Malam ini udara terasa lebih dingin, namun langitnya cerah. Di atas sana, bintang berkerlap-kerlip dimana-mana."Kamu minum ini aja," Stanley menyodorkan sebotol air mineral sekali pakai. "Hidup itu memang keras. Menurutku kamu sudah hebat, bisa membuktikan kepada Papa dan Mama kamu kalau kamu itu sudah berhasil. Bukan seperti aku,""Hei, kenapa malah kamu yang curhat?""Nggak lah. Aku cuman mau kasih tahu. Kalau kamu itu kuat. Menurutku, kamu nggak salah terlalu mencintai seseorang, tetapi mungkin kamu harus mengubah sikap?""Sikap?""Gini, seorang manusia tidak akan pernah mungkin bisa disukai oleh semua orang. Sekalipun pemimpin negara, pasti ada juga yang tidak disukai. Jadi, satu-satunya cara jika kamu memang ingin menarik perhatian si dia, kamu harus tahu apa yang dia suka,""Iih, apaan sih. Omonganmu berat, jangan sok bijak deh, anak kecil!""Iya. Aku simpelkan aja. Ini aku dengar dari pacarku. Ilustrasinya seperti ini kamu penyuka kopi, kalau
Kedai Koopi telah tutup lima menit yang lalu. Karyawan mulai membereskan kedai. Ada yang di dapur, ada yang di luar.Sejak kepergian Ananta 2 jam yang lalu, Stanley hanya melakukan 3 kegiatan. Minum kopi, mengetik pesan, dan melirik gawainya. Bahkan ia duduk di dekat meja barista tanpa bergeming.Tak ada satu pun karyawan, sekalipun Bryan yang berani mengusiknya."Bryan, kami pulang dulu ya! Titip salam dengan Nicho," Salah seorang karyawan mewakili untuk berpamitan."Iya. Siap. Hati-hati ya pulangnya,"Cring.Bryan melepaskan apron yang dipakainya. Menggantungnya di gantungan yang berada di ruang ganti. Lantas mengambil jaket dan tasnya yang ditaruh di dalam loker.Ia keluar dari ruang ganti. Stanley masih duduk disana. "Anak ini mau kayak begitu sampai kapan?" Ia melirik jam yang melingkar di lengannya. Pukul 21:40."Bro, kau belum mau pulang kah? Udah malam banget ini,""Duluan aja. Tapi udah rapihin semuanya belum?""Udah dari 10 menit yang lalu kali. Ini kau lihat, semua udah kin
Nicho sibuk di kantornya. Sudah sekitar 2 jam yang lalu ia terus membuka folder di komputer, mengetik, dan memeriksa laporan secara berkala. Sampai ada seseorang yang mengetuk pintu pun ia tak sadar."Woi, bro!""Kagetin aja. Fungsi pintu itu apa?" Nicho mengomel."Gue udah ketuk dan teriak beberapa kali tetap tidak ada jawaban dari yang punya ruang ini. Jadi, gunanya telinga itu apa?""Maaf. Maaf. Lagi pusing nih,""Kenapa? Ada laporan kami yang salah?""Bukan. Benar semua sih, cuman karena udah lama saya nggak ngecek. Jadi, menumpuk aja,""Tumben seorang Nicholas Alexus stress kayak gini,""Saya? Stress? Nggak lah,""Jangan bohong deh!" Jefri menarik sebuah kursi di depan meja Nicho. "Apa jangan-jangan karena cewek tadi siang itu? Sekretaris lo itu?""Ha? Bukan. Itu masalah pribadi, nggak boleh pikirkan itu saat bekerja,""Jangan bohong lah sama gue. Gue tahu lo kali. Tapi yah emang belum tahu apa-apa juga. Cewek itu lebih tahu lo daripada gue,""Dia bisa lebih tahu karena saya suda
Ananta masih di ekspedisi. Ia menelepon Pak Nicho. Mau nggak mau ia rela jika akan kena semprot oleh Pak Nicho. Karena itu murni kesalahannya."Hallo!" Pak Nicho menjawab dari seberang sana."Hallo, pak! Maaf pak. Saya sekarang di ekspedisi. Katanya jika dikirim hari ini, paling cepat besok malam sampainya,""Saya perlu dokumen itu besok pagi. Apa nggak bisa dipercepat?""Nggak bisa, pak katanya,""Baiklah. Nggak ada cara lain. Kamu yang antar ke Jakarta,""Ha?""Ha ... Hi ... Hu ..., kurang jelas? Kamu cepetan beresin barang kamu. Saya belikan tiket pesawat untuk kamu. Terserah kamu mau berangkat sendiri atau ditemeni pacarmu. Yang penting saya hanya beli 1 tiket untuk kamu kesini. Malam ini. Malam ini dokumennya sudah harus sama saya. Jangan ketinggalan!""Ngg ..., tapi pak ...,""Apa lagi?""Sekali lagi saya minta maaf, pak!""Saya tidak perlu ucapan maaf kamu ya. Jika kamu mau minta maaf, kamu kesini dan bawa dokumennya kesini,"
Bandara Supadio, Bandara Pontianak. Ananta telah sampai. Sekarang ia sedang bersusah payah menurunkan kopernya. Untung saja sopir ojek daring itu membantunya. Bahkan rela memparkir mobilnya dulu. Lalu, ikut mengantar kepergian Ananta.Bandara, tempat perpisahan dan tempat pertemuan dengan sanak keluarga. Ada beragam emosi yang pernah hadir disini. Dinding bandara yang akan menjadi saksi bisu. Emosi kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, keberanian, ketakutan, marah, dan keharuan. Momen itu bergabung dalam satu tempat. Bandara.Ananta registrasi pukul 17:00. Masih ada waktu setengah jam untuk bernapas lega dari kegiatan serba cepat yang barusan ia lakukan. Dalam waktu satu setengah jam ia telah berada di 3 tempat. Kantor, rumah, dan bandara. Semua serba cepat."Hallo!" Ananta mengangkat telepon dari Bu Lina. Bu Lina selalu aja telepon di waktu yang tepat. Seperti tahu saja kalau ia sedang santai."Kamu sudah di bandara?""Iya,""Fotokan ke saya. Tiket kamu juga kirimkan ke saya. Saya per
Mobil jemputan Ananta berjalan dengan lancar di atas jalanan aspal. Udara Jakarta saat malam hari terasa dingin. Padahal baru saja jam 19:50."Jakarta ternyata seperti ini ya?" Ananta berseru."Iya, gitu bu. Banyak yang merantau kesini. Salah satunya saya,""Bapak hebat. Bapak bisa memutuskan untuk merantau jauh-jauh ke Jakarta. Bahkan saya aja ngga berani,""Yah, tuntutan Bu. Oh ya, ibu kalau mau istirahat, istirahat saja ya. Di jok belakang ada bantal dan selimut yang sudah disiapkan oleh Pak Nicho,""Baik pak, terima kasih."'Apa? Pak Nicho siapkan bantal dan selimut untuk aku? Apa ini memang berlaku untuk semua orang atau memang Pak Nicho .... Ah, udalah. Itu nggak mungkin. Ana. Ana. Jangan berekspektasi tinggi. Wanita yang disukai Pak Nicho adalah Gracia, sahabatmu sendiri.'Setelah perjalanan yang kurang lebih menghabiskan 10 menit, mereka telah sampai di hotel tempat Pak Nicho dan Gracia nginap. Cepat-cepat Pak Cahyo membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper Ananta. "Maaf, p
"Apa kamu bilang? Ananta sekarang sudah di Jakarta dan dia ada di hotel ini juga?" Gracia berteriak histeris. Nicho sampai menutup kedua gendang telinganya."Apakah boleh, tuan putri yang terhormat. Kalau kaget, kaget aja. Tidak perlu teriak seperti itu. Kamu mau semua tamu bisa mendengar teriakan kamu itu. Lalu, kamu akan dimarahi oleh mereka. Ini sudah malam Gracia. Pelan sedikit suaranya," Nicho pergi menjauh dari kamarnya."Sekarang kamu mau kabur kemana?""Mau ke bawah. Saya mau ke supermarket sebentar. Kenapa? Mau ikut?""Boleh,"Gracia mengikuti Nicho masuk ke dalam elevator."Cobalah berbaikan dengan Ananta atau nggak setidaknya kamu memaafkan dia," Nicho menawarkan sebotol susu coklat siap minum. Mereka telah sampai di supermarket sebelah hotel. Duduk di meja yang memang disediakan disana."Memangnya maaf itu gampang apa? Nanti kalaupun memaafkan, semuanya pasti akan aneh,""Lebih baik aneh daripada asing seperti sekarang. Memaafkan buka
"Selamat pagi, Gracia!" Ananta menyapa Gracia di lobi. Ia celingak-celinguk kesana kemari. Ia tidak melihat keberadaan Nicho."Pak Nicho sedang berada di toilet," Gracia menjawab.'Ini Nicho kencing apa berak sih? Lama amat,' komentar Gracia dalam hati."Oh, gitu ya. Cia, aku-""Gimana kalau kita tunggu di lobi aja. Sepertinya Pak Nicho tidak akan keberatan," Ia memotong pembicaraan Ananta. Gracia lebih dulu berjalan ke luar lobi."Sepertinya Gracia menghindari topik. Mungkin waktunya juga belum tepat. Lebih baik fokus kerja dulu,""Ana! Gracia mana?" Nicho memanggil dari belakang.Nicho menggunakan kemeja berwarna biru muda. Celana hitam panjang. Sepatu pantofel yang mengkilap. Dengan gaya rambut comma hair, rambut yang bentuknya melengkung seperti tanda koma di satu sisi juga nampak cocok dengannya."Mm, Gracia sudah di depan, pak,""Okelah. Lalu, kenapa kamu menatap saya seperti itu? Ada yang aneh dengan wajah saya?""Tidak pak. Tidak