Siapakah lelaki tua ini? Yang sudah baca cerita Arya Tumanggala seri pertama pasti bisa menebak :)
MESKI sempat kaget, si lelaki tua tidak sedikit pun mengangkat wajah ke arah asal suara. Tadi sekilas ia sudah melihat sosok keempat lelaki yang baru datang itu.Empat lelaki tersebut kesemuanya bertelanjang dada, menampakkan tubuh penuh otot dengan dada bidang. Si kakek menduga, mereka adalah kalangan kesatria. Setidak-tidaknya prajurit kerajaan.Si kakek lantas berlagak masa bodoh, tetapi diam-diam mementang kedua belah telinganya lebar-lebar untuk menangkap isi pembicaraan orang. Nama yang barusan disebut salah satu dari empat orang itu menarik perhatiannya."Pelankan suaramu, Surama. Tidakkah kau tahu kita sedang berada di mana?" tegur salah satu dari keempat lelaki pada temannya yang berbicara tadi.Yang ditegur mendengus tak senang. Pelipisnya bergerak-gerak."Kita berada jauh di pinggiran Kotaraja, Sudawarman. Lagi pula, tidak ada siapa-siapa di warung ini kecuali sepasang muda-mudi kasmaran dan seorang tua pikun. Mereka tidak akan tahu dan juga tidak akan peduli dengan apa yan
SETELAH agak jauh meninggalkan Kotaraja, baru Kridapala menyadari ada yang salah dengan pertemuannya barusan. Bekel kerajaan itu teringat satu kalimat Jayeng saat mereka baru bersitatap."Keparat! Dari mana Jayeng sialan tahu kalau aku mendapat titah dari Gusti Tumenggung untuk mencari Gusti Puteri? Jangan-jangan...."Kridapala tidak berani meneruskan. Yang jelas kecamuk pikiran yang muncul tiba-tiba memengaruhi kendali atas kuda.Tanpa sadar bekel kerajaan tersebut menarik tali kekang, sehingga membuat hewan tunggangannya memperlambat lari. Baru setelah beberapa saat Kridapala tersadar apa yang terjadi."Siapa sebetulnya Jayeng itu? Selama ini yang aku tahu dia telik sandi kerajaan yang menjadi tangan kanan Arya Agreswara. Kenapa setelah senopati sialan itu modar, Jayeng masih saja berkeliaran?" gumam Kridapala lagi."Satu hal lagi ..." Kridapala jadi teringat sesuatu. "Bagaimana mungkin Jayeng yang sering menjalin hubungan dengan Arya Agreswara bisa selamat dari upaya bersih-bersih
KRIDAPALA tak mengindahkan ucapan orang. Bahkan ia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Alih-alih, bekel tersebut menggebah kuda tunggangannya agar berlari jauh lebih kencang lagi.Sambil terus memacu kuda, di dalam hati Kridapala memaki diri sendiri. Ia jadi menyesal telah memperturutkan rasa penasaran dan singgah ke Surawana.Kejadian yang telah berlalu puluhan tahun itu seolah masih segar dalam ingatannya. Terlebih ketika ia mendatangi kebun sayur di mana dahulu, dua dasawarsa lalu saat ia datang ke sana dengan menggendong bayi, berdiri sebuah rumah kayu."Keparat! Perasaan ini kembali memengaruhiku," keluh Kridapala, menggeram kesal. "Dulu aku memperturutkan perasaan seperti ini dan hasilnya? Aku sungguh menyesal telah menyelamatkan bayi sialan itu!"Untuk mengenyahkan segala bayangan dan juga perasaan menyesakkan dari masa lalu, Kridapala memacu kudanya kencang-kencang. Hewan itu melesat secepat angin, hanya menampakkan debu mengebul di sepanjang perjalanan.Saking cepatnya Kri
USAI berkata begitu, lelaki berpakaian hitam itu memisahkan diri dari teman-temannya. Ia memberi isyarat pada Kridapala agar mengikutinya, kemudian mendahului melangkah lurus ke arah badan sungai. Kridapala mengikuti lelaki tersebut dengan menunggang kuda yang berjalan perlahan-lahan. Mereka menyeberangi sungai yang dasarnya berbatu-batu. Suara air berkecipak ramai terdengar meningkahi langkah-langkah kaki rombongan kecil itu. Melihat kudanya beberapa kali terpeleset, Kridapala memutuskan meninggalkan hewan tersebut setiba di seberang sungai. Selepas itu mereka melalui jalan setapak yang di kanan-kirinya tertutup semak belukar rendah. Hingga sampailah di satu tempat yang sangat rimbun oleh jejeran pepohonan besar-besar. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," ujar lelaki berpakaian hitam di depan, sembari berbalik menghadap Kridapala. Suiiiittt! Tanpa menunggu jawaban orang yang diajak bicara, lelaki tersebut tiba-tiba bersuit nyaring. Suara suitannya bergema di dalam hutan
MELIHAT Kridapala kebingungan, Sukarta kembali perdengarkan tawa. Lelaki bertubuh gempal itu lantas berdiri, sembari enak saja melemparkan jambu air yang tinggal setengah ke sembarang arah.Sambil mulutnya terus bergerak mengunyah, Sukarta berjalan perlahan-lahan mendekati Triguna dan Kridapala. Lalu kepala gerombolan perampok Kebo Cemeng itu berhenti di hadapan kedua orang tersebut."Dyah Wedasri Kusumabuwana ..." Sukarta mengembangkan seringai tipis, sembari memandangi Triguna dan Kridapala berganti-ganti. "Aku jadi penasaran apa yang sudah raja kalian lakukan untuk mencari puteri kesayangannya itu.""Gusti Prabu langsung memerintahkan Rakryan Tumenggung untuk memimpin pencarian. Dalam jangka waktu sepekan, Gusti Puteri sudah harus diketemukan atau leher Rakryan Tumenggung akan dipenggal," sahut Kridapala. Kabar itulah yang ia dengar sewaktu pertama kali tiba di Kotaraja kemarin malam.Paras Sukarta dan Triguna seketika berubah, lalu keduanya saling pandang. Sembari menyeringai penu
SEBENARNYA Kridapala merasa mengkal betul. Ia tidak keberatan jika harus mengadu kekuatan dengan Sukarta. Namun Triguna sudah terlebih dahulu menggiringnya keluar, meninggalkan Sukarta yang tengah melolot lebar dengan wajah merah padam.Tiba di teras menuju tangga, empat orang berpakaian hitam-hitam telah mengadang. Sikap mereka waspada, dengan sorot mata garang tertuju pada Kridapala. Genggaman tangan masing-masing sudah berada pada gagang golok yang tergantung di pinggang.Triguna menggoyangkan kepalanya pada keempat lelaki berpakaian hitam-hitam itu. Memberi isyarat bahwa tidak terjadi apa-apa dan mereka boleh pergi. "Jangan terbawa amarah, Ki Bekel. Ini urusan besar, tidak akan mungkin berjalan lancar kalau setiap yang terlibat di dalamnya mengumbar amarah dan kehendaknya sendiri-sendiri," ujar Triguna, membujuk Kridapala saat langkah-langkah kaki mereka berdua mulai menuruni anak tangga."Tapi aku sudah menyatakan diri ikut dengan kalian, Triguna!" balas Kridapala tak mau kalah.
TAK lama setelah Kridapala meninggalkan lembah di mana gerombolan Kebo Cemeng bersarang, sepasukan prajurit Panjalu ganti mendatangi tempat tersebut. Kedatangan mereka dipimpin langsung oleh Rakryan Rangga. Tentu saja Rakryan Rangga tak sendiri. Wakil panglima Kerajaan Panjalu itu membawa serta seorang senopati, dua orang bekel, ditambah dua lurah prajurit sebagai pemimpin pasukan. Kekuatan pasukan itu sendiri sebanyak 30 prajurit magalah dan 20 prajurit pemanah. Satu jumlah yang sebetulnya terlalu banyak kalau hanya untuk menggerebek gerombolan perampok. Namun ini menunjukkan betapa pentingnya penyerbuan tersebut. "Gusti Rangga, lihat orang-orang itu!" seru Senopati Arya Mandura, perwira menengah yang turut memimpin pasukan tersebut. "Mereka berpakaian sama seperti gerombolan penculik Gusti Puteri!" Rakryan Rangga mengertakkan rahang. Sepasang matanya menatap marah pada empat lelaki berpakaian hitam-hitam di depan sana. Begitu tiba di dasar lembah tadi, pandangan mata Arya Mandur
LELAKI berpakaian serba hitam yang kabur dari kalangan pertempuran itulah yang mendatangi Sukarta. Ia harus menahan rasa sakit akibat beberapa luka tusukan tombak demi melaporkan keadaan.Paras Sukarta seketika menjadi tegang mendengar ucapan anak buahnya. Terjawab sudah perasaan tidak enak yang tadi mendadak menjalari dirinya. Ternyata ada marabahaya yang mendatangi mereka.Sementara Triguna, entah mengapa bekas prajurit Panjalu itu langsung terpikir pada Kridapala. Ia jadi bertanya-tanya sendiri, apakah bekel tersebut benar-benar sejenis ular berkepala dua?"Sudah aku duga, bekel keparat itu memang mata-mata!" ujar Sukarta kemudian dengan geram. Tatapannya yang nyalang tertuju pada Triguna."T-tidak, tidak mungkin," sergah Triguna dengan raut muka tak pecaya. "Aku tidak yakin Bekel Kridapala mengkhianatiku, mengkhianati kita. Dia justru sangat bersemangat mendukung rencana kita.""Pertemanan di masa lalu telah membutakan penilaianmu, Triguna!" balas Sukarta dengan sengit. "Jelas-jel
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun