Share

3# Bertemu Lagi

Author: Granger
last update Last Updated: 2021-06-06 18:00:16

Ketika Pak Edi memperkenalkan dan menyebut namanya, Pramana tersenyum dan melambai pada barisan murid. Saat mengedarkan pandangan, matanya terhenti pada salah satu siswi. Siswi itu berdiri di tengah, tepat di deretan pertama siswi perempuan. Seketika senyum Pramana memudar. Dia adalah gadis yang sama dengan yang ia pergoki di toko buku kemarin. Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Nyatanya dugaannya tidak meleset, gadis itu benar-benar menjadi muridnya.

Namun Pramana merasa seperti ada yang salah dengan gadis itu, ia melihat dengan jelas bahwa raut wajah gadis itu gelisah dan pucat. Gadis itu jelas sedang tidak baik-baik saja. Sesekali matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia mencoba meraih punggung teman yang ada di depannya namun tidak sampai, dan Pramana melihat bahwa temannya itu tidak menyadarinya. Gadis itu limbung, tapi tetap berusaha bertahan.   

Pramana terus mengawasi gerak-geriknya yang aneh. Gadis itu kini memejamkan matanya, ia terhuyung pelan ke arah depan, sebelah tangannya memegangi perut. Firasat Pramana mendadak buruk, ia berpikir sepertinya gadis itu akan pingsan.

Pramana tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun. “Celaka,” desisnya pelan.

“Pak,” Bu Rini, guru Bahasa Indonesia yang berdiri di sebelah Pramana berbisik. “Saya rasa siswi yang itu—”

Pramana menelan ludah, bahkan belum sempat Bu Rini menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba murid yang dia maksud terhuyung ke belakang. Pramana refleks meninggalkan barisan guru dan berlari secepat mungkin ke arah barisan murid. Tidak peduli bahwa apa yang ia lakukan justru menjadi pusat perhatian seluruh warga sekolah.

“EHHH?!”

Beberapa guru yang ada di barisan terkejut dengan langkah Pramana yang terkesan tiba-tiba. Sementara anak-anak PMR kelas sebelas yang sedang berjaga di belakang barisan terlihat kebingungan, sepertinya mereka tidak menyadari ada salah satu peserta upacara yang sedang membutuhkan pertolongan mereka. Barisan siswa-siswi kelas sepuluh seketika terbelah dan dalam hitungan detik formasi upacara otomatis berantakan.

Pramana menahan tengkuk siswinya tepat sebelum kepala gadis itu akan mendarat ke beton lapangan. Tak butuh lama, beberapa orang mulai berhambur mendekat karena penasaran apa yang sedang terjadi. Namun salah seorang siswa berusaha membubarkan teman-temannya yang berkerumun. Siswa itu adalah anak yang tadi berdiri tepat di depan barisan gadis yang pingsan sekaligus anak lelaki yang sama dengan yang dilihat Pramana beberapa hari lalu tengah saling kejar di lapangan dengan gadis di dekapannya.

“Minggir! Minggir kalian semua! Ada yang pingsan, dia butuh udara!” pekik siswa itu sedikit berteriak. Kemudian ia menahan lengan Pramana dan berkata, “Pak, biar saya saja!” tatapannya cemas sekali. Bahkan sekilas Pramana mendapati tangan yang menahan dirinya sedikit bergetar. Kerumunan orang semakin tidak terkendali.

Beberapa orang mengalah mundur dan memberi ruang, lalu Pramana mencoba merengkuh tubuh muridnya yang pingsan itu. Anak-anak PMR datang tergopoh-gopoh di belakangnya sambil menggelar tandu.

“Tandunya sudah siap, biar kami yang bawa, Pak," ucap salah seorang anak PMR mencoba mengambil alih.

Pramana menatap mereka sejenak tapi kemudian ia membuka mulut, “Tidak usah, biar saya yang urus.”

Lalu Pramana berjalan pelan menyibak kerumunan.

“Tolong salah satu anak PMR ikut saya.”

Pramana mengambil langkah yang terburu-buru dan dibopongnya gadis itu ke UKS. Anak-anak PMR itu menurut dan melipat kembali tandunya, sementara itu Pak Edi mencoba untuk menenangkan suasana yang mendadak kacau.

***

Pramana membaringkan siswinya di kasur UKS. Sementara itu, anak-anak PMR masih berjaga di lapangan dan hanya satu orang yang berjaga di UKS. Pramana lalu memintanya untuk pergi ke dapur sekolah mengambil teh panas. Saat ini di ruangan itu hanya tinggal Pramana dan siswinya yang pingsan. Pramana mengambil salah satu kursi yang ada di sana, lalu duduk dan memperhatikan siswinya. Wajahnya begitu pucat, bibirnya terkatup rapat, dan matanya masih terpejam.

Lelaki itu melirik name tag yang tercantum di seragam siswinya, tertulis nama ‘A L I S A’ di sana. Nama yang bagus, batinnya. Melihat Alisa yang tengah terbaring lemah, ia jadi teringat dengan buku yang dibelinya kemarin. Tentu saja buku itu masih terbungkus di dalam kantong plastik, tersimpan rapi di laci apartemennya. Belum sempat ia memikirkan hal lain lagi, kemudian datang siswi anggota PMR tadi sambil membawa teh di atas nampan.

“Masih panas, ya?” tanya Pramana berdiri lalu menghampirinya. “Tapi dia belum bangun, nanti jika sudah siuman, tolong berikan padanya.”

Anak PMR perempuan itu mengangguk ragu. Tapi saat Pramana akan meninggalkan UKS, tiba-tiba muridnya mencegah.

“Eh, anda mau kembali?”

“Iya,” kata Pramana menaikkan alis matanya, “Kenapa?”

“Aduh, pak, saya boleh minta tolong sebentar, Pak? Saya sudah tidak kuat menahan … ingin ke toilet, sebentar saja, pak,” ujar anak PMR itu dengan nada meminta, “Tidak sampai lima menit, saya janji akan buru-bu—”

“Oke. Silahkan saja,” sahut Pramana sambil tersenyum, “Jangan khawatir, saya akan jaga UKS-nya.”

Setelah mengucapkan terima kasih, anak PMR itu pergi melesat ke toilet. Namun saat Pramana berbalik, ia mendapati Alisa bergerak. Mata gadis itu sekilas mengerjap-ngerjap, lalu terpejam kembali. Pramana buru-buru melangkah mendekat untuk memastikannya.

***

Lisa terbangun karena ada suara derap kaki seseorang mendekat. Kemudian sayup-sayu ia mendengar suara laki-laki dan perempuan sedang berbicara, entah siapa.

“Sshh,” Lisa mengerang, tubuhnya lemas sekali.

Saat matanya terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah lelaki itu, si pemilik mata sewarna kayu, alias gurunya yang bernama Pramana. Lelaki itu tengah berdiri tak jauh dari kasur, menatapnya dengan cemas. Alih-alih bangun, Lisa pun buru-buru memejamkan matanya lagi. Ia masih terlalu malas dan malu untuk menghadapinya. Sungguh suatu kebetulan yang kurang beruntung, karena sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa lelaki menyebalkan kemarin sore adalah salah satu guru di sekolahnya.

“Kau sudah bangun?”

Deg! Lisa terkejut. Tapi gadis itu tetap memejamkan matanya, masih pura-pura tertidur.

Hening beberapa saat.

Apakah orang itu sudah pergi?

Lisa mencoba untuk memicingkan mata, mengintip sedikit untuk memastikan keadaan. Ternyata gurunya sedang berdiri membelakanginya, menghadap kotak P3K tengah mencari sesuatu, lalu mendesah seperti tidak menemukan apa yang ia cari. Saat lelaki itu menoleh ke arahnya, Lisa buru-buru memejamkan matanya lagi.

Gggrr, krucuk krucuk.

Tiba-tiba perut Lisa bergemuruh. Suara menyebalkan itu berlangsung beberapa detik tanpa bisa dicegah. Dalam hati Lisa mengumpat, tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama di situasi seperti ini.

“Bangun dan minum tehnya.”

Mendengar suara gurunya lagi, Lisa terkejut. Gadis itu masih diam, belum berani membuka mata.

“Aku tau kau sedang berpura-pura tidur.”

Deg! Lisa merasa jantungnya akan melompat ke luar. Sepertinya usahanya untuk tetap tidur sia-sia, karena suara perutnya memang terdengar jelas. Ia masih saja tak bergerak, bingung harus bereaksi seperti apa.

Tiba-tiba ia merasakan tangan hangat yang menyentuh dahinya pelan. Lisa tidak bisa berpura-pura lagi karena ia terlalu terkejut untuk yang ke sekian kalinya. Ditambah lagi ia bukan tipe orang yang pandai berbohong. Diam-diam gadis itu membuka matanya pelan. Bagaimana pun juga ia harus menghadapi situasi ini walaupun sebenarnya harga dirinya sudah jatuh sekarang. Namun ketika mendapati wajah gurunya berada sangat dekat dengannya, ia terkejut setengah mati dan refleks menjauhkan diri.

“EH?!”

“Maaf, maaf,” ujar Pramana buru-buru menarik diri, “Kurasa kau baik-baik saja. Tidak demam ... sama sekali.”

Lisa melotot. Masih belum berani mengucapkan sesuatu karena saat ini ia sibuk mengontrol detak jantungnya yang mendadak tidak karuan. Lisa tidak habis pikir bahkan di hari pertama sekolah pun ia harus bertemu dengan seseorang yang tidak ia harapkan.  

“Minum tehnya agar tenagamu cepat pulih,” ujar Pramana sambil mengedikkan dagunya ke arah meja.

Pelan-pelan Lisa mencoba bangkit dari tidurnya dan terduduk. Diambilnya teh yang asapnya masih mengepul itu. Ia menyesapnya perlahan, sensasi hangat langsung mengalir di kerongkongannya yang kering. Sejenak gadis itu melupakan rasa malunya. Ternyata teh itu berhasil membuatnya sadar sesadar-sadarnya. Tak butuh waktu lama tubuhnya pun terasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

“Enak?”

Lisa mengangguk pelan, sedikit malu-malu.

“Kalau begitu habiskan,” lanjutnya. Lisa pun menurut, meneguknya sampai habis lalu menaruh gelasnya kembali.           

"Karena kau sudah bangun, aku akan kembali ke lapangan.”

Lisa bergeming, tidak begitu peduli. Pramana hanya tersenyum simpul sambil memperhatikannya. Lelaki itu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu, mengambil sepatunya yang ada di rak lalu memakainya. Namun saat lelaki itu akan benar-benar pergi, Lisa terperanjat buru-buru membuka mulutnya, ia ingin memastikan sesuatu sebelum lelaki itu pergi dari sini.

“Tunggu,” Lisa menelan ludah, berdehem sekali, berusaha mengontrol diri untuk tidak meninggikan suara dan melanjutkan kalimatnya, “Kenapa anda bisa di sini?”

Pramana menoleh dan menyembunyikan tangannya di saku.

“Karena kau pingsan.”

“Dan yang menolongku adalah ...?” tanyanya sedikit tidak yakin. Gadis itu mencoba memastikan bahwa bukan lelaki itu yang menolongnya. “Anak PMR?”

Gurunya terdiam, menatap gadis itu sejenak. Lalu ia tersenyum.

“Ya. Tentu saja.”

“Syukurlah,” desis Lisa. Tanpa sadar ia mendesah pelan, ada perasaan lega di dadanya. 

“Anak PMR sedang pergi sebentar ke toilet dan aku diminta menjagamu sementara, setidaknya sampai bangun.”

Lisa mengangguk kecil, sedikit ragu.

“Oh iya, namaku, eh, nama saya Pramana,” kata gurunya kemudian, “Kalau-kalau kau ingin tau.”

Lisa menelan ludah. Pipinya memanas, wajahnya menjadi merah karena malu.

“Tunggu sampai dua tahun lagi, baru kau bisa mendapatkannya.”

“Mendapatkan?” Lisa mendongak tidak mengerti. Alisnya menyerngit heran.

“Buku itu,” jawab lelaki itu enteng, “Karena kulihat, kemarin kau sangat kesal. Sepertinya kau begitu menginginkannya.”

Mulut Lisa terbuka membentuk huruf ‘O’ kecil, gadis itu melongo. Ia tidak menyangka lelaki itu akan membahas hal ini lagi. Menerima kenyataan bahwa ia telah dipergoki seseorang yang tidak dikenalinya di toko buku kemarin sebenarnya sudah membuatnya malu, ditambah lagi ia baru tau jika seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah gurunya di sekolah.

Lalu sekarang begitu mudahnya lelaki-gurunya itu membahasnya di sekolah? Sungguh, Lisa benar-benar merasa harga dirinya sudah terkuras habis. Sadar bahwa saat ini wajahnya terlihat bodoh sekali, gadis itu buru-buru mengatupkan bibirnya. Hari pertamanya menjadi anak SMA nyatanya tidak semenyenangkan itu.

Melihat reaksi Lisa, lelaki itu lagi-lagi cuma tersenyum. Tangannya terulur merapikan kemejanya sendiri.

“Kalau begitu, saya sudah boleh pergi sekarang?”

“Sebentar! Eh, maaf sebelumnya,” ujar Lisa sambil menatap gurunya tajam, “Saya tau yang saya lakukan kemarin di toko buku memang salah dan juga baru menyadari kalau anda, eh ... Bapak adalah guru saya di sekolah ini. Tapi tolong, bisa kah untuk tidak perlu membahas hal ‘itu’ di sini?”

Berbeda dengan Lisa, justru lelaki itu menanggapinya dengan santai.

“Hal itu?”

“Ya, hal itu.”

“Jadi, menurutmu di mana kita bisa membahas ‘itu’?”

Lisa terhenyak lalu berkata, “Tidak di mana pun. Ehm, maksud saya, sebaiknya tidak dibahas sama sekali.”

“Tapi sebagai guru, saya rasa saya berhak menegur murid yang melakukan hal yang tidak seharusnya, kan?” Pramana menekankan kata ‘guru’ saat mengucapkannya.

“Yah ...” Lisa mendesah. “Tapi anda bukan Ayah saya, kan?”

Hening. Lelaki itu hanya menatap Lisa dengan ekspresi tenang. Sepertinya dia menunggu Lisa selesai berbicara.

“Saya rasa tidak etis jika ... jika Bapak juga ikut mencampuri urusan murid di luar sekolah,” jelas Lisa lagi. Gadis itu masih setengah tidak percaya bisa berbicara semacam ini dengan seorang guru.

“Jadi begitu?”

“Ya.” Lisa mengangguk. Gadis itu menatap lelaki yang ada di hadapannya dengan ragu.

“Baiklah, kalau begitu,” jawab lelaki itu lalu mengangguk kecil. “Jika tidak ada lagi yang perlu disampaikan, saya pergi.”

Lisa menatap gurunya itu dengan tatapan tidak senang. Gadis itu membuang muka. Ia bersumpah, baru kali ini ia tidak menyukai seseorang terlebih lagi orang itu adalah gurunya.  

“Sebelum pergi saya ingin menyampaikan bahwa … jangan panggil saya dengan sebutan ‘Pak’, karena saya masih 22 tahun,” ujar Pramana sambil melipat tangannya di dada, “Masih terlalu muda untuk disebut sebagai bapak-bapak.”

Setelah mengucapkan sederet kalimat itu, Pramana berbalik dan meninggalkan UKS.

Lisa hanya bisa memandangi punggungnya yang mulai berjalan menjauh. Ia mendesah kesal. Ternyata selain suka mencampuri urusan orang lain, lelaki itu juga terlalu percaya diri. Lisa hanya berharap guru mata pelajaran olahraga di kelasnya adalah orang lain. Walaupun kemungkinannya kecil, tapi ia berdoa agar tidak lagi berurusan dengan guru bernama Pramana itu.

***

“Ada seseorang mencarimu,” ucap Sekar menepuk lengan Lisa saat gadis itu baru saja duduk di bangkunya, “Kurasa anggota PMR, badge kelas 12, tapi entah siapa namanya.”

Lisa mengangguk mengucapkan terima kasih, lalu segera pergi ke luar kelas. Apa mungkin ada sesuatu miliknya yang tertinggal di UKS? Tapi sepertinya tidak.

“Hai, Lisa,” sapa seorang cewek berperawakan tinggi di koridor kelas saat Lisa tiba di ambang pintu. Sekar benar, ternyata yang mencarinya adalah anak PMR.

“Oh iya, ada apa Kak?” Lisa tersenyum. “Kurasa tidak ada yang tertinggal kan? Tadi waktu pingsan aku cuma bawa topi.”

“Ah, enggak, bukan,” ujar anak PMR itu dan menyodorkan roti coklat di bungkusan plastik. “Ini ada titipan dari Kak Pram.”

“Kak Pram siapa, ya?” tanya Lisa menyerngit heran.

“Guru olahraga yang tadi di UKS juga bersamamu. Dia bilang kau pingsan karena belum makan.”

Lisa menerima bungkusan itu sedikit ragu. Gadis itu heran, beberapa saat lalu ia berfikir bahwa gurunya adalah orang paling menyebakan sedunia, tapi sekarang ia malah mendapati lelaki itu sengaja menitipkan makanan untuknya melalui anak PMR. Gadis itu terkekeh, apa mungkin ini usaha lelaki itu untuk meminta maaf karena telah mencampuri urusannya? Aneh sekali.            

“Makasih,” ucap Lisa akhirnya, “Ada lagi?”

“Tidak, tidak ada. Mungkin itu saja.”

“Ah, hampir lupa!” Lisa menepuk dahinya sendiri. “Aku belum mengucapkan terima kasih pada anak PMR yang sudah menolongku, maaf tadi aku langsung pergi ke kelas dan tidak bertemu dengan mereka sama sekali.”

“Eh, tapi sebenarnya bukan kami yang menolongmu,” jelasnya, “Justru harusnya kau berterima kasih pada Kak Pram. Dia yang membawamu dari lapangan ke UKS,” lanjutnya dengan ekspresi bersalah, “Aku sebagai ketua PMR sekaligus yang sedang berjaga di upacara hari ini jadi merasa bersalah karena kurang memperhatikan gerak-gerikmu yang ... sedang sakit, bahkan mungkin kalau Kak Pram tidak segera menghampirimu, kepalamu bisa saja terluka karena membentur lantai beton.”

Mata Lisa membulat. Sayup-sayup ia teringat kejadian sebelum ia benar-benar pingsan, ada seseorang yang berlari ke arahnya secepat kilat namun gadis itu tidak bisa mengingat siapa orang itu. Apakah jangan-jangan ...?

“Jadi dia yang ...?”

Anak PMR mengangguk kecil.

“Iya, maaf ya, semoga tidak terulang lagi,” jawabnya lalu ia mengulurkan tangan, “Kenalkan, aku Vivi.”

“Lisa.” kata Lisa lalu menyambut jabatan itu. 

Setelah berbasa-basi, lalu Vivi pamit pergi kembali ke kelasnya karena mendengar bel tanda masuk berdentang. Begitu pun dengan Lisa. Sejenak Lisa tercenung, kalau dipikir-pikir walaupun Kak Pramana itu menyebalkan dan membuat dirinya kesal, di sisi lain dia baik juga. Gadis itu langsung teringat dengan kejadian saat di UKS tadi.

“Kenapa anda bisa di sini?”

“Karena kau pingsan.”

“Dan yang menolongku adalah ...?” tanyanya sedikit tidak yakin. Gadis itu mencoba memastikan bahwa bukan lelaki itu yang menolongnya. “Anak PMR?”

“Ya. Tentu saja.”

“Syukurlah.”

“Anak PMR sedang pergi sebentar ke toilet, dan aku diminta menjagamu sementara, setidaknya sampai bangun.”

Lisa masih tidak mengerti kenapa lelaki itu harus repot-repot menutupinya, kemudian ia menggeleng. Toh, gurunya itu berniat tidak mengatakannya, jadi walaupun ia belum sempat mengucapkan terima kasih, anggap saja hal ini tidak pernah terjadi.

Related chapters

  • Another Word to Say I Love You   4# Pesan Bunda

    Sore itu gerimis membasahi jalanan kota. Untungnya Lisa dan Bima buru-buru naik angkutan umum dan hujan berhenti beberapa saat kemudian. Mereka tiba di rumah dengan aman tanpa basah sedikit pun. Saat Lisa membuka pagar rumah nampak Bundanya sedang duduk di kursi teras seorang diri sambil menggenggam mug hijau kesayangannya. Lalu menyesap isinya pelan-pelan. “Hai Bunda,” Lisa menyapa ibunya sekilas, melepaskan sepatu lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Bunda menanggapinya dengan mengangkat mug di tangannya dan tersenyum. Gadis itu melempar tas ranselnya ke sembarang tempat, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu. “Haloo Bundaaa,” suara Bima terdengar menggelegar menyapa, “Bunda membuat panekuk hari ini?” “Tentu saja. Ambil saja di dapur. Ada selai nanas dan madu, ambil mana pun sesukamu.” Bima meringis senang. “Asyikkk!” setelah melepas sepatunya lelaki itu melengos masuk dan tidak menghiraukan keberadaan Lisa sedikit pun. Hal ini sudah lumrah bag

    Last Updated : 2021-06-09
  • Another Word to Say I Love You   5# Dia Guruku

    Pramana menghela napas panjang begitu menutup layar laptopnya. Sebelum mengajar, pagi ini semua guru dikumpulkan untuk meeting dadakan karena ada pembahasan mengenai pergantian guru di beberapa kelas. Tadinya Pramana dipercayai untuk mengajar mata pelajaran olahraga hanya di seluruh kelas sebelas baik dari jurusan IPA, IPS maupun Bahasa. Kebetulan guru olahraga di sekolah ini ada tiga orang, dua laki-laki termasuk dirinya sendiri dan satu perempuan. Namun ternyata satu guru olahraga lelaki pengajar kelas sepuluh telah genap pensiun tahun ini, sehingga saat ini tersisa dirinya dan satu guru perempuan bernama Bu Nike. Selain guru olahraga yang berkurang formasinya, juga ada dua guru lain yang harus paripurna tugas di tahun ini. Orang itu adalah guru matematika dan bahasa Inggris. Pihak yayasan juga sudah membuka pengumuman secara terbuka terkait lowongan tersebut. Selagi menunggu posisi itu terisi, untuk sementara waktu guru mata pelajaran yang ada harus merangkap dan

    Last Updated : 2021-06-10
  • Another Word to Say I Love You   6# Salah Ukuran

    Lisa mendecakkan lidah lalu memutar bola matanya. Belum sempat ia membalas perkataan Pramana, Naomi datang tanpa diminta dan menendang tulang kering kakinya pelan. Sementara Pramana hanya melirik, tidak menegur karena Lisa rupanya tidak merasa sakit sama sekali. “Berbarislah segera. Kumohon,” pinta Naomi kemudian. Lalu ia tersenyum manis pada Pramana sekilas, kemudian berlalu sambil mengikat rambutnya menjadi ikatan ekor kuda. Lisa buru-buru mengekor pada Naomi lalu berbaris bersama yang lainnya. Nampaknya gadis itu sedang tidak ingin berbicara apapun dengan gurunya. Alis Pramana terangkat, lalu ia mengangguk kecil. Baguslah, batinnya. “Alvin, kemari!” Pramana melambaikan tangannya memanggil Alvin. Siswanya itu lalu datang tergopoh-gopoh. “Tolong ambil beberapa bola basket di ruang peralatan, pintunya tidak terkunci, tapi jangan lupa menutupnya kembali nanti.” “Baik Kak!” Alvin memberi isyarat pada Bima bermaksud mengajaknya, lalu ber

    Last Updated : 2021-06-12
  • Another Word to Say I Love You   7# Tidak.Suka.Padamu

    “Aku sudah memperingatkanmu dua kali sebelumnya, kan?” Lisa hanya diam. Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Bima dan terus berjalan menuju kelas mereka. Kelas olahraga baru selesai sekitar lima menit lalu, dan sekarang waktunya jam istirahat pertama. “Jangan memasang wajah kesal seperti itu,” ujar Bima mengikuti langkah Lisa yang mendekati loker. Lelaki itu membuka melanjutkan ucapannya, “Lagi pula tidak ada yang menyalahkanmu. Kami semua memakluminya.” Mendengar penjelasan Bima, Lisa tersenyum masam. Memaklumi apanya? Memangnya siapa yang akan memaklumi seseorang yang ceroboh memilih ukuran setelan olahraga sehingga baju dalamnya sampai terlihat? Sepertinya Lisa lebih percaya bahwa sebenarnya teman-temannya diam-diam menertawakan dirinya di belakangnya. Ya walaupun tidak semua temannya seperti itu. Namun satu hal yang pasti, saat ini ia memang ‘malu setengah mati’. Kalau boleh jujur, walaupun niat Pramana tak lain dan tak bukan adalah melind

    Last Updated : 2021-06-14
  • Another Word to Say I Love You   8# Resolusi

    Pramana menghempaskan tubuhnya di kursi begitu selesai mengajar kelas terakhirnya di hari ini. Wajahnya menengadah ke atas dan ia menghembuskan napas keras. Tubuhnya cukup letih bukan hanya karena usai mengajar, tapi juga belum makan siang. Saat melirik jam dinding ruang guru, jam menunjukkan pukul satu. Bel tanda pulang siswa-siswinya memang masih kurang dua jam lagi, namun untuk guru yang memang sudah menyelesaikan kelasnya bisa meninggalkan sekolah tanpa harus menunggu. Kebetulan Pramana memang ada kuliah sore ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk ia tetap di sekolah. Akhirnya setelah berkemas, lelaki itu menenteng ranselnya dan menyambar jaket biru yang tersampir di lengan kursinya. Ia tercenung sejenak, tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini saat mengajar di kelas sepuluh IPS-1. Mengenai gadis bernama Lisa yang memakai setelan olahraga ketat, hingga berujung pada percakapannya dengan gadis itu di koridor ruang peralatan olahraga. Pramana masih mengingat raut wajah

    Last Updated : 2021-06-16
  • Another Word to Say I Love You   9# Sakit Perut

    “Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek

    Last Updated : 2021-06-20
  • Another Word to Say I Love You   10# Ada Aku

    “Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den

    Last Updated : 2021-06-22
  • Another Word to Say I Love You   11# Bicara

    “Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante

    Last Updated : 2021-07-06

Latest chapter

  • Another Word to Say I Love You   17# Permintaan Bima

    Lisa memandangi setelan olahraga di tangannya sejenak dan memutar bola matanya. Saat ini gadis itu sedang berada di kamarnya sendiri. Sepersekian detik kemudian, ia melepas seragam yang melekat di tubuhnya dan menggantinya dengan setelan olahraga itu dengan gerakan secepat kilat. “Argh, dia menyebalkan sekali!” gerutu Lisa sambil memperhatikan bayangannya sendiri di cermin. “Lagi. Ini ke sekian kalinya ia menguntitku dan memberikan perhatiannya yang tidak biasa! Guru macam apa sih, Pramana itu sebenarnya? Ck.” Lisa memutar tubuhnya. Setelan olahraga baru pemberian Pramana ternyata ukurannya sangat pas. “Ah, aku merinding. Bahkan lelaki itu juga memilih ukuran yang sangat tepat. Astaga, apa dia memperhatikan lekuk tubuhku sejeli itu?” TOK! TOK! TOK! “LISA! INI BUNDA, SAYANG!” Mata Lisa membulat. Gadis itu buru-buru berlari membuka kunci pintu kamarnya. Bukannya Bunda bilang akan lembur hari ini? Pikirnya. “Bunda!” seru Li

  • Another Word to Say I Love You   16# Dia Mantan Pacarnya

    Pelajaran sekolah hari ini berlalu begitu saja bagi Lisa. Namun entah apa yang ia pikirkan saat ini, karena ketika bel pulang berdentang bukannya segera pergi dari sekolah, tetapi gadis itu justru melangkahkan kakinya menuju gazebo dekat perpustakaan. Tiba-tiba ia malas untuk kembali ke rumah, mengingat Bunda lagi-lagi lembur, jadi sudah pasti rumahnya sepi hari ini. Begitu sampai, Lisa mengambil tempat untuk duduk di pojokan. Lalu dikeluarkannya sebuah novel yang sempat ia pinjam di perpustakaan saat jam istirahat tadi. Lisa pun bersandar dan membacanya pelan-pelan.Saat membalikkan halaman bukunya, Lisa mendengar sayup-sayup dua orang yang tengah mengobrol. Kemudian Lisa beringsut mengintip dari sela-sela pagar gazebo.“Mau ke mana kau?”“Mencari siswiku, lepaskan.”Lisa membelalakkan matanya, ternyata dua orang itu adalah Pramana dan guru olahraga wanita yang ia lihat tadi pagi.“Jangan ikuti aku lagi. Aku kan sudah

  • Another Word to Say I Love You   15# Bodoh!

    “Gila! Ini gila!” Lisa terus menerus mengutuk dirinya sendiri sepanjang jalan menuju toilet siswi. Usai kejadian ‘kecup’ di UKS tadi, gadis itu tidak bisa berhenti memikirkannya. Sensasi aneh dan mendebarkan yang ia rasakan tadi pagi memang masih melekat kuat. Sejujurnya Lisa melakukan itu karena ingin menuntaskan rasa penasaran yang ada di benaknya sendiri. Bahkan hingga detik ini dirinya masih tidak mengerti kenapa harus repot-repot menutup mata di kondisi seperti itu, seakan akan justru menunjukkan bahwa ia rela akan diperlakukan apa saja. Namun gadis itu tidak habis pikir mengapa ia mendapatkan perasaan itu bersama seseorang yang tidak pernah ia duga: Pramana, alias guru olahraganya yang super menyebalkan. Begitu masuk ke dalam toilet siswi, Lisa buru-buru menyalakan kran wastafel dan membasuh wajahnya beberapa kali dengan kasar. Lalu ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dan mendesah keras. Nampak jelas bahwa plester di dahinya basah karena ulahnya sendi

  • Another Word to Say I Love You   14# Kecup

    Anjani menghentikan langkahnya begitu melihat Pramana tiba-tiba menggendong salah seorang siswi dan bergegas menjauh. Ia menyerngit heran, jika melihat gelagat Pramana yang seperti itu Anjani menyimpulkan bahwa kondisi siswinya mungkin benar-benar urgent. Wanita itu mendesah keras, kali ini bukan waktunya. Ia harus mencoba membujuk Pramana dengan cara lain besok. Ingat, Anjani tidak ingin dicap sebagai guru yang tidak kompeten dan jika itu terjadi maka Pramana juga pasti akan membencinya. Anjani tentu tidak ingin itu terjadi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan kembali lagi ke lapangan. Lagi pula, muridnya dari kelas sepuluh Bahasa sudah menunggunya. “Lihat saja, Pramana, akan kupastikan kau akan kembali lagi ke pelukanku.” *** Pramana menarik kursi ke tepi ranjang dan duduk di hadapan siswinya. Tangannya sibuk menuangkan obat merah ke kapas. Ia masih belum menjawab pertanyaan Lisa sebelumnya. “Ini hanya luka lecet b

  • Another Word to Say I Love You   13# Alasan

    Pramana lupa, entah tertidur pukul berapa di meja kerjanya masih dengan kondisi laptop yang menyala. Namun yang jelas, beberapa jam setelahnya lelaki itu terbangun tepat saat jam weker di sebelahnya meraung-raung tanpa henti. Saat matanya memicing, ia mendapati jarum jamnya menunjukkan pukul enam. Pramana langsung terkesiap membelalakkan mata dan mematikan alarmnya. Lelaki itu buru-buru bangkit dari kursi malasnya dan menyambar handuk, lalu melesat ke kamar mandi secepat kilat. Pikirannya mengenai Anjani seketika menguap begitu saja pagi ini.Setengah jam kemudian Pramana sudah bersiap untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Lelaki itu sengaja melewatkan sarapannya karena takut terlambat. Mengingat perjalanan dari apartemennya ke sekolah memakan waktu hampir 20 menit, lelaki itu memutuskan untuk sarapan di kantin sekolah saja nanti. Ditambah lagi pagi ini Pramana harus mengajar anak kelas sepuluh Bahasa. Ia tidak boleh datang lebih lambat daripada murid-muridnya.**

  • Another Word to Say I Love You   12# Anjani

    Melinda segera bergegas ke parkiran rumah sakit setelah ia menutup sambungan telepon Anjani—anak gadisnya. Saat menemukan mobil BMW silvernya, wanita itu berjalan cepat lalu memasuki mobilnya dan tak lupa memasang seat-belt. Kali ini ia mengemudikan mobilnya sedikit terburu-buru, bahkan begitu ke luar dari parkiran, ia langsung membelah jalanan sepi di hadapannya dengan kecepatan penuh. Hal ini lantaran karena Melinda harus segera pulang ke rumah merayakan ulang tahun Anjani. Sebelumnya ia sudah memesan cheese cake dan serba-serbi makanan yang sudah ia simpan di kulkas tadi pagi.Tentunya Anjani juga mengetahui itu, kecuali mengenai kado ulang tahun pemberian papa kandungnya. Khusus untuk yang ini, Melinda masih merahasiakannya dan menyimpannya dengan rapi di bawah kolong tempat tidurnya. Rencananya ia baru akan memberikannya nanti saat tiba di rumah, mengingat papa kandung Anjani yang lagi-lagi tidak bisa turut ikut merayakan ulang tahunnya. Sama sepe

  • Another Word to Say I Love You   11# Bicara

    “Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante

  • Another Word to Say I Love You   10# Ada Aku

    “Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den

  • Another Word to Say I Love You   9# Sakit Perut

    “Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek

DMCA.com Protection Status