Beranda / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 37 : Sekretaris Dadakan

Share

Chapter 37 : Sekretaris Dadakan

Penulis: Giovanna Bee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-15 06:02:39

    Mana ada sekretaris yang memakai celana jeans dan sepatu kets? Aku terus menggerutu dalam hati sejak berangkat dari kantor menuju tempat meeting di sebuah hotel bintang lima. Richard sih berkata aku cukup duduk manis dan mencatat, biar dia yang berbicara.

    Ya iyalah! Masa job desc-ku mau ditambah lagi jadi CEO?? Tidak lucu deh.

    Aku yang jarang-jarang masuk ke hotel bintang lima tertakjub melihat interiornya. Chandelier yang menjuntai dari langit-langit setinggi limabelas meter itu pastinya lebih besar dari kamar tidurku. Wajahku menengadah, membuatku tidak menyadari Richard berhenti mendadak. Jadilah aku menubruknya.

    Richard melotot. Aku meringis. Salahku? Bukan! Jelas-jelas salah interior hotel yang terlalu wah.

    Kami masuk ke sebuah ruang meeting mewah. Pencahayaannya saja menggunakan lampu 40 Watt. Bagaimana mataku tidak kesilauan? Tunggu dulu, aku harus jaga image. Aku bertindak sebagai sekre
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 38 : Lelaki Trans

    Aku mengeluh karena pagi ini Richard menyeretku ke meeting yang tidak ingin kuhadiri. Padahal aku sedang asyik membuat tagline untuk perusahaan F&B, food and beverage kepunyaannya. Sebelum tiba di hotel tempat meeting Richard masih sempat-sempatnya membelikanku blazer. Aku masih mengeluh seperti orang sakit gigi padahal blazer berwarna putih gading ini membuat penampilanku keren habis! "Ingat, jaga ekspresi meskipun kamu ngantuk setengah mati," ujar Richard saat kami berada dalam lift. "Iyaaa," sahutku seenaknya. "Hazel. Serius." "Serius? Gue udah serius dari tadiiiii." Aku keceplosan prokem. Tanganku langsung mendekap mulut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Richard geleng-geleng kepala. "Sorry," cetusku tanpa merasa bersalah sama sekali. "Ingat. Beraktinglah sebagai seorang sekretaris yang baik." Richard mengi

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-15
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 39 : Abram Yilmaz

    Sepanjang makan siang sampai perjalanan kembali ke kantor aku memilih untuk diam seribu bahasa. Bukan karena sedang sariawan, tapi malu! Richard menyeretku masuk ke lift eksklusif. Aku tidak kuasa melawan karena tenaga kami tidak sebanding. Sedetik sebelum pintu lift tertutup aku berhasil melarikan diri. Aku rela berjejalan dengan rombongan karyawan segedung daripada berduaan dengan Richard dalam lift. Dia pasti mau meledekku habis-habisan tanpa ada saksi mata. Ketika pintu lift terbuka di lantai duapuluh Richard terlihat menungguku di meja Bernard. Aku pura-pura tidak melihat dan berjalan lurus masuk ke ruanganku. "Hazel," panggil Richard. "Ya?" Aku tersenyum gelisah. Mau apa dia membuntutiku? "Entah kenapa aku sering mengalami masalah komunikasi denganmu. Ada apa sebenarnya?" "Nggak ada apa-apa." Aku mempertahankan senyum sampai pipiku pegal.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-15
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 40 : Pengamatan Abram

    Aku semakin mengagumi Richard. Dia masih bertahan menghadapiku yang seperti ini. Beberapa kali aku berusaha melancarkan serangan ke titik vital, dia mementahkannya tanpa terbawa emosi. Katanya mau melakukan sesuatu yang gila? Ini sih tidak gila. "Mikir apa kamu??" Richard menyerang dengan pukulan ke arah wajah. Aku menepisnya dengan dua tangan, karena aku tahu satu tangan tidak akan cukup untuk beradu tenaga dengan Richard. Secepat kilat aku menyilangkan kaki kiri ke belakang dan menyodokkan tumit kananku ke perutnya. Richard terdorong mundur selangkah. Aku mengejar dengan pukulan menggunakan telapak tapi Richard mundur selangkah lagi sehingga seranganku mengenai udara. "Sial," cetusku. "Kenapa? Capek?" tantang Richard. "Enak aja!" Kami bertukar serangan dengan tempo cepat. Lenganku mulai ngilu karena terlalu banyak beradu dengan Richard. Besok pasti muncul

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-15
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 41 : Obat Gosok

    Benar kan. Beberapa lebam muncul di lenganku. Hari ini aku terpaksa memakai kaos turtle neck lengan panjang berwarna hitam. Saat melihat penampilanku di cermin aku senang juga. Sedikit mirip dengan gaya berpakaian almarhum Steve Jobs. "Pagi, Bernard," sapaku riang. "Pagi, Hazel. Wah, kamu terlihat keren sekali hari ini? Ada meeting?" sapa Bernard. "Richard nggak bilang sih, mungkin nggak ada." "Oke. Baguslah. Terlalu banyak meeting membuat pekerjaan tertunda." Bernard tersenyum. Aku langsung menuju ruanganku. Dari jendela kulihat awan mendung bergelayut di ufuk langit. Pertanda mau turun hujan. Semoga aku tidak kehujanan saat pulang nanti. "Pagi, Hazel." Richard masuk ke ruanganku. Matanya memperhatikan lengan bajuku. "Tanganmu nggak apa?" "Nggak, cuma lebam aja." Aku menyeringai. "Coba kulihat." Richard mendekati dan h

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 42 : Undangan

    Aku heran saat telepon di mejaku berbunyi. Langka sekali. Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya. "Halo?" sapaku. "Masih ingat dengan saya?" tanya sebuah suara berat nan berwibawa. Mana bisa kulupa? Suara itu baru saja berceramah di depanku kemarin sore, berbicara panjang lebar tentang analisanya terhadap perasaanku dan Richard. Abram. "Tentu saja ingat, Pak Abram. Ada keperluan apa dengan saya?" Aku berbicara sesopan jiwa pemberontakku mengijinkan. "Saya mau mengundangmu makan malam bersama, di restoran Diamond." Abram menyebutkan nama sebuah restoran bintang lima. "Baiklah. Jam berapa saya harus tiba?" "Jam lima saya kirim sopir menjemputmu." "Baik, Pak." "Richard tidak tahu masalah ini." Nada suara Abram memberi peringatan. "Oke, saya mengerti." Abram memutus

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-17
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 43 : Abram dan Hazel

    Richard menungguiku dengan setia. Ekspresinya lumayan keruh sejak tadi siang karena akhirnya aku memberitahu tentang ajakan makan malam Abram. Aku khawatir Richard akan memaksa ikut, atau lebih buruk lagi mengurungku di penthouse. "Kamu nggak berniat aneh-aneh kan?" Aku memastikan. Richard menggeram tidak jelas. "Apa sih? Bicara bahasa manusia dong?" "Kalau mau pergi, ya pergi saja. Aku nggak mencegah." "Benar?" "Besok ceritakan semua obrolan kalian padaku. Atau kalau bisa kamu rekam diam-diam deh." Aku tercengang, memangnya aku ini anggota tim Mission Impossible yang punya peralatan penyadap canggih? "Udah ah. Ngomong melulu nggak kelar-kelar...," gerutuku. Waktunya hampir tiba dan aku merapikan meja. "Oke." Richard masih terlihat suram. Bukannya aku tega tapi janji dengan bos besa

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-17
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 44 : Mengorek Informasi

    Hari ini aku berusaha fokus pada pekerjaan, yang sangat sulit kulakukan dengan kehadiran Richard di ruanganku. Dia bersikeras duduk di mejaku dengan laptopnya. Aku kesal karena merasa dipojokkan. Aku menggerakkan mouse-ku dengan ribut. "Hazel, tenang sedikit, please? Kepalaku seperti mau pecah mendengar keributanmu. Aku sedang berusaha kerja," keluh Richard. "Di ruangan sendiri pasti lebih tenang," gerutuku. "Aku mau di sini." Richard menunjukkan sisi kepala batunya. "Ya udah, dibiasakan aja." Aku melengos. Ruanganku tidak sempit, peredaran udara pun sangat bagus. Jadi kenapa aku merasa sulit bernafas? Ini pasti gara-gara Richard memepetku. Kenapa sih ini orang? Tidak bisa baca situasi? Kalau seorang wanita bersikap ketus itu tandanya dia minta ditinggalkan sendiri! Dasar lelaki tidak peka! Bagaimana bisa jadi pasangan yang baik? Aku nyaris menampar diriku

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-18
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 45 : Richard dan Abram

    Suasana mencekam di kediaman mewah Abram Yilmaz. Richard duduk di sofa ruang tamu berhadapan dengan sang ayah. Mata mereka bertemu. "Ayah, bisakah kamu tidak mengganggu Hazel?" Richard buka suara. "Oh? Gadis kecil itu bercerita apa padamu?" "Semuanya." Abram tertawa kecil melihat putranya yang sedang membela Hazel, "Masih menyangkal perasaanmu padanya?" "Dia bekerja di bawah pimpinanku, aku bertanggungjawab atas kenyamanan dan keamanannya, Ayah," elak Richard. "Kenapa tidak bilang bertanggungjawab atas kebahagiaannya juga?" ejek Abram. "Apa pun yang Ayah pikirkan, mohon jangan bawa-bawa Hazel. Dia seorang desainer yang baik, karena itulah aku mempekerjakannya." "Richard, Ayahmu bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Jika Ibumu masih hidup dia mungkin bisa tertipu, tapi aku tidak. Hidupku sudah melampaui setengah abad, Na

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-18

Bab terbaru

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 145 : Maafkan Papamu

    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

DMCA.com Protection Status