bu Tami. Pagi jarang sarapan. Kalau ditanya paling geleng atau ngangguk. Jawab seperlunya. Kasihan lihatnya, Non," jawab Husni akhirnya. "Ih, ini ga bisa dibiarin," sahut Wenny. "Iya, Non. Ga tega saya. Kalau udah di kamar, kayak ga pengin keluar, ga mau ketemu orang. Saya takut kalau sampai sakit, gimana?" lanjut Husni. Wenny mendesah dan mengembuskan napasnya dengan keras. Ternyata Julian benar-benar patah hati. Yang lalu komunikasi dengan Wenny, pria itu meminta adiknya berlapang dada. Kenyataannya, Julian hancur hati.
Astri memandang foto Julian di layar ponsel. Wajah tampan dengan senyum menawan. Astri sangat merindukan pria itu. Rindu tertawa bersama, berjalan bergandengan tangan, dan bercerita apa saja meskipun hanya hal-hal sederhana, tapi semua menyenangkan. Semua itu begitu cepat berlalu. Julian yang dia yakini adalah jawaban doanya untuk mendapatkan pria terbaik di hidupnya, tiba-tiba ditarik lagi dan harus pergi sejauh mungkin."Juan, maafkan aku. Aku tak bisa berbuat apapun. Semua yang aku usahakan hanya terus saja membentur dinding. Apa benar Tuhan mau ini yang terjadi antara kita? Tapi, apa benar Tuhan juga biarkan aku akan menikah dengan Darma? Apa menikah dengan pria itu baik buat aku?" Hati Astri bicara.Air mata perlahan tumpah lagi. Sudah terlalu banyak Astri menangis. Terlalu banyak dia bersandiwara, menunjukkan dia baik-baik saja di depan mamanya, dan dia rela menjalani pernikahan yang tak pernah dia mau.Astri melirik jam dinding di kamarnya. Jam tiga lewat lima menit. Boleh dika
Tiba-tiba rasa panas menjalar ke seluruh tubuh Astri. Ada apa ini? Bagaimana bisa Wenny kecelakaan?"Alf, kamu, kamu, ini ... bagaimana bisa? Wenny di mana?" Dengan suara bergetar dan panik Astri bertanya.Damira melihat kakaknya dengan kening mengkerut. Aneh, Astri menerima telpon dan langsung gemetaran."Wenny tahu Ibu nikah hari ini. Dia marah, panik ... Dia pergi dengan motor dan ... ngebut, lalu ...""Ya Tuhan, bagaimana keadaannya sekarang? Kamu sama dia?" Astri makin cemas. Rasa bersalah kembali menerjang hatinya. Jika kondisi Wenny sampai parah, apalagi tidak selamat, ini salah Astri!"Aku ga tahu, Bu. Aku bingung .... Dia cuma pengin mati." Alfonso seperti takut mau bicara dengan gamblang."Kalian di mana? Cepat kasih tahu?!" Astri bicara setengah berteriak. Dada Astri terasa mulai sesak. Benar-benar ini tidak bisa dibiarkan.Damira makin heran menatap pada kakaknya."Kasih tahu lokasi kamu, Alf. Segera." Astri tak berpikir lagi, yang dia mau lakukan hanyalah bertemu Wenny. "
"Berhasil. Aku berhasil, Alf." Mata Wenny berbinar saat mendengar lewat telpon Astri tidak pergi ke gereja tempat dia harus menikah. Astri memutar haluan menuju lokasi di mana Wenny berada.Alfonso memandang dengan hati berdebar tidak karuan. Wenny benar-benar pemberani. Gadis ini sangat berbeda dengan gadis lain yang Alfonso pernah dekat. Wenny seperti tidak punya rasa takut. Dia mengatur rencana dengan detil, dia pikirkan bukan satu sisi saja, tapi di sisi yang lain juga. Alfonso cukup gentar, walau begitu rasa kagum pada Wenny makin melebar."Wenny, kamu ga kasih tahu Kak Juan?" Alfonso memandang Wenny."Ada. Tentu aku kasih tahu. Tapi aku yakin dia ga bakalan cepat sadar soal itu. Tunggu saja. Dia yang akan menghubungi aku lebih dulu, atau Kak Astri yang sampai di sini." Wenny tersenyum lebar. Dia mengambil botol minum di dalam tas yang dia pangku, lalu meneguk beberapa kali."Kalau sampai reaksi keluarga Bu Astri ga seperti yang kamu harapkan?" Alfonso bertanya lagi."Setidaknya,
Tubuh Astri rasanya seolah-olah kesemutan dari dada hingga ke perut. Wenny jelas sekali tidak mengalami luka atau berdarah karena kecelakaan. Apalagi ditambah senyum yang hadir menghiasi bibirrnya yang tipis, gadis itu baik-baik saja."Wenny, kamu ... Alfonso bilang kalau kamu ...""Hai, Kak Astri. Hai juga Kak Mira!" Dengan senyum lebar, suara renyah, dan wajah sumringah, Wenny menyapa. "Urusanku sama dokter dan perawat udah beres. Kita cari tempat lain aja buat ngobrol. Para pasien bisa shock lihat pengantin salah masuk gedung. Ayo, Kak!"Tangan Wenny terulur meraih pergelangan tangan Astri dan sedikit menarik wanita itu agar mengikutinya keluar dari klinik.Bingung, kaget, tidak tahu harus berkata apa, Astri mengikuti saja Wenny menuntunnya keluar. Di belakang mereka Alfonso berjalan dengan wajah resah, sedangkan Damira dan Davin, mereka kaget, tentu saja, tapi sudah bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi!Tinggalkan dulu ketegangan dan keterkejutan Astri melihat Wenny dalam kondi
Tatapan garang Andika menghujam Darma. Pengacara itu membalas tatapan Andika, tetapi dengan pertanyaan muncul di kepala. Ada apa? Mengapa Andika berbalik marah kepadanya, sedangkan Astri yang mengingkari janji. Wanita itu tidak muncul tepat di hari pernikahan mereka. Luar biasa, bukan? Pintar sekali dia bersandiwara, bahkan dia tidak enggan mempermalukan orang tuanya sendiri."Aku tidak menyangka kamu ternyata mempermainkan aku dan keluargaku. Dari awal aku mendesak putriku menerima kamu, tapi apa yang kamu lakukan? Apa?!" sentak Andika dengan kemarahan mulai meluap."Aku nggak ngerti Om bicara apa? Jelas-jelas Astri yang ga datang, kenapa Om justru marah sama aku?!" Darma membalas kegeraman Andika."Kamu jangan pura-pura bodoh!" Tangan Andika menunjuk pada Darma.Dari dalam gereja, beberapa orang muncul mendengar suara marah dari depan gedung itu. Salah satu pengatur acara mendekat ingin tahu apa yang terjadi."Pak, mohon maaf, apa yang terjadi? Acara bagaimana? Kita tunda berapa lama
Dada Astri seperti bergerak berlipat kali lebih cepat. Dia tidak percaya mendengar apa yang Wenny ucapkan. Astri tidak bisa mencerna dengan cepat bahwa Wenny sangat cerdik mengatur segala sesuatu dan membuat kekacauan sehingga hari pernikahan Astri berantakan. Sama halnya dengan Damira dan Davin. Mereka terperangah, terpana, dan kagum pada Wenny yang begitu berani. Sementara Astri masih bicara dengan Wenny, Damira, dan Davin, kesempatan Alfonso menghubungi Errin lagi. Dia mengirim banyak pesan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Secara garis besar tetapi lengkap, Alfonso mengatakan runtutan berbagai hal yang Wenny lakukan agar Astri tidak jadi menikah dengan Darma dan akan segera balik kepada Julian. - Gila! Aku ga nyangka Wenny jauh lebih kacau dari yang aku pikir. Dia benar-benar menghubungi wanita yang menggoda Kak Juan? Lalu berhasil mengorek semua keterangan darinya dan tahu rencana busuk pengacara calon bu Astri itu? Gila, Alfon! Alfonso membenarkan dan memberikan penjela
"Tidak!" Astri mengangkat wajahnya dan melihat pada Damira. "Kita pulang. Kita ga bisa menunggu lagi. Mama, aku rasa, mama, sepertinya ..." "Kak! Tenang!" Damira menarik lengan Astri dengan cepat. Astri langsung panik begitu mendengar suara Galang di telpon. "Tapi, Mira ..." Astri memandang Damira dengan debaran jantung melaju cepat. "Kita jauh dari mama. Kita ga bisa nolong. Ada Kak Galang, Papa, Kak Nora, dan keluarga yang lain," kata Damira. "Aku tahu, kita ga bisa remehkan. Aku juga takut ada apa-apa sama mama. Tapi ga boleh panik, Kak." "Begini saja. Kak Astri sama kamu, Mira, kalian pulang duluan. Aku temani Wenny dan Alfonso sampai Kak Juan datang. Oke?" Davin mengusulkan. "Kukira gitu bisa. Ayo, Kak!" Damira langsung setuju dengan usul Davin. "Baiklah." Astri juga sepakat. Dia menoleh pada Wenny. "Thank you, Wenny. For all." Wenny memeluk Astri, lalu Astri masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Damira. Berdua dengan adiknya Astri meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanan, me
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d