Juan tidak tahu apa yang salah dengan otaknya. Bisa-bisanya dia membiarkan perempuan tidur di ranjang yang sama dengannya. Bahkan terlelap dan memeluknya dengan sangat erat. Dia bahkan bisa merasakan napas teratur yang menggelitik tengkuknya.
Juan lelaki normal. Dipeluk seerat ini jelas menjadi siksaan terberat baginya. Dia tidak bisa sedikitpun terlelap atau memejamkan mata barang sebentar saja. Bahkan sepanjang malam yang dilakukannya hanya menatap langit-langit kamar, seakan menghitung domba-domba yang terlelap. Namun percuma, keberadaan perempuan itu jelas mengusiknya. Padahal dulu, dia tidak masalah seranjang dengan Maya, bahkan mereka sering tidur seperti ini.
Hingga matahari masuk lewat sela-sela jendela kaca, matanya masih terbuka lebar. Rasa kantuk yang semalam ditahan, mulai menyerang di pagi ini. Namun Juan memilih diam, seperti patung yang kaku. Dia tidak bisa bergerak sekecil apa pun. Takut-takut perempuan dalam pelukannya terbangun.
Ralat, sebenarn
Tidak sulit berkerja sebagai pelayan di sini. Maya hanya perlu mengantar minuman di meja-meja pengunjung dan kembali ke bartender yang sedang meracik. Seperti itu berulang kali. Rasanya dia akan betah berkerja di sini. Tidak sulit, meski dia akan pulang larut bahkan menjelang pagi. Maya bisa istirahat di siang harinya.Maya tersenyum melihat lautan manusia yang sedang bersenang-senang. Bahkan tatapannya sering menangkap beberapa pasangan yang sedang make out. Sepertinya tidak ada rasa malu atau canggung di sini. Tanpa sadar, Maya mengulum senyum. Dia menyentuh bibirnya sendiri, membayangkan berada di posisi itu dengan Juan.‘Kenapa ingat dia lagi,’ rutuknya pada diri sendiri. Tidak mudah menghilangkan bayangan pria yang dicintainya. Maya seakan terkurung dalam perasaan dan ambisinya.“Kamu ingin juga?” tanya si bartender dengan senyum jail.Maya menoleh, menautkan alisnya dengan ekspresi bingung. Si bartender menu
Pagi sekali Maya sudah berada di seberang jalan, tepat berhadapan dengan sebuah bangunan megah bergaya Eropa. Dia memakai topi dan menggelung rambutnya ke dalam. Sengaja melakukan penyamaran agar tidak ada yang mencurigai keberadaannnya. Meski kantuk masih menyerang, mengingat baru tiga jam yang lalu dia pulang da tidur hanya satu jam. Rekor baru untuknya yang terbiasa tidur dengan waktu yang lama.Maya makin menekan topinya saat melihat beberapa pengawal menatap ke arahnya. Dia pura-pura menatap ponsel, memencet asal, dan melakukan panggilan yang sebenarnya hanya alibi saja. Anggap saja dia nekad, tapi rasa rindu pada ayahnya sangat besar.Sudah dua hari sang ayah pulang dan hari ini Maya menyempatkan melihat keadaan ayahnya. Meski dia hanya bisa melihatnya dari jauh, Maya harus cukup berpuas diri. Setidaknya bisa mengobati sedikit rasa rindunya. Dia dengan sabar menunggu, berdiri dan melakukan aktivitas sembarangan agar tidak menarik perhatian para pengawal.L
Di dalam mobil, Mulan mengulum senyumnya. Berkali-kali mencuri pandang pada pria yang sangat fokus menyetir di sampingnya. Setelah adegan pemaksaan yang dilakukan Mulan, akhirnya Juan pasrah dan membiarkannya ikut ke kantor. Padahal Kriss sudah memintanya menatap di rumah dengan alasan melepas rindu. Namun siapa yang mau. Mulan malah terkesan menjaga jarak, meski tidak ketara. Mulan lebih memilih merengek agar Juan membawanya pergi. Dia juga suntuk terlalu lama di rumah. “Nanti saat saya meeting, lebih baik kamu di dalam. Jangan keluar bila tidak ada saya.” Mulan hanya mengangguk saja. Juan menoleh sebentar. “Kamu dengar, kan?” “Iya.” “Kenapa tidak jawab?” Mulan memutar matanya malas. Ini sikap yang tidak disukainya. “Aku dengar. Dua telingaku berfungsi dengan baik.” “Bagus. Dan jangan cari masalah di sana.” Entah sudah berapa kali Juan mewanti-wanti Mulan hingga rasanya Mulan ingin menyumpal bibir pria itu.
Selagi menunggu kedatangan Juan, Mulan memilih mengamati ruang kerja pria itu. Mumpung pemiliknya sedang rapat di luar dan dengan tega meninggalkannya di sini, sendirian. Catat, bahkan Juan menguncinya dari luar. Seakan tidak membiarkannya kabur atau membuat masalah di luar sana.Mulan tentu protes. Berkali-kali berteriak minta tolong dari orang di luar sana. Namun perlu diingatkan, semua ruangan di kantor ini kedap suara. Mau sekencang apa pun dia berteriak, mereka di luar tidak akan mendengar. Lebih-lebih tak ada yang mau ikut campur masalah atasan mereka yang cukup disegani. Bisa saja mereka langsung dipecat bila membuka pintu ruangan dan membebaskan tahanan di dalamnya. “Sialan!” umpat Mulan kesal. Dia menendang pintu dengan keras, yang malah membuat ujung kakinya sakit. “double shit! Sakit,” rintihnya.Sedikit tertatih menuju meja kerja pria itu. Daripada duduk di sofa, Mulan memilih meja kerja yang tampak sangat rapi
Mobil itu terus melaju dengan kecepatan konstan. Tidak terlalu kencang ataupun pelan. Pengemudi di dalamnya juga tampak santai. Tidak diburu waktu. Sesekali dia melirik seseorang di sampingnya. Masih sama seperti lima belas menit yang lalu, tertidur. Beberapa helaian rambut, menutupi sebagian wajahnya. Namun anehnya, dia masih bisa menangkap pesona kecantikan perempuan itu.“Stop, Juan. Dia adikmu,” makinya pada diri sendiri. Juan memukul setirnya berkali-kali, melampiaskan perasaan yang entah apa bersarang di dalam hati.Juan kembali berusaha fokus pada kemudinya. Hingga membelokkan mobil ke arah kanan, tibalah mereka di sebuah resto. Dia beralih membuka seltbelt, menoleh pada perempuan yang masih terlelap dalam tidurnya. Ada helaan napas panjang yang terdengar.“Bangun, Maya!”Juan menggoyangkan sedikit lengan Mulan yang tak berefek apa pun. Perempuan itu malah membenarkan letak posisinya senyaman mungkin. Dengk
Di meja makan semua penghuni rumah berkumpul dengan formasi lengkap. Ini makan malam kesekian kalinya yang Mulan ikuti setelah keberadaan Kriss. Dia masih menjaga jarak pada lelaki paruh baya itu. Bahkan saat Kriss memintanya berbicara untuk melepas rindu, dengan langsung Mulan menolak. Alasannya jelas masih sama, dia tidak menyukai Kriss. Lebih tepatnya benci.“Maya, akhir-akhir ini sepertinya kamu sering bersama Juan.” Joe melirik kakak pertama yang sepertinya tidak terganggu dengan pertanyaannya. Joe memang sering menangkap kebersamaan Juan dan sang adik dengan sangat intens dari sebelumnya. Bahkan perubahan sikap Juan pun tak luput dari pengamatannya. Joe jelas merasa lega dengan kedekatan mereka.Mulan mendongak, melirik Juan yang berada di sampingnya sebelum mengangguk sebagai jawaban. Memang akhir-akhir ini dirinya sering bersama Juan. Bukan hanya mengikuti ke kantor, tapi juga di rumah. Dia dengan gencar mendekati pria itu dalam rangka meluluhkan ke
Maya gusar. Dilihat dari berkali-kali dia menatap ponsel, dengan jari-jari tangan yang tak berhenti mengetuk layar. Dia sudah berusaha menghubungi Mulan, tapi tak ada satupun yang dijawab. Dia perlu sebuah penjelasan. Apa yang dilihatnya di depan mata, tidak bisa ditampik begitu saja. Itu bukan perkara sederhana.Perihal kedekatan Mulan dan Juan waktu itu jelas bukan hal yang lumrah. Dari sudut pandangnya, sang kakak tampak tertarik pada Mulan. Dan Mulan pun demikian. Maya tidak terima. Bukan ini tujuan mereka bertukar tempat.Maya jelas tidak ingin Juan jatuh pada Mulan. Dalam hati, masih besar harapannya untuk bersatu dengan pria itu. Namun bila Mulan menjadi orang ketiga di antara mereka, maka Maya harus segera ambil tindakan. Dia harus memikirkan cara baru. Jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya. Namun sebelum itu, dia perlu penjelasan Mulan. Perempuan itu seperti kurang tahu diri, lupa daratan. Maya mengeram marah.“May, kamu anter pesanan ini, y
Seperti dugaannya, beberapa jam setelahnya Maya dipanggil oleh manager bar. Dia segera menuju lantai atas di mana ruangan sang manager berada. Setiap langkahnya terasa sangat berat. Maya berdoa dalam hati agar tidak dipecat malam ini. Tidak apa bila dirinya harus mengganti rugi. Meski uang simpanannya jelas akan berkurang banyak karena hal ini.Setelah tiba di depan pintu berwarna cokelat, Maya mengetuk terlebih dahulu dan membukanya dengan sangat pelan. Dia mengintip ke dalam, sampai lelaki paruh baya di dalam sana menyuruhnya masuk. Maya mengangguk, meremas ujung bajunya dan masuk ke dalam. Kali ini setiap langkah seperti tengah berhadapan dengan malaikat maut. Wajah lelaki itu berubah menyeramkan, tidak seperti pertama kali mereka bertegur sapa.“Duduk, Maya!” suruh sang manager dengan suara datar.Maya semakin berkeringat dingin. Padahal ruangan ini cukup dingin dengan dua AC yang terpasang. Dia menatap takut-takut pada sang manager yang tampak k
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
Mulan yang ingin masuk ke dalam kamar, terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menatap Juan yang tiba-tiba berdiri di samping pintu tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pria itu di sana. Mungkin Mulan terlalu asyik melamun sampai tak menyadari hal tersebut. “Bisa bicara?” Mendengar pertanyaan pria itu, Mulan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar. “Di dalam saja,” katanya, sekaligus mempersilahkan Juan masuk. Juan mengikuti Mulan ke dalam. Duduk di single sofa panjang yang membawa mereka dalam kebisuan. Belum ada yang angkat bicara. Juan masih mengamati seluruh ruangan, menghapal setiap sisi kamar wanita itu dalam kepalanya. Sedangkan Mulan memilih diam dan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Jujur saja dia masih sedikit canggung berdua dengan Juan. Sisi jalangnya selalu meronta, apalagi dengan hormon sialan ini. Rasanya Mulan ingin mengulang kejadian terakhir mereka. Saling menyentuh, saling memuaskan. Buru-buru Mulan meng