Sore itu gerimis membasahi jalanan kota. Untungnya Lisa dan Bima buru-buru naik angkutan umum dan hujan berhenti beberapa saat kemudian. Mereka tiba di rumah dengan aman tanpa basah sedikit pun. Saat Lisa membuka pagar rumah nampak Bundanya sedang duduk di kursi teras seorang diri sambil menggenggam mug hijau kesayangannya. Lalu menyesap isinya pelan-pelan.
“Hai Bunda,” Lisa menyapa ibunya sekilas, melepaskan sepatu lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Bunda menanggapinya dengan mengangkat mug di tangannya dan tersenyum. Gadis itu melempar tas ranselnya ke sembarang tempat, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu.
“Haloo Bundaaa,” suara Bima terdengar menggelegar menyapa, “Bunda membuat panekuk hari ini?”
“Tentu saja. Ambil saja di dapur. Ada selai nanas dan madu, ambil mana pun sesukamu.”
Bima meringis senang. “Asyikkk!” setelah melepas sepatunya lelaki itu melengos masuk dan tidak menghiraukan keberadaan Lisa sedikit pun. Hal ini sudah lumrah bagi mereka karena Bima memang sudah seperti keluarga. Persahabatannya dengan Lisa sudah terjalin sejak kecil, ditambah lagi rumah mereka terpaut dekat, hanya selisih dua rumah dari sini. Bahkan Bima juga tidak jarang menginap saat perayaan tahun baru.
Rumah Bunda yang minimalis bercat putih tulang disertai halaman rumput yang agak luas membuat siapa pun betah berlama-lama singgah. Terasnya tidak begitu besar, ada dua kursi antik bergaya kuno yang biasa dipakai untuk menikmati teh sambil bersantai sore. Saat memasuki ruang tamu, pandangan akan langsung menghadap ke dapur yang bersebelahan dengan lorong kecil menuju tempat makan. Lorong itu juga menghubungkan ruang keluarga dan satu ruangan kerja sederhana yang biasa digunakan untuk Bunda mengerjakan naskah-naskahnya. Di sebelah ruang keluarga juga terdapat tangga menuju lantai dua, di mana ada dua kamar tidur dengan masing-masing kamar mandi dan balkon yang lumayan besar menghadap ke Barat.
Bima menghampiri Lisa sambil membawa dua piring kecil dengan panekuk di atasnya. Lelaki itu duduk bersila dengan santainya. Saat ia memakan suapan pertama, terdengar langkah Bunda masuk ke dalam ikut bergabung bersama mereka.
“Thanks,” kata Lisa kemudian, gadis itu lalu memotong panekuknya dan memasukkannya ke dalam mulut. Begitu Bunda duduk di antara mereka, Bima langsung berceloteh seperti biasa. Tentu saja lelaki itu mengadukan perihal kejadian hari ini di sekolah, termasuk Lisa yang pingsan dan membuat suasana upacara menjadi kacau. Lisa pun hanya mendengarkan tanpa memotong sedikit pun.
“Bunda harus tau, tadi Lisa pingsan dan mengacaukan upacara kami, bahkan kepala sekolah harus menenangkan semua barisan yang berhambur ingin melihatnya. Lisa pingsan lantaran dia sengaja melewatkan sarapannya untuk yang ke sekian kalinya. Oh, sungguh, anak ini merepotkan sekali, membuatku panik setengah mati,” jelas Bima, tatapannya kini beralih pada Lisa, “Lihat, ini akibatnya kalau kau sering mengabaikan teleponku di pagi hari.”
“Dan kau amat bangga karena menjadi alarm pribadiku?” Lisa mencibir.
“Seharusnya kau berterima kasih karena ada teman sebaik aku yang selalu mengkhawatirkanmu, manis.”
Bola mata lisa berputar, itu pertanda jika ia sedang lelah.
“Baiklah, terima kasih Nek.”
“Oh, really? Tunggu dulu anak-anak, simpan semua peredebatan kalian untuk nanti,” ujar Bunda lalu menaruh mug-nya dan menatap anak gadisnya tajam, “Kau sungguh pingsan di sekolah? Melewatkan sarapanmu tanpa membawa snack sedikit pun?” tanyanya tidak percaya.
“Apakah Bunda membuat banyak panekuk hari ini? Aku mendadak berselera makan panekuk lebih banyak, kurasa jika iya sepertinya aku tidak membutuhkan makan malam kali ini,” tanya Lisa berusaha mengalihkan topik. Gadis itu sibuk melahap panekuknya.
“Lihat, lihat dia!” protes Bima, “Bahkan dia tidak ingin membahasnya sedikit pun. Ayolah, Bunda, omeli dia karena sudah membuat semua orang khawatir.”
“Bunda membuat banyak panekuk?” tanya Lisa lagi. Sebenarnya gadis itu sama sekali tidak menemukan masalah yang berarti pada tubuhnya, terlebih lagi setelah mengisi perutnya dengan roti coklat tadi pagi, lalu ditambah dengan makan siang soto ayam bersama Bima di kantin. Upaya Bima untuk menceritakan tragedi pingsan saat upacara merupakan hal yang kurang tepat, karena bagaimana pun juga Lisa tidak senang melihat ibunya mengkhawatirkan hal yang remeh temeh.
“Bunda, mulai besok aku janji akan lebih giat meneleponnya agar dia bangun lebih pagi dan tidak melewatkan sarapannya," tukas Bima mengambil ponsel di sakunya dan menekan layarnya beberapa kali. Lelaki itu kemudian menunjukkannya pada Bunda dan berkata, “Nah, sudah. Aku sudah memasang banyak pengingat agar aku tidak lupa untuk menelepon Lisa. Oh dan tentu saja Lisa harus membuat sarapan untuk Bunda juga. Bukan begitu, Bunda?”
Mendengar Bima yang bereaksi berlebihan membuat Bunda menahan diri untuk tidak tertawa.
“Oh, dear, maafkan Bunda karena tidak bangun lebih pagi dan membuatkanmu sarapan. Tapi perutmu baik-baik saja kan?”
“Tentu saja,” ucap Lisa mantap, kemudian berdiri dan berjalan ke dapur mengambil satu buah panekuk dan menyiramnya dengan sedikit madu di atasnya. “Jangan sekali-kali Bunda percaya pada lelaki itu. Dia sungguh pembohong kelas kakap. Khawatir bagaimana? Seingatku dia malah berlagak tidak mendengar saat aku mengeluh lapar di tengah upacara.”
“Besok jangan sampai melewatkan sarapan lagi. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang!” tegas Bima dengan nada menuntut. Melihat perlakuan Bima yang sedikit berlebihan, Lisa jadi bingung, sebenarnya yang pingsan itu dia atau Bima?
Tapi Lisa menanggapinya dengan mengangkat bahu tidak peduli. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Bima mengomelinya perihal kebiasaan pola makannya yang buruk, bahkan rasanya di segala hal Bima juga seringkali merecoki gadis itu. Lama kelamaan Lisa merasa bahwa sikap Bima lebih mirip seperti Neneknya sendiri. Tapi karena sudah cukup hapal dengan kebiasaan Bima yang seperti ini, Lisa lebih banyak diam dan menurut saja. Toh, sebenarnya maksud dan tujuan sahabatnya itu baik.
“Lagi pula siapa yang akan menyelinap pergi ke kantin di tengah-tengah upacara hanya untuk membelikanmu kudapan?” tanya Bima lagi.
Lisa menyipit. Sebenarnya ada.
“Kau bisa lihat sendiri saat ini keadaanku sungguh baik-baik saja. Sudah, jangan membahas itu lagi,” bisik Lisa, ia kemudian menyendok panekuknya lagi dan menunjukkannya, “Kau tidak ingin lagi?”
“Tidak. Aku sudah cukup kenyang. Oh, badanku lengket sekali. Sepertinya aku harus segera pulang dan mandi,” ujar Bima seraya menghabiskan suapan panekuk terakhir di piringnya sendiri lalu beranjak dari duduknya, membawa piring kotor dan berjalan menuju wastafel.
“Taruh saja di situ. Biar Bunda yang mencucinya,” ucap Bunda.
“Thanks Bunda!” ujar Bima menengadah, tapi kemudian lelaki itu mengambil ranselnya dan berpamitan, “Bima harus pulang.”
“Baiklah, hati-hati di jalan. Sering-seringlah ke sini walau hanya untuk mengomeli anak gadis Bunda, ya,” pesan Bunda sambil mengacak rambut Bima dengan sayang. Mendengar itu Lisa hanya menggelengkan kepalanya heran.
“Siap Bunda!” tegas Bima, “Ah, panekuk Bunda enak sekali. Sepertinya besok aku harus mampir lagi.”
Lisa memperhatikan mereka berdua sambil menikmati panekuknya. Gadis itu tidak berkomentar apapun. Setelah Bima pergi, Bunda berjalan ke arah jendela dan melambaikan tangannya.
"Baru kali ini aku punya teman laki-laki yang banyak bicara seperti dia,” gumam Lisa.
“Tapi menurut Bunda, Bima anak yang baik.”
“Yayaya.”
Bunda tersenyum tipis.
“Bunda jadi ingat dengan permintaanmu semalam. Sepertinya Bunda akan menyetujuinya.”
“Permintaan yang mana lagi?” alis Lisa menyerngit.
“Tentang kau yang ingin berpacaran dengan seseorang.”
Bunda menaruh mug-nya di atas meja dan melenggang duduk di kursi pantry, lalu membuka mulutnya lagi, “Kau tau, teman seperti Bima memang merepotkan. Dia selalu merecokimu setiap hari namun sebenarnya itu adalah bentuk kepeduliannya terhadapmu yang berlebihan. Tapi ketahuilah bahwa dia adalah … teman yang baik. Bahkan bisa jadi dia akan menjagamu lebih dari dirimu sendiri.”
“Jadi maksud Bunda?”
“Ah, bukan maksud Bunda ingin menjodohkanmu dengannya,” kata Bunda menggeleng cepat. “Justru Bunda berharap kalian memang sepantasnya untuk berteman selamanya.”
“Lalu hubungannya dengan permintaanku semalam?”
“Maksud Bunda, melihatmu memiliki teman sepertinya malah membuat Bunda jauh lebih tenang. Jika suatu saat kau memiliki seorang kekasih di luar sana, Bunda yakin seribu persen Bima akan melindungimu dan tidak akan membiarkan lelaki mana pun menyakitimu. Bukankah begitu?”
Lisa mendengarkan Bundanya lalu mengangguk setuju. Ia tidak menyangka Bunda akan berpikir sejauh ini. Tanpa sadar gadis itu terkekeh pelan. Walaupun menyebalkan, ternyata memiliki sahabat seperti Bima ada gunanya juga.
“Kata-kata Bunda ada benarnya.”
“Ah, atau kalau perlu jadikan saja dia kekasihmu?” Bunda melipat kedua lengannya di depan dada.
“Yang benar saja!” Lisa tertawa sumbang.
“Mungkin jika itu terjadi, dia akan lebih banyak merecokimu ini itu setiap menit, kau akan pusing sampai kepalamu akan pecah!” ejek Bunda. Tawa Lisa semakin keras.
“Tidak, ah. Tapi Bunda tidak begitu merekomendasikannya untuk dijadikan sebagai pacarmu,” lanjutnya, “Karena orang seperti Bima harus benar-benar murni dijadikan sebagai teman.”
Lisa tersenyum tipis, membereskan piringnya ke wastafel dan menyalakan kran air.
“Kau ingin tau alasan Bunda mengatakan ini?” tanya Bunda penasaran.
“Memangnya kenapa?” Lisa bertanya balik tanpa menoleh. Gadis itu sibuk mencuci piring-piring yang ada di hadapannya.
“Hubungan sepasang kekasih akan ada kemungkinan untuk berpisah. Entah perasaan yang berubah atau alasan lainnya. Istilahnya ... akan menjadi mantan sewaktu-waktu,” jawab Bunda. “Cinta akan membawamu pada dua kemungkinan. Entah bahagia, atau rasa sakit karenanya.”
Lisa mendengarkan Bunda dengan seksama.
“Lalu?” ia memaksa seulas senyum. “Kalau menjadi teman?”
“Kalau perempuan dan laki-laki memutuskan untuk menjadi teman tanpa ada yang jatuh cinta, kalian mungkin akan selamanya bersama. Apa kau pernah mendengar ada istilah mantan sahabat? Kecuali jika salah satu dari kalian tiba-tiba jatuh cinta, selanjutnya keadaan akan berbeda,” Bunda menjelaskan dengan tenang, “Karena tentu saja hubungan persahabatan itu selamanya tidak akan sama lagi.”
***
Lisa menutup buku geografinya dan menumpuknya di antara buku-buku pelajaran yang lain. Usai mengobrol ini-itu dengan bunda, gadis itu melirik jam dinding kamarnya. Pukul setengah sembilan malam, rasanya masih terlalu sore untuk beranjak tidur. Ia memutuskan untuk menyiapkan seragamnya untuk besok dan menyiapkan buku pelajaran sesuai dengan jadwal yang ia sematkan di meja belajarnya.
“Geografi, olahraga, kesenian,” Lisa menyipitkan matanya, “Matematika,” ia berbicara dengan dirinya sendiri sambil mencari bukunya lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Tunggu dulu ... besok ada kelas olahraga?”
Deg! Lisa terhenyak. Besok ada jadwal mata pelajaran olahraga. Ia terduduk di kursi belajarnya dan menimang-nimang. Perasaan khawatir langsung hinggap di kepalanya, tentu saja ia sedang menduga-duga hal yang sebenarnya tidak ia inginkan. Ia kemudian segera menyambar ponselnya, mencari nama Bima di kontak ponselnya lalu menekan tombol call.
Begitu nada dering tersambung, Lisa mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Tak lama kemudian, nada dering itu berubah dengan suara seseorang yang sangat dikenalinya. Bima. Tentu saja.
“Allo?”
“Hei, Bim, kuharap kau sedang tidak sibuk.”
“Ada apa?” Bima tertawa kecil.
“Aku ingin menanyakan sesuatu tentang mata pelajaran besok,” Lisa langsung mengutarakan maksudnya, “Apa kau tau semua nama guru pelajaran di kelas kita?”
“Tentu saja. Kenapa?”
“Siapa nama ... guru olahraga di kelas kita?”
“Guru olahraga? Tunggu,” ucap Bima pendek. Hening beberapa saat, tapi kemudian suaranya terdengar lagi, “Sebentar, kau meneleponku hanya untuk menanyakan siapa nama guru olahraga kelas kita besok?”
“Siapa?” tanya Lisa tidak sabar.
“Pak Helmi,” jawab Bima datar, “Memangnya kau tidak punya akun sistem akademik siswa, sampai-sampai harus menanyakan hal sepele seperti ini lewat telepon? Di situ bahkan kau bisa mengecek siapa nama staf tata usaha sekalipun yang bertugas di hari selasa.”
“Maaf aku melupakannya. Sungguh."
Tanpa sadar Lisa menepuk dahinya sendiri, Tapi sejujurnya ada sepercik rasa lega di dalam hatinya. Setidaknya ia tidak perlu repot-repot menghindari mata pelajaran olahraga karena sudah terlalu malas bertemu dengan Pramana. Gadis itu melanjutkan kata-katanya, “Oh, Pak Helmi? Syukurlah kalau begitu.”
“Memangnya kenapa? Kedengarannya kau nampak lega sekali.”
Lisa refleks menggelengkan kepalanya. “Tidak, hanya saja ingin memastikan sesuatu.” lalu sedetik kemudian Lisa menyesal. Mengucapkan hal yang membuat Bima penasaran tentu aja bukan ide yang bagus. Lisa menebak, rasa-rasanya setelah ini ia akan mendengar rentetan pertanyaan yang bertubi-tubi dari sahabatnya itu.
“Memastikan apa?”
“Emm, memastikan,” ucapan Lisa terhenti, ia berpikir cepat kemudian ia berkata, “Mungkin karena aku tidak begitu menyukai mata pelajaran ini, jadi kurasa aku akan lebih banyak membolos."
"Hah?"
“Bim, sepertinya sudah malam. Aku harus segera tidur karena besok harus bangun pagi dan menyiapkan sarapan sesuai kata-katamu tadi sore.”
Bima terdiam sesaat. Lelaki itu mendesah pelan, tentu saja Lisa mendengarnya.
“Jadi, kau masih belum bisa menyembuhkan traumamu sendiri? Ayolah, Lisa. Kau harus segera melawan ini semua.”
Lisa melirik jam dinding lalu memutar bola matanya. Ia tidak menyangka reaksi Bima malah melenceng jauh ke arah sana.
“Tidak, bukan, hanya saja ak—”
“Kau boleh trauma dengan kolam renang, air laut, berenang atau semacamnya. Tapi ketahuilah guru olahraga hampir tidak mungkin mengajarkan bab materi renang di awal semester.”
Gadis itu sudah mengira Bima akan salah memahami ini. Tapi itu lebih baik daripada harus menjelaskan pada lelaki itu perihal sesuatu yang terjadi antara guru olahraga bernama Pramana dan dirinya. Ya, Lisa memang memiliki trauma terhadap kolam renang, laut, serta segala tempat yang terdapat air menggenang di atasnya. Itulah alasan hingga saat ini gadis itu paling anti dengan berenang. Hal ini terjadi semenjak pasca kejadian kehilangan ayahnya, entah kenapa setiap melihat laut atau pun kolam renang, gadis itu malah mengingat hal yang buruk dan membayangkan bagaimana ayahnya tenggelam dan terseret arus saat tsunami. Bahkan saat SMP Lisa seringkali membolos kelas materi berenang di pelajaran olahraga, lantaran masih trauma.
“Tapi kurasa ada yang aneh,” gumam Bima kemudian, “Aku baru tau kita memiliki guru bernama Helmi. Bahkan tadi saat upacara, kepala sekolah juga tidak menyebutkan nama itu sama sekali.”
”Benarkah?”
“Kurasa begitu. Tapi entahlah, mungkin ingatanku yang salah.”
“Aku tau,” tukas Lisa akhirnya. Gadis itu membuka mulutnya lagi, “Baiklah, kalau begitu kututup ya? Ya ... oke, sampai jumpa besok.”
Pramana menghela napas panjang begitu menutup layar laptopnya. Sebelum mengajar, pagi ini semua guru dikumpulkan untuk meeting dadakan karena ada pembahasan mengenai pergantian guru di beberapa kelas. Tadinya Pramana dipercayai untuk mengajar mata pelajaran olahraga hanya di seluruh kelas sebelas baik dari jurusan IPA, IPS maupun Bahasa. Kebetulan guru olahraga di sekolah ini ada tiga orang, dua laki-laki termasuk dirinya sendiri dan satu perempuan. Namun ternyata satu guru olahraga lelaki pengajar kelas sepuluh telah genap pensiun tahun ini, sehingga saat ini tersisa dirinya dan satu guru perempuan bernama Bu Nike. Selain guru olahraga yang berkurang formasinya, juga ada dua guru lain yang harus paripurna tugas di tahun ini. Orang itu adalah guru matematika dan bahasa Inggris. Pihak yayasan juga sudah membuka pengumuman secara terbuka terkait lowongan tersebut. Selagi menunggu posisi itu terisi, untuk sementara waktu guru mata pelajaran yang ada harus merangkap dan
Lisa mendecakkan lidah lalu memutar bola matanya. Belum sempat ia membalas perkataan Pramana, Naomi datang tanpa diminta dan menendang tulang kering kakinya pelan. Sementara Pramana hanya melirik, tidak menegur karena Lisa rupanya tidak merasa sakit sama sekali. “Berbarislah segera. Kumohon,” pinta Naomi kemudian. Lalu ia tersenyum manis pada Pramana sekilas, kemudian berlalu sambil mengikat rambutnya menjadi ikatan ekor kuda. Lisa buru-buru mengekor pada Naomi lalu berbaris bersama yang lainnya. Nampaknya gadis itu sedang tidak ingin berbicara apapun dengan gurunya. Alis Pramana terangkat, lalu ia mengangguk kecil. Baguslah, batinnya. “Alvin, kemari!” Pramana melambaikan tangannya memanggil Alvin. Siswanya itu lalu datang tergopoh-gopoh. “Tolong ambil beberapa bola basket di ruang peralatan, pintunya tidak terkunci, tapi jangan lupa menutupnya kembali nanti.” “Baik Kak!” Alvin memberi isyarat pada Bima bermaksud mengajaknya, lalu ber
“Aku sudah memperingatkanmu dua kali sebelumnya, kan?” Lisa hanya diam. Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Bima dan terus berjalan menuju kelas mereka. Kelas olahraga baru selesai sekitar lima menit lalu, dan sekarang waktunya jam istirahat pertama. “Jangan memasang wajah kesal seperti itu,” ujar Bima mengikuti langkah Lisa yang mendekati loker. Lelaki itu membuka melanjutkan ucapannya, “Lagi pula tidak ada yang menyalahkanmu. Kami semua memakluminya.” Mendengar penjelasan Bima, Lisa tersenyum masam. Memaklumi apanya? Memangnya siapa yang akan memaklumi seseorang yang ceroboh memilih ukuran setelan olahraga sehingga baju dalamnya sampai terlihat? Sepertinya Lisa lebih percaya bahwa sebenarnya teman-temannya diam-diam menertawakan dirinya di belakangnya. Ya walaupun tidak semua temannya seperti itu. Namun satu hal yang pasti, saat ini ia memang ‘malu setengah mati’. Kalau boleh jujur, walaupun niat Pramana tak lain dan tak bukan adalah melind
Pramana menghempaskan tubuhnya di kursi begitu selesai mengajar kelas terakhirnya di hari ini. Wajahnya menengadah ke atas dan ia menghembuskan napas keras. Tubuhnya cukup letih bukan hanya karena usai mengajar, tapi juga belum makan siang. Saat melirik jam dinding ruang guru, jam menunjukkan pukul satu. Bel tanda pulang siswa-siswinya memang masih kurang dua jam lagi, namun untuk guru yang memang sudah menyelesaikan kelasnya bisa meninggalkan sekolah tanpa harus menunggu. Kebetulan Pramana memang ada kuliah sore ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk ia tetap di sekolah. Akhirnya setelah berkemas, lelaki itu menenteng ranselnya dan menyambar jaket biru yang tersampir di lengan kursinya. Ia tercenung sejenak, tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini saat mengajar di kelas sepuluh IPS-1. Mengenai gadis bernama Lisa yang memakai setelan olahraga ketat, hingga berujung pada percakapannya dengan gadis itu di koridor ruang peralatan olahraga. Pramana masih mengingat raut wajah
“Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek
“Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den
“Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante
Melinda segera bergegas ke parkiran rumah sakit setelah ia menutup sambungan telepon Anjani—anak gadisnya. Saat menemukan mobil BMW silvernya, wanita itu berjalan cepat lalu memasuki mobilnya dan tak lupa memasang seat-belt. Kali ini ia mengemudikan mobilnya sedikit terburu-buru, bahkan begitu ke luar dari parkiran, ia langsung membelah jalanan sepi di hadapannya dengan kecepatan penuh. Hal ini lantaran karena Melinda harus segera pulang ke rumah merayakan ulang tahun Anjani. Sebelumnya ia sudah memesan cheese cake dan serba-serbi makanan yang sudah ia simpan di kulkas tadi pagi.Tentunya Anjani juga mengetahui itu, kecuali mengenai kado ulang tahun pemberian papa kandungnya. Khusus untuk yang ini, Melinda masih merahasiakannya dan menyimpannya dengan rapi di bawah kolong tempat tidurnya. Rencananya ia baru akan memberikannya nanti saat tiba di rumah, mengingat papa kandung Anjani yang lagi-lagi tidak bisa turut ikut merayakan ulang tahunnya. Sama sepe
Lisa memandangi setelan olahraga di tangannya sejenak dan memutar bola matanya. Saat ini gadis itu sedang berada di kamarnya sendiri. Sepersekian detik kemudian, ia melepas seragam yang melekat di tubuhnya dan menggantinya dengan setelan olahraga itu dengan gerakan secepat kilat. “Argh, dia menyebalkan sekali!” gerutu Lisa sambil memperhatikan bayangannya sendiri di cermin. “Lagi. Ini ke sekian kalinya ia menguntitku dan memberikan perhatiannya yang tidak biasa! Guru macam apa sih, Pramana itu sebenarnya? Ck.” Lisa memutar tubuhnya. Setelan olahraga baru pemberian Pramana ternyata ukurannya sangat pas. “Ah, aku merinding. Bahkan lelaki itu juga memilih ukuran yang sangat tepat. Astaga, apa dia memperhatikan lekuk tubuhku sejeli itu?” TOK! TOK! TOK! “LISA! INI BUNDA, SAYANG!” Mata Lisa membulat. Gadis itu buru-buru berlari membuka kunci pintu kamarnya. Bukannya Bunda bilang akan lembur hari ini? Pikirnya. “Bunda!” seru Li
Pelajaran sekolah hari ini berlalu begitu saja bagi Lisa. Namun entah apa yang ia pikirkan saat ini, karena ketika bel pulang berdentang bukannya segera pergi dari sekolah, tetapi gadis itu justru melangkahkan kakinya menuju gazebo dekat perpustakaan. Tiba-tiba ia malas untuk kembali ke rumah, mengingat Bunda lagi-lagi lembur, jadi sudah pasti rumahnya sepi hari ini. Begitu sampai, Lisa mengambil tempat untuk duduk di pojokan. Lalu dikeluarkannya sebuah novel yang sempat ia pinjam di perpustakaan saat jam istirahat tadi. Lisa pun bersandar dan membacanya pelan-pelan.Saat membalikkan halaman bukunya, Lisa mendengar sayup-sayup dua orang yang tengah mengobrol. Kemudian Lisa beringsut mengintip dari sela-sela pagar gazebo.“Mau ke mana kau?”“Mencari siswiku, lepaskan.”Lisa membelalakkan matanya, ternyata dua orang itu adalah Pramana dan guru olahraga wanita yang ia lihat tadi pagi.“Jangan ikuti aku lagi. Aku kan sudah
“Gila! Ini gila!” Lisa terus menerus mengutuk dirinya sendiri sepanjang jalan menuju toilet siswi. Usai kejadian ‘kecup’ di UKS tadi, gadis itu tidak bisa berhenti memikirkannya. Sensasi aneh dan mendebarkan yang ia rasakan tadi pagi memang masih melekat kuat. Sejujurnya Lisa melakukan itu karena ingin menuntaskan rasa penasaran yang ada di benaknya sendiri. Bahkan hingga detik ini dirinya masih tidak mengerti kenapa harus repot-repot menutup mata di kondisi seperti itu, seakan akan justru menunjukkan bahwa ia rela akan diperlakukan apa saja. Namun gadis itu tidak habis pikir mengapa ia mendapatkan perasaan itu bersama seseorang yang tidak pernah ia duga: Pramana, alias guru olahraganya yang super menyebalkan. Begitu masuk ke dalam toilet siswi, Lisa buru-buru menyalakan kran wastafel dan membasuh wajahnya beberapa kali dengan kasar. Lalu ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dan mendesah keras. Nampak jelas bahwa plester di dahinya basah karena ulahnya sendi
Anjani menghentikan langkahnya begitu melihat Pramana tiba-tiba menggendong salah seorang siswi dan bergegas menjauh. Ia menyerngit heran, jika melihat gelagat Pramana yang seperti itu Anjani menyimpulkan bahwa kondisi siswinya mungkin benar-benar urgent. Wanita itu mendesah keras, kali ini bukan waktunya. Ia harus mencoba membujuk Pramana dengan cara lain besok. Ingat, Anjani tidak ingin dicap sebagai guru yang tidak kompeten dan jika itu terjadi maka Pramana juga pasti akan membencinya. Anjani tentu tidak ingin itu terjadi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan kembali lagi ke lapangan. Lagi pula, muridnya dari kelas sepuluh Bahasa sudah menunggunya. “Lihat saja, Pramana, akan kupastikan kau akan kembali lagi ke pelukanku.” *** Pramana menarik kursi ke tepi ranjang dan duduk di hadapan siswinya. Tangannya sibuk menuangkan obat merah ke kapas. Ia masih belum menjawab pertanyaan Lisa sebelumnya. “Ini hanya luka lecet b
Pramana lupa, entah tertidur pukul berapa di meja kerjanya masih dengan kondisi laptop yang menyala. Namun yang jelas, beberapa jam setelahnya lelaki itu terbangun tepat saat jam weker di sebelahnya meraung-raung tanpa henti. Saat matanya memicing, ia mendapati jarum jamnya menunjukkan pukul enam. Pramana langsung terkesiap membelalakkan mata dan mematikan alarmnya. Lelaki itu buru-buru bangkit dari kursi malasnya dan menyambar handuk, lalu melesat ke kamar mandi secepat kilat. Pikirannya mengenai Anjani seketika menguap begitu saja pagi ini.Setengah jam kemudian Pramana sudah bersiap untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Lelaki itu sengaja melewatkan sarapannya karena takut terlambat. Mengingat perjalanan dari apartemennya ke sekolah memakan waktu hampir 20 menit, lelaki itu memutuskan untuk sarapan di kantin sekolah saja nanti. Ditambah lagi pagi ini Pramana harus mengajar anak kelas sepuluh Bahasa. Ia tidak boleh datang lebih lambat daripada murid-muridnya.**
Melinda segera bergegas ke parkiran rumah sakit setelah ia menutup sambungan telepon Anjani—anak gadisnya. Saat menemukan mobil BMW silvernya, wanita itu berjalan cepat lalu memasuki mobilnya dan tak lupa memasang seat-belt. Kali ini ia mengemudikan mobilnya sedikit terburu-buru, bahkan begitu ke luar dari parkiran, ia langsung membelah jalanan sepi di hadapannya dengan kecepatan penuh. Hal ini lantaran karena Melinda harus segera pulang ke rumah merayakan ulang tahun Anjani. Sebelumnya ia sudah memesan cheese cake dan serba-serbi makanan yang sudah ia simpan di kulkas tadi pagi.Tentunya Anjani juga mengetahui itu, kecuali mengenai kado ulang tahun pemberian papa kandungnya. Khusus untuk yang ini, Melinda masih merahasiakannya dan menyimpannya dengan rapi di bawah kolong tempat tidurnya. Rencananya ia baru akan memberikannya nanti saat tiba di rumah, mengingat papa kandung Anjani yang lagi-lagi tidak bisa turut ikut merayakan ulang tahunnya. Sama sepe
“Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante
“Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den
“Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek