Aku heran saat telepon di mejaku berbunyi. Langka sekali. Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya.
"Halo?" sapaku. "Masih ingat dengan saya?" tanya sebuah suara berat nan berwibawa. Mana bisa kulupa? Suara itu baru saja berceramah di depanku kemarin sore, berbicara panjang lebar tentang analisanya terhadap perasaanku dan Richard. Abram. "Tentu saja ingat, Pak Abram. Ada keperluan apa dengan saya?" Aku berbicara sesopan jiwa pemberontakku mengijinkan. "Saya mau mengundangmu makan malam bersama, di restoran Diamond." Abram menyebutkan nama sebuah restoran bintang lima. "Baiklah. Jam berapa saya harus tiba?" "Jam lima saya kirim sopir menjemputmu." "Baik, Pak." "Richard tidak tahu masalah ini." Nada suara Abram memberi peringatan. "Oke, saya mengerti." Abram memutusRichard menungguiku dengan setia. Ekspresinya lumayan keruh sejak tadi siang karena akhirnya aku memberitahu tentang ajakan makan malam Abram. Aku khawatir Richard akan memaksa ikut, atau lebih buruk lagi mengurungku di penthouse. "Kamu nggak berniat aneh-aneh kan?" Aku memastikan. Richard menggeram tidak jelas. "Apa sih? Bicara bahasa manusia dong?" "Kalau mau pergi, ya pergi saja. Aku nggak mencegah." "Benar?" "Besok ceritakan semua obrolan kalian padaku. Atau kalau bisa kamu rekam diam-diam deh." Aku tercengang, memangnya aku ini anggota tim Mission Impossible yang punya peralatan penyadap canggih? "Udah ah. Ngomong melulu nggak kelar-kelar...," gerutuku. Waktunya hampir tiba dan aku merapikan meja. "Oke." Richard masih terlihat suram. Bukannya aku tega tapi janji dengan bos besa
Hari ini aku berusaha fokus pada pekerjaan, yang sangat sulit kulakukan dengan kehadiran Richard di ruanganku. Dia bersikeras duduk di mejaku dengan laptopnya. Aku kesal karena merasa dipojokkan. Aku menggerakkan mouse-ku dengan ribut. "Hazel, tenang sedikit, please? Kepalaku seperti mau pecah mendengar keributanmu. Aku sedang berusaha kerja," keluh Richard. "Di ruangan sendiri pasti lebih tenang," gerutuku. "Aku mau di sini." Richard menunjukkan sisi kepala batunya. "Ya udah, dibiasakan aja." Aku melengos. Ruanganku tidak sempit, peredaran udara pun sangat bagus. Jadi kenapa aku merasa sulit bernafas? Ini pasti gara-gara Richard memepetku. Kenapa sih ini orang? Tidak bisa baca situasi? Kalau seorang wanita bersikap ketus itu tandanya dia minta ditinggalkan sendiri! Dasar lelaki tidak peka! Bagaimana bisa jadi pasangan yang baik? Aku nyaris menampar diriku
Suasana mencekam di kediaman mewah Abram Yilmaz. Richard duduk di sofa ruang tamu berhadapan dengan sang ayah. Mata mereka bertemu. "Ayah, bisakah kamu tidak mengganggu Hazel?" Richard buka suara. "Oh? Gadis kecil itu bercerita apa padamu?" "Semuanya." Abram tertawa kecil melihat putranya yang sedang membela Hazel, "Masih menyangkal perasaanmu padanya?" "Dia bekerja di bawah pimpinanku, aku bertanggungjawab atas kenyamanan dan keamanannya, Ayah," elak Richard. "Kenapa tidak bilang bertanggungjawab atas kebahagiaannya juga?" ejek Abram. "Apa pun yang Ayah pikirkan, mohon jangan bawa-bawa Hazel. Dia seorang desainer yang baik, karena itulah aku mempekerjakannya." "Richard, Ayahmu bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Jika Ibumu masih hidup dia mungkin bisa tertipu, tapi aku tidak. Hidupku sudah melampaui setengah abad, Na
Aku sedang asyik mencari foto-foto gratisan di website saat Richard masuk ke ruanganku. Aku melirik ke arahnya sekilas. Otakku segera memutar ulang percakapan dengan Abram untuk mencegahku bersikap terlalu akrab terhadap Richard. Benar saja. Dia tertegun sesaat karena aku mengabaikan kehadirannya. Hatiku merasa sedih melihat ekspresi Richard. Oke, stop! Apa pun perasaan Richard tidak ada urusannya denganku! Please deh, aku tidak butuh dihina lagi oleh Abram atau makhluk sejenisnya. Level mereka terlalu jauh di atasku. "Kamu mengerjakan apa? Asyik banget kayaknya?" Richard menumpukan satu tangan di mejaku, membuat tubuhnya condong ke arahku. Aku langsung disergap oleh kehangatannya. Aku menggeser mundur kursiku hingga melindas kakinya. Argh! Dejavu! Richard mendelik, "Hazel, bisa nggak kamu bersikap biasa kalau ada aku?" Aku meringis, "Sorry...."
Hari ini hari Sabtu. Nanti sore aku dan Richard akan menghabiskan waktu berdua dalam pesta pernikahan orang yang tidak kukenal sama sekali. Demi mengejar jam empat sore aku kerja ngebut sejak pagi. Aku bahkan lupa waktu. Kalau bukan karena Richard menyeretku lepas dari meja aku pasti tidak makan siang. Tidak kusangka Richard menyeretku ke penthouse. Rupanya Bernard sudah naik duluan. Lelaki paruh baya itu sedang sibuk memanggang ayam di dapur. Aromanya membuat air liurku terbit. "Bekerja keras itu baik, tapi nggak boleh lupa makan," ucap Richard. "Iya, Paman Richard," ledekku. "Apa kamu bilang??" Richard mengernyit. "Paman. Kamu kan lebih tua sepuluh tahun dariku." Aku menahan tawa. Bernard geleng-geleng kepala. Dua bocah ini mulai lagi, batinnya. "Kalau begitu kamu harus sopan sama orang tua." "Nggak ah. Kecuali kamu t
Setelah apa yang terjadi di pesta semalam, aku benar-benar butuh refreshing. Aku harus menjernihkan kepala. Abram membuatku ingin menjauh dari segala hal yang berhubungan dengannya, tapi Richard malah menarikku mendekat. Aku punya hati loh! Enak saja mereka berbuat sesuka hati tanpa bertanya dulu! Makin dipikir makin kesal. Baru saja aku selesai mandi dan berpakaian, handphoneku berdering. Aku malas melihatnya. "Ya?" sapaku. "Pagi, Hazel. Kamu mau ke pantai hari ini?" suara Richard. "Iya sih. Kok tahu?" "Aku juga mau ke sana. Kujemput?" Aku menghela nafas, sepertinya sulit untuk ditolak nih, "Oke, kutunggu." "Aku udah di lobby." "Apa?? Ya udah, aku turun!" Aku mengikat rambutku jadi ekor kuda, menyambar tas selempang dan bergegas turun. Richard nekat sekali? Kalau aku sudah pergi ba
Aku menyesal. Seharusnya aku tidak melakukan hal yang dapat memancing Richard. Seharusnya aku memakai jaket pemberian Richard dan membiarkan dia yang kedinginan. Sekarang situasi jadi aneh begini. Kami duduk berhadapan di sebuah cafe resto. "Masih sakit?" tanyaku. "Nggak," sahut Richard singkat. "Sorry ya...." "Kamu membuat dilema." Richard tersenyum. "Iya, aku tahu. Seharusnya aku nggak memancing." "Apa kita perlu membahas tentang batasan dan ruang gerak?" "Maksudnya?" "Apakah kita berteman? Atau lebih dari teman?" Aku kehilangan kata-kata. "Pikirkanlah, Hazel. Jika sudah menemukan jawabannya tolong beri tahu aku," pinta Richard. "Ayahmu--" "Biar aku yang memikirkan ayahku. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku nggak akan membiarkan ada yang men
Canda tawa dengan Bu Ani sepanjang sore membuat sikap Hazel kembali normal. Richard tampak senang bisa mendengar suara tawa wanita yang telah merebut hatinya. Keceriaan Hazel mampu membuat matahari merasa malu. "Mau pulang sekarang?" tanya Hazel. "Bentaran lagi lah, Neng! Baru juga maghrib. Emangnya buru-buru mau ke mana sih? Nyari tempat mojok ya?" goda Bu Ani. "Ih, Ibu mah...," Rona di wajah Hazel membuat Richard ingin memeluknya, tapi dia menahan diri. Untuk saat ini cukup mengagumi dari jarak aman. "Besok masih harus kerja, Bu. Kami pulang dulu," timpal Richard dengan senyum menawan. Bu Ani salah tingkah disenyumi seperti itu, "Oh, ya udahlah. Hati-hati di jalan ya. Aduhhh si Mas, kok bisa ganteng banget sih? Colek dikit boleh?" "Nggak boleh!" Richard dan Bu Ani menoleh kaget ke arah Hazel yang baru saja berse
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe