"ADA apa ini, Mbok? Sepertinya sesuatu tengah terjadi di luar sana!"Dari sebalik tonjolan batu di dekat mulut lorong, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan emban pengasuhnya saling berpandangan. Paras dua wanita berbeda usia tersebut sama-sama memancarkan rasa heran bercampur bingung.Di ruangan besar dalam gua yang sejak kemarin ditempati Sang Puteri, biasanya berjaga-jaga paling tidak tujuh lelaki berpakaian hitam-hitam. Lima berdiri siaga di sekeliling ruangan besar, dua lagi mengapit mulut lorong menuju ruangan Dyah Wedasri berada.Namun setelah mendengar suara suitan nyaring dari luar tadi, lima penjaga di ruangan besar bergegas keluar. Tinggallah dua orang saja yang tetap berjaga-jaga di mulut lorong."Apa yang terjadi, Mbok?" ucap Dyah Wedasri lagi pada simbok emban di sebelahnya."Ampun, Gusti Puteri, hamba juga tidak tahu," jawab simbok emban, sembari mata kelabunya mengamati keadaan sekeliling.Suasana menjadi hening untuk beberapa lama. Entah mengapa Dyah Wedasri jadi cemas sendir
"A-apakah pengawal itu tewas, Mbok?"Dari balik tonjolan batu tempatnya mengintai, Dyah Wedasri terpekik melihat apa yang terjadi. Puteri Panjalu tersebut sontak memejamkan mata, sembari menutup telinga dengan telapak tangan.Seolah belum cukup, Dyah Wedasri juga memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak tega melihat bagaimana tubuh penjaga berpakaian hitam di depan sana tertembus dua batang tombak.Sementara yang ditanyai tidak menjawab. Hanya dapat menelan ludah melihat bagaimana keadaan lelaki yang terkena serangan tadi. Dua tombak menancap di dada dan perutnya, terus tembus sampai punggung.Darah mengucur deras dari dua luka tersebut. Lantai gua segera memerah oleh genangan darah. Sedangkan si lelaki berpakaian hitam-hitam tampak bergeletar seluruh tubuhnya, seolah sedang meregang nyawa."Kenapa kau tidak menjawabku, Mbok? Apa dia sudah tewas?" tanya Dyah Wedasri lagi. Kini ia menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangan.Yang ditanyai tetap tidak mau menjawab. Justru kemu
DI luar gua, tiga pertarungan di dua tempat berbeda masih berlangsung. Suara dentrangan logam beradu yang bercampur dengan bentakan-bentakan masih terdengar.Pada gelanggang pertama, Ki Bekel Wikutama berhasil merobohkan tiga prajurit magalah yang mengeroyoknya. Namun pria separuh baya itu tengah terdesak hebat dan mengalami luka menganga di beberapa bagian.Di lengan, dada, perut dan punggung Wikutama terdapat sayatan yang mengucurkan darah. Pakaian yang dikenakan bekel itu juga koyak moyak tak karuan. Kesemuanya akibat terkena sabetan mata tombak para prajurit dan juga parang besar Ganduswa."Kau sudah terlihat sangat kepayahan, Ki Bekel. Sebaiknya menyerah saja untuk kami bawa ke Kotaraja!" seru Ganduswa, di sela-sela serangannya pada Wikutama."Bedebah! Jangan terlalu besar mulut!" balas Wikutama yang kian tersulut amarahnya.Namun ucapan Ganduswa ada benarnya. Wikutama memang tampak semakin kerepotan menghadapi serbuan tiga prajurit tersisa, ditambah Ganduswa dengan parang besarn
PARANG besar di tangan Ganduswa berkelebat dahsyat, diikuti suara desingan yang menggelitik nyali. Pada saat bersamaan, dua prajurit magalah yang tersisa ikut menyerang pula.Triguna mendengus. Tenaganya sudah berkurang jauh, sehingga pergerakannya juga kian lambat. Namun agaknya para pengeroyok masih tetap bersemangat menyerang.Apa boleh buat, Triguna terpaksa melancarkan rencana pamungkas. Ia tidak mau mati konyol di tempat ini. Sekalipun ia merasa mengkal bukan main pada Kridapala yang telah berkhianat, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memperturutkan amarah secara serampangan."Mau lari ke mana kau?" bentak Ganduswa yang ternyata dapat mencium gelagat Triguna.Tak mau lawannya kabur, Ganduswa mengurung dengan serangan parang bertubi-tubi. Mau tak mau Triguna meladeni kecuali mau tubuhnya berubah jadi daging cacah.Pertarungan satu lawan tiga pecah lagi. Namun sebetulnya Triguna hanya meladeni Ganduswa seorang, sebab dua prajurit magalah lebih memilih berjaga-jaga di tepi gela
"ADA apa di sana? Kenapa burung-burung itu beterbangan sebegitu banyak?" gumam Tumanggala ketika tiba di satu tempat.Wira tamtama Kerajaan Panjalu itu belum sampai di tujuan. Ia bahkan belum tahu pasti tempat mana yang jadi tujuannya. Masih harus menebak-nebak sesuai petunjuk Paladhu yang tidak terlalu jelas.Namun pemandangan aneh di langit depan sana memaksa Tumanggala untuk berhenti. Ia langsung dibuat penasaran menyaksikan sekawanan burung yang terbang berputar-putar di satu tempat. Apalagi dalam jumlah sedemikian banyak."Tidak salah lagi, itu memang burung bangkai," desis Tumanggala, sembari memandangi burung-burung berkepala botak tanpa bulu tersebut.Kawanan burung tersebut seperti tengah mengincar sesuatu di bawah sana. Entah mengapa unggas-unggas itu hanya berputar-putar, Tumanggala belum dapat menebak. Namun ia tahu persis keberadaan burung bangkai merupakan satu petunjuk jika di tempat itu terdapat aroma kematian.Melihat pada begitu banyaknya burung bangkai yang beterban
TUMANGGALA segera menyandarkan batang kayu yang ia jadikan suluh ke dinding gua. Kemudian ia berjongkok dan mendekatkan wajah agar dapat mengenali orang yang sekilas pandang mirip Triguna.Sekejap berselang Tumanggala kembali mendesah kaget. Lelaki yang tengah tergeletak tak bergerak sedikit pun di hadapannya ini memang Triguna. Tidak mungkin ia salah, sekalipun keadaan di dalam gua remang-remang."Apa yang telah terjadi di tempat ini? Mengapa Triguna terluka sedemikian parah?" gumam Tumanggala terheran-heran sendiri.Sang wira tamtama lantas memeriksa keadaan orang dengan menempelkan punggung tangan ke depan hidung. Masih terasa embusan napas, meski sangat samar dan lebih hangat dari kebanyakan orang.Tumanggala juga meraba denyut nadi pada urat besar di leher Triguna. Begitu tangannya menyentuh kulit Triguna, seketika itu pula ia mendesis kaget."Astaga! Kenapa tubuhnya bisa sepanas ini? Apakah ada racun yang bersarang?" tanya Tumanggala pada dirinya sendiri.Setelah hilang kagetnya
"SIAPA orang itu? Ada urusan penting apa sampai harus menemuiku pagi-pagi buta begini?" tanya Rakryan Mantri Tumenggung pada prajurit pengawal kediamannya. Hari memang masih gelap di Kotaraja. Mentari belum menampakkan diri di kaki langit timur. Suasana katumenggungan masih sepi, hanya tampak para prajurit yang berjaga sejak semalam. Namun sepagi buta itu seekor kuda berderap datang. Penunggangnya seorang lelaki berkepala plontos. Kepada prajurit penjaga di depan, tamu asing tersebut mengaku membawa pesan penting untuk Rakryan Tumenggung. Mulanya para penjaga tidak menggubris. Mereka tidak mau kena damprat karena membangunkan Rakryan Tumenggung yang mereka yakini masih beristirahat. Panglima kerajaan itu juga sedang sering marah-marah belakangan ini. Namun ketika tamu tersebut menyebut-nyebut kedatangannya ada kaitan dengan Dyah Wedasri Kusumabuwana, para prajurit jaga langsung heboh. Salah satu dari mereka langsung masuk dan menghadap. "Orang itu mengaku bernama Ganduswa, Gusti T
"KAU tidak salah membaca, Lembana. Gusti Puteri telah ditemukan," ujar Rakryan Tumenggung, ketika melihat Arya Lembana malah terpaku usai membaca pesan yang disodorkan olehnya. "O-oleh Kridapala?" Arya Lembana sungguh tidak mengerti mengapa bibirnya seperti tergerak sendiri untuk mengucapkan pertanyaan bernada ragu itu. Segudang pertanyaan sebetulnya sudah bercokol di benak Arya Lembana sejak dijemput dari ruang tahanan bawah tanah tadi. Sepanjang perjalanan menuju katumenggungan, ia berusaha menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu tetapi gagal. Sang senopati memang sempat menduga jika pemanggilan ini ada kaitan dengan Dyah Wedasri. Karena puteri kesayangan rajanya itu sudah diketemukan dan kembali ke Kotaraja, maka ia dibebaskan dari tahanan. Namun mengapa Kotaraja seperti tenang-tenang saja jika benar Dyah Wedasri telah kembali? Di mana-mana tempat yang Arya Lembana lewati tadi, tidak terlihat suasana penyambutan sedikit pun. Sepi. "Kelihatannya kau tidak percaya?" Rakryan Tu
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun