Aku bersin tiga kali berturut-turut. Palet yang kupegang nyaris terjatuh. Elisabet menatapku dengan aneh.
"Pilek? Minum vitamin C," kata Elisabet seperti slogan iklan. "Nggak tahu, kayak alergi." Aku melanjutkan melukis. Elisabet terkekeh, "Ada yang ngomongin kamu kali." "Siapa?" "Siapa nanya." Aku merengut. Kalah poin dengan Elisabet. "Mama nih," gerutuku. "Richard belum mampir?" tanya Elisabet. "Belum ada kabar. Masih sibuk kali." Aku menggoreskan cat berwarna merah untuk langit senja yang sedang kulukis. "Coba kamu telepon dia." "Nggak ah. Biar aja." "Hazel, aktif sedikit nggak apa kok." "Nggak ah. Kami belum juga jadi pacar, masa udah suruh-suruh ke sini." Elisabet tidak memperpanjang perkara lagi. Dia tAku mencari info tempat wisata yang asyik di kota ini. Kebanyakan wisata alam bebas. Saat ini aku sedang tidak ingin bermain di alam. "Oh, ada pasar malam!" Aku memekik senang. "Di mana?" "Nggak jauh, cuma agak ke pinggir kota." "Pasar malam? Bukannya sore baru buka?" "Oh ya, benar juga. Sekarang masih siang." Kegembiraanku sedikit surut. "Setidaknya kita udah ada tempat tujuan," hibur Richard. Aku meringis. "Aku tahu rumah makan yang bagus di atas gunung. Agak jauh sedikit. Kamu mau?" tanya Richard. "Mau dong! Mumpung lagi di luar!" "Kita bisa duduk agak lama di sana. Kamu pasti suka pemandangannya." "Ayo!" Jalur menuju kawasan Puncak ramai lancar. Richard mengemudi dengan tangkas di jalur yang berkelok-kelok serta menanjak. Aku memang tidak bi
Pagi-pagi sekali aku sudah merenggangkan tubuh di pekarangan. Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku termenung, ini kok seperti bentuk mobil Richard? Masa dia kemari lagi? Si pengemudi mengklakson sekali. Aku melambai. Senyumku sirna saat pengemudi mobil keluar. Bryan!! Mau apa dia?? "Hai, pagi Hazel," sapa Bryan. "Mau apa?" tanyaku ketus. "Ada yang ketinggalan semalam." Bryan belum menyadari kalau aku sudah bisa mengenalinya. "Apa?" "Kamu." Bryan tersenyum manis. Wajah tampannya memang identik dengan Richard, mirip sampai ke lesung pipi, namun warna hatinya sangat berbeda. "Jangan macam-macam deh, Bryan." Bryan tersentak, kaget karena aku mengenalinya. "Mau apa? Menyamar jadi Richard?" ketusku. Bryan terkekeh, "Mata lo jeli banget ya. Biasanya orang yang baru kenal nggak langsun
Bryan tidak menyangka bahwa Hazel akan segera mengenali dirinya, padahal dia berniat menyamar sebagai Richard untuk mengambil kesempatan saat wanita itu lengah. Siapa sangka dirinya malah dibanting ke tanah. Sebagai lelaki harga dirinya turut terbanting. Namun lagi-lagi tidak disangka seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan berbicara dengan ramah. Bryan sempat terpana melihat Elisabet, dia langsung tahu kalau wanita ini adalah ibunda Hazel. Sudah paruh baya tapi masih cantik. Seandainya masih muda Bryan pasti tidak akan melepasnya. Sekarang mereka sudah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Elisabet menyajikan minuman untuk Bryan tanpa tatapan menghakimi sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di dekat Elisabet. Sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. "Bryan? Kamu suka Hazel?" Elisabet memulai percakapan tanpa basa-basi. Dia tahu lelaki seperti Bryan butuh kata-kata yang lugas. &
Aku tidak menyangka Bryan pulang dengan patuh. Jangan kira aku tidak melihat tatapannya yang begitu dalam terhadap Elisabet. Awas saja kalau mengincar Mama! "Kamu lihat apa sampai sengit begitu sih? Orangnya udah nyerah pulang juga," goda Elisabet. "Mama nggak lihat? Itu orang jangan-jangan malah naksir Mama!" kataku super ketus sekaligus tidak rela dan posesif. "Iya, tahu. Tapi dalam kondisi begitu dia nggak bisa mengendalikan dorongannya, Haze. Semoga dia dengarin nasihat Mama untuk cari pertolongan profesional." Aku tertawa, "Kirain Mama nggak tahu." "Hazel. Mama udah cukup pengalaman hidup. Lagian siapa yang mau?" Elisabet mendelik. "Hehehe sori, Ma." "Udah ah, lanjut kerja. Sini, kamu bantuin Mama bikin tiga lukisan! Temanmu itu menyita banyak waktu jadi Mama nggak bisa selesai target hari ini." "Aaaahh lagi malas,
"Aku cuma mau ambil barang-barang yang masih ketinggalan di apartemen kok. Habis itu langsung pulang." Aku bersiap pergi dengan ransel kosong. "Oke, hati-hati di jalan," ujar Elisabet. "Mama mau titip apa?" "Ah, percuma titip sama kamu. Kalau baliknya sama Richard pasti lupa. Kayak tempo hari, Mama titip air mata pengantin aja nggak dibeliin." "Nggak sengaja Ma, itu gara-gara...." Wajahku merona teringat saat berduaan dengan Richard di kincir ria. Tidak mungkin aku menceritakan alasanku kan? "Sorry, Ma...," lirihku. "Yang penting pulang dengan selamat. Dah sana, buruan pergi." Aku pun memulai perjalananku menuju ibukota. Kemarin aku sudah janjian dengan Richard untuk bertemu di apartemenku. Kami akan menghabiskan hari Minggu ini bersama dan Richard bersedia mengantarku pulang. Dua setengah jam kemudian aku tiba di apart
"Ini Ma, titipannya." Aku menyerahkan dua buah pot bibit air mata pengantin. "Taruh aja di depan," sahut Elisabet tanpa menyentuh kedua pot itu. Kedengarannya dia sedang berada di halaman belakang. "Oke deh." Aku meletakkan kedua pot di teras. Richard membawakan ranselku yang penuh dengan pakaian, "Ini taruh di mana?" tanyanya. "Di kamarku. Ayo." Aku berjalan mendahului ke kamar. Richard meletakkan ransel di tempat tidur. Dia melihat sekeliling. Aku berlagak cuek. Kalau Richard mau melihat-lihat silakan saja, tidak ada yang melarang kok. "Rapi juga," puji Richard. "Iya dong. Aku kan cewek," sahutku. "Aku lelaki pertama masuk kamarmu ya?" "Iya," jawabku tanpa berpikir. "Baguslah," desah Richard. Aku menatapnya. Apa yang dia pikirkan? Lelaki pertama yang masuk ke ka
Tepat jam duabelas kami bertiga sudah duduk di meja makan. Sepiring besar sayuran rebus, telur rebus, saus kacang, juga krupuk udang tersaji dengan cantik di tengah meja. "Ayo makan, jangan malu-malu," ajak Elisabet. "Dia mah udah nggak malu-malu, Ma," cetusku. Richard hanya bisa meringis. "Benar juga. Kalau malu-malu mana bisa dapat anak Mama," goda Elisabet. Aku mendelik. Pipiku terasa hangat. "Richard kalau pulang kemalaman kamu boleh nginap di sini. Kebetulan ada satu kamar kosong," kata Elisabet. "Mama...." Aku mendadak pusing. Kenapa mamaku seperti ini? "Terima kasih, Bu, tapi kurang baik kalau saya menginap di sini. Saya bisa cari hotel." Richard menolak dengan halus. "Pemikiranmu bagus," puji Elisabet. "Harus lah. Umurnya aja udah berapa," ledekku. Richard
Malam hari yang mencekam di kediaman Abram Yilmaz... Tadi siang Abram sudah memerintahkan kedua putranya untuk datang makan malam bersama. Ada hal penting yang harus dibicarakan khususnya dengan Richard. Kini ketiga lelaki itu sudah duduk mengelilingi meja makan yang dipenuhi berbagai hidangan lezat. Bryan makan dengan lahap sementara Richard kebalikannya, cara makannya tenang dan cenderung anggun. "Richard, kenapa kamu masih berhubungan dengan wanita muda itu?" Abram membuka suara. Bryan mengangkat wajah. Richard tersenyum, "Karena aku menyukai Hazel, Ayah." "Masih bisa memanggilku 'ayah'? Segera putuskan hubungan kalian." Abram menatap tajam. "Ayah, ada hal-hal yang tidak bisa diatur dalam hidup ini, salah satunya adalah relasi percintaan." Richard tetap tenang. "Kamu tidak peduli bagaimana pandangan orang terhadap ke