~Sepuluh tahun yang lalu~
“Brie!!” Aku menoleh mendengar namaku dipanggil. Chyntia dan Arini sedang berlari ke arahku dengan senyum bahagia menghiasi wajah mereka.
“Mengapa kalian tidak pakai pengeras suara saja sekalian biar semua mahasiswa melihat ke arah kita?” ucapku geram menyadari orang-orang melihat ke arah kami dengan kening berkerut. Kedua teman baruku itu malah tertawa.
“Kami punya kabar gembira!” pekik Chyntia senang. Dia melompat sambil menepuk tangannya. “Dimas mengundang kita ke pesta ulang tahunnya di rumahnya!”
Chyntia menyukai pemuda itu sejak pertama kali kami mengikuti ospek. Aku tidak tahu apa yang membuat dia jatuh cinta kepadanya secepat itu. Iya, dia ganteng, tetapi tidak semenarik itu hingga akan membuat banyak gadis jatuh cinta. Reza dan Thomas adalah mahasiswa di kelas kami yang cukup menarik perhatian para gadis di kampus.
“Kamu mau ikut dengan kami ke sana?” tanya Arini. Aku menatapnya tidak percaya.
“Sekara
Seluruh tubuhku sakit. Mereka menghancurkan aku sekuat yang mereka bisa. Aku berusaha keras agar jiwaku tidak ikut remuk. Karena tanpa itu, aku tidak akan bisa keluar dari tempat terkutuk ini dan melaporkan perbuatan mereka yang lebih rendah dari binatang. Tujuh orang pemuda secara bergilir menggauli tubuhku. Teman satu kuliahku sendiri menggagahi aku tanpa izinku. Pada malam pertama, aku dalam pengaruh obat sehingga aku tidak sepenuhnya sadar apa yang telah mereka lakukan. Pada hari kedua, aku terbangun dengan teriakan kencang karena rasa sakit yang hebat di bagian paling pribadi tubuhku. Chyntia segera membekap mulutku, sedangkan Arini menggunakan sesuatu yang basah pada bagian tubuhku itu. Tidak pernah ada seorang pun yang menyentuh aku pada bagian itu dan mereka berani menyentuh di saat aku tidak sadar membuat aku memberontak sekuat tenaga. Dimas dan Reza datang ke kamar tanpa tahu malu. Aku dalam keadaan tanpa pakaian dan mereka masuk begitu saja. Karena
~Masa Sekarang~ Aku tersenyum kepada Damian yang wajahnya memucat seperti melihat hantu. Bisa jadi itulah aku baginya saat ini. Masa lalu yang bahkan tidak berani dia bicarakan pada Nia, wanita yang katanya ingin dia nikahi. Wanita mana yang mau menikah dengan pria yang pernah memerkosa wanita lain? “Ada apa kalian memanggil Ian ke sini? Hanya untuk memberitahu dia mengenai aku atau kalian ingin mengulang masa lalu?” tanyaku dengan senyuman termanisku. “Kamu sebaiknya tidak mengonfrontasi kami, Brie. Kamu sendirian sedangkan kami ada tiga belas orang. Kamu jelas kalah jumlah,” kata Dimas memberi peringatan. “Oh, ya? Apa perlu teorimu itu kita uji?” tanyaku sambil berjalan mendekati mereka. Dimas menoleh ke arah Reza, lalu mengangguk. Pria itu menutup pintu di belakangku. Aku tersenyum. “Apa kalian akan maju sekaligus atau bergiliran? Pasti tubuh kalian melonjak bahagia membayangkan bisa menyentuh aku lagi, ‘kan?” “Perempuan tidak tahu diri!” t
“Tu-tunggu sebentar,” ucap istri Dimas pelan. Dia melihat ke arahku dengan mata tidak fokus, lalu melihat ke sekitarnya. “Oh, Tuhan. I-ini sangat menjijikkan. Kalian, kalian bertujuh memerkosa dia secara bergiliran? Atau ada yang hanya memegang dia tetapi tidak menyetubuhinya sama sekali?” Ruangan itu berubah hening hingga bunyi kami menarik dan mengeluarkan napas bisa terdengar. Istri Reza yang pertama kali kehilangan kendali. Dia segera menjauh dari suaminya. Lalu berikutnya istri Thomas yang segera berdiri dan menjaga jarak dari suaminya. “Pa, tolong jawab aku. Sayang, katakan padaku bahwa kamu tidak melakukan itu. Kamu tidak menggilir dia dengan teman-temanmu ini, ‘kan?” tanya istri Dimas panik. “Mengapa kamu hanya diam saja? Jawab aku!” Para wanita yang lain mulai menanyakan hal yang sama kepada suami mereka. Beberapa bahkan berteriak semakin histeris mulai mengerti mengapa aku melakukan ini semua kepada mereka. Tetapi suami mereka hanya diam seribu baha
~Damian~ Istri teman-teman lamaku histeris begitu mendengar pengakuan Nia, ah, maksudku, Brie. Mereka tidak kuat menerima kenyataan yang sebenarnya terjadi. Aku mengerti mengapa teman-teman lamaku itu tidak berani mengakui masa lalu mereka. Para wanita itu tidak akan mau menikah dengan mereka bila mengetahuinya sebelum mereka resmi menjadi suami istri. Aku hanya bisa terduduk di lantai, memeluk kedua lututku, dan membiarkan masa lalu menghantui aku lagi. Bayangan samar saat aku meniduri Brie untuk pertama kalinya. Aku tidak minum alkohol pada acara ulang tahun Dimas, jadi aku tidak tahu mengapa aku bisa mabuk. Karena tidak bisa mengendalikan gairahku sendiri, aku tidak menolak saat berada di atas tubuh Brie yang sedang tidur. Aku pernah menonton film dewasa bersama teman-temanku sehingga aku tidak kesulitan menentukan apa yang harus aku lakukan. Bila pada hari pertama aku tidak minum, maka pada hari berikutnya, aku ikut bermabuk-mabukan dengan keenam
Tidur menjadi hal yang sulit bagiku pada malam itu, tetapi aku berhasil pulas walau hanya dua jam saja. Rasa bersalah semakin menjadi-jadi dan aku tidak tahu bagaimana memaafkan diriku sendiri setelah bertemu dengan Brie lagi. Wajahku kusam dan mataku tidak bercahaya adalah kabar buruk bagi seorang pembawa berita. Tetapi tidak ada yang tidak bisa ditutupi oleh alat rias. Aku akan serahkan urusan penampilanku kepada tim penata rias kami. Meskipun tubuhku masih ingin berbaring di tempat tidur, aku tidak mengabaikan tanggung jawab dan tugasku di tempat kerja. Mereka tidak akan bisa mendapatkan pengganti dadakan jika aku sampai tidak masuk kerja hari ini. Maka aku memaksakan diri untuk mandi dan bersiap-siap. Suasana di tempat kerja belum sepi dari wartawan, jadi aku harus masuk lewat pintu samping agar tidak ada yang bisa melihat kehadiranku. Gerald menyambut aku seperti biasanya. Dia memberi aku beberapa hal yang perlu aku ketahui sebelum mengikuti rapat.
Kami masuk ke apartemenku. Mereka duduk di sofa yang tersedia di ruang depan, sedangkan Kak Cece memeriksa konter dan lemari dapur untuk mencari minuman yang bisa dia sediakan untuk kami. Aku mengambil satu kursi dekat konter dan membawanya ke ruang duduk. Mereka pasti datang untuk membicarakan tentang hubunganku dengan Brie. Apa yang membuat mereka memaksakan diri untuk menemui aku? Mereka sudah mengusir aku dari rumah dan aku yakin Kak Christos dan Rhea juga sudah mengetahuinya. Apa berita siang tadi yang mendorong mereka datang pada malam ini? “PunguanParna datang ke rumah semalam dan mereka tidak lagi berharap tetapi mengancam agar kamu tidak meneruskan rencanamu untuk menikahi Nia,” kata Bapak menjawab pertanyaan yang belum aku sampaikan. “Keluar dari punguankita bukan solusi. Pernikahan kamu dengannya tidak boleh terjadi. Tidak ada orang dari punguankita yang boleh mempermalukan marga kita.” “Berhenti bersika
Empat pasang mata menatapku tidak percaya, sedangkan dua pasang mata lainnya melihatku dengan bingung. Topik ini selalu kami hindari. Tetapi melihat mereka begitu membenci Brie, sudah saatnya kami membicarakan apa yang aku pikirkan mengenai perbuatan mereka terhadap aku. “Sepuluh tahun yang lalu?” tanya Rhea bingung. “Apa hubungan kejadian ini dengan sepuluh tahun yang lalu? Hal itu tidak perlu diungkit-ungkit lagi, Kak.” “Ada apa dengan sepuluh tahun yang lalu?” tanya Kak Cece yang melihat kami semua dengan rasa ingin tahu. “Rhea?” Tentu saja tidak ada satu pun dari anggota keluargaku yang akan menceritakannya kepada Kak Cece, juga tidak kepada Lae Luhut. Mereka tidak mau ada yang tahu tentang masa lalu yang buruk itu. Berita mengenai kejadian itu pun sudah dihapus sepenuhnya dari media tanpa sisa. Terima kasih atas bantuan orang tua Dimas, Chyntia, dan teman-teman yang lain. “Bukan hal yang perlu kamu pikirkan, sayang,” ucap Kak Christos. Kak Cece m
Rekan-rekan kerjaku menangis sedih saat Sharon menyampaikan bahwa aku tidak akan bekerja lagi di tempat ini mulai dari keesokan hari. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Mereka bingung mengapa aku mengundurkan diri. Pekerjaanku baik, perusahaan juga puas dengan semua prestasiku. Hal yang tidak bisa aku beritahukan. Urusanku di kota ini sudah selesai, untuk apa lagi aku masih bekerja di perusahaan ini? Direktur utama juga tahu bahwa penempatan aku di sini hanya sementara. Semua rencana selesai dalam waktu kurang dari satu bulan adalah hal yang sangat mengejutkan aku. Padahal ini misi yang berat. “Seharusnya kamu beri kami waktu. Jangan pergi mendadak begini,” ucap rekan kerja yang duduk di depanku. “Aku tidak menyiapkan apa pun yang bisa aku berikan kepadamu.” “Iya. Masa kamu pergi begitu saja? Kami juga mau memberi kamu kenang-kenangan,” timpal yang lain dengan nada sedih. “Kalian ini bagaimana? Kita bisa keluar bersama sore nanti untuk membeli k
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.
~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se
~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec
Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark