Beranda / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 50 : POV Richard

Share

Chapter 50 : POV Richard

Penulis: Giovanna Bee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-19 14:46:13

    Canda tawa dengan Bu Ani sepanjang sore membuat sikap Hazel kembali normal. Richard tampak senang bisa mendengar suara tawa wanita yang telah merebut hatinya. Keceriaan Hazel mampu membuat matahari merasa malu.

    "Mau pulang sekarang?" tanya Hazel.

    "Bentaran lagi lah, Neng! Baru juga maghrib. Emangnya buru-buru mau ke mana sih? Nyari tempat mojok ya?" goda Bu Ani.

    "Ih, Ibu mah...," 

    Rona di wajah Hazel membuat Richard ingin memeluknya, tapi dia menahan diri. Untuk saat ini cukup mengagumi dari jarak aman.

    "Besok masih harus kerja, Bu. Kami pulang dulu," timpal Richard dengan senyum menawan.

    Bu Ani salah tingkah disenyumi seperti itu, "Oh, ya udahlah. Hati-hati di jalan ya. Aduhhh si Mas, kok bisa ganteng banget sih? Colek dikit boleh?"

    "Nggak boleh!"

    Richard dan Bu Ani menoleh kaget ke arah Hazel yang baru saja berse
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 51 : Sayap Putih

    Pagi ini terlihat cerah. Suasana hatiku sangat baik. Setiap kali memejamkan mata aku teringat pada kedekatanku dengan Richard saat berteduh dari hujan. Aku tidak habis pikir dari mana aku mendapat keberanian untuk berbuat seperti itu. Untung Richard tidak mengambil kesempatan. Oh, hampir, tapi aku sempat menamparnya. Salah gerak refleks-ku yang terlalu bagus. Kalau tidak mungkin kami sudah .... Hazel! Stop! Aku berseru pada diriku sendiri. Hari ini hari Senin dan aku tidak boleh mengisi pikiranku dengan hal-hal aneh. Aku harus ingat kalau Richard adalah bosku. Terlebih lagi jangan pernah lupakan penghinaan yang sudah kuterima dari ayahnya! "Pagi, Bernard," sapaku saat tiba di kantor. "Pagi, Hazel. Ehm... Kamu langsung ke ruangan Pak Richard ya." Bernard terlihat bersimpati. "Oh? Oke." Aku tidak bertanya lebih banyak. Kulihat dua orang lel

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-19
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 52 : Pertimbangan

    Sebelumnya aku sedikit bingung harus bersikap bagaimana terhadap Richard. Sekarang aku jauh lebih bingung karena dia ternyata lelaki yang ditakdirkan untuk bersamaku. Bagaimana bisa lelaki yang berhati murni punya ayah yang seperti Abram? Tuhan sedang bergurau kah? Richard tahu aku tidak akan mau kembali ke kantor. Dia membawaku ke sebuah cafe jauh dari kantor untuk menenangkan diri. Aku sudah memakai kacamata kembali, kalau tidak aku bisa semaput melihat sepasang sayap putih di depan mataku. "Kamu nggak kembali ke kantor?" Suaraku sedikit serak karena habis menangis. "Aku mau menemanimu," kata Richard. Ya Tuhan, kenapa Richard terlihat manis sekali sih? Aku harus bagaimana? Langsung mendekatinya? Terus bagaimana dengan Abram? "Aku nggak apa-apa sendirian kok. Cuma butuh waktu sendiri." Aku tersenyum. "Wajahmu masih kusut. Aku nggak akan pergi sampai kamu b

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-19
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 53 : Mencari Kesibukan

    Peristiwa kemarin benar-benar mengguncangku. Dalam sekejap aku menjadi pengangguran di usia produktif. Semua karena si Abram tua. Kemudian aku menemukan lelaki dengan warna hati putih murni yang tidak lain adalah Richard. Pagi ini aku terbangun tapi seolah masih bermimpi. Kalau bisa sih aku belum ingin bangun terlalu pagi. Aku menatap langit-langit kamar sambil menghela nafas berkali-kali. Hari pertama sebagai pengangguran. Apa jadinya hidupku nanti? Lagi-lagi aku menghela nafas. Apa yang harus kulakukan dengan Richard? Kenyataannya meskipun dia adalah jodohku, tapi di belakangnya ada rintangan besar yang bernama Abram. Dua hal yang bertolak belakang inilah yang membuatku pening. Sedang asyik-asyiknya meratap tiba-tiba handphoneku berbunyi. Argh. Richard. "Pagi," sapaku. "Pagi, Hazel." Suara Richard terdengar gembira. "Belum masuk kerja y

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 54 : Kamu Cantik

    Bayangkan coba. Makan siang saja membuatku resah gelisah, bayangkan bagaimana perasaanku ketika Richard mampir lagi di sore hari? Sulit memang, tapi coba saja dibayangkan dulu. Lagi-lagi Richard berada di apartemenku. Dia tampak ganteng dengan hanya memakai kaos dan jeans. Kami duduk bersama di sofa sambil mengobrol santai. "Kamu nggak takut ketahuan ayahmu?" tanyaku penasaran. "Akan kupikirkan nanti." "Kalau mendadak dia telepon, gimana?" "Lihat situasi apakah aku akan menjawabnya atau nggak." "Kalau dia mengancam?" desakku. "Aku belum bisa ngomong karena belum terjadi." Aku mengangguk. Betul juga sih. "Mau jalan sebentar?" tanya Richard. "Hmmm...." Aku merenungkan ajakan Richard. "Kamu nggak pernah lepas kacamata ya? Waktu pesta tempo hari kamu juga tetap memaka

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 55 : Menanti Jawaban

    Insiden semalam membuatku tidak bisa tidur. Pikiranku penuh dengan berbagai hal dimana sebagian besarnya adalah Richard dan Abram. Posisiku makin sulit karena Abram bertindak lebih jauh. Untung semalam ada Richard, kalau tidak bukan kacamataku saja yang hancur, ada kemungkinan aku akan jadi perkedel. Aku sering kesal dengan orang-orang berduit yang berbuat seenaknya. Mereka menganggap diri berada di atas hukum sehingga bisa main hakim sendiri. Memangnya dipikir ini negara rimba alias negara tanpa hukum? Kalau mau bertindak seenaknya kembali saja ke negara leluhur sana! Belum tentu diterima juga! Eit, hampir lupa. Leluhurku juga bukan asli negara ini, tapi dari Fu Jian nun jauh di Daratan China sana. Iseng-iseng, saking tidak ada kerjaannya, aku mengirimkan pesan singkat pada Richard. Dia langsung meneleponku. "Lagi ngapain?" Suara Richard terdengar lembut menggoda. Kalau saja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 56 : Pendekatan Abram

    Pagi-pagi sekali handphoneku sudah berbunyi. Aku meraba-raba meja kecil di kepala tempat tidur sambil menggerutu. Kenapa harus mengganggu orang yang sedang tidur nyenyak begini sih? Ini baru jam berapa? Maling-maling juga baru pulang beroperasi! Nomor tidak dikenal. Aku malas mengangkatnya. Kujejalkan handphone itu di bawah bantal dan berusaha untuk kembali tidur. Sesaat kemudian handphone kukeluarkan lagi. Takutnya ada telepon penting yang kuabaikan. Ih, orang ini pantang menyerah rupanya. Tidak berhenti menelepon meskipun aku tidak menjawab. "Siapa ini?" jawabku galak. "Nona Hazel? Tuan Besar mau bicara empat mata denganmu," kata suara di ujung sana. "Siapa Tuan Besar kalian? Tuhan? Bukan? Maaf saja, selain Tuhan saya tidak terima panggilan!" bentakku. Tidak usah ditanyakan aku sudah tahu, ini pasti bawahan Abram. "Kamu! Tuan Besar baik-baik mengajakmu be

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 57 : Tepat Waktu

    Handphoneku terkena tendangan hingga terpental ke lantai beton. Aku tahu sudah tidak bisa mengharapkan gawai satu itu selamat. Sekarang kedua tanganku bebas. Aku melancarkan deol chagi yang efektif untuk memberikan impact lebih keras di kepala lawan, kalau pun mengelak minimal mengenai bahu atau dada. Sama seperti rekannya terdahulu aku menyarangkan lutut di wajahnya, kali ini kutambah dengan sikutan di belakang kepala. Empat lelaki lain berdatangan. Aku berlari ke foodcourt. Jantungku berdebar disko. Aku bersembunyi di sebuah pilar besar. Kudengar suara langkah kaki mereka yang ramai semakin mendekat. Aku meraih kursi kayu milik kios terdekat. Begitu sosok menyebalkan itu muncul di sisi pilar aku menghantam wajahnya, tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat shock. "Sialan! Cari mati lo!" maki lelaki yang terkena kursi. "Lo yang mati!" balasku. "Buruan tangkap dia!"  

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 58 : Handphone Baru

    "Kamu cari model kayak apa sih? Jangan-jangan yang belum dilaunching?" gerutu Richard. Aku meringis. Tidak heran dia menggerutu, kami sudah berkeliling pusat jual beli barang elektronik ini selama dua jam tanpa hasil. Aku punya standard tinggi terhadap gawai. Prosesornya harus yang terbaru, memori besar, internal hardisk besar, resolusi layar tinggi, resolusi kamera juga tinggi, ditambah lagi daya tahan baterai harus lama. "Belum ketemu yang cocok," ujarku. Padahal selain pusing melihat banyaknya jenis handphone yang ditawarkan, aku juga pusing melihat terlalu banyak warna hati. Kacamataku tidak ada cadangan jadi terima nasib saja deh. "Makanya kamu belum punya pacar sampai sekarang. Proses seleksinya benar-benar ketat," goda Richard. Aku memukulnya main-main, "Kurang asem, lo sendiri? Sama-sama pemilih dilarang saling mendahului!" "Aku tahu apa yang cocok buat kamu." Tanpa i

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-23

Bab terbaru

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 145 : Maafkan Papamu

    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

DMCA.com Protection Status