GURU Tumanggala tidak main-main dengan ucapannya. Lelaki tua itu sudah bulat dengan titahnya tadi. Tidak sedikit pun memberi kesempatan pada muridnya untuk menjelaskan apapun, lebih-lebih lagi membantah.Bahkan malam itu juga petapa nyentrik tersebut mengajak Tumanggala ke teluk. Ajakan yang sebetulnya enggan dituruti oleh sang wira tamtama. Namun gurunya memaksa, bahkan mengancam."Ingat, Tumang, dulu kau yang merengek-rengek memintaku mengangkatmu sebagai murid. Nyatanya, baru sebentar saja kau sudah kabur meninggalkanku. Kalau kau pergi lagi, aku tidak akan sudi menyebutmu sebagai muridku!"Itulah ucapan pamungkas dari gurunya yang membuat Tumanggala menyusul ke teluk. Meski sejujurnya di dalam hati ia terus berperang. Keinginan untuk mematuhi guru dan menaati perintah atasan berperang di dalam dirinya.Sampai kemudian kencangnya suara deburan ombak di teluk membetot seluruh perhatian Tumanggala. Lautan di depan sana tampak hitam, tetapi cahaya rembulan separuh membantunya mengagum
KETIKA kemudian pagi datang keesokan harinya, guru Tumanggala mendapati kamar muridnya kosong melompong. Prajurit itu benar-benar nekat pergi. Si lelaki tua jadi geleng-geleng kepala."Dasar anak keras kepala!" desisnya, tetapi kemudian tertawa mengekeh. "Kapan dia perginya? Bagaimana bisa aku tidak tahu sama sekali? Dasar kebo! Kalau tidur tidak dengar apa-apa."Sambil memaki diri sendiri, lelaki tua itu duduk di tepian ranjang yang semalam dipakai tidur Tumanggala. Sambil menepuk-nepuk tilam yang dilapisi sebentuk kain lusuh, ia sambil menduga-duga kapan muridnya kabur.Sepulang dari teluk tadi malam, seingat si lelaki tua Tumanggala membersihkan diri di sungai dan langsung tidur. Prajurit itu tidak berkata apa-apa saat bertemu muka dengan gurunya. Bahkan seperti tidak melihat keberadaan orang lain.Dari situ si lelaki tua tahu jika muridnya tengah mengalami kebimbangan luar biasa. Di satu sisi ingin menjadi murid baik yang menaati perintah dan kehendak guru, tetapi di sisi lain ia
AIR di permukaan dawuhan di Paradah itu memantulkan warna keperakan terang dari langit. Sang surya sudah lepas dari kaki langit timur, tetapi orang yang ditunggu-tunggu Kridapala belum juga muncul. Bekel itu duduk di tepian dawuhan, sambil sesekali mengernyit menahan rasa sakit yang merambati sekujur tubuh. Luka-luka yang ia derita akibat pertarungan dengan Tumanggala dan gurunya, juga dengan para prajurit penjaga gerbang perbatasan Kotaraja, masih terasa. Kalau menurutkan kehendak hati, ingin rasanya Kridapala terus beristirahat sampai benar-benar pulih. Namun ia sudah berjanji menemui seseorang di tempat ini, demi menuntaskan rencananya yang sempat terganggu. "Prajurit tengik itu seharusnya sudah aku penggal batang lehernya. Sial betul orang tua keparat itu malah muncul dan mengacaukan semuanya," geram Kridapala, mengenangkan kejadian di tapal batas Hantang kemarin. "Kali ini rencanaku tak boleh kacau lagi. Kali ini aku harus bisa menuntaskan semuanya. Tumanggala dan juga Arya Le
"ADUH! Kenapa tiba-tiba perutku perih sekali!" desis Tumanggala, sembari langsung menghentikan langkah kakinya.Wajah wira tamtama Panjalu itu mengernyit, sementara bulir-bulir keringat membasahi kulitnya. Sambil memegangi perutnya yang terasa melilit, ia menyandarkan bahu ke sebatang pohon di tepi jalan.Ada rasa melilit yang terasa di dalam lambung Tumanggala. Lalu tak lama berselang ia mendengar suara berkecuruk ramai di perutnya. Prajurit itu jadi meringis karena teringat sesuatu."Ah, sialan! Pastilah ini karena aku tidak makan dari siang kemarin," gerutunya.Sambil terus mengelus-elus perutnya yang berbunyi ramai, Tumanggala mengedarkan pandangan ke sekeliling. Senyum lebar langsung terkembang tatkala tatapan matanya terantuk pada satu bangunan bambu tak jauh dari tempatnya berhenti.Warung makan! Tumanggala yakin sekali matanya tak salah lihat. Bangunan bambu itu memang terlihat sebagaimana umumnya warung makan.Di halaman bangunan tersebut tampak beberapa ekor kuda tertambat r
"TIDAK ada pilihan lain, aku terpaksa melakukannya," desis Tumanggala, lalu bangkit dari duduknya.Sambil meletakkan sekeping koin tembaga di atas meja, Tumanggala langsung menuju pintu keluar. Tak ada yang menghiraukan kepergiannya, termasuk dua prajurit tadi yang masih asyik terus mengobrol.Tumanggala berjalan santai saat keluar dari warung. Ia tak mau menarik perhatian dengan bergerak terburu-buru. Dengan yakin wira tamtama itu melangkah ke bagian samping di halaman, tempat di mana kuda-kuda para pengunjung warung berjejer. "Harap kalian mengampuni perbuatanku ini, Prajurit. Setidaknya kalian masih bisa kembali ke Kotaraja dengan berboncengan," gumam Tumanggala, sembari melirik ke arah warung.Hap!Sekali lompat saja Tumanggala sudah berada di atas punggung kuda milik salah satu prajurit tadi. Tanpa menunggu lagi ia langsung menggebrak dengan kaki, membuat hewan tersebut meringkik keras dan kemudian melesat pergi.Suara ringkikan itu barulah membuat para pengunjung warung mengang
"HIAAATT!"Wuuut! Wuuutt!Serangan Paladhu dan Gonggo Seto datang secara bersamaan, mengarah pada dua tempat berbeda di tubuh Tumanggala. Satu melepas tendangan yang mengarah ke dada, sedangkan satunya lagi mengirim pukulan ke bawah dagu.Terang saja yang diserang menggeram marah, kemudian bersiap memasang kuda-kuda. Namun alih-alih balas menyerang, Tumanggala memilih menunggu di tempatnya.Sang wira tamtama sudah tahu kemampuan Paladhu, tetapi lelaki berpakaian putih bernama Gonggo Seto itu belum. Jadi ia akan sengaja menangkis serangan dengan maksud menjajaki kekuatan tenaga dalam lawan.Buk! Buk!Ketika pukulan dan tendangan yang dilepas dua lawan sudah dekat, Tumanggala gerakkan kedua tangannya secara berbarengan. Satu gerakan cepat yang mengagetkan lawan, dengan tenaga dalam mengalir penuh.Terdengar suara benturan keras tatkala kedua lengan Tumanggala beradu dengan kaki Paladhu dan juga tangan Gonggo Seto. Sambil mengeluh kaget, wira tamtama itu terjajar mundur beberapa langkah
"RASAKAN ini, Prajurit Tengik!" seru Paladhu menggelegar, sembari melesatkan pedangnya ke batang leher Tumanggala. Satu serangan berbahaya lagi mematikan.Yang diserang tersentak, tetapi langsung mengulas seringai tipis. Pedang harus dihadapi dengan pedang pula, batinnya.Maka Tumanggala pelintangkan senjata di tangannya ke depan muka, sebelum kemudian disabetkan ke depan menyongsong datangnya serangan.Sing! Sing!Trang! Trang!Bentrokan pedang tak dapat dihindari. Suara dentrang logam terdengar keras di tepian sungai kecil yang semula senyap. Gemanya menjalar jauh sampai ke arah pebukitan di bawah kaki gunung sana.Paladhu yang memang berkemampuan agak di bawah Tumanggala mengernyitkan dahi. Tangannya yang menggenggam pedang bergetar dan terasa nyeri.Sementara Tumanggala terus mendesak. Usai beradu pedang, wira tamtama itu lentingkan tubuh tinggi-tinggi melompati kepala Paladhu. Setelah berputar beberapa kali di udara, ia mendarat tepat di belakang punggung lawan.Begitu kakinya me
"BEDEBAH! Dasar pengecut rendah!" maki Tumanggala geram. Tanpa dapat dihindari, tendangan keras Paladhu mendarat telak di punggungnya.Wira tamtama itu dibuat mengeluh setinggi langit. Tubuhnya terpental tinggi ke atas, untuk kemudian berputar beberapa kali dan akhirnya melayang jatuh ke tanah. Sekali lagi ia menjerit kesakitan.Baru saja tubuh Tumanggala mencium tanah, Paladhu sudah mengirim serangan susulan. Sekali lagi kakinya melesat cepat, kali ini mengarah ke batang leher lawan yang masih tergeletak meringis menahan rasa sakit."Rasakan ini, Prajurit Tengik!" seru Paladhu dengan geram.Tumanggala terkesiap. Tak mau batang lehernya patah dihantam kaki lawan, wira tamtama itu gelindingkan tubuh ke samping untuk menghindar. Akibatnya, tapak kaki Paladhu hanya menghunjam tanah kosong.Begitu terbebas dari serangan, Tumanggala langsung melompat bangkit dan entakkan kakinya ke tanah. Sekejap berselang ia sudah melesat cepat mengirimkan serangan balasan. Tahu-tahu saja berada di sampin
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun