~Nia~
Aku tersenyum menemukan buket bunga lili putih di atas mejaku pada pagi hari. Ukuran bunga itu cukup besar, jadi delapan belas tangkai bukanlah jumlah yang sedikit. Aku terpaksa mencari vas bunga lain untuk meletakkan bunga tersebut agar bisa bertahan lebih lama.
Bu Sharon meminta aku untuk membuat contoh tema lomba yang aku pikirkan cocok untuk ideku yang sudah diterima oleh direktur utama. Tugas yang sangat mudah. Aku mulai mencari gambar yang cocok untuk membuat presentasiku itu semakin menarik.
Setiap kali Bintang atau Dilan lewat di depan dan belakangku, aku bisa merasakan tatapan tajam mereka yang ditujukan kepadaku. Dilan pasti butuh waktu yang lama untuk pulih dari rasa sakit pada alat vitalnya. Bintang tidak akan ada masalah dengan memar yang aku beri kepadanya. Dia bisa menutupinya dengan riasan tebal di wajahnya.
Perhatianku teralihkan ketika seorang petugas keamanan memasuki ruangan kami dan berjalan langsung menuju ruang kerja Sharo
Damian mampir ke sebuah restoran untuk memesan beberapa porsi makanan, lalu kami membawa semua itu ke mobil. Aku segera mengenali jalan yang dia tempuh ketika kami hampir tiba di tujuan. Ini tidak mungkin. Untuk apa dia datang ke tempat ini? Setelah memarkirkan mobilnya, dia membawa satu kantong dan aku membawa kantong yang lain. Dia menggandeng tanganku dan menuntunku menuju sebuah bangunan yang ada di balik gereja. Pintu rumah itu terbuka, jadi dia bisa memanggil penghuninya dari ambang pintu. Seorang wanita separuh baya datang tergopoh-gopoh menyambut kami dengan ramah. Dia mempersilakan kami duduk. Damian memberi sedikit dorongan di punggung bagian bawahku agar aku mengikuti wanita itu ke bagian dalam rumah. Aku menurutinya. Kami membuka setiap bungkusan makanan itu dan meletakkannya di atas piring saji. Wanita itu sangat ramah dengan menanyakan nama dan beberapa hal mengenai aku. Agak risi rasanya baru pertama bertemu sudah ditanya mengenai pernikahan, j
“Ke sini, Nia. Lihat ini!” ucap seorang rekan kerja yang posisi mejanya ada di depanku. Aku menurut dan berdiri di sisinya. Dia menunjukkan ponselnya. Aku menerima dan membaca apa yang ada di layar tersebut. Berita mengenai Damian yang akan menikah dengan perempuan satu marganya. Orang-orang mengomentari berita tersebut dengan kasar, beberapa bahkan mengutuknya sebagai orang yang tidak pantas lahir sebagai orang Batak. Ada yang melabeli dia bodoh, tidak tahu adat, berpendidikan tetapi tidak punya otak, dan sebagainya yang membuat aku terkejut. Mereka berani mengetik semua kalimat itu hanya karena sebuah berita? Mereka belum tahu apakah berita itu benar atau hanya gosip belaka, juga belum ada konfirmasi apa pun mengenai kebenaran isu tersebut dan dia sudah dicaci-maki? Mereka bahkan tidak mendengar atau menerima kabar itu langsung dari Damian. Dia masih berencana untuk menikah denganku, dia belum melakukan pelanggaran apa pun. Jika mereka memberi komentar itu
Aku merasakan Damian mencium pundakku, lalu dia naik mencium leherku, pipiku, hingga akhirnya bibir kami bertemu. Aku tersenyum saat dia meletakkan salah satu tangan di belakang kepalaku, karena aku tahu dia tidak hanya sekadar memberi ciuman biasa. Aku membuka diri untuknya, membiarkan dia mengenali aku lebih dalam. Tetapi tidak terlalu dalam agar dia tidak mengetahui semua rahasia yang belum saatnya dia ketahui. Tangannya masuk ke sela-sela kemejaku sehingga telapak tangannya bertemu dengan kulit punggungku. Hangat. Hanya itu yang aku rasakan. Tidak ada rasa jijik, tidak nyaman, atau ingin menjauhkan diri darinya. Ini benar-benar aneh. Aku merasakan itu saat dekat dengan keenam temannya sehingga misiku nyaris tidak bisa aku selesaikan. Namun bersama Damian, aku bukan hanya nyaman berada di dekatnya, aku juga tidak menolak setiap sentuhannya. Sebaliknya, aku menginginkan hal yang sama. Aku ingin memeluknya, terus berada di dekatnya, membalas ciumannya yang p
~Damian~ Aku hampir saja ketahuan. Aku berhasil menahan diri untuk tidak meringis kesakitan saat memeluk tubuhnya tadi. Untungnya, dia tidak meletakkan tangannya di leherku, tetapi melingkari badanku. Jadi, dia tidak menyentuh memar biru yang ada di lengan atas dan tanganku akibat pukulan Bapak. Namun saat dia memukul lenganku tepat di mana memar itu berada, lalu dia meremasnya karena berpikir bahwa aku berpura-pura, aku tidak bisa menahan rasa sakit itu. Aku tidak mau dia sampai mengetahui ini. Dia akan khawatir dengan keadaanku jika dia tahu aku dipukul ayahku sendiri. Ini adalah peristiwa kedua di mana aku dipukul habis-habisan oleh Bapak. Kejadian pertama saat aku masih muda sekali, masih bodoh dan tidak bisa menjaga diri. Aku pikir aku berteman dengan orang yang benar, ternyata aku salah pergaulan. Teman-temanku sendiri yang justru melemparku jauh ke dalam jurang gelap tanpa dasar. Bapak yang naik pitam memukul aku sampai babak belur. Mama dan ke
~Nia~ “Beberapa pembeli unit apartemen ingin mengembalikan apa yang sudah mereka beli. Sampai ada pemberitahuan selanjutnya, kalian tidak diizinkan untuk memberi respons kepada mereka yang ingin mengembalikan unit melalui kalian,” kata Sharon mengejutkan kami semua. Pembeli ingin mengembalikan unit apartemen yang sudah menjadi milik mereka? Apa mereka tidak salah? Semua syarat dan ketentuan ada pada surat serah terima unit, dan tidak ada alasan bagi mereka untuk mengembalikan bila tidak ada masalah dengan unit tersebut. Apa ini karena isu yang sedang beredar? Baru beberapa hari memiliki apartemen baru, mereka ingin mengembalikannya? Ini sangat aneh. Hubungan antara isu hubungan Damian dan aku dengan unit yang mereka beli sama sekali tidak ada. “Mereka pasti merasa dirugikan karena yang mempromosikan unit itu menjalin hubungan terlarang,” kata Bintang tanpa ditanya. “Ini peringatan terakhir untukmu, Bintang, dan aku tidak mau mendengar ocehanmu
Bintang adalah keponakan direktur utama? Itu artinya dia adalah sepupu Ishana. Pantas saja dia meminta aku untuk bersikap baik dengan rekan kerjaku. Ternyata dia tahu bahwa aku ditempatkan pada tim yang sama dengan sepupunya. Lalu apa itu artinya Bintang tahu bahwa aku dan Ishana bersahabat baik? Mungkin tidak. Karena kalau dia tahu, dia tidak akan melakukan ini kepadaku. Dia justru akan melindungi aku dari Dilan yang punya rencana jahat terhadapku sejak aku bergabung di tim ini. “Ada apa, sayang? Dari tadi kamu diam saja dan tidak mendengarkan aku.” Aku merasakan sentuhan pada tanganku, menarik aku kembali ke dunia nyata. Aku menoleh ke sisi kananku dan melihat Damian sedang mengendarai mobilnya. “Ng, tidak apa-apa. Hanya memikirkan kejadian di kantor,” jawabku dengan jujur. Dia menjemput aku dari tempat kerja seperti biasanya. Untuk menghindari wartawan, aku langsung menemuinya di mobil dari pintu samping gedung. “Ada masalah lagi?” tanya Damian kha
~Damian~ Dadaku meluap bahagia ketika Nia menjawab iya untuk menemani aku menghadiri acara reuni tersebut. Membujuknya sangatlah mudah. Aku cukup menciumnya saja sampai dia tidak bisa berpikir dengan jernih dan menuruti apa pun yang aku minta. Aku semakin bangga melihat penampilannya pada saat kami akan berangkat ke gereja. Dia memasak lagi untuk kami di apartemenku. Masakannya enak, jadi aku tidak perlu khawatir mengenai makanan setelah kami menikah nanti. Dia akan selalu menyajikan makanan sehat untuk kami, dan jika Tuhan berkehendak, anak-anak kami. Entah mengapa bayangan mengenai pernikahan dan semua problemanya tidak menakutkan bagiku bila Nia yang menjadi istriku. Sebelumnya, hal ini adalah momok yang mengerikan bagiku karena sebagian besar temanku di tempat kerja tidak bahagia dengan pernikahan mereka. Nia terlihat gugup saat kami tiba di hotel di mana reuni kampusku diadakan. Dia memijat-mijat kedua tangannya yang ada di pangkuannya. Aku menye
~Sepuluh tahun yang lalu~ “Brie!!” Aku menoleh mendengar namaku dipanggil. Chyntia dan Arini sedang berlari ke arahku dengan senyum bahagia menghiasi wajah mereka. “Mengapa kalian tidak pakai pengeras suara saja sekalian biar semua mahasiswa melihat ke arah kita?” ucapku geram menyadari orang-orang melihat ke arah kami dengan kening berkerut. Kedua teman baruku itu malah tertawa. “Kami punya kabar gembira!” pekik Chyntia senang. Dia melompat sambil menepuk tangannya. “Dimas mengundang kita ke pesta ulang tahunnya di rumahnya!” Chyntia menyukai pemuda itu sejak pertama kali kami mengikuti ospek. Aku tidak tahu apa yang membuat dia jatuh cinta kepadanya secepat itu. Iya, dia ganteng, tetapi tidak semenarik itu hingga akan membuat banyak gadis jatuh cinta. Reza dan Thomas adalah mahasiswa di kelas kami yang cukup menarik perhatian para gadis di kampus. “Kamu mau ikut dengan kami ke sana?” tanya Arini. Aku menatapnya tidak percaya. “Sekara
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.
~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se
~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec
Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark