KRIDAPALA tersentak mendengar perintah tersebut. Parasnya seketika berubah. Terlebih ketika menyadari sikap para prajurit penjaga gapura Kotaraja yang semuanya tampak bersiaga penuh."Tunggu, tunggu!" Kridapala angkat tangannya ke udara. Ia yakin ada kesalahpahaman. "Kenapa kalian malah hendak menangkapku? Bukankah kau sendiri tadi yang mengatakan Gusti Rakryan Tumenggung sudah menungguku?""Kau benar, Ki Bekel," sahut prajurit yang sejak tadi berbicara dengan Kridapala. Agaknya ia adalah pemimpin pasukan hari ini. "Kau memang sudah ditunggu. Kami diperintahkan untuk menangkap dan membawamu ke hadapan Gusti Rakryan Tumenggung, hidup ataupun mati!"Jawaban itu membuat Kridapala menelan ludah. Selaksa pertanyaan seketika muncul di dalam kepalanya.Mengapa tiba-tiba Rakryan Tumenggung berubah sikap? Bukankah kemarin panglima kerajaan itu seperti menelan mentah-mentah tuduhan yang dilempar Kridapala kepada Senopati Arya Lembana dan Tumanggala?"Bagaimana, Ki Bekel?" tanya Paladhu setengah
KRIDAPALA memacu kuda kencang-kencang bagai kesetanan. Ia terus-terusan menggebah hewan tunggangannya agar tidak mengurangi kecepatan. Sementara di belakangnya, Paladhu tercecer sejarak beberapa depa.Di belakang keduanya, para prajurit penjaga gapura perbatasan Kotaraja sudah tak tampak lagi. Tadi beberapa dari mereka memang ada yang mengejar. Namun bisa sejauh apa kalau hanya dengan berlari?Sebelum memutuskan bertarung tadi, Kridapala sudah terlebih dahulu mengamati keadaan. Ia melihat beberapa ekor kuda tertambat di dekat gardu penjaga, tetapi letaknya terlalu jauh dari medan pertempuran.Itu sebabnya ketika merasa keadaan tak lagi menguntungkan, Kridapala memutuskan pergi. Akan lebih baik baginya segera menyingkir sejauh mungkin dari Kotaraja.Ketika para prajurit penjaga gapura Kotaraja baru menaiki kuda, Kridapala dan Paladhu sudah sangat jauh. Bahkan derap ladam kedua orang itu tidak terdengar lagi.Setelah merasa aman, Kridapala memberi isyarat pada Paladhu dengan mengangkat
RAKRYAN Mantri Tumenggung tengah berada di pendopo kediamannya petang itu. Sang panglima berbicara dengan seorang lelaki tua, ketika seseorang berseragam prajurit datang diantar pengawal katumenggungan.Prajurit tersebut tampak lusuh dan berkeringat, dengan wajah menyiratkan kelelahan. Napasnya juga terdengar tersengal-sengal, sepertinya baru saja datang dari tempat jauh."Mohon ampun, Gusti, prajurit ini mengaku sebagai kepala pasukan penjaga gapura perbatasan Kotaraja sisi barat. Katanya hendak melaporkan sesuatu yang baru saja terjadi," terang salah satu pengawal katumenggungan yang mengantar."Hmmm ..." Rakryan Tumenggung meninggalkan lelaki tua yang tadi sedang ia ajak bicara, lalu mendekat pada prajurit yang baru datang. "Siapa namamu?""Hamba Santanu, Gusti Tumenggung," jawab si prajurit, sembari sedikit membungkukkan badan. "Lalu, apa yang telah terjadi di gapura perbatasan Kotaraja?" tanya Rakryan Tumenggung lagi."Tadi Ki Bekel Kridapala dan pasukannya tiba dan hendak masuk
SUARA gemericik air menyambut kedatangan Tumanggala. Ia berhenti sejenak di hadapan sebuah pondok kayu, sementara gurunya sudah meniti undak-undakan menuju ke bagian atas bangunan panggung tersebut.Sebuah ingatan seketika membayang di dalam kepala Tumanggala. Rentetan peristiwa tak terlupakan beberapa purnama lampau, setelah dirinya ditemukan mengambang di muara sungai pada Teluk Secang di kejauhan sana.Tumanggala menghela napas panjang mengingat semuanya. Bayangan wajah istrinya yang memilih bunuh diri di Gua Lawendra, muncul bergantian dengan bayangan wajah puteranya yang terakhir kali bersamanya saat ia ajak mandi di sungai.Dada Tumanggala seketika menjadi sesak, sementara bola matanya memanas. Lalu tanpa dapat ditahan-tahan lagi, bulir-bulir bening menggelinding jatuh dari kelopak mata membasahi pipinya."Kau kenapa malah diam saja di sana? Cepat masuk!" Satu suara cempreng nyaring mengagetkan Tumanggala.Buru-buru Tumanggala mengusut mata agar tidak ketahuan sedang menangis. D
GURU Tumanggala tidak main-main dengan ucapannya. Lelaki tua itu sudah bulat dengan titahnya tadi. Tidak sedikit pun memberi kesempatan pada muridnya untuk menjelaskan apapun, lebih-lebih lagi membantah.Bahkan malam itu juga petapa nyentrik tersebut mengajak Tumanggala ke teluk. Ajakan yang sebetulnya enggan dituruti oleh sang wira tamtama. Namun gurunya memaksa, bahkan mengancam."Ingat, Tumang, dulu kau yang merengek-rengek memintaku mengangkatmu sebagai murid. Nyatanya, baru sebentar saja kau sudah kabur meninggalkanku. Kalau kau pergi lagi, aku tidak akan sudi menyebutmu sebagai muridku!"Itulah ucapan pamungkas dari gurunya yang membuat Tumanggala menyusul ke teluk. Meski sejujurnya di dalam hati ia terus berperang. Keinginan untuk mematuhi guru dan menaati perintah atasan berperang di dalam dirinya.Sampai kemudian kencangnya suara deburan ombak di teluk membetot seluruh perhatian Tumanggala. Lautan di depan sana tampak hitam, tetapi cahaya rembulan separuh membantunya mengagum
KETIKA kemudian pagi datang keesokan harinya, guru Tumanggala mendapati kamar muridnya kosong melompong. Prajurit itu benar-benar nekat pergi. Si lelaki tua jadi geleng-geleng kepala."Dasar anak keras kepala!" desisnya, tetapi kemudian tertawa mengekeh. "Kapan dia perginya? Bagaimana bisa aku tidak tahu sama sekali? Dasar kebo! Kalau tidur tidak dengar apa-apa."Sambil memaki diri sendiri, lelaki tua itu duduk di tepian ranjang yang semalam dipakai tidur Tumanggala. Sambil menepuk-nepuk tilam yang dilapisi sebentuk kain lusuh, ia sambil menduga-duga kapan muridnya kabur.Sepulang dari teluk tadi malam, seingat si lelaki tua Tumanggala membersihkan diri di sungai dan langsung tidur. Prajurit itu tidak berkata apa-apa saat bertemu muka dengan gurunya. Bahkan seperti tidak melihat keberadaan orang lain.Dari situ si lelaki tua tahu jika muridnya tengah mengalami kebimbangan luar biasa. Di satu sisi ingin menjadi murid baik yang menaati perintah dan kehendak guru, tetapi di sisi lain ia
AIR di permukaan dawuhan di Paradah itu memantulkan warna keperakan terang dari langit. Sang surya sudah lepas dari kaki langit timur, tetapi orang yang ditunggu-tunggu Kridapala belum juga muncul. Bekel itu duduk di tepian dawuhan, sambil sesekali mengernyit menahan rasa sakit yang merambati sekujur tubuh. Luka-luka yang ia derita akibat pertarungan dengan Tumanggala dan gurunya, juga dengan para prajurit penjaga gerbang perbatasan Kotaraja, masih terasa. Kalau menurutkan kehendak hati, ingin rasanya Kridapala terus beristirahat sampai benar-benar pulih. Namun ia sudah berjanji menemui seseorang di tempat ini, demi menuntaskan rencananya yang sempat terganggu. "Prajurit tengik itu seharusnya sudah aku penggal batang lehernya. Sial betul orang tua keparat itu malah muncul dan mengacaukan semuanya," geram Kridapala, mengenangkan kejadian di tapal batas Hantang kemarin. "Kali ini rencanaku tak boleh kacau lagi. Kali ini aku harus bisa menuntaskan semuanya. Tumanggala dan juga Arya Le
"ADUH! Kenapa tiba-tiba perutku perih sekali!" desis Tumanggala, sembari langsung menghentikan langkah kakinya.Wajah wira tamtama Panjalu itu mengernyit, sementara bulir-bulir keringat membasahi kulitnya. Sambil memegangi perutnya yang terasa melilit, ia menyandarkan bahu ke sebatang pohon di tepi jalan.Ada rasa melilit yang terasa di dalam lambung Tumanggala. Lalu tak lama berselang ia mendengar suara berkecuruk ramai di perutnya. Prajurit itu jadi meringis karena teringat sesuatu."Ah, sialan! Pastilah ini karena aku tidak makan dari siang kemarin," gerutunya.Sambil terus mengelus-elus perutnya yang berbunyi ramai, Tumanggala mengedarkan pandangan ke sekeliling. Senyum lebar langsung terkembang tatkala tatapan matanya terantuk pada satu bangunan bambu tak jauh dari tempatnya berhenti.Warung makan! Tumanggala yakin sekali matanya tak salah lihat. Bangunan bambu itu memang terlihat sebagaimana umumnya warung makan.Di halaman bangunan tersebut tampak beberapa ekor kuda tertambat r
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun