"Cia, kau belum pulang?""Please deh. Jangan sok tanya deh. Kayak nggak tahu aja.""Iya deh.""Kelewatan ya Bu Lina. Gara-gara jadi kepala, sekarang dia jadi keras kepala.""Ush...udah ah. Yang penting kerja, Cia. Aku pulang dulu ya. Selamat lembur Gracia sayang!""Awas kau, Efa!" pekik Gracia walaupun Efa sudah tidak tampak. Ia telah pergi dari ruangan.Kini ia hanya sendirian. Ruangan terkesan seram. Apalagi lampu memang tidak dihidupkan, kecuali kalau gelap.Susunan meja editor berbentuk huruf "U" Meja di tengah dan yang paling besar adalah meja kerja Bu Lina. Sebelah kirinya meja Gracia, sedang di sebelah kanan adalah mejanya Efa.Jadi, Gracia dan Efa saling berhadapan sedang Bu Lina bisa mengawasi mereka dengan leluasa."Ayo, Gracia. Untung aku suka dengan pekerjaanku. Kalau nggak, bisa stress.""Psst. Cia, hari ini aku nggak lembur ya!" Ananta masuk ke dalam ruang editor, sembari memijat-mijat lehernya."Yah. Tak friend nih!""Aku nggak kuat lagi Cia. Leher aku pegal banget. Dar
Dipercaya untuk memimpin perusahaan baru, menjadi suatu tantangan yang patut dilakukannya. Seorang pria yang hanya ingin tahu dunia kepenulisan itu seperti apa. Ternyata malah kepeleset terjun ke dunianya. Bahkan serius sekali sampai mendirikan perusahaan sendiri.Setelah keluar hampir seharian menemani Gracia, ia hampir saja melewati setiap jengkal pekerjaannya. Membaca sejarah dan tentang PT. Pramita, bukunya sampai ratusan halaman. Hampir 500an halaman."Mesti aku rangkum beberapa nih poin-poinnya. Besok saya bisa cek ke setiap kepala, sudah sampai mana perkembangannya."Buku seberat hampir lima kilogram itu dibawanya ke meja besar tengah ruangan.Sebuah meja kaca persegi panjang tembus pandang. Sedang di ujungnya ada sebuah whiteboard beroda."Selera Bu Pramita oke juga. Menata perabot dengan rapi dan memanfaatkan setiap sudutnya."Tak lama Nicho tenggelam dalam kegiatannya. Mencoret-coret whiteboard. Sesekali membacanya kembali."Aargh!" Terdeng
Gemericik air terdengar meluncur turun. Setitik demi setitik memenuhi tampungan air berwarna oranye. Cekungan-cekungan di jalan raya juga mulai tergenang.Jam dinding di ruangan Nicho menunjukkan pukul 21.50. Tak sedetik pun, Nicho kehilangan konsentrasinya. Apalagi ia sudah tahu, kalau sepuluh menit yang lalu Gracia telah sampai di rumahnya. Lima belas menit yang lalu ia menelepon Eric, berbasa-basi. Sampai ia mendengar suara Gracia dari belakang Eric. Yang artinya Gracia sudah sampai di rumahnya.Jika kau bilang ada udang di balik bakwan, Nicho akan cuek saja. Yang penting jalannya benar, tidak melenceng ke hal yang tidak benar. Benar. Tentu saja benar."Tolong! Siapapun di luar sana!" Ananta memukul-mukul pintu toilet dengan ranselnya.'Semua budeg atau apa sih?' batinnya. Seorang satpam masuk lewat pintu depan. Sesampai di lobi, ia celingak-celinguk. Sialnya, saat itu Ananta sedang tidak memukul-mukul ranselnya atau pun berteriak. "Lobi utama
Kedua satpam berlari masuk ke dalam lobi. Berlari, lantas berhenti di persimpangan toilet pria dan wanita. Sambil menganggukkan kepala, mereka berlari ke toilet pria. Membuka satu per satu bilik toilet, sedikit menendang. "Siapa yang terjebak? Pak Nicho berkhayal mungkin.""Iya. Semua bilik baik-baik aja.""Kayaknya Pak Nicho mau kerjain kita deh!""Siapa yang mau kerjain siapa?" Nicho bertanya. Masuk ke dalam toilet pria. "Maaf pak, kami tidak menemukan siapapun yang terjebak dalam toilet. Bahkan semua pintu biliknya aman." Seorang satpam memberanikan diri. "Tadi kamu dengar saya bilang apa nggak?""Ada yang kejebak dalam toilet pak!""Lalu?" Nicho melipat kedua tangannya di dada. "Lalu tidak ada orang pak disini!""Kalau disini terjadi hal yang membahayakan sepertinya saya tidak bisa mengharapkan pertolongan cepat dari Anda."Kedua satpam di depannya menampakkan muka bingung. Saling melirik satu sama lain. "Saya perjel
Kantor Nicho yang dingin terkena AC terasa percuma. Ananta merasa kini ia sesak. Hanya berdua dengan seorang pria yang tampan. Kaya. Tinggi. Perfect man. Apalagi tadi bosnya mengatakan nama Stanley, menghubungi dirinya berkali-kali. Hanya sebatas menelepon. Tanpa menyusulnya ke kantor. Tanpa menolongnya. Padahal pasti Stanley tahu kalau sebelumnya gawainya mati.'Saat aku butuh kamu kemana? Jangan bilang kamu hanya nongkrong di cafe sama teman-teman yang porotin kamu terus.'"Karena kamunya belum bangun. Jadinya aku angkat. Aku yakin dia pasti khawatir sama kamu. Makanya ia telepon berkali-kali." Nicho menimpali."Apa?" Reflek Ananta berteriak."Hei, telingaku nggak pekak loh.""Maaf pak! Maaf!" Setelah itu ia menundukkan kepalanya, memandang ke bawah. Ia tidak berani menatap bosnya dengan tampang kucel seperti itu. "Yah, nggak apa-apa. Kamu cuci muka dan tanganmu dulu sana. Lalu makan. Baru pulang.""Baik pak!" Hanya itu. Ya, hanya itu yang bi
Dari dalam kedai kopi, terlihat langit di luar mendung. Memerah di tengah gelapnya langit. Hampir seluruh dinding kedai terbuat dari kaca.Di dalam kedai kopi, penuh dengan pengunjung. Ada yang menjalin kasih, mengerjakan tugas, kumpul keluarga, dan tentu saja tak lepas dari sejumlah anak muda yang kumpul sekedar mengobrol. Di sudut kedai, dekat jendela. Ada Stanley dan teman-temannya."Hmm""Kenapa loe? Itu muka ditekuk mulu. Tenang, kedai loe masih ramai tuh." Salah satu temannya menyeletuk saat melihat Stanley melempar gawainya di sofa. "Yah tekuk lah. Yang beli cuman itu-itu aja, yang nongkrong juga itu-itu juga. Dasar para pencari wifi gratis." Kini seorang wanita berkaos santai menyeletuk, sembari melempar kartu UNO yang kini memang gilirannya."Ya elah. Penjahat teriak penjahat." seru temannya, melempar kartu UNO."Stanley, kini giliranmu!" Stanley tak menjawab. "Ley, loe kenapa sih?" kini wanita yang berkaos santai itu bertanya, n
Pukul 23.30.Akhirnya kedai kopi sepi. Tak ada lagi pengunjung yang berkeliaran di dalam kedai. Stanley bisa bernapas lega. Badannya terasa remuk semua.Seharusnya cuman badan. Karena dari tadi dia bolak-balik beres sana-sini. Karena nggak mungkin saat kedai besok buka, kedainya berantakan yang terkesan kotor. Ia duduk di salah satu kursi kedai. Gio dan Bella sudah pulang sejak lima menit yang lalu, setelah beres-beres selesai. Mereka juga ikut merapikan kedai."Kata Gracia, Ananta sudah pulang. Tapi kenapa hati ini bilang nggak ya. Coba telepon lagi deh."Terdengar nada tersambung di sana. Stanley yakin kali ini Ananta pasti sudah mengisi daya gawainya. Namun, tak ada jawaban dari sana. Tak ada yang mengangkat. Satu-dua kali tetap tak diangkat."Ayo dong Ananta! Angkat!""Hallo!" Terdengar suara berat dari sana. "Ana-" Stanley yang awalnya semangat. Berpikir akhirnya Ananta mengangkat teleponnya. Berubah 180 derajat saat ia tersadar, yang menjawab bukan Ananta.Masih berpikir positi
"Ana, hari ini kamu nggak masuk kantor kan?" Ibunya memastikan.Alarm berbunyi keras dari samping tempat tidur Ananta. Ananta mematikannya dengan cepat. Tanpa buka mata. Sinyal lengannya cukup untuk bisa mencari keberadaan alarm dengan sangat akurat. "Mm..nggak Ma. Diberi izin untuk nggak masuk." jawabnya dengan kelopak mata masih tertutup. Ia hanya menggeliat. Mencari arah suara ibunya. "Kamu mau turun nggak? Atau masih capek?""Masih, ma. Badanku terasa pegal semua. Kenapa?""Ada Stanley di bawah.""Ha?" Kini ia membuka matanya perlahan. Menguceknya sekali. Terbangun dan duduk di ranjangnya. "Dia baru datang?""Iya.""Emang jam berapa sih sekarang?" Ananta mengambil gawainya. "Baru pukul enam gini kok. Astaga anak ini. Kemarin dicari nggak ada, sekarang pagi-pagi malah ganggu.""Ush...tak boleh ngomong kayak gitu. Dia itu pagi-pagi kesini karena khawatir.""Nggak ah. Nggak mau turun. Bilang aja aku masih tidur, ma!""Baiklah. Kamu
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b