Glek..
Glek..
Glek..
Diteguknya habis segelas air tadi. Setelah perjuangan panjang,gadis itu berhasil membuat Nathan memakan semangkuk makanan yang ia siapkan.
Menatap lekat,seorang gadis yang masih duduk di tepi ranjang. Perlahan melirik tangan yang perlahan Thea sodorkan dan menyentuh keningnya.
"Belum turun juga, suhunya masih sama."
"Sudah. Pergilah!" sontak Nathan,datar.
"Ng.." geleng Thea,dengan pasti.
"Saya bakal nunggu disini. Sampe demamnya turun!"
"Terserah. Tapi jangan ganggu tidurku!" tegas Nathan,membaringkan tubuhnya kembali.
Gadis itu menatap lega,punggung lebar yang membelakanginya. Kini yang perlu dilakukan hanyalah menunggu sampai Peny datang dan membawa obat,
3 jam kemudian.
Kedua alisnya berc
BRAK!Laptop, telepon duduk, beberapa pajangan serta setumpuk berkas yang ada di atas meja, didepak bersih oleh kedua tangan wanita itu.Raut kesal yang terpampang nyata, dia mengeratkan gigi sambil mengepalkan tangan dengan kuat."Baru minggu lalu, aku menegaskan untuk tidak bertingkah." serunya dengan nada geram.".........""Mereka selalu mengambil cuti di hari yang sama!""Eurhg, sial!""Kenapa? Kenapa kau memilih gadis tak terpelajar itu?""Aku harus memberi pelajaran y
WARNING 21+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN ______________________________________ "Dasar pembuat onar," gumamnya lalu berbalik pergi membiarkan mereka melangkah mengikuti arahan. Klap, pembatas terbuka dengan sigap menempati kursi kerja miliknya. Ketiga karyawan saling berjejer menghadap laki laki yang tengah duduk santai. Meski begitu hanya Thea yang berani menegakkan kepala tanpa rasa cemas, entah mengapa kejadian kemarin mengusir rasa takutnya saat berhadapan dengan sosok angkuh itu. "Ceritakan apa yang terjadi?" menatap datar gadis yang ada di tengah barisan. "Bapak tadi saya-" "Mia. Kau paling lama bekerja disini, pasti tau kalau saya tidak suka ada orang yang menyela atau menolak perintah." timpal Nathan, memotong ucapan wanita tadi. "Saya sedang bertanya pada orang lain." "Baik Pak, saya mengerti." angguknya dengan kepala tertunduk. "......" Dengan isyarat mata, dia m
"Nah. Kita udah sampai," ujar Rena, mendorong pembatas kamar. Sorot mata itu menoleh seraya memberi isyarat pada pegawai hotel yang bertugas membawa koper milik laki laki tadi. Setelah selesai menyelesaikan kerja dengan sigap berbalik keluar, menutup pembatas yang menyisakan dua orang di dalamnya. Perlahan pandangan Nathan beralih pada barang barang pengisi laci. Berbagai macam perabotan yang seharusnya tak ada di dalam kamar hotel sedikit menabur curiga dalam diri, "Apa kamar ini baru saja ditempati tamu lain?" menatap sinis, "Ha? Kok tanya gitu. Emangnya kenapa?" sontak Rena penasaran, "Banyak pajangan dan beberapa benda disana. Pasti tamu sebelumnya lupa mengemas barang mereka," "Oh, ini semua barang barangku." seru Rena menjelaskan, "Lalu kenapa kau membawaku kemari?" "Kita bakal tinggal sekamar. Kebetulan hotelnya lagi penuh," sanggahnya berusaha membujuk. Seperti biasa meski telah mengenal lama, laki
Kaki beralas heels itu baru saja melewati pembatas besar yang berhasil terbuka berkat sedikit dorongan telapak tangan. Melangkah masuk sambil menatap santai ruang kosong di depannya, Seketika sorot mata Thea mulai melirik ke arah lain, merasakan sesuatu yang samar baru saja melewati hidungnya. "......" Mulai berbalik menghadap ke sisi dapur, berjalan perlahan mendapati seorang wanita yang tengah berdiri menghadap kompor. "Uhm, wangi banget!" gumam Thea memejamkan mata sambil mengendus kuat aroma yang memenuhi ruangan. "Nyonya sudah pulang?" "Iya." angguk Thea, sibuk melirik makanan yang mengisi alat penggorengan. "Kamu sedang masak apa?" "Oh. Ini lagi masak capcay," sahut Peny tersenyum lebar, dengan lihai menggerakkan sudip yang ada di tangannya. "Oh ya! Tadi Alpha pesen ke saya buat nyampein omongannya Tuan." "Ha?" Kedua alisnya bertaut, menekuk bibir berkat tak memahami ucapan wanita itu. "Tuan siapa?
"Pergilah. Dan bunuh gadis itu!" Tak.Tak.Tak. Hentak heels sebagai alas kaki itu mulai menginjak keluar dari lift. Hari ini sedikit berubah, karyawan yang sebelumnya bergosip secara terang terangan kini tak lagi melakukannya. Mungkin berkat kejadian kemarin, mereka memilih berbisik begitu pelan agar tak terdengar ke telinga Thea. "Selamat pagi," sapa seorang karyawan yang baru saja berpapasan sambil tersenyum ramah. "Ng?" sedikit terkejut, Bahkan itu membuat Thea tak sempat membalas sapaan tadi. Berusaha untuk tetap tenang namun kembali mendapat perlakuan sama, "Pagi Nona Thea," "P--pagi." sahutnya tersenyum singkat, "Ini pada kenapa sih? Kok tiba tiba jadi sok ramah gini," pikir Thea, melihat setiap karyawan yang mulai tersenyum sebagai tanda sapaan setiap melintas di depannya. Meletakkan tas lalu dengan sigap menempati kursi kerja. Mengotak atik papan keyboard mulai lihai mengerjakan tugasn
"Halo," seru suara wanita di balik telepon."Shasa, Ada apa?" sahut Peny mengangkat alis.Dia meninggalkan area dapur setelah mendengar dering dari arah lain. Logat yang tak lagi asing membuatnya sedikit terkejut, apa yang membuat Barsha menghubungi telepon rumah keluarga menantunya padahal masih ada ponsel sebagai penghubung."Nathan udah pulang? Kalo udah panggilin. Aku mau bicara,""Gak. Dia lagi ada kerja di luar kota," ujar Peny merendahkan suara,"Terus Thea ikut juga?""Engga, dia tetep disini. Lagian kenapa ga telpon ke hp mereka sih?""Aku mau ngomongin sesuatu sama Nathan. Tapi ga punya nomor hpnya," gumam Barsha,Di sisi lain seorang gadis dengan setelan formal, tengah khidmat mengemudikan mobil melewati gerbang utama kediaman Adelard. Raut datar tanpa senyuman, entah mengapa hari ini suasana hatinya tidak begitu baik.Dep.Tangan yang hendak m
"Kabar nenek, baik." melangkah mengikuti Thea yang menempati sofa empuk di ruang tengah."Kamu gimana kabarnya?""Sama, aku juga baik-baik saja.""Kenapa kamu ga ikut Nathan? Kan kamu asisten pribadinya," seru Barsha merasa penasaran.Secuil pertanyaan mampu membuat gadis itu terdiam dengan bibir kaku, begitu sulit untuk mencari alasan. "Ng, disi--ni lagi-- lagi ada kerjaan! Jadi Thea ngurus dan ngehandle tugas yang ada di kantor." diakhiri dengan senyum paksa,Hati kecilnya berharap agar pertanyaan tadi tidak bercabang ke arah lain, dengan segera memutar setir yang sama. "Terus, ada maksud apa kok Nenek tiba tiba datang? Dan kenapa tadi sore nelpon lewat n
Pandangan itu menoleh ke arah wanita yang ternyata tengah sibuk menebar senyum usil, "Tempat apa ini?""Tempat makan," sahutnya santai seraya mengalihkan pandangan.Jemarinya berisyarat menatap cermin mobil, kendaraan hitam itu berhenti di tengah tempat dengan sigap pria yang sebelumnya bertugas sebagai supir mulai beranjak pergi. Punggung tadi perlahan menghilang meninggalkan mereka berdua,Dia memilih bungkam semakin menaruh rasa penasaran dalam benak Nathan, mulai beranjak memindahkan posisi kursi mobil."Tempat makan? Kau ingin aku makan disini--di dalam mobil?" ujarnya datar tak melepas pandangan pada wanita yang baru saja menunduk dan menempelkan diri ke paha kirinya demi merubah ketinggian
"Srup---ah!" celetuk suara puas dari bibir ranum yang baru saja menikmati beberapa teguk minuman.Cap..Cap..Cap..Berulang kali mengecap demi mengingat rasa manis yang tersisa di langit-langit mulut, lengkung sempurna perlahan muncul saat melihat sosok dengan setelan hitam putih tengah berjalan menghampiri.Sepoi angin siap menerpa rambut legam terkuncir tinggi bak ekor kuda, terasa begitu sejuk saat kutikula tubuh serta leher jenjangnya tertiup udara."Kenapa kau berikan padaku?" ucap Thea menegur wanita yang sedang berdiri sambil menyodorkan sebuah kelapa. Begitu bingung padahal dirinya sendiri juga telah memangku s
Mendengar logat halus yang begitu menyejukkan telinga juga sentuhan intim yang terasa nyata, padahal kedua hal itu adalah impian yang tak mungkin didapat.Tapi siapa sangka setelah menjadi kenyataan semua ini justru menyakitkan hati Thea, kata bak pinangan tadi berubah setajam pedang yang menoreh luka.Sakit yang menggores batin mengundang linang air di pelupuk mata, "Apa, Bapak bilang--layani?""Iya, tapi kenapa kau menangis? Ini bukan waktunya bersedih," tanya Nathan penuh kelembutan, sedikit merasa cemas melihat satu bulir bening menetes menyusuri pelipis."Apa Bapak pikir saya hanyalah wanita penghibur! Apa Bapak tidak tahu kalau perintah itu hanya pantas diajukan pada seorang pelacur,""Apa maksudmu? Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan seorang pelacur," sanggah Nathan panik, sigap mengusap air mata yang mulai bercucuran.Segera Thea menepis tangan yang menurutnya hanya berbuat demi seuntai n
WARNING 21+ ________________________________ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA ________________________________ Blush.. Begitu jelas terukir rona merah di kedua pipi Thea, wajah putihnya berubah bak kepiting rebus berkat perkataan penuh makna. "A-apa maksudnya, kenapa dia mengatakan hal itu? D-dan kenapa aku memikirkan hal kotor!" gumam Thea dalam hati menangkup kedua tangan ke dalam dada hingga memastikan seperti apa kondisi organ dibalik kerangka tubuhnya. Perlahan memberanikan diri melirik sosok yang terus berjalan dengan langkah normal, raut datar itu tetap terpasang hingga menaruh tanda tanya di benak Thea. Bibir yang hendak bergumam guna menanyakan maksud tak lagi melanjutkan niat setelah menyadari suara debaran yang berasal dari dada bidang yang kini tengah mendekapnya. Dengan keberanian yang tak seberapa telapak gadis itu terulur untuk menyentuh ambang kutikula Nathan,
Sigap gadis itu berdiri memandang Nathan yang siap menarik kaos hitam hingga memperlihatkan tubuh bagian atas. Mulai dari lekuk otot perut hingga kedua titik pada dada bidang, entah kenapa Thea belum menyadari jika kedua maniknya perlahan tersihir karena pemandangan tersebut. Bahu lebar itu terlihat begitu luas dari jarak dekat, kali ini Thea lebih lekat menatap setiap inci tubuh atletis seorang pria. "Itu ada 8," gumamnya tanpa sadar menganga tak mampu mengontrol ekspresi, Seketika berhasil mengundang tawa singkat di wajah Nathan, merasa senang melihat tingkah gadis yang terkesan menggemaskan. Perlahan menoleh demi melempar kaos ke sisi lain, "Apa kau menghitungnya?" sontak Nathan merendahkan suara sambil menerbitkan senyum licik, "Aa-tidak!" geleng Thea, baru menyadari apa yang telah dilakukan. Pasti wajahnya terlihat seperti orang bodoh saat tertegun hanya karena hal sepele, reflek Thea mengalihkan pandanga
"Huh! Apa dia bilang? Perutku penuh dengan lemak! Memangnya dia pernah melihat perutku--seenaknya saja menghina tanpa bukti." gerutu Thea mendengus kesal,Dengan hati yang terbakar amarah dia berdiri di depan cermin besar, meletakkan tumpukan kain ke atas penyangga kaca. Masih sigap memasang wajah muram karena terus teringat ucapan pria tadi,Sigap dilepasnya dress formal yang melekat demi segera mengenakan salah satu setelan lain. Entah kenapa sekilas muncul senyum cerah di wajah Thea,Tercipta satu tujuan jika dia harus bisa mematahkan hinaan tadi demi menjaga harga diri. Bahkan Thea mulai membayangkan ketika wajah angkuh itu terpesona dengan tubuh indahnya,Doeng!
Meski merasa terpaksa, gadis itu tetap melangkah maju hingga mendapati beberapa pelayan datang dengan meja dorong berisi berbagai macam hidangan.Seketika rasa kesal dalam hati Thea terganti dengan rasa lapar yang mengguncang penduduk di dalam perut. Lengkung bibir itu terukir sempurna seraya membuka jalan bagi pelayan untuk menyelesaikan tugasnya,"Taruh saja disitu. Aku akan menatanya sendiri," celetuk Thea begitu tak sabar mencicipi salah satu makanan yang sangat menggoda hingga membuatnya berulang kali menelan saliva.Beruntung dia masih bisa mempertahankan raut datar demi menjaga citra di hadapan mereka. Perlahan setiap pelayan berbaris dengan kepala tertunduk,"Karena malam masih panjang, apa setelah ini---Nyo
Aroma bunga lily yang masih melekat pada urai legam pria itu mampu membuat Thea mengernyit, sedikit bingung bagaimana bisa hidungnya dengan jelas menghirup wangi tersebut.Entah kenapa tanpa sadar dia terlelap sebelum menghabiskan setengah perjalanan, mungkin saja energi dalam tubuh Thea telah terisi penuh hingga menambah kepekaannya terhadap bau."Ng.." perlahan membuka mata, menemukan diri tengah bersandar pada jendela berukuran sedang.Seketika dia tersentak kaget karena menatap pemandangan awan yang begitu berbeda, sigap menoleh hingga menemukan sosok tinggi sedang duduk tepat di sampingnya. "Bapak! Kita ada dimana?""Pesawat," sahut Nathan datar tanpa menoleh,Mendengar kalimat tadi, tanpa ragu Thea menatap sekeliling yang hanya dipenuhi kursi kosong layar televisi juga perabotan modern yang tak mungkin ditemukan di dalam mobil."Perasaan aku tadi ada di dalam mobil.." gumam Thea mengerutkan alis, ber
"Hah?! K-kenapa!"Tentu saja gadis itu terkejut tak mampu berkutik mendengar saran aneh dari mulut Zen. Bukannya mendukung dan membiarkan Thea membantu karena pasti mengerti tentang emosi yang dirasakan, dia justru menggunakan ide aneh Nathan untuk mengusir mereka."Tu--" nyaris saja sebuah panggilan hormat muncul berkat batin yang terlalu antusias, beruntung dia sadar pada waktu yang tepat."Aku mohon, izinkan aku membantu..""Bukankah tadi sudah kujelaskan, bahwa kaulah target mereka. Liburan adalah cara yang tepat untuk kau bersembunyi,""Kau harus menghilang selama beberapa hari untuk mengecoh mereka. Dan Nathan akan menemanimu," beralih menatap sosok lain."Kau tidak boleh pergi kemanapun dan pastikan Thea selalu berada di sampingmu sampai keadaan aman----biarkan aku menjalankan rencana yang telah kami setujui," lugas Zen berhasil membujuk,Meski tidak tahu apapun tentang rencana yang dim
Karena gadis yang masih bersikeras mengajak Nathan ke suatu tempat, mau tidak mau setelah berganti pakaian mereka berdua pergi menaiki mobil yang dibawa oleh Romi.Kedatangan pria itu juga menyelesaikan kesalahpahaman yang beberapa saat lalu terjadi. "Thea, kenapa kau memintaku membawa baju? Padahal tadi, Pak Nathan sudah memakai baju baru."Seperti biasa dia menempati kursi depan agar tak mengganggu kenyamanan tuan muda. "Itu tadi, baju milik sepupuku..""Apa?!" sontak Romi terkejut mendengar kebenaran yang belum pernah terjadi,"Sudahlah lupakan saja. Itu telah berlalu! Jangan sampai ada yang kesal karena kita membicarakan hal tadi," bisik Thea berhasil menghentikan perbincangan,Menit berlalu kendaraan beroda empat itu telah melewati gerbang besar yang menuntun ke depan gedung megah familiar milik keluarga Adelard.Muncul helaan nafas panjang, dari seorang pria berjas coklat yang tengah melirik sekilas