Aku menyelesaikan sebuah lukisan! Awalnya aku berusaha melukis kembang sepatu yang sedang mekar berseri, tapi gagal dan jadi lukisan abstrak. Elisabet tetap memasukkan lukisanku dalam bingkai. Dia bersikeras pasti ada yang mau membelinya, karena kita tidak dapat menebak selera orang.
Kembang sepatu yang malang, batinku. Menjadi putri seorang pelukis tidak menjamin bahwa diriku pun piawai melukis. Aku lebih suka menciptakan sebuah desain yang indah secara digital. Bukannya aku tidak suka menggambar. Aku suka! Hanya saja tidak ada waktu untuk melakukannya. Jadi kata kuncinya adalah 'tidak ada waktu', bukan 'tidak bisa'. Aku menunduk, kalah oleh logikaku sendiri. "Hazel, nanti sore temani Mama ke galeri ya?" "Oke, Ma. Sekarang kita mau ngapain?" "Sapu daun kering sana." "Hah?" "Itu, daun kering diSubuh jam tiga pagi Elisabet sudah sibuk di dapur. Aku yang mendengar suara alat masak berkelontangan mengira ada maling masuk rumah. Hampir saja aku menerjang si 'maling'. Untung lampu dapur menyala jadi aku tidak salah melihat Elisabet sebagai maling. "Aduh Mama... Bikin apa sih pagi-pagi?" Aku mengeluh dan menguap dalam waktu bersamaan. "Mmm... Ayam bakar, roti manis, selai nenas, sirup buah." Elisabet mengabsen menu masakannya. "Ya ampun, Mama menyambut tamu agung...," keluhku. "Kok aku nggak pernah dibuatkan makanan begini?" "Anak Manis, kamu masih mengigau ya? Kalau nggak mau bantu Mama, kamu kembali tidur sana. Nanti Mama masak kamu." Aku menguap. Kakiku punya pikiran sendiri, mereka melangkah kembali ke kamar. Wajahku menempel di bantal dan aku langsung molor, istilahnya 'pelor'. Bunyi dering handphone menginterupsi mimpiku berduel dengan Jet Li. Ak
I love Monday! Terutama karena tidak ada gangguan dari Bryan! Dari info yang diberikan Bernard, lelaki itu sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Syukurlah. Aku bisa mencurahkan perhatianku sepenuhnya pada pekerjaan, dan juga mencuri waktu bermalas-malasan. Saat mengalami desainer's block aku membaca buku. Richard tidak terlalu mempermasalahkan, baginya yang penting adalah hasil akhir. Aku senang punya bos yang result oriented, tidak mementingkan proses dan detil kerja. "Hazel, kamu nggak makan siang?" Richard melongok dari pintu. Aku mengangkat wajah, "Udah jam duabelas??" "Ayo ikut, kalau nggak kamu terkunci di dalam loh. Aku dan Bernard mau makan siang bersama." "Yes, ikut!" Setelah memastikan semua pekerjaan sudah tersimpan, aku menyambar handphone dan dompet. "Wah, Hazel penuh semangat hari ini. Mungkin aku juga perlu cuti panjang sekali-sekali."
Mana ada sekretaris yang memakai celana jeans dan sepatu kets? Aku terus menggerutu dalam hati sejak berangkat dari kantor menuju tempat meeting di sebuah hotel bintang lima. Richard sih berkata aku cukup duduk manis dan mencatat, biar dia yang berbicara. Ya iyalah! Masa job desc-ku mau ditambah lagi jadi CEO?? Tidak lucu deh. Aku yang jarang-jarang masuk ke hotel bintang lima tertakjub melihat interiornya. Chandelier yang menjuntai dari langit-langit setinggi limabelas meter itu pastinya lebih besar dari kamar tidurku. Wajahku menengadah, membuatku tidak menyadari Richard berhenti mendadak. Jadilah aku menubruknya. Richard melotot. Aku meringis. Salahku? Bukan! Jelas-jelas salah interior hotel yang terlalu wah. Kami masuk ke sebuah ruang meeting mewah. Pencahayaannya saja menggunakan lampu 40 Watt. Bagaimana mataku tidak kesilauan? Tunggu dulu, aku harus jaga image. Aku bertindak sebagai sekre
Aku mengeluh karena pagi ini Richard menyeretku ke meeting yang tidak ingin kuhadiri. Padahal aku sedang asyik membuat tagline untuk perusahaan F&B, food and beverage kepunyaannya. Sebelum tiba di hotel tempat meeting Richard masih sempat-sempatnya membelikanku blazer. Aku masih mengeluh seperti orang sakit gigi padahal blazer berwarna putih gading ini membuat penampilanku keren habis! "Ingat, jaga ekspresi meskipun kamu ngantuk setengah mati," ujar Richard saat kami berada dalam lift. "Iyaaa," sahutku seenaknya. "Hazel. Serius." "Serius? Gue udah serius dari tadiiiii." Aku keceplosan prokem. Tanganku langsung mendekap mulut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Richard geleng-geleng kepala. "Sorry," cetusku tanpa merasa bersalah sama sekali. "Ingat. Beraktinglah sebagai seorang sekretaris yang baik." Richard mengi
Sepanjang makan siang sampai perjalanan kembali ke kantor aku memilih untuk diam seribu bahasa. Bukan karena sedang sariawan, tapi malu! Richard menyeretku masuk ke lift eksklusif. Aku tidak kuasa melawan karena tenaga kami tidak sebanding. Sedetik sebelum pintu lift tertutup aku berhasil melarikan diri. Aku rela berjejalan dengan rombongan karyawan segedung daripada berduaan dengan Richard dalam lift. Dia pasti mau meledekku habis-habisan tanpa ada saksi mata. Ketika pintu lift terbuka di lantai duapuluh Richard terlihat menungguku di meja Bernard. Aku pura-pura tidak melihat dan berjalan lurus masuk ke ruanganku. "Hazel," panggil Richard. "Ya?" Aku tersenyum gelisah. Mau apa dia membuntutiku? "Entah kenapa aku sering mengalami masalah komunikasi denganmu. Ada apa sebenarnya?" "Nggak ada apa-apa." Aku mempertahankan senyum sampai pipiku pegal.
Aku semakin mengagumi Richard. Dia masih bertahan menghadapiku yang seperti ini. Beberapa kali aku berusaha melancarkan serangan ke titik vital, dia mementahkannya tanpa terbawa emosi. Katanya mau melakukan sesuatu yang gila? Ini sih tidak gila. "Mikir apa kamu??" Richard menyerang dengan pukulan ke arah wajah. Aku menepisnya dengan dua tangan, karena aku tahu satu tangan tidak akan cukup untuk beradu tenaga dengan Richard. Secepat kilat aku menyilangkan kaki kiri ke belakang dan menyodokkan tumit kananku ke perutnya. Richard terdorong mundur selangkah. Aku mengejar dengan pukulan menggunakan telapak tapi Richard mundur selangkah lagi sehingga seranganku mengenai udara. "Sial," cetusku. "Kenapa? Capek?" tantang Richard. "Enak aja!" Kami bertukar serangan dengan tempo cepat. Lenganku mulai ngilu karena terlalu banyak beradu dengan Richard. Besok pasti muncul
Benar kan. Beberapa lebam muncul di lenganku. Hari ini aku terpaksa memakai kaos turtle neck lengan panjang berwarna hitam. Saat melihat penampilanku di cermin aku senang juga. Sedikit mirip dengan gaya berpakaian almarhum Steve Jobs. "Pagi, Bernard," sapaku riang. "Pagi, Hazel. Wah, kamu terlihat keren sekali hari ini? Ada meeting?" sapa Bernard. "Richard nggak bilang sih, mungkin nggak ada." "Oke. Baguslah. Terlalu banyak meeting membuat pekerjaan tertunda." Bernard tersenyum. Aku langsung menuju ruanganku. Dari jendela kulihat awan mendung bergelayut di ufuk langit. Pertanda mau turun hujan. Semoga aku tidak kehujanan saat pulang nanti. "Pagi, Hazel." Richard masuk ke ruanganku. Matanya memperhatikan lengan bajuku. "Tanganmu nggak apa?" "Nggak, cuma lebam aja." Aku menyeringai. "Coba kulihat." Richard mendekati dan h
Aku heran saat telepon di mejaku berbunyi. Langka sekali. Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya. "Halo?" sapaku. "Masih ingat dengan saya?" tanya sebuah suara berat nan berwibawa. Mana bisa kulupa? Suara itu baru saja berceramah di depanku kemarin sore, berbicara panjang lebar tentang analisanya terhadap perasaanku dan Richard. Abram. "Tentu saja ingat, Pak Abram. Ada keperluan apa dengan saya?" Aku berbicara sesopan jiwa pemberontakku mengijinkan. "Saya mau mengundangmu makan malam bersama, di restoran Diamond." Abram menyebutkan nama sebuah restoran bintang lima. "Baiklah. Jam berapa saya harus tiba?" "Jam lima saya kirim sopir menjemputmu." "Baik, Pak." "Richard tidak tahu masalah ini." Nada suara Abram memberi peringatan. "Oke, saya mengerti." Abram memutus
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe