Share

2# Pingsan

Author: Granger
last update Last Updated: 2021-06-06 17:58:52

Lisa masih tidak habis pikir dengan kejadian aneh nan menyebalkan yang menimpa dirinya beberapa menit lalu di toko buku. Karena suasana hatinya menjadi buruk, akhirnya ia memutuskan untuk tidak membeli buku apapun. Bahkan ketika ia dan Bima sudah berpindah tempat ke Mcd, gadis itu masih memasang wajah kecut. Ia sedang berpikir keras. Bima yang sedari tadi bingung ada apa gerangan, hanya bisa menggeleng pasrah dan memilih untuk fokus saja dengan kentang goreng di hadapannya. Lelaki itu terlihat tidak begitu peduli.

“Bim, Bima.”

Di bawah meja, Lisa menendang pelan kaki Bima, tatapannya menerawang ke tembok sebelah meja mereka.

“Apa?” Bima menyerngit, lalu menyuap beberapa keping kentang goreng ke mulutnya.

Lisa menatap Bima lurus. “Menurutmu apakah aneh jika ada orang yang menguntitku?”

“Tentu saja,” jawab Bima mantap. “Karena itu tidak mungkin.”

“Kenapa bisa tidak mungkin?” Lisa mendengus. 

“Sekarang lihat,” ujar Bima sembari menunjuk hidung Lisa dengan kentang goreng yang mulai agak layu di jemarinya, “Untuk apa ada orang menguntitmu? Memangnya kau ini siapa?”

Bima melanjutkan argumennya, “Coba pikir, memangnya ada, orang yang sangking kurang kerjaannya sampai-sampai harus mengikutimu ke mana-mana tentu saja kecuali … aku?”

Lisa mendengarkan Bima masih dengan tatapan menerawang, kemudian ia manggut-manggut. Sepertinya kata-kata Bima ada benarnya juga.

“Memangnya ada yang mengikutimu? Siapa?”

Lisa mengangkat bahu. “Entahlah, kurasa iya.”

“Jangan bohong,” Bima berkilah, kali ini ia menyuap kentang goreng lebih banyak.

“Memangnya aku pernah berbohong, ya?” Lisa melotot.

“Memangnya kau tipe orang yang seperti apa sampai-sampai ada orang yang menguntitmu? Dan aku yakin seribu persen, wajahmu tidak mencerminkan sebagai orang yang banyak uang sehingga harus diikuti.”

“Mulut ini yang tadi bicara, huh?!” Lisa mencubit bibir Bima hingga tubuh cowok itu tertarik maju.

“Brutal!!” sembur Bima.

“Yang terakhir itu namanya penghinaan!” Lisa menyalak ketus, “Semakin lama menghabiskan waktu denganmu aku jadi semakin yakin bahwa aku sungguh telah melakukan dosa besar.”

“Kau terlalu melebih-lebihkan,” Bima mencibir. “Lagi pula memangnya ada ya, hal yang tidak masuk akal begitu? Memangnya siapa yang berani mengganggumu? Di mana? Masih mengikuti sampai sini?!” cowok itu malah meledek Lisa dengan pertanyaan bertubi-tubi, sambil berlagak gaya memasang ekspresi was-was. Kepalanya sampai menoleh ke kanan kiri seolah-olah ketakutan, tapi tentu saja itu hanya pura-pura.

Trust me, Bim. Ada seseorang yang menggangguku dan aku tidak berbohong.”

Bima menghentikan makannya, kali ini lelaki itu menatap Lisa serius. Yang tadinya mulutnya gatal ingin berceloteh, kini mengatup kembali. Sesaat Lisa ingin menertawakannya, tapi gadis itu memilih untuk menahannya sejenak dan melanjutkan ceritanya.

Lisa melipat lengannya di dada.

“Sebenarnya tadi di toko buku ada seseorang, hemm, entah siapa, dia tiba-tiba datang dan tanpa ba-bi-bu, mengambil buku yang sedang kubawa. Ya, aku tidak mengerti apa alasannya, intinya dia merebut bukuku.”

“Hah, yang benar?”

Lisa mendesah. “Iya, benar.”

“Itu sih namanya dia menginginkan buku itu, bukan ingin menguntitmu,” Bima mencibir.

Lisa menggeleng. “Orang itu bahkan berkata seolah-olah jika aku tau siapa dia, aku akan menyesal.”

“Kau yakin, tak mengenalnya sama sekali?” tanya Bima dengan nada meremehkan, “Memangnya buku apa yang kau bawa, sampai-sampai dia merebutnya darimu?”

“Yaa buku ... buku, novel, emm,” Lisa tergagap, lalu menggeleng cepat. “Ah, tidak. Lupakan saja deh.”

“Buku apa?” Bima malah penasaran. Matanya sampai membulat. “Serius nih, aku jadi penasaran.”

Lisa berdecak. Mana mungkin dia mengatakan pada Bima jika ia diam-diam membaca novel dewasa? Walaupun mereka memang bersahabat bertahun-tahun, tapi Lisa tidak mungkin membuka aibnya sendiri. Menceritakannya sama saja dengan upaya mematahkan harga dirinya sendiri.

“Ah, tidak. Lupakan saja,” tukas gadis itu. Lalu ia melanjutkan ucapannya, “Anggap saja tadi aku tidak menceritakan apa-apa.”

“Yee, aneh,” Bima mencibir. Disuapnya kembali kentang goreng terakhir yang ada di meja. Tapi sedetik kemudian lelaki itu menatap Lisa tajam. “Tapi berjanjilah padaku jika ada yang mengganggu atau pun menguntitmu, aku pasti akan menghajarnya.”

Sejenak Lisa memejamkan matanya. Tidak, pasti kejadian ini hanya kebetulan semata. Anggap saja lelaki yang merebut bukunya adalah benar-benar orang asing dan tidak akan ada lagi pertemuan kedua maupun ketiga. Lisa hanya bisa berharap seperti itu. Sungguh, ini pertama kali ada seseorang dalam hidupnya yang sudah membuatnya malu setengah mati, namun justru orang tersebut tidak dikenalinya sama sekali.

Thanks, Bim. Tapi kurasa kau benar,” gumam Lisa, mengangguk kecil sambil meyakinkan dirinya sendiri. “Aku terlalu melebih-lebihkan. Anggap saja orang itu memang mengincar bukunya.”

***

Gadis itu memilih untuk tidak memikirkan kejadian buruk hari ini. Bahkan saat tiba di rumah dan bertemu Ibunya, wajahnya kembali ceria seperti biasanya. Mendekati pukul enam sore, Lisa buru-buru menyiapkan makan malam. Kali ini ia membuat sup ayam favoritnya. Seperti biasa, Lisa selalu memasak menu makan malam untuk dimakan berdua dengan bunda. Sejak kecil Lisa memang hanya tinggal berdua. Sementara ayahnya yang merupakan seorang fotografer yang cukup handal pada masanya meninggal dan menjadi salah satu korban hilang pada bencana tsunami di Jepang. Kejadian itu terjadi saat Lisa masih berumur lima tahun dan di Jepang sedang musim semi. Kebetulan itu adalah momen emas bagi para fotografer untuk mengabadikan momen sebagai salah satu karyanya di kontes internasional. Namun siapa sangka bencana itu datang, sehingga Lisa kehilangan sosok ayah dengan jalan seperti ini? Tentu saja kehilangan salah satu orang tua merupakan pukulan keras baginya, terlebih lagi Ibunya.

Usai makan malam, gadis itu pergi ke kamar menyiapkan alat tulis, buku, dan seragam untuk sekolah besok. Walaupun biasanya di hari pertama sekolah masih belum memulai pelajaran dan diisi dengan perkenalan, tapi mempersiapkan segala hal dari awal juga tidak ada salahnya. Hanya sebagai formalitas untuk berjaga-jaga.

“Hei, sweetheart!” suara Bunda terdengar lalu beliau muncul dari balik pintu hanya dengan menampakkan sedikit kepalanya.

“Bunda boleh masuk?”

“Tentu,” jawab Lisa sambil membuka almari pakaiannya dan mengeluarkan seragamnya.

Bunda membuka pintu lebih lebar lalu berjalan memasuki kamar. Sejenak mengedarkan pandangan, lalu ia duduk di atas kasur.

“Kau harus berjanji akan menjadi anak yang manis besok.”

Lisa terkekeh pelan. Kemudian mengacungkan jempolnya dan tersenyum.

“Jadi, bagaimana persiapanmu?” Bunda tersenyum. Tangannya terlipat di depan dada.

“Sudah semua,” jawab Lisa enteng, gadis itu berkacak pinggang. “Mulai besok, Lisa akan jadi anak SMA.”

“Bagusss …,”

Gadis itu memeluk Bundanya. “Bunda,”

“Apa?”

“Karena Lisa sudah SMA, itu tandanya boleh?”

“Boleh apa?” alis Bunda menyergit.

“Sudah boleh pacaran?”

No, honey!” Bunda menggeleng keras. Melihat Lisa mendesah, Bunda membuka mulutnya lagi, “Kenapa tiba-tiba ingin punya pacar? Bukannya sudah ada Bima yang selalu menemanimu ke mana pun?”

Lisa cemberut. “Bunda tau bahwa itu pengecualian.”

Bunda mengacak-acak rambut anaknya dengan sayang.

“Malam ini tidur dengan Lisa, ya?” Lisa memohon. Tapi Bunda menggeleng sambil terkekeh.

“Malam ini Bunda lembur. Banyak naskah yang harus ditinjau kembali, entahlah Bundamu ini juga tidak tau pasti kapan semua ini selesai,” eluh Bunda sambil mengangkat alis matanya. “So, mungkin besok atau lain kali kita bisa tidur bersama.”

Pekerjaan Bunda adalah seorang editor. Setiap hari ia harus memeriksa satu persatu naskah yang ada. Bunda termasuk spesies manusia yang selalu betah berada di depan layar komputer berjam-jam. Di mata Lisa, Bunda-nya itu memang seorang wanita pekerja keras. 

Lalu tiba-tiba Bunda melepas pelukannya dan beranjak mendekati pintu. Sebelum benar-benar pergi ia membalikkan badannya dan berkata, “Jangan lupa untuk bangun lebih pagi, kau tau sendiri kebiasaan Bunda usai lembur, kan?”

“Bangun siang, tidak bisa diganggu seperti orang mati,” Lisa menjawab dengan ekspresi datar. Tapi justru karena ekspresi itulah membuat Lisa terlihat seakan akan mengejek, Bunda malah tertawa memegangi perutnya.

“Bunda selalu curang.”

"Ah, baiklah, tapi siapa tau kalau tiba-tiba Bunda bisa bangun lebih dulu? Walaupun kemungkinannya keciiil sekali. Tapi, bagaimana pun terima kasih, kau memang putri terbaik Bunda!”

“Bunda selalu curang!” Lisa mengulang kata-katanya lagi. Ciri khasnya jika sedang menekan seseorang.

Bunda menatap Lisa masih dengan sisa tawanya.

“Apa lagii?”

“Lisa boleh pacaran ya?”

“Kenapa dibahas lagi ...” ujar Bunda sambil berlalu dan pintu kamar pun tertutup.

Lisa meringis. Dalam hati gadis itu tersenyum. Bunda dan segala percakapan sederhananya. Satu hal yang paling disukai Lisa dari Bunda adalah sesibuk apapun Ibunya, ia akan selalu menengok dirinya ke kamar sebelum tidur, memastikan anak semata wayangnya baik-baik saja. Satu kebiasaan kecil yang membuat gadis itu menyadari bahwa tidak ada cinta yang lebih besar ketimbang cinta ibu pada anaknya.

***

Upacara penerimaan siswa-siswi baru dilaksanakan hari ini ini. Sesuai dengan hasil tes psikotes yang dilangsungkan bersamaan dengan hari pendaftaran ulang tempo hari, Lisa dan Bima sepakat untuk mengambil jurusan IPS. Dan sepertinya takdir kembali berpihak pada mereka karena nyatanya dari sekian kelas yang ada di IPS, mereka malah dipersatukan di kelas IPS-1.

“Panasss ...” Lisa berbisik pada Bima yang berbaris tepat di depannya. Padahal upacara apel belum dimulai, tapi gadis itu sudah mengeluh setidaknya empat kali.

“Kau pikir kita sedang di puncak?” balas Bima setengah berbisik. Sementara Lisa menggumamkan hal yang tidak jelas.

“Bertahanlah sedikit lagi,” ujar Bima masih berbisik, lelaki itu tidak menoleh sedikit pun. “Jika kau bisa diam tanpa mengeluh sampai upacara ini berakhir, aku berjanji akan mentraktirmu makanan enak.”

Lisa mendesah pelan. Ia sedikit menyesal karena pagi ini bangun kesiangan dan terpaksa tidak sarapan sebelum berangkat sekolah. Bahkan ia juga tidak membangunkan bundanya.

Beberapa saat kemudian upacara dimulai. Nampak segelintir guru dan staf mulai ikut berbaris sejajar menghadap barisan murid. Upacara nan membosankan itu berlangsung sekitar setengah jam, sebelum barisan murid dibubarkan kepala sekolah naik ke podium dan memperkenalkan guru dan staf satu persatu.

“Jadi di sebelah kanan saya ada Pak Aslam Subadyo, guru mata pelajaran sejarah. Beliau sudah menjadi guru di sekolah ini selama sepuluh tahun dan selalu menjadi guru terfavorit," ucap Pak Edi a.k.a kepala sekolah sambil mempersilahkan, kemudian yang ditunjuk tersenyum dan melambai. Tepuk tangan seluruh murid pun langsung terdengar riuh.

“Bim,” Lisa berbisik, “Bima ...,”

Bima tidak menyahut karena karena suaranya yang terlalu pelan. Tiba-tiba tubuh Lisa agak terhuyung, namun sesaat kemudian ia berusaha berdiri tegak. Gadis itu lapar. Dirabanya perutnya yang bergemuruh pelan, lalu ia mendesah lagi. Salah satu hal yang menjadi kelemahannya adalah ia tidak bisa menahan lapar. Sedari kecil gadis itu memang sudah memiliki lambung yang mudah bermasalah, bahkan waktu SD ia pernah dirawat inap di rumah sakit selama seminggu karena maag akut. Lisa mengatur napasnya yang terasa sesak. Sengaja melewatkan sarapan adalah kebodohan yang harusnya tidak ia lakukan.

“Kemudian ada guru olahraga kita yang baru, beliau masih muda sekali, umurnya 22 tahun dan hari ini adalah hari pertamanya mengajar. Namanya Pak Pramana Adi!” lanjut Pak Edi. Si pemilik nama itu pun tersenyum dan membungkuk sopan. Senyumnya manis sekali, hingga membuat barisan siswi perempuan sedikit riuh, tapi kemudian Pak Edi menyuruh mereka untuk kembali tenang.

Lisa melihat guru itu dan berpikir sejenak. Pramana Adi. Guru olahraga muda itu memakai seragam seperti guru yang lainnya. Lisa merasakan perasaan yang aneh, karena lelaki itu terlihat tidak asing. Bahkan gesture tubuhnya mengingatkan Lisa pada suatu ingatan yang mengganggu pikirannya.

Kepala sekolah pun melanjutkan pengenalan guru yang lain, namun mata Lisa masih tidak lepas dengan guru olahraga bernama Pramana itu, tubuh jangkungnya, senyumnya. Lisa terus berpikir keras. Tapi semakin diingat, malah menyiksa dan membuatnya semakin lapar. ia  masih mengawasinya sambil mengingat-ingat. Terlihat bahwa Pramana tengah mengedarkan pandangan ke barisan murid masih dengan senyumnya yang lebar. Namun sedetik kemudian, tatapannya berhenti tepat pada Lisa. Untuk beberapa saat tatapan mereka saling bertemu.

Lisa terbelalak. Mata coklat seperti kayu itu ....

Tiba-tiba Lisa mendadak pusing. Rasa lapar pada perutnya kini berubah menjadi mual yang luar biasa. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya, ia mencoba untuk tetap berdiri. Lisa terhuyung pelan, pandangannya kabur.

“Bim,“ lirih Lisa sambil mencoba menggapai punggung Bima, tapi tidak sampai. Bima tetap bergeming karena sepertinya lagi-lagi lirihan Lisa hampir tidak terdengar olehnya.

Lisa yakin ini bukan kebetulan. Kejadian menyebalkan kemarin sore seketika muncul kembali di ingatannya, seperti ada layar televisi super besar tengah memutar ulang momen itu. Sepersekian detik kemudian gadis itu terhuyung ke belakang, badannya limbung. Rasa mual dan pusing itu semakin menguasai tubuhnya. Kali ini ia tidak bisa mempertahankan tubuhnya lagi. Lalu tak sampai semenit, semua mendadak gelap.

Tapi satu hal yang sempat diingatnya sebelum benar-benar pingsan, adalah sekelebat bayangan seseorang tengah berlari ke arahnya secepat kilat. Lisa ingin bertahan namun tubuhnya menolak. Andai ia tau bahwa seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah si pemilik mata sewarna kayu kemarin sore.

***

Related chapters

  • Another Word to Say I Love You   3# Bertemu Lagi

    Ketika Pak Edi memperkenalkan dan menyebut namanya, Pramana tersenyum dan melambai pada barisan murid. Saat mengedarkan pandangan, matanya terhenti pada salah satu siswi. Siswi itu berdiri di tengah, tepat di deretan pertama siswi perempuan. Seketika senyum Pramana memudar. Dia adalah gadis yang sama dengan yang ia pergoki di toko buku kemarin. Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Nyatanya dugaannya tidak meleset, gadis itu benar-benar menjadi muridnya. Namun Pramana merasa seperti ada yang salah dengan gadis itu, ia melihat dengan jelas bahwa raut wajah gadis itu gelisah dan pucat. Gadis itu jelas sedang tidak baik-baik saja. Sesekali matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia mencoba meraih punggung teman yang ada di depannya namun tidak sampai, dan Pramana melihat bahwa temannya itu tidak menyadarinya. Gadis itu limbung, tapi tetap berusaha bertahan. Pramana terus mengawasi gerak-geriknya yang aneh. Gadis itu kini memejamkan matanya, ia terhuyung pelan

    Last Updated : 2021-06-06
  • Another Word to Say I Love You   4# Pesan Bunda

    Sore itu gerimis membasahi jalanan kota. Untungnya Lisa dan Bima buru-buru naik angkutan umum dan hujan berhenti beberapa saat kemudian. Mereka tiba di rumah dengan aman tanpa basah sedikit pun. Saat Lisa membuka pagar rumah nampak Bundanya sedang duduk di kursi teras seorang diri sambil menggenggam mug hijau kesayangannya. Lalu menyesap isinya pelan-pelan. “Hai Bunda,” Lisa menyapa ibunya sekilas, melepaskan sepatu lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Bunda menanggapinya dengan mengangkat mug di tangannya dan tersenyum. Gadis itu melempar tas ranselnya ke sembarang tempat, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu. “Haloo Bundaaa,” suara Bima terdengar menggelegar menyapa, “Bunda membuat panekuk hari ini?” “Tentu saja. Ambil saja di dapur. Ada selai nanas dan madu, ambil mana pun sesukamu.” Bima meringis senang. “Asyikkk!” setelah melepas sepatunya lelaki itu melengos masuk dan tidak menghiraukan keberadaan Lisa sedikit pun. Hal ini sudah lumrah bag

    Last Updated : 2021-06-09
  • Another Word to Say I Love You   5# Dia Guruku

    Pramana menghela napas panjang begitu menutup layar laptopnya. Sebelum mengajar, pagi ini semua guru dikumpulkan untuk meeting dadakan karena ada pembahasan mengenai pergantian guru di beberapa kelas. Tadinya Pramana dipercayai untuk mengajar mata pelajaran olahraga hanya di seluruh kelas sebelas baik dari jurusan IPA, IPS maupun Bahasa. Kebetulan guru olahraga di sekolah ini ada tiga orang, dua laki-laki termasuk dirinya sendiri dan satu perempuan. Namun ternyata satu guru olahraga lelaki pengajar kelas sepuluh telah genap pensiun tahun ini, sehingga saat ini tersisa dirinya dan satu guru perempuan bernama Bu Nike. Selain guru olahraga yang berkurang formasinya, juga ada dua guru lain yang harus paripurna tugas di tahun ini. Orang itu adalah guru matematika dan bahasa Inggris. Pihak yayasan juga sudah membuka pengumuman secara terbuka terkait lowongan tersebut. Selagi menunggu posisi itu terisi, untuk sementara waktu guru mata pelajaran yang ada harus merangkap dan

    Last Updated : 2021-06-10
  • Another Word to Say I Love You   6# Salah Ukuran

    Lisa mendecakkan lidah lalu memutar bola matanya. Belum sempat ia membalas perkataan Pramana, Naomi datang tanpa diminta dan menendang tulang kering kakinya pelan. Sementara Pramana hanya melirik, tidak menegur karena Lisa rupanya tidak merasa sakit sama sekali. “Berbarislah segera. Kumohon,” pinta Naomi kemudian. Lalu ia tersenyum manis pada Pramana sekilas, kemudian berlalu sambil mengikat rambutnya menjadi ikatan ekor kuda. Lisa buru-buru mengekor pada Naomi lalu berbaris bersama yang lainnya. Nampaknya gadis itu sedang tidak ingin berbicara apapun dengan gurunya. Alis Pramana terangkat, lalu ia mengangguk kecil. Baguslah, batinnya. “Alvin, kemari!” Pramana melambaikan tangannya memanggil Alvin. Siswanya itu lalu datang tergopoh-gopoh. “Tolong ambil beberapa bola basket di ruang peralatan, pintunya tidak terkunci, tapi jangan lupa menutupnya kembali nanti.” “Baik Kak!” Alvin memberi isyarat pada Bima bermaksud mengajaknya, lalu ber

    Last Updated : 2021-06-12
  • Another Word to Say I Love You   7# Tidak.Suka.Padamu

    “Aku sudah memperingatkanmu dua kali sebelumnya, kan?” Lisa hanya diam. Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Bima dan terus berjalan menuju kelas mereka. Kelas olahraga baru selesai sekitar lima menit lalu, dan sekarang waktunya jam istirahat pertama. “Jangan memasang wajah kesal seperti itu,” ujar Bima mengikuti langkah Lisa yang mendekati loker. Lelaki itu membuka melanjutkan ucapannya, “Lagi pula tidak ada yang menyalahkanmu. Kami semua memakluminya.” Mendengar penjelasan Bima, Lisa tersenyum masam. Memaklumi apanya? Memangnya siapa yang akan memaklumi seseorang yang ceroboh memilih ukuran setelan olahraga sehingga baju dalamnya sampai terlihat? Sepertinya Lisa lebih percaya bahwa sebenarnya teman-temannya diam-diam menertawakan dirinya di belakangnya. Ya walaupun tidak semua temannya seperti itu. Namun satu hal yang pasti, saat ini ia memang ‘malu setengah mati’. Kalau boleh jujur, walaupun niat Pramana tak lain dan tak bukan adalah melind

    Last Updated : 2021-06-14
  • Another Word to Say I Love You   8# Resolusi

    Pramana menghempaskan tubuhnya di kursi begitu selesai mengajar kelas terakhirnya di hari ini. Wajahnya menengadah ke atas dan ia menghembuskan napas keras. Tubuhnya cukup letih bukan hanya karena usai mengajar, tapi juga belum makan siang. Saat melirik jam dinding ruang guru, jam menunjukkan pukul satu. Bel tanda pulang siswa-siswinya memang masih kurang dua jam lagi, namun untuk guru yang memang sudah menyelesaikan kelasnya bisa meninggalkan sekolah tanpa harus menunggu. Kebetulan Pramana memang ada kuliah sore ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk ia tetap di sekolah. Akhirnya setelah berkemas, lelaki itu menenteng ranselnya dan menyambar jaket biru yang tersampir di lengan kursinya. Ia tercenung sejenak, tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini saat mengajar di kelas sepuluh IPS-1. Mengenai gadis bernama Lisa yang memakai setelan olahraga ketat, hingga berujung pada percakapannya dengan gadis itu di koridor ruang peralatan olahraga. Pramana masih mengingat raut wajah

    Last Updated : 2021-06-16
  • Another Word to Say I Love You   9# Sakit Perut

    “Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek

    Last Updated : 2021-06-20
  • Another Word to Say I Love You   10# Ada Aku

    “Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den

    Last Updated : 2021-06-22

Latest chapter

  • Another Word to Say I Love You   17# Permintaan Bima

    Lisa memandangi setelan olahraga di tangannya sejenak dan memutar bola matanya. Saat ini gadis itu sedang berada di kamarnya sendiri. Sepersekian detik kemudian, ia melepas seragam yang melekat di tubuhnya dan menggantinya dengan setelan olahraga itu dengan gerakan secepat kilat. “Argh, dia menyebalkan sekali!” gerutu Lisa sambil memperhatikan bayangannya sendiri di cermin. “Lagi. Ini ke sekian kalinya ia menguntitku dan memberikan perhatiannya yang tidak biasa! Guru macam apa sih, Pramana itu sebenarnya? Ck.” Lisa memutar tubuhnya. Setelan olahraga baru pemberian Pramana ternyata ukurannya sangat pas. “Ah, aku merinding. Bahkan lelaki itu juga memilih ukuran yang sangat tepat. Astaga, apa dia memperhatikan lekuk tubuhku sejeli itu?” TOK! TOK! TOK! “LISA! INI BUNDA, SAYANG!” Mata Lisa membulat. Gadis itu buru-buru berlari membuka kunci pintu kamarnya. Bukannya Bunda bilang akan lembur hari ini? Pikirnya. “Bunda!” seru Li

  • Another Word to Say I Love You   16# Dia Mantan Pacarnya

    Pelajaran sekolah hari ini berlalu begitu saja bagi Lisa. Namun entah apa yang ia pikirkan saat ini, karena ketika bel pulang berdentang bukannya segera pergi dari sekolah, tetapi gadis itu justru melangkahkan kakinya menuju gazebo dekat perpustakaan. Tiba-tiba ia malas untuk kembali ke rumah, mengingat Bunda lagi-lagi lembur, jadi sudah pasti rumahnya sepi hari ini. Begitu sampai, Lisa mengambil tempat untuk duduk di pojokan. Lalu dikeluarkannya sebuah novel yang sempat ia pinjam di perpustakaan saat jam istirahat tadi. Lisa pun bersandar dan membacanya pelan-pelan.Saat membalikkan halaman bukunya, Lisa mendengar sayup-sayup dua orang yang tengah mengobrol. Kemudian Lisa beringsut mengintip dari sela-sela pagar gazebo.“Mau ke mana kau?”“Mencari siswiku, lepaskan.”Lisa membelalakkan matanya, ternyata dua orang itu adalah Pramana dan guru olahraga wanita yang ia lihat tadi pagi.“Jangan ikuti aku lagi. Aku kan sudah

  • Another Word to Say I Love You   15# Bodoh!

    “Gila! Ini gila!” Lisa terus menerus mengutuk dirinya sendiri sepanjang jalan menuju toilet siswi. Usai kejadian ‘kecup’ di UKS tadi, gadis itu tidak bisa berhenti memikirkannya. Sensasi aneh dan mendebarkan yang ia rasakan tadi pagi memang masih melekat kuat. Sejujurnya Lisa melakukan itu karena ingin menuntaskan rasa penasaran yang ada di benaknya sendiri. Bahkan hingga detik ini dirinya masih tidak mengerti kenapa harus repot-repot menutup mata di kondisi seperti itu, seakan akan justru menunjukkan bahwa ia rela akan diperlakukan apa saja. Namun gadis itu tidak habis pikir mengapa ia mendapatkan perasaan itu bersama seseorang yang tidak pernah ia duga: Pramana, alias guru olahraganya yang super menyebalkan. Begitu masuk ke dalam toilet siswi, Lisa buru-buru menyalakan kran wastafel dan membasuh wajahnya beberapa kali dengan kasar. Lalu ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dan mendesah keras. Nampak jelas bahwa plester di dahinya basah karena ulahnya sendi

  • Another Word to Say I Love You   14# Kecup

    Anjani menghentikan langkahnya begitu melihat Pramana tiba-tiba menggendong salah seorang siswi dan bergegas menjauh. Ia menyerngit heran, jika melihat gelagat Pramana yang seperti itu Anjani menyimpulkan bahwa kondisi siswinya mungkin benar-benar urgent. Wanita itu mendesah keras, kali ini bukan waktunya. Ia harus mencoba membujuk Pramana dengan cara lain besok. Ingat, Anjani tidak ingin dicap sebagai guru yang tidak kompeten dan jika itu terjadi maka Pramana juga pasti akan membencinya. Anjani tentu tidak ingin itu terjadi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan kembali lagi ke lapangan. Lagi pula, muridnya dari kelas sepuluh Bahasa sudah menunggunya. “Lihat saja, Pramana, akan kupastikan kau akan kembali lagi ke pelukanku.” *** Pramana menarik kursi ke tepi ranjang dan duduk di hadapan siswinya. Tangannya sibuk menuangkan obat merah ke kapas. Ia masih belum menjawab pertanyaan Lisa sebelumnya. “Ini hanya luka lecet b

  • Another Word to Say I Love You   13# Alasan

    Pramana lupa, entah tertidur pukul berapa di meja kerjanya masih dengan kondisi laptop yang menyala. Namun yang jelas, beberapa jam setelahnya lelaki itu terbangun tepat saat jam weker di sebelahnya meraung-raung tanpa henti. Saat matanya memicing, ia mendapati jarum jamnya menunjukkan pukul enam. Pramana langsung terkesiap membelalakkan mata dan mematikan alarmnya. Lelaki itu buru-buru bangkit dari kursi malasnya dan menyambar handuk, lalu melesat ke kamar mandi secepat kilat. Pikirannya mengenai Anjani seketika menguap begitu saja pagi ini.Setengah jam kemudian Pramana sudah bersiap untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Lelaki itu sengaja melewatkan sarapannya karena takut terlambat. Mengingat perjalanan dari apartemennya ke sekolah memakan waktu hampir 20 menit, lelaki itu memutuskan untuk sarapan di kantin sekolah saja nanti. Ditambah lagi pagi ini Pramana harus mengajar anak kelas sepuluh Bahasa. Ia tidak boleh datang lebih lambat daripada murid-muridnya.**

  • Another Word to Say I Love You   12# Anjani

    Melinda segera bergegas ke parkiran rumah sakit setelah ia menutup sambungan telepon Anjani—anak gadisnya. Saat menemukan mobil BMW silvernya, wanita itu berjalan cepat lalu memasuki mobilnya dan tak lupa memasang seat-belt. Kali ini ia mengemudikan mobilnya sedikit terburu-buru, bahkan begitu ke luar dari parkiran, ia langsung membelah jalanan sepi di hadapannya dengan kecepatan penuh. Hal ini lantaran karena Melinda harus segera pulang ke rumah merayakan ulang tahun Anjani. Sebelumnya ia sudah memesan cheese cake dan serba-serbi makanan yang sudah ia simpan di kulkas tadi pagi.Tentunya Anjani juga mengetahui itu, kecuali mengenai kado ulang tahun pemberian papa kandungnya. Khusus untuk yang ini, Melinda masih merahasiakannya dan menyimpannya dengan rapi di bawah kolong tempat tidurnya. Rencananya ia baru akan memberikannya nanti saat tiba di rumah, mengingat papa kandung Anjani yang lagi-lagi tidak bisa turut ikut merayakan ulang tahunnya. Sama sepe

  • Another Word to Say I Love You   11# Bicara

    “Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante

  • Another Word to Say I Love You   10# Ada Aku

    “Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den

  • Another Word to Say I Love You   9# Sakit Perut

    “Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status