Satu jam dalam perjalanan, aku pun tiba di tempat kerjaku. Masih ada satu jam tersisa sebelum jam makan siang. Aku bergegas keluar dari elevator dan segera menuju ruangan di mana timku berada. Baru saja melangkah ke ambang pintu masuk, terdengar bunyi tepukan tangan. Rekan-rekanku di dalam ruangan itu melihat ke arahku dengan wajah bangga, bahkan ada yang bersuit.
“Penampilan yang keren, Nia!” ucap Bintang senang. Aku tersenyum kepada mereka semua.
“Terima kasih,” ucapku sedikit segan. Aku hanya melakukan tugasku, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dari kejadian pagi tadi.
“Kerja yang bagus, Nia. Dilan telah mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai mentormu,” kata Sharon yang menepuk bahuku dengan bangga. Dilan? Dia bahkan tidak mengajari aku apa pun selain menatapku terpesona dan berusaha untuk merayuku agar mau dekat dengannya.
“Apa Pak Dilan berkata begitu kepada Ibu?” tanyaku ingin tahu.
“Iya. Dia mempersiapkan kamu untuk tampil perdana
Bintang tetap bersikap ramah kepadaku dengan memberikan beberapa berkas lain mengenai properti yang perlu kami promosikan. Aku menjaga sikap agar dia tidak curiga bahwa aku sudah tahu dia tidak menyukai aku dan sikap ramahnya ini hanya sandiwara belaka. Para pria itu menyukai aku tanpa aku minta, goda, apalagi rayu. Aku bahkan bersikap layaknya rekan kerja atau kenalan biasa kepada mereka. Tetapi bukan itu yang dilihat mata rekan kerja wanitaku. Mereka pikir akulah yang salah sehingga mereka malah membenci aku. Drama di tempat kerja yang selalu aku hindari. Setelah mempelajari berkas tersebut, aku punya beberapa ide untuk memperkenalkan unit yang masih belum laku kepada konsumen. Tetapi aku menyimpannya untuk aku sampaikan pada rapat berikutnya. Aku membutuhkan waktu untuk menyempurnakan ide tersebut. Tanpa terasa, jam kerja pun usai. Teman-temanku bersiap untuk pulang dengan merapikan meja kerja mereka, maka aku pun melakukan hal yang sama. Kami menuju eleva
Wanita yang membawaku memasuki studio pagi tadi bergerak sangat cepat dan tidak memberi aku waktu untuk berpikir. Tiba-tiba saja dia bersama para krunya menyiapkan aku untuk tampil pada wawancara tersebut, menggantikan Dilan. Aku memang hanya tampil satu kali, tetapi penjualan unit apartemen yang aku diskusikan dengan Damian pada acara itu naik drastis. Meskipun Damian tidak menyebutkan nama lengkapku, enam target pertamaku mengenal wajahku. Jika mereka menonton siaran pagi tadi, maka kemungkinan besar mereka sadar siapa aku. Bagaimana jika mereka memberitahu Damian? Bagaimana bila mereka menceritakan kepadanya apa yang telah aku lakukan kepada mereka? Rencanaku bisa hancur berantakan. Aku mengorbankan perasaanku, lalu aku harus mundur sekarang setelah aku hampir saja berhasil? “Nia, kamu baik-baik saja?” tanya Damian lagi, mungkin dia berpikir bahwa aku tidak mendengar pertanyaan pertamanya tadi. Aku mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Hanya memik
~Damian~ Wanita pintar. Aku sengaja menunggu agar bisa mengikuti dia menuju rumahnya, dia malah menaiki jembatan penyeberangan. Tempat pemutaran mobil terletak cukup jauh dan aku tidak akan sempat mengejarnya. Dia pasti berpikir bahwa sikap hati-hatinya ini akan membuat aku lelah mengejarnya. Dia salah, dia justru membuat aku semakin tidak bisa melepaskannya. Tidak apa-apa. Aku masih bisa mencoba hari lain untuk tahu di mana tempat tinggalnya. Dia bukan wanita bodoh. Dia tahu bahwa cepat atau lambat, aku akan tahu di mana dia tinggal. Baiklah. Aku akan coba lagi besok. Hari ini berjalan dengan baik. Tidak sesuai harapanku, tetapi aku tidak akan mengeluh selama dia akan selalu ada pada hari-hariku ke depan. Kedatangannya pagi ini ke studioku sangat mengejutkan. Aku tahu bahwa Dilan yang akan aku wawancarai, karena itu aku terkejut malah dia yang dibawa rekanku untuk duduk di sofa di sampingku. Melihat dia begitu gugup adalah hal yang biasa bagiku. Tuga
~Nia~ Pria ini benar-benar tidak akan menyerah, ya? Aku baru saja tiba di ruang kerja dan menemukan buket bunga mawar merah di atas mejaku. Tidak ada kartu nama yang menunjukkan siapa yang mengirimnya, tetapi hanya ada satu orang yang akan melakukan ini untukku. Damian. Jantungku berdebar bahagia ketika aku memikirkan nama itu di kepalaku. Ampun. Rekan-rekan yang datang lebih dahulu tersenyum penuh arti kepadaku. Mereka yang baru datang berdehem, bersiul, atau menggodaku dengan sengaja lewat di belakangku. Aku yakin rekan kerjaku yang sudah datang memberitahu mereka melalui group chatkhusus tim kami tentang bunga ini. Setelah menyimpan tasku di dalam laci meja dan menguncinya, aku membawa buket itu ke dapur. Aku memeriksa setiap pintu lemari dan menemukan sebuah vas kaca yang tidak dipakai. Aku mengisinya dengan air, kemudian memasukkan tangkai demi tangkai mawar ke dalamnya. Ada total tiga belas tangkai bunga. Mengapa tiga belas? Meski
“Silakan duduk, Nia,” ucap Sharon saat aku menutup pintu ruangannya kembali. Aku menurutinya. “Sebagai perwakilan divisi pemasaran, aku meminta maaf kepadamu. Kamu masih dalam status trainingdi sini, tetapi sudah melimpahi kamu dengan tanggung jawab yang besar. “Aku sudah menghubungi pihak TV dan mereka memberitahu aku apa yang terjadi. Aku mengerti mengapa kamu meminta aku untuk bertanya kepada mereka langsung dan tidak bertanya kepadamu. Kamu pasti tidak mau kita bertengkar karena Dilan membantah ucapanmu. “Kamu belum punya kewajiban apa pun untuk menyelamatkan muka kami, tetapi terima kasih sudah tampil dengan baik pada wawancara tersebut. Seandainya Dilan yang melakukannya, aku tidak yakin penjualan kita akan naik sedrastis ini. Ini adalah bonus yang sudah disiapkan untuk mereka yang mengikuti wawancara tersebut. Karena kamu yang tampil, maka ini adalah hak kamu.” Sharon meletakkan sebuah amplop di atas meja di depanku. “Aku sudah melaporka
“Semoga kamu sedang tidak menguntitku, Gerald,” kata Damian tanpa melihat ke arah temannya itu. “Sayang, ini asistenku Gerald. Aku harap kamu berhati-hati saat berada di dekatnya.” “Hai, Adonia. Namaku Gerald,” kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. Damian segera menepis tangan itu dan menahan tanganku agar tidak menjabatnya. “Kamu tidak perlu menjabat tangannya,” ucap Damian dengan wajah tidak suka. “Tolong, tinggalkan kami. Aku hanya ingin berdua saja dengan tunanganku.” “Oke, oke. Aku senang melihatmu bahagia seperti ini, makanya aku mengalah. Senang bisa bertemu denganmu lagi, Adonia.” Pria bernama Gerald itu tersenyum kepadaku. “Ini kekasihku Erin. Dia juga bekerja di stasiun TV yang sama dengan Ian. Baiklah. Sampai nanti.” “Sampai nanti,” balasku dengan sopan. Wanita itu masih terang-terangan menatapku tidak suka. Gerald mengajaknya mendekati meja lain yang ditunjuk oleh pelayan yang mengantar mereka. “Apa kamu pernah punya hubungan
~Damian~ Pikiranku terganggu selama sisa hari itu di tempat kerja karena ulah Erin. Beraninya dia menyentuh aku seintim itu saat aku tidak mengundang atau mengizinkannya melakukan itu. Ada apa dengan isi kepalanya? Dia baru saja bermesraan dengan asistenku di koridor, berikutnya dia ingin bercumbu denganku juga? Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku begitu aku sadar apa yang sedang dia lakukan. Dia mengaduh kesakitan karena punggungnya terantuk pintu cukup keras. Aku tidak peduli dengan itu, yang dia lakukan jauh lebih sadis. “Keluar dari ruanganku sekarang!” teriakku marah. Aku bisa melihat badannya gemetar mendengar suara kerasku yang tidak pernah aku gunakan sebelumnya di tempat kerja ini. Tetapi dia tidak mundur atau keluar, dia hanya berdiri dengan mata menantangku. “Ada apa denganmu? Aku tidak percaya kamu tidak tertarik denganku. Apa yang kamu sembunyikan dariku? Aku mencintaimu, Ian. Beri aku kesempatan untuk membuktikan itu kepadamu,”
~Nia~ Damian tidak bisa terus menciumku seintens itu di dalam mobilnya. Kaca depan mobilnya tidak bisa menghalangi kami dari tatapan penasaran orang-orang sekitar. Apalagi pada malam hari, lampu dari kendaraan lain membuat kami beberapa kali menjadi sorotan. Tetapi tentu saja dia tidak peduli. Dia berharap kado ciuman dariku, maka itu yang dimintanya saat aku akan keluar dari mobilnya. Saat dia mengucapkan cinta, lidahku hampir saja membentuk kalimat yang sama. Syukur saja aku berhasil menahan diri. Cinta. Ini tidak mungkin. Kami bahkan belum satu bulan bersama dan aku jatuh cinta kepadanya? Apa yang aku rasakan ini sebenarnya bisa menjadi keuntungan bagiku. Aku tidak perlu susah payah berpura-pura mencintainya. Masalahnya, tujuanku untuk menyakitinya akan terhalang oleh hatiku sendiri. Dan ini pertanda bahaya. Aku tersenyum melihat buket bunga mawar putih di atas meja kerjaku pada pagi hari. Kali ini aku menemukan kartu ucapan pada buket tersebut. Ad
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.
~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se
~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec
Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark