Syaqila berjalan ke parkiran, menghampiri Raffael yang berdiri di samping mobil sambil menunduk, bermain dengan handphone-nya. Seolah menyadari kehadiran Syaqila, pria itu akhirnya mengangkat wajahnya.
Syaqila menahan napas sesaat. Pria itu selalu terlihat mempesona. Tapi dengan segera Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh bertingkah memalukan lagi. Terakhir kali, Syaqila bahkan menatap adik tirinya itu dengan mulut menganga. Jika Syaqila mengingatnya, rasanya ia ingin mengubur kepalanya di tanah.
"Masuk!" Raffael mengedikkan kepalanya, meminta Syaqila masuk ke dalam mobil tanpa mau repot-repot membukakan pintu untuknya.
Syaqila melengos. Dia berusaha mengerti. Lagipula, Raffael tidak mungkin mau bersikap baik padanya. Untuk bicara dengannya saja sepertinya pria itu juga berusaha menahan kebencian di hatinya pada Syaqila.
Syaqila melirik pria di sampingnya. Sepanjang jalan, Raffael tidak bicara. Pria itu hanya fokus mengendarai mobilnya. Wajahnya datar, pandangannya dingin. Di samping auranya yang sedikit menakutkan, pria itu membuat dada Syaqila berdebar. Wajah yang dulu Syaqila rasa terlihat jelek dengan kaca mata bulat yang senantiasa bertengger di wajahnya kini sudah tak ada. Syaqila dapat melihat dengan jelas perbedaannya. Wajah Raffael bersih dan putih, bentuk wajahnya tegas. Rahangnya terlihat menggoda untuk diraba. Bahkan bibirnya saja tampak menarik untuk dicicip.
Sial! Sebenarnya apa yang ia pikirkan?! Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia menepuk kedua pipinya dengan tangan, berusaha menyingkirkan pikiran kotornya tentang Raffael. Berada di dekat pria itu ternyata cukup berbahaya. Terlebih, aroma yang menguar dari tubuh pria itu membuat hasratnya tergelitik.
"Kenapa?"
Suara Raffael membuat Syaqila terkesiap.
Pria itu tampak menatapnya dengan heran. Sikap Syaqila memang terlihat aneh sejak tadi. Raffael bukannya tidak sadar saat Syaqila beberapa kali mencuri pandang padanya. Tapi ia membiarkannya. Lagipula, ia tak peduli.
Lalu tiba-tiba perempuan yang menjadi kakak tirinya itu menggelengkan kepala dan menepuk pipinya sendiri cukup keras. Raffael bertanya karena khawatir jika perempuan itu kerasukan. Jika benar, maka Raffael akan dengan senang hati menurunkannya sekarang.
"Aku baik-baik saja," jawab Syaqila. Dia merasa sedikit malu karena sikapnya tertangkap basah oleh Raffael. Bagaimana jika pria itu tahu apa yang sejak tadi dipikirkan olehnya?
"Apa otakmu bermasalah?"
Syaqila terperangah. Apa maksud pertanyaan pria itu?
Tapi ekspresi Raffael tampak tak main-main ketika menanyakan hal itu. Dia masih menatap Syaqila menunggu jawaban.
"Kau pikir aku gila?"
"Jadi benar?"
Sial! Rasanya Syaqila sangat ingin memukul kepala Raffael saat ini. Dia memejamkan matanya sesaat, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya.
"Turunkan aku!" pinta Syaqila.
Meski bingung, Raffael menepikan mobilnya. Dengan cepat Syaqila turun dari mobil dan berjalan pergi.
Seolah baru tersadar apa yang ia lakukan, Raffael dengan cepat menyusul kakaknya itu. Bisa-bisa ayahnya marah besar jika tahu Raffael menurunkan kakaknya di tengah jalan.
"Syaqila!" Raffael mengejar. Dia menahan tangan perempuan itu hingga langkahnya berhenti. Tapi Syaqila justru meronta meminta dilepaskan.
"Sebenarnya ada apa denganmu?" Raffael sama sekali tidak mengerti. Kenapa Syaqila mendadak jadi marah? Apakah ada sikap atau kata-kata yang menyinggungnya?
"Aku tidak mau ikut denganmu!" pekik Syaqila. Meski dia tahu Raffael membencinya, tapi kata-kata pria itu juga bisa menyakitinya. Kenapa tiap kali bertemu, pria itu hanya bisa mengatakan sesuatu yang membuat Syaqila merasa terhina?
"Tidak bisa. Mama sudah menyuruhku untuk membawamu. Jika kamu tidak ikut, maka aku akan terkena masalah." Raffael mengeratkan pegangannya. Dia tak membiarkan Syaqila lepas dari cengkramannya. Tapi hal itu justru membuat Syaqila merintih kesakitan.
"Lepaskan aku, brengsek! Kau menyakitiku!"
Tersadar, Raffael segera mengendurkan pegangannya. Dia melihat bekas cengkramannya di pergelangan tangan Syaqila. Terlihat jelas warna merah di sana. Raffael benar-benar tidak sengaja. Kekeraskepalaan Syaqila-lah yang membuat ia melakukannya.
"Maafkan aku." Raffael berkata penuh penyesalan.
"Tidak apa." Syaqila menarik kasar tangannya hingga terlepas dari pegangan Raffael. Dia menatap pria itu dengan sengit. "Aku bisa ke tempat mama sendirian. Kau pergilah lebih dulu."
Raffael menghembuskan napas berat. Pria itu berkacak pinggang. "Bisakah kamu membuat ini menjadi mudah?"
"Kamu yang membuat ini jadi sulit," tukas Syaqila. "Jika kamu ingin ini segera selesai, maka biarkan aku pergi sendiri!"
"Keras kepala." Raffael menggeram marah. Dia memukul tengkuk Syaqila hingga perempuan itu jatuh tak sadarkan diri. Raffael sudah siap menahan tubuh perempuan itu.
Kenapa ia tidak melakukannya sejak tadi?
Raffael menggendong tubuh perempuan itu, membawanya masuk ke dalam mobil. Kini semua menjadi lebih mudah.
****
"Raffael?" Utari mengernyit heran saat melihat putranya datang dengan Syaqila di gendongannya. "Ada apa dengan kakakmu?"
"Dia tidur," jawab Raffael beralasan. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa ia terkena masalah yang lebih besar lagi. "Dimana beruang besar ini harus kuletakkan, Ma?"
Raffael meringis kecil saat sebuah cubitan terasa di pinggangnya.
"Dia bukan beruang, Raffa. Dia kakakmu!" Utari menekankan. Ia memang tahu hubungan dua anaknya itu tidak begitu baik, jadi wajar saja saat Utari mendengar dua orang itu saling melempar ejekan. Utari hanya berharap ke depannya hubungan mereka bisa lebih baik dari ini.
"Terserah." Raffael menjawab tak peduli. "Jadi, harus kuletakkan di mana kakakku yang gemuk ini? Apa harus kujatuhkan? Tanganku mulai kebas."
"Ya Tuhan! Jangan sampai menjatuhkannya, sayang." Utari menjadi panik saat mengetahui jika Raffael sudah mulai pegal karena berat badan Syaqila. Padahal Raffael berbohong. Dia berkata seperti itu karena ia memang tidak ingin menggendong Syaqila lebih lama.
Terlebih, dengan keadaan pakaian perempuan itu yang sedikit berantakan. Pemandangan di depannya itu sangat mengganggu.
"Ini. Tidurkan dia di sini." Utari mengosongkan satu sofa panjang, membiarkan Raffael membaringkan Syaqila di sana.
"Aku ingin pergi sekarang."
"Tunggu dulu!" Utari menahan saat putranya itu sudah bersiap melangkahkan kaki untuk meninggalkan butik.
Raffael menatap ibunya itu dengan sorot malas. "Apa lagi?"
"Siapa yang mengijinkanmu pergi? Mama sudah bilang kan jika mama menyuruhmu dan Syaqila datang ke sini? Bukan berarti kamu bisa pergi setelah mengantarkan kakakmu itu."
"Aku tidak mau lebih lama di sini." Raffael melihat sekitarnya dengan tidak nyaman. Bukan hanya karyawan di butik itu, pengunjung di sana juga terus memperhatikannya dengan pandangan yang membuat Raffael bergidik ngeri. Mereka menatapnya seolah ia adalah makanan yang menggiurkan.
"Hanya sebentar, Raffa. Setelah itu kamu bisa pulang bersama kakakmu," ucap Utari membujuk.
"Kenapa harus denganku lagi?" Raffael memprotes. "Dia kan bisa pulang sendiri."
"Syaqila tidak bisa membawa mobil setelah kecelakaan dua tahun lalu. Dia selalu menggunakan taksi untuk pergi kemana pun." Utari menjelaskan supaya Raffael mengerti bagaimana keadaan Syaqila. "Jika kamu ada di sini, apakah mama tega membiarkan Syaqila pergi sendirian?"
Raffael mendengus kasar. Dia baru beberapa hari di sini, tapi tak terhitung berapa kali ia direpotkan oleh kakak tirinya itu. Jika saja bukan karena orang tua mereka, Raffael pasti sudah merundung perempuan itu sejak pertama kali mereka bertemu lagi setelah enam tahun lamanya.
Syaqila terbangun karena keadaan sekitarnya terdengar begitu bising. Saat kedua matanya terbuka, Syaqila terkejut. Dia membangunkan tubuhnya dengan cepat. Pandangannya menyapu sekitar. Satu pertanyan bersarang di kepalanya.Ini dimana?"Kau sudah sadar?"Suara dingin itu mengejutkan Syaqila. Dia sempat berpikir itu suara hantu. Namun dugaannya terpatahkan saat ia menemukan sosok adiknya yang menyebalkan berdiri di sampingnya.Syaqila ingin mengutuk pria itu yang sayangnya terlihat lebih mempesona dari sebelumnya.Sial! Siapa yang menyuruh pria itu mengenakan tuxedo? Dengan balutan pakaian itu, Syaqila bahkan nyaris mimisan melihatnya.Namun, demi menjunjung tinggi harga dirinya, Syaqila menahan segala pujian untuk pria itu. Meski hatinya benar-benar menggila hanya karena melihat rupanya."Kau! Bantu dia berganti pakaian." Raffael menyuruh salah satu karyawan butik di sana untuk membantu Syaqila.Sejak tadi perempuan itu terus berdiri di sana, mencuri pandang ke arah Raffael dengan waj
Syaqila tak bisa melupakan apa yang Raffael ucapkan padanya saat di ruang ganti. Tubuhnya bergemetar untuk sesaat, ketakutan. Dia khawatir jika pria itu benar-benar akan melancarkan niatnya. Bagaimana jika setelah ini ia tidak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan? Syaqila meremas rambutnya frustasi. Dia benar-benar menyesal atas tindakannya dulu. Andaikan ia bisa sedikit lebih dewasa, ia mungkin tidak akan menumbuhkan dendam di hati orang lain untuknya."Nona, jangan lakukan itu." Salah satu karyawan yang bertugas membantu merias Syaqila segera menegur saat tangan perempuan itu meremas rambutnya sendiri. Mengacaukan tatanan rambut yang semula nyaris sempurna. Kini ia harus mengulangnya lagi. "Rambut Anda jadi berantakan lagi."Syaqila dapat mendengar dengusan kasar karyawan di belakangnya. Sepertinya dia cukup kesal karena apa yang Syaqila lakukan."Maafkan aku.""Cobalah untuk rileks, Nona. Ini bahkan hanya foto keluarga, bukan foto pre wedding. Anda tidak perlu terlalu gugup."Si
Syaqila mencebik kala Raffael pergi meninggalkannya sendirian di sini. Pria itu bahkan tak mau menunggunya. Menjawab pertanyaannya dengan gumaman yang sama sekali tidak ada artinya.Apakah sebenci itu Raffael padanya?Syaqila mencoba mengerti. Kesalahannya pada pria itu terlalu banyak, terlalu besar. Masih untung pria itu tak memiliki niat untuk mendatangkan pembunuh bayaran untuknya.Namun, Syaqila masih berjaga untuk kemungkinan terburuk. Mungkin saja Raffael ingin membuat Syaqila lebih menderita. Mungkin pria itu ingin membunuh Syaqila dengan tangannya sendiri.Kacau!Syaqila meraup wajahnya kasar. Hanya dengan memikirkan bagaimana dendam Raffael padanya saja sudah membuat kakinya bergemetar. Dia tidak sanggup untuk berdiri. Rasanya terlalu takut.****Makan malam kali ini terasa jauh lebih dingin dan mencekam. Atau mungkin, itu hanya berlaku untuk Syaqila. Karena Raffael yang duduk di seberangnya tampak biasa. Pria itu masih dapat menikmati makanannya dengan santai.Orang tua mere
Jeslyn semakin membenci Syaqila, mahasiswi yang membuat dirinya tergeserkan sebagai primadona. Dia juga dengan lancang mendekati Raffael, pria yang diincar Jeslyn sejak ia menemukan pria itu di kampus pertama kali.Untuk posisi perempuan terpopuler di kampus, Jeslyn mungkin masih bisa mengalah. Tapi tidak untuk mendapatkan Raffael.Karena Syaqila yang berani mengibarkan bendera perang padanya, Jeslyn tidak akan segan membalasnya dengan kejam."Aku ingin berita tentang Syaqila yang menggoda Raffael tersebar luas di universitas."Seseorang yang diperintah oleh Jeslyn itu tampak menyeringai. Dia akan dengan senang hati menerima tawaran itu asalkan bayaran yang diberikan cukup menggiurkan."Baik, Jeslyn. Aku pastikan berita ini akan sampai ke semua telinga para mahasiswa."Jeslyn mengangguk puas. Kini hanya tinggal menunggu berita itu tersebar. Jeslyn yakin, orang-orang akan mulai menatap Syaqila dengan pandangan berbeda.Di tempat lain, Raffael terkejut saat teman-temannya membombardir d
Syaqila terjaga. Dia melihat sekitarnya. Tampaknya saat ini ia masih berada di klinik. Dengan kekuatannya yang tersisa, Syaqila membangunkan tubuhnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk di brankar.Tirai di sampingnya tiba-tiba terbuka. Orang yang datang itu ternyata adalah ibunya. Dia terlihat lega saat mendapati Syaqila sudah tersadar dari pingsannya."Syukurlah. Mama pikir kamu tidak akan cepat sadar," ucap Utari penuh syukur. "Syaqil, mama turut bersedih atas apa yang menimpamu. Tapi, hal ini tak membuat kamu lepas dari kesalahan.""Apa?" Syaqila mengerjap tak mengerti. Dia merasa tak melakukan kesalahan apapun. Masalah ini terjadi karena Jeslyn yang salah paham terhadap hubungan antara dirinya dengan Raffael. Meski berusaha mengingat apa saja yang telah dia lakukan, Syaqila tetap tak bisa menemukan dimana letak kesalahannya."Ingatlah Raffael itu adikmu. Meski kalian hanya saudara tiri, rasanya tak pantas jika kamu menggodanya."Syaqila tak percaya dengan apa yang ia dengar ini
Syaqila segera memeluk Diandra kala temannya itu sengaja datang untuk menjenguknya. Syaqila tak sakit, hanya mentalnya tak mungkin baik-baik saja setelah masalah besar yang menimpanya. Belum lagi pandangan mengintimidasi orang-orang terhadapnya, membuat Syaqila semakin merasa terkucilkan. Melihat Diandra saat ini, seseorang yang masih peduli dan percaya padanya, Syaqila tak bisa menahan air matanya. Tangis yang tertahan menyesakkan rongga dada itu kini pecah seketika.Diandra pun ikut menangis. Dia turut bersedih melihat keadaan Syaqila dan masalah yang menimpa sahabatnya itu. Andai saja dia bisa menolong kemarin, mungkin keadaan sahabatnya tidak akan seterpuruk ini."Kau harus kuat. Aku yakin kau akan mampu menghadapi situasi ini," ucap Diandra, meyakinkan dan menenangkan. Dia tahu Syaqila tidak selemah itu. Satu-satunya yang membuatnya lemah mungkin karena ibunya sendiri yang memilih untuk tidak mempercayainya. "Aku tahu kau tidak mungkin melakukan itu. Seseorang sengaja menyebarka
"Kacau!"Matthew tidak bisa menahan emosinya saat dia dikalahkan oleh seorang pria muda yang seusia dengan putrinya. Harga dirinya terasa tercoreng karena ia tidak berdaya di depan bocah tengik itu. Dia dengan arogannya menatap Matthew dan melayangkan ancaman yang sialnya membuat ia tak berkutik.Bagaimana mungkin pria itu berani mengancamnya? Ancaman yang dilayangkan pria itu memang tak main-main. Dia memegang kartu As-nya. Jika Matthew tidak mengalah tadi, maka reputasinya akan hancur seketika."Aku harus menyingkirkannya," desis pria itu, penuh dendam.Ini adalah cara yang biasa ia lakukan setiap kali ada seseorang yang nekat mencari masalah dengannya.Sayangnya, Matthew tidak tahu jika Raffael bukan orang yang mudah ia singkirkan.****Di lain tempat, Raffael yang sedang di perjalanan bersama pengacaranya mendadak harus berhenti karena mobil mereka dihadang oleh sekelompok orang.Raffael melirik ke depan, menemukan sekelompok orang dengan wajah sangar, memegang senjata tajam."Se
"Ayah, apa yang Ayah coba lakukan?"Mendengar apa yang dibicarakan oleh beberapa anak buah ayahnya, Jeslyn segera mendatangi ayahnya dan meminta penjelasan."Ayah mencoba mencelakai Raffael?""Apa kau masih belum mengerti, Jeslyn?" Matthew menatap putrinya itu dengan tajam. Hanya karena seorang pria, putrinya itu berani membangkang padanya sekarang. "Dia baru saja membuatmu dalam masalah. Dan dengan kurang ajarnya dia menantang ayah secara terang-terangan. Kau pikir aku harus diam saja menghadapi bocah sialan itu?!"Bentakan ayahnya tak lantas membuat Jeslyn takut. Gadis itu justru mendengus sembari melipat kedua tangannya di dada. Dia sama sekali tidak mau mendengar alasan ayahnya yang menurutnya tidak penting."Jika Ayah menyakitinya, aku akan membongkar semua kebusukan Ayah pada media!" ancam Jeslyn."Anak bodoh! Jika reputasiku hancur, maka hidupmu juga akan hancur, sialan!" maki Matthew. Kebencian Matthew terhadap Raffael kian membesar. Gara-gara pria itu, Jeslyn sekarang bahkan
"Kau tahu? Katanya anak itu masuk rumah sakit lagi.""Maksudmu anak aneh itu?" tanya Romeo, menatap istrinya."Namanya Raffael," Emily meluruskan. Meski tingkah Raffael memang sedikit aneh, rasanya tak pantas jika mereka menyebutnya seperti itu. "Jangan panggil dia begitu. Bagaimana pun, dia masih cucu kita.""Sekarang, apa lagi?" Romeo sudah mendengar sebelumnya tentang apa yang terjadi. Dia cukup prihatin dengan kehidupan cucu laki-lakinya itu. Dia sangat tertutup. Dan tingkahnya juga sedikit aneh. Romeo sempat mendengar jika putranya memanggil psikiater untuk bocah tersebut. Sepertinya memang dia memiliki gangguan dalam psikisnya."Entahlah." Emily menghela napas. "Kudengar dari Utari, dia menemukan Raffael tak sadarkan diri saat ia hendak mengantarkan makan malam untuknya.""Sepertinya dia terlalu banyak mengonsumsi obat." Romeo mendengus, tampak tak senang. "Bukankah Fabian sudah mengawasinya? Mengapa anak itu masih sempat-sempatnya memiliki obat itu?""Dia tidak akan mudah berhe
"Aku menyerah."Syaqila sudah berusaha untuk bertahan. Tapi waktu yang dia lalui tidak menghasilkan apapun selain rasa sakit dan kecewa. Dia semakin menyadari, jika Raffael tak bisa memberikan apapun.Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kakek dan neneknya dengan raut wajah bersalah."Maaf jika mengecewakan kalian. Tapi, aku sudah tak bisa lagi meneruskan ini."Emily menghela napas. Meski sedikit kecewa, dia berusaha mengerti posisi Syaqila. Menghadapi sikap Raffael memang menguras banyak kesabaran. Cucu laki-lakinya itu memiliki banyak sifat yang menyebalkan. Sangat wajar rasanya jika pada akhirnya Syaqila memilih untuk menyerah daripada terus berjuang hanya untuk semakin melukai hatinya."Kami tidak marah." Emily berusaha menghiburnya. Dia tak akan menyalahkan Syaqila. Mereka sendiri yang membebaskannya untuk mengambil keputusan. Saat Syaqila datang menemui mereka untuk mengakhiri ini semua, mau tidak mau mereka harus menerimanya."Apa dia sudah sangat keterlaluan?" Romeo hany
Syaqila menghela napas malas. Rencana yang sudah ia susun rapi tak bisa ia jalankan. Sore tadi neneknya menghubunginya. Ia disuruh untuk datang ke sebuah restoran. Kakek dan neneknya memaksanya untuk menghabiskan waktu makan malam bersama Raffael. Ini bisa disebut kencan secara paksa. Syaqila sama sekali tak merasa senang menyambut saat ini.Disaat ibunya dengan heboh memilihkan pakaian yang tepat untuknya, Syaqila tak merasa bersemangat sedikit pun.Tadinya dia ingin pergi bersama Diandra, pergi ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan uang. Tapi, rencana itu harus batal karena perintah dari kakeknya. Syaqila tak bisa menolak. Dia yakin Raffael pun akan setuju dengan terpaksa.Syaqila memiliki waktu dua jam sebelum acara dimulai. Dia sudah menimbulkan kehebohan di rumah hanya untuk persiapan. Dan tentunya yang bersemangat menyiapkan semuanya bukanlah dirinya, melainkan ibunya."Pakai yang ini saja." Utari memberikan sebuah gaun berwarna navy pada putrinya itu. Dia rasa, gaun itu adal
Melihat Rui berhasil dan kembali akrab dengan Raffael, Freya merasa iri. Dia memang biasa-biasa saja pada awalnya, karena ia sendiri masih tak yakin apakah Rui akan berhasil atau tidak. Tapi, setelah melihat akhir ini, Freya pun merenggut. Dia merasa tidak terima."Apa aku juga harus minta maaf?" Freya meminta pendapat Ando. Jawaban yang diberikan pria itu mungkin bisa membantunya. Karena sebelumnya, Rui pun meminta pendapat mereka sebelum memutuskan untuk menemui Raffael.Ando mengedikkan bahu. "Itu terserah kau, Freya."Ando tahu, dibanding Rui, Freya masih menyimpan perasaan kesal pada Raffael. Karena melihat bagaimana pria itu memperlakukan seorang perempuan dengan buruk, membuat Freya ikut tersinggung karenanya.Sebagai sesama perempuan, Freya hanya berusaha menyadarkan Raffael untuk lebih bisa menghargai mereka."Rasanya tidak rela." Freya menghela napas kasar. Berat rasanya ketika dia dipaksa mengakui dirinya bersalah, padahal menurutnya ia sudah melakukan sesuatu yang benar. N
"Hei."Jeslyn berdecak, merasa risih dengan tindakan Rui yang sengaja menusuk lengannya dengan pulpen."Bagaimana kau bisa masih baik-baik saja dengan Raffael?" Rui merasa ini tidak adil. Dia sudah membela Jeslyn saat itu, tapi yang terkena dampaknya justru hanya mereka. Perempuan itu sendiri tampak tidak terpengaruh. Dia masih bisa mendekati Raffael. Hubungannya dengan Raffael tidak ada yang berubah. Kontras sekali perbedaan antara mereka."Memang kenapa?" balas Jeslyn, sewot. "Apa kau berharap dia menjauhiku juga?""Ini terasa tidak adil." Rui merenggut kesal. "Kenapa dia marah pada kami, sedangkan padamu tidak?""Hei! Kau berkata seolah ingin aku juga dimusuhi olehnya!" protes Jeslyn. Dia tidak akan mau jika sampai Raffael benar-benar melakukannya."Memang benar. Bukankah Raffael tidak sepantasnya memperlakukan kita seperti ini?" Freya ikut menanggapi. Dia menatap teman-temannya dan kembali bicara, "Jika dia bisa tetap bersikap biasa pada Jeslyn, seharusnya dia tak perlu memusuhi k
"Bagaimana?" Diandra bertanya antusias. "Apakah ada perkembangan tentang hubunganmu dengannya?"Dia selalu bersemangat untuk menanyakan hal ini. Tapi tidak dengan Syaqila. Dia justru enggan membahasnya. Ia sudah bosan mendengar orang lain bertanya tentang hal serupa. Akhir-akhir ini, orang-orang di sekitarnya seakan penasaran tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Raffael. Kadang, Syaqila merasa terganggu dengan semua ini."Aku tidak tahu," jawab Syaqila acuh. Dia memilih fokus mencatat, tak mau repot-repot menoleh pada sahabatnya. "Bisa tidak usah bicarakan tentangnya? Aku bosan."Tidak dimana pun, Syaqila seakan terus mendengar seseorang bertanya tentang pria itu. Telinganya sudah bosan."Tapi aku penasaran," rengek Diandra. Mana bisa dia diam saja memendam banyak pertanyaan di kepalanya? Sedangkan saat ini jawaban dari semua rasa penasarannya sudah ada di depan mata. Diandra hanya perlu mengulik sedikit supaya Syaqila mau sedikit berbagi cerita padanya. "Ayolah! Kau mana tega
Raffael baru keluar dari lift. Dia menemukan Jeslyn yang tengah duduk menunggunya. Dalam hati Raffael merasa heran, bagaimana perempuan itu tahu tempat dia bekerja?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raffael, berjalan menghampirinya."Menemuimu." Jeslyn tersenyum. Perempuan itu mendekat padanya dan berbisik, "Aku baru menemukan satu hal yang menarik. Kuyakin kamu pasti terkejut."Raffael melengos, mendorong Jeslyn dengan perlahan. Dia tetap menjaga sikapnya supaya tidak menyakiti perempuan itu. Terlebih, saat ini mereka berada di kantor tempat ia bekerja."Apa yang kamu inginkan?""Kau harus mendengar dulu apa yang akan aku katakan." Jeslyn memegang lengan pakaian pria itu. Dia sedikit memaksa.Raffael sebenarnya enggan. Tapi dia merasa jika Jeslyn saat ini tidak berpura-pura. Dia mungkin benar-benar memiliki hal yang harus didengar olehnya. Entah itu kabar baik atau buruk, Raffael harus memastikannya."Baiklah." Raffael memilih untuk mengalah saat ini. "Ikut aku."Dia membawa Jesl
"Bagaimana harimu?"Utari menyambut antusias saat melihat putrinya kembali dari kampus. Dia menarik Syaqila, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.Sebelumnya dia sudah mendengar jika putrinya itu menerima permintaannya untuk menjalin hubungan dengan Raffael. Awalnya Utari merasa keberatan. Tapi, setelah dipikirkan kembali, tidak ada salahnya membiarkan putrinya untuk menjadi salah satu cucu menantu Romeo. Syaqila tidak akan kesusahan. Dengan harta yang diwarisi Raffael nanti, dia bisa hidup dengan harta bergelimang.Memikirkan semua itu membuat Utari semakin bersemangat untuk menyuruh putrinya melakukan banyak cara supaya Raffael semakin mudah tertarik padanya."Hariku berjalan seperti biasa." Syaqila menjawab dengan memandang ibunya heran. Tidak biasanya ibunya itu bertanya. "Ada apa, Ma?""Apa kau bertemu Raffael hari tadi?"Utari hanya ingin memastikan sejauh mana hubungan mereka berkembang. Semakin cepat akan semakin baik terdengar. Karena dengan itu, Romeo akan puas dengan usaha
Romeo dan Emily seolah sengaja memberikan waktu bagi Raffael dan Syaqila untuk berbincang-bincang. Tapi apakah itu berguna? Sedangkan sejak tadi Raffael bersikap acuh tak acuh. Pria itu lebih senang menatap handphone-nya daripada bicara dengan Syaqila. Menurutnya, perempuan itu tidak asik diajak bicara.Syaqila yang merasa jenuh menghela napas kasar. Dia merasa kesal, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Sikap Raffael memang seperti ini.Syaqila menginginkan kehadiran neneknya yang entah pergi kemana bersama kakeknya. Syaqila lebih senang jika orang tua itu ada di sini. Daripada menghabiskan waktu dengan Raffael yang sama sekali tak menganggap kehadirannya.Syaqila melirik jam di tangannya. Ini sudah lima belas menit, dan neneknya sampai sekarang tidak kembali."Ada apa denganmu?" tanya Raffael. Merasakan kegelisahan perempuan di sisinya itu membuat dirinya terganggu."Aku hanya bingung, kemana nenek? Kenapa dia tidak kunjung kembali?" balas Syaqila, mengutarakan keresahannya."Tidak p