Pramana menghela napas panjang begitu menutup layar laptopnya. Sebelum mengajar, pagi ini semua guru dikumpulkan untuk meeting dadakan karena ada pembahasan mengenai pergantian guru di beberapa kelas. Tadinya Pramana dipercayai untuk mengajar mata pelajaran olahraga hanya di seluruh kelas sebelas baik dari jurusan IPA, IPS maupun Bahasa. Kebetulan guru olahraga di sekolah ini ada tiga orang, dua laki-laki termasuk dirinya sendiri dan satu perempuan. Namun ternyata satu guru olahraga lelaki pengajar kelas sepuluh telah genap pensiun tahun ini, sehingga saat ini tersisa dirinya dan satu guru perempuan bernama Bu Nike.
Selain guru olahraga yang berkurang formasinya, juga ada dua guru lain yang harus paripurna tugas di tahun ini. Orang itu adalah guru matematika dan bahasa Inggris. Pihak yayasan juga sudah membuka pengumuman secara terbuka terkait lowongan tersebut. Selagi menunggu posisi itu terisi, untuk sementara waktu guru mata pelajaran yang ada harus merangkap dan menambah jam tugasnya mengajar. Dengan mempertimbangkan jam terbang mata pelajaran olahraga yang hanya sekali seminggu pada tiap kelas, hasil keputusan meeting pagi ini mengharuskan dua guru olahraga membagi tugas mengajar dari kelas sepuluh sampai 12 di semua jurusan. Jika masing-masing jurusan terdapat tiga kelas, maka jumlah kelas sebanyak 27 kelas. Pramana pun mengambil alih mengajar di kelas sepuluh semua jurusan, dan kelas sebelas IPA dan IPS. Sementara untuk kelas sebelas Bahasa dan semua jurusan di kelas 12 ditugaskan pada Bu Nike.
Memikirkan bahwa Pramana harus mengajar kelas sebanyak itu sudah membuatnya berpikir untuk membagi jadwalnya kembali, karena di samping harus mengajar di sekolah ia juga tidak bisa melupakan kewajibannya sebagai mahasiswa S2. Jika dihitung-hitung ia harus mengajar 14 kelas olahraga dalam seminggu dengan estimasi waktu 90 menit di tiap pertemuan kelas, dan kebetulan ia juga ditunjuk sebagai pelatih ekskul renang yang diadakan setiap hari Sabtu. Setelah meeting berakhir, Pramana segera merapikan mejanya dan bersiap-siap mengajar. Sementara itu guru lain nampak satu persatu ke luar dari ruangan.
“Kuharap kita bisa saling bekerja sama,” ujar Bu Nike sambil menepuk bahunya, “Anak-anak di jurusan IPS memang terkenal agak bebal, tapi jangan salah mengira karena beberapa di antara mereka sangat berbakat di bidang olahraga.”
“Tentu saja. Saya merasa terhormat bisa bertemu Bu Nike di sini,” jawab Pramana mengangguk-angguk semangat, “Ah, itu kabar bagus.”
“Perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki potensi,” kata Bu Nike menjelaskan, “Di musim tahun lalu bahkan ada empat siswi perempuan yang berhasil mencetak prestasi di turnamen karate, taekwondo, dan dua orang di cabang bulutangkis.”
“Luar biasa,” jawab Pramana mengacungkan jempolnya. Kemudian ia bangkit dari kursinya.
"Hampir lupa! Ini kunci ruang peralatan." Bu Nike memberikan kunci pada Pramana yang langsung diterima oleh lelaki itu.
“Terima kasih. Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu karena kebetulan pagi ini ada jam mengajar di salah satu kelas,” ujar Pramana sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Kelas sepuluh?” tanya Bu Nike.
“Ya.” Pramana tersenyum. “Lebih tepatnya di kelas IPS 1.”
***
“Sepertinya kau terlalu banyak makan di musim liburan kemarin,” ujar Bima menghela napas sambil masih menatap Lisa yang berdiri tak jauh dari pintu kelas. Keduanya sedang di koridor kelas sambil menunggu guru mereka datang. “Lihat, lemakmu sangat terlihat di bagian perut. Bahkan aku bisa melihat beberapa lipatan dari jauh sekalipun.”
“Apa kau tidak mengerti bahwa ini bukti aku sungguh terlahir sebagai manusia yang bahagia, huh?” tanya Lisa, gadis itu berjalan ke sana ke mari sambil bergaya, “Berat badanku bisa naik beberapa kilo adalah bukti seni kehidupan.”
Bima menggeleng pasrah. Lelaki itu menyerah.
“Terserah padamu, lah.”
Lisa terduduk di samping Bima.
“Kau sendiri bagaimana? Liburanmu sepertinya tidak begitu menyenangkan, sampai-sampai harus kehilangan tiga kilo lemak di tubuhmu.”
“Mungkin karena aku telah menghabiskan liburanku dengan orang sepertimu,” jawab Bima ketus. Tentu saja ia bohong, penyebab berat badannya turun adalah karena stress, ia kecewa orang tuanya tidak bisa pulang mengunjunginya ke sini. Padahal sudah hampir setengah tahun tidak bertemu, tentu saja ia rindu setengah mati. “Kau terus saja membuat kesalahan sehingga aku terus mengomel setiap hari dan kehilangan beberapa kilo berat badanku.”
Lisa mencubit lengan Bima pelan. Gadis itu mencibir tanpa bersuara.
“Lagi pula kenapa kau tidak membeli baju olahraga dengan ukuran yang lebih besar? Daripada kau memaksakan diri memakai baju seperti ini, kau nampak aneh sekali.”
“Untuk apa aku membeli ukuran yang bukan untukku?” elak Lisa tidak terima, “Ketika berat badanku naik, justru dengan memakai ukuran lamaku, tanpa sadar aku akan berusaha keras untuk kembali mendapatkan ukuran tubuhku yang lama. Bukankah begitu?”
Bima tertawa kecil. Lisa memang memiliki pemikiran yang aneh, tidak seperti gadis kebanyakan yang selama ini ia temui. Eh, tunggu dulu, kenapa ia membanding-bandingkan Lisa dengan gadis lain? Bima buru-buru menghapus pikiran itu.
“Ah ... sepertinya guru kita sudah tiba di lapangan,” ujar Bima kemudian bangkit dari kursinya, “Kau tidak mengecek ponselmu? Ketua kelas baru saja memberi tau di grup aplikasi hijau.”
“Benarkah? Kalau begitu ayo.”
Bima melirik Lisa sekilas dan menginjak sepatu olahraga putih gadis itu dengan sengaja. Sebelum Lisa bereaksi apapun, lelaki itu terkesiap berlari secepat mungkin.
“Dasar kau!” pekik Lisa terkejut.
“Yang tiba di lapangan adalah pemenangnya!” teriak Bima berlari melambat. Lisa buru-buru mengejarnya. Sementara Bima melanjutkan ucapannya, “Dan yang kalah harus mentraktir makan siang apapun di kantin!”
***
Ternyata semua teman kelasnya sudah berkumpul di lapangan saat Bima dan Lisa tiba. Sinar matahari pagi hari ini agak terik, sehingga banyak yang memilih menepi di pinggir lapangan di dekat pohon jeruk. Beberapa di antaranya malah sengaja mengambil buah jeruk yang sebenarnya belum masak dan memakannya beramai-ramai.
Berbeda dengan yang lain, Lisa malah memilih untuk merebahkan tubuhnya di tengah lapangan. Napasnya naik turun karena usai berlari. Sementara itu tak lama Bima datang menyusul berjalan gontai dan lalu menghempaskan pantatnya, duduk di sebelah gadis itu. Rupanya kali ini giliran Bima yang harus menraktir makan siang nanti.
“Kau menang kali ini,” bisik Bima. Napasnya masih satu dua.
Lisa meringis. Ia menutupi wajahnya sendiri dengan lengannya.
“Mana gurunya? Katanya sudah di sini, tapi kenapa tidak ada batang hidungnya ...” Bima celingukan.
“Masih mengambil sesuatu di ruang peralatan,” kata seseorang yang tiba-tiba berjalan menghampiri mereka berdua. Ternyata itu suara Alvin yang tak lain dan tak bukan adalah si tetua di kelas. “Kalian bangunlah, karena kurasa orang itu sedang berjalan menuju ke sini.”
Lisa memicingkan matanya karena silau. Gadis itu melihat seseorang ke luar dari ruang peralatan olahraga sambil membawa bola di tangannya. Tapi ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tak lama terdengar suara derap kaki teman-temannya mendekat ke lapangan.
“Bangun,” ucap Sekar tiba-tiba berdiri di sebelahnya sambil mengulurkan tangannya, “Mau kubantu?”
“Ah, thanks!” Lisa menyambut uluran itu.
Saat berdiri, Lisa buru-buru membenahi kaus olahraganya sendiri. Ia baru menyadari sepertinya ucapan Bima ada benarnya, seharusnya ia membeli ukuran yang lebih besar. Bahkan saat ia berlari tadi, gadis itu merasa kurang nyaman dengan celananya, ia merasa agak sesak. Ia menyesali pilihannya sendiri kali ini.
"Selamat pagi setengah siang semuanya! Ayo segera berbaris sebelum kita mulai pelajaran olahraga hari ini!”
Lisa tersentak dan mengangkat wajah. Suara ini ....
“Baris ... semuanya,” Alvin berbisik dan berlari-lari kecil dari belakang ke depan, mencoba untuk merapikan barisan teman-temannya.
Sesaat kemudian, barisan langsung membentuk rapi. Lisa yang berdiri di barisan tengah memicingkan matanya mencoba melawan terik matahari, ia berusaha melihat gurunya dan memastikan bahwa pendengarannya tadi tidak salah. Gurunya sedang berdiri memunggunginya, dan Alvin menghampiri sambil memberikan jurnal absen kelas. Kemudian jurnal itu diterimanya, keduanya lalu saling berbicara entah apa.
Jantung Lisa berdegup kencang saat memperhatikan tubuh jangkung itu. Ia berharap orang itu bukanlah seseorang yang selama ini dihindarinya. Ia ingat betul ucapan Bima semalam di telepon, nama guru olahraganya adalah Helmi, bukan Pramana. Untuk sesaat gadis itu bergeming.
Tapi melihat tubuh jangkung itu, sepertinya ia semakin yakin bahwa ia tidak salah. Dan dugaannya tidak meleset sama sekali saat gurunya membalikkan tubuhnya ....
“Baik, sebelum dimulai saya akan menjelaskan terlebih dahulu kondisinya.”
DEG! Lisa terbelalak. Dunia serasa berputar dan jatuh tepat di kepalanya. Habislah ia.
***
Pramana mengikat tali sepatunya untuk yang ke sekian kalinya. Setelah mengambil tiga bola basket dan memastikan sekali lagi kondisi ruangan peralatan, lelaki itu tersenyum dan melangkahkan kakinya ke luar. Tak lupa ia menutup pintu sebelum benar-benar meninggalkan tempat terfavoritnya itu. Murid-muridnya sudah berkumpul di lapangan menunggu dirinya.
Setelah menyapa dan menyuruh muridnya berbaris, Pramana membalikkan tubuh memunggunginya. Sejenak ia tersenyum lebar lalu menghela napas panjang. Matahari pagi ini sangat cocok dipadukan dengan permainan basket. Baginya bermain basket bermandikan terik matahari pagi akan membuat kulitnya semakin terlihat eksotis. Lalu tak lama seorang siswa laki-laki menghampirinya dan memberikan jurnal absen.
“Ah, terima kasih!” ucap Pramana lalu meletakkan dua bola basketnya dan menerima jurnal itu, kemudian mengeluarkan bolpoinnya dari saku.
“Apakah ada yang tidak hadir kali ini?” tanya Pramana kemudian.
“Tidak ada, Kak,” jawab Alvin pelan.
“Wow!” Pramana menoleh. “Bagus. Panggil aku seperti itu.”
“Saya sudah mendengarnya dari kelas lain kemarin!” Alvin tersenyum simpul, lelaki itu melanjutkan kalimatnya, “Dan saya sudah mengagumi Kakak semenjak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Selain sangat muda, Kakak juga sangat ... keren.”
Pramana nyengir. Ia menggelengkan kepalanya.
“Dasar, kembalilah ke barisanmu.”
Alvin menurut dan bergabung bersama yang lain.
Setelah menandatangi jurnal absen dan membuat catatan poin materi, Pramana menutup jurnal itu lalu menggulungnya. Lelaki itu membalikkan tubuhnya dan membuka suara, “Baik, sebelum dimulai saya akan menjelaskan terlebih dahulu kondisinya.”
“Saya Pramana, guru olahraga di kelas ini,” jelas Pramana memperkenalkan diri, “Mungkin kalian sedikit bingung karena sebenarnya yang tertera di sistem akademik adalah nama Pak Helmi, bukan nama saya.”
Lelaki itu mengedarkan pandangan, kemudian matanya menangkap Lisa sedang sama-sama menatapnya dengan tatapan horror. Hal pertama yang mengundang perhatiannya adalah baju yang dikenakan gadis itu, sekilas nampak ... terlalu ketat di tubuhnya. Tapi Pramana memilih tidak peduli dan melanjutkan kata-katanya, “Pak Helmi sudah paripurna tugas tahun ini, dan sebagai gantinya saya yang akan mengisi posisi tersebut.”
Pramana menaruh bola basket yang tersisa di tangannya di bawah lalu ditahannya dengan kaki.
“Ah, saya lupa memberi tau bahwa sebaiknya jangan memanggil saya dengan sebutan 'Bapak'. Seperti yang kalian lihat, saya masih muda dan berumur 22 tahun. Jadi ... cukup panggil 'Kak', atau semacamnya. Saya rasa akan jauh lebih nyaman dan akrab seperti itu.”
Barisan siswi perempuan seketika berisik. Mereka saling berbisik dan tertawa kecil.
“Apa ... ada yang keberatan?”
“Tentu saja tidak!” seru Naomi tiba-tiba. Gadis blasteran Jepang-Indonesia itu mengibaskan rambut blonde sebahunya dengan centil. Siapapun tau bahwa ia lah gadis yang termanis di kelas ini. “Jika kami memanggil anda Kakak, tentu saja sebagai seorang adik harusnya kami berhak memiliki nomor ponsel anda, bukan?”
“Uuuuuuuu!” seru siswi yang lain, tentu saja kecuali Lisa. Sementara barisan siswa laki-laki hanya berdecak dan menggelengkan kepala.
“Tentu, kalian boleh menghubungi saya sewaktu-waktu jika diperlukan,” ujar Pramana sambil mengangkat jurnal absen yang digulungnya, “Nomor ponsel sudah saya tulis di sini.”
Tentu saja jawaban Pramana membuat semua siswinya ber-oh-oh ria. Namun Pramana tersenyum lalu menimpali, “Boleh menghubungi jika memang ada yang ingin ditanyakan seputar materi atau yang berkaitan dengan urusan sekolah.”
Seketika hal itu membuat siswinya bergumam kecewa. Walaupun masih muda dan menarik di mata anak SMA, Pramana harus tetap bersikap profesional dan menyadari profesinya sebagai guru di sini.
“Ah sudahlah. Kita absen nanti saja kalau kelas akan berakhir,” pungkasnya kemudian, “Oke, hari ini kita mulai dengan materi basket. Mungkin ada atlet basket di kelas ini?” tanyanya.
Alvin dan Naomi mengacungkan tangan. Pramana memberi isyarat pada mereka untuk maju.
“Bagus, kalian berdua yang akan membantu saya di tiga pertemuan kelas olahraga ke depan,” jelas Pramana mulai men-dribbling bola basket yang ada di tangannya, “Di sini kita semua sama-sama belajar, termasuk saya. Sekedar informasi, saya juga sama seperti kalian, masih dalam proses studi.”
“Studi??” tanya Naomi, ia menaikkan alis matanya.
“Baru bergabung menjadi mahasiswa S2,” Pramana menjawab singkat. “Oke, siapa namamu?”
“Naomi ...” jawab Naomi tersenyum manis.
“Dan ... kau?”
“Alvin,” jawab Alvin. Tangannya mengacungkan jempol. “Kebetulan saya juga ketua kelas di kelas ini.”
“Good Alvin!” Pramana menatap kedua muridnya itu lamat-lamat. Kemudian ia tersenyum samar mengamati Naomi sejenak.
“Tunggu ... kau mewarnai rambutmu?”
Naomi menggeleng, tangannya melambai ke udara dengan gesit. “Bukan, Kak. Rambutku memang asli seperti ini dari lahir.”
Pramana menyerngit tidak percaya. “Benarkah?”
“Tentu saja benar. Semua orang mengetahuinya,” ujar Naomi meyakinkan diri, “Ayahku orang Jepang dan ibuku orang Indonesia, kebetulan ibu dari ibuku adalah keturunan Belanda asli, jadi warna rambut ini ... memang gen yang tidak bisa dielakkan.”
“Wow!” Pramana terkejut, lebih tepatnya kagum. “Maaf, aku sempat mengira kau salah satu siswi yang ingin menentang peraturan sekolah. Tapi ternyata tidak.”
Naomi tersenyum dan menyelipkan sedikit anak rambutnya ke belakang telinga. “Ah, tidak apa.”
“Baiklah. Naomi, Alvin,” pungkas Pramana, “Ambil masing-masing bola basket ini, dan kalian berdua bertugas untuk memandu teman kalian yang lain. Saya akan berdiri di tengah untuk mengawasi dan memberi arahan. Silahkan siswi putri berbaris di depan Naomi, dan siswa putra dengan Alvin.”
***
Lisa tetap berdiri mematung. Gadis itu tidak mengindahkan kata-kata gurunya-alias Pramana sama sekali. Bahkan ketika teman-temannya membelah membentuk barisan, ia masih bergeming, bersedekap dan menatap gurunya dengan tatapan tidak suka. Ia sungguh mengutuk dirinya sendiri bahwa keputusannya untuk memilih satu sekolah dengan Bima merupakan kesalahan besar.
Pramana sibuk memainkan bola basketnya. Ia men-dribblenya sebentar, lalu sadar bahwa mendapati Lisa tengah memandanginya dengan tatapan seperti itu, ia langsung berjalan mendekat. Tatapannya tenang sekali. Sinar matahari terik kali ini membuat mata coklatnya terlihat lebih menyala dari biasanya. Hal itu tentu saja membuat Lisa bingung, karena harus bersikap dingin sekaligus tetap mengontrol degup jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat.
“Kau hanya perlu berbaris, apakah sesulit itu untuk patuh terhadap seorang guru?” bisik Pramana. Tentu saja tidak ada yang mendengar kecuali Lisa dan dirinya.
“Alisa, jangan menyuruhku menggendongmu lagi. Sadarilah bahwa ... tubuhmu cukup berat.”
Lisa terbelalak, tanpa sadar ia menghela napas keras. Gadis itu menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Sementara lelaki itu masih saja menatapnya dengan tenang. Lisa meratapi dirinya sendiri, ia rasa guru olahraganya memang salah satu spesies manusia yang menyebalkan.
Lisa mendecakkan lidah lalu memutar bola matanya. Belum sempat ia membalas perkataan Pramana, Naomi datang tanpa diminta dan menendang tulang kering kakinya pelan. Sementara Pramana hanya melirik, tidak menegur karena Lisa rupanya tidak merasa sakit sama sekali. “Berbarislah segera. Kumohon,” pinta Naomi kemudian. Lalu ia tersenyum manis pada Pramana sekilas, kemudian berlalu sambil mengikat rambutnya menjadi ikatan ekor kuda. Lisa buru-buru mengekor pada Naomi lalu berbaris bersama yang lainnya. Nampaknya gadis itu sedang tidak ingin berbicara apapun dengan gurunya. Alis Pramana terangkat, lalu ia mengangguk kecil. Baguslah, batinnya. “Alvin, kemari!” Pramana melambaikan tangannya memanggil Alvin. Siswanya itu lalu datang tergopoh-gopoh. “Tolong ambil beberapa bola basket di ruang peralatan, pintunya tidak terkunci, tapi jangan lupa menutupnya kembali nanti.” “Baik Kak!” Alvin memberi isyarat pada Bima bermaksud mengajaknya, lalu ber
“Aku sudah memperingatkanmu dua kali sebelumnya, kan?” Lisa hanya diam. Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Bima dan terus berjalan menuju kelas mereka. Kelas olahraga baru selesai sekitar lima menit lalu, dan sekarang waktunya jam istirahat pertama. “Jangan memasang wajah kesal seperti itu,” ujar Bima mengikuti langkah Lisa yang mendekati loker. Lelaki itu membuka melanjutkan ucapannya, “Lagi pula tidak ada yang menyalahkanmu. Kami semua memakluminya.” Mendengar penjelasan Bima, Lisa tersenyum masam. Memaklumi apanya? Memangnya siapa yang akan memaklumi seseorang yang ceroboh memilih ukuran setelan olahraga sehingga baju dalamnya sampai terlihat? Sepertinya Lisa lebih percaya bahwa sebenarnya teman-temannya diam-diam menertawakan dirinya di belakangnya. Ya walaupun tidak semua temannya seperti itu. Namun satu hal yang pasti, saat ini ia memang ‘malu setengah mati’. Kalau boleh jujur, walaupun niat Pramana tak lain dan tak bukan adalah melind
Pramana menghempaskan tubuhnya di kursi begitu selesai mengajar kelas terakhirnya di hari ini. Wajahnya menengadah ke atas dan ia menghembuskan napas keras. Tubuhnya cukup letih bukan hanya karena usai mengajar, tapi juga belum makan siang. Saat melirik jam dinding ruang guru, jam menunjukkan pukul satu. Bel tanda pulang siswa-siswinya memang masih kurang dua jam lagi, namun untuk guru yang memang sudah menyelesaikan kelasnya bisa meninggalkan sekolah tanpa harus menunggu. Kebetulan Pramana memang ada kuliah sore ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk ia tetap di sekolah. Akhirnya setelah berkemas, lelaki itu menenteng ranselnya dan menyambar jaket biru yang tersampir di lengan kursinya. Ia tercenung sejenak, tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini saat mengajar di kelas sepuluh IPS-1. Mengenai gadis bernama Lisa yang memakai setelan olahraga ketat, hingga berujung pada percakapannya dengan gadis itu di koridor ruang peralatan olahraga. Pramana masih mengingat raut wajah
“Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek
“Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den
“Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante
Melinda segera bergegas ke parkiran rumah sakit setelah ia menutup sambungan telepon Anjani—anak gadisnya. Saat menemukan mobil BMW silvernya, wanita itu berjalan cepat lalu memasuki mobilnya dan tak lupa memasang seat-belt. Kali ini ia mengemudikan mobilnya sedikit terburu-buru, bahkan begitu ke luar dari parkiran, ia langsung membelah jalanan sepi di hadapannya dengan kecepatan penuh. Hal ini lantaran karena Melinda harus segera pulang ke rumah merayakan ulang tahun Anjani. Sebelumnya ia sudah memesan cheese cake dan serba-serbi makanan yang sudah ia simpan di kulkas tadi pagi.Tentunya Anjani juga mengetahui itu, kecuali mengenai kado ulang tahun pemberian papa kandungnya. Khusus untuk yang ini, Melinda masih merahasiakannya dan menyimpannya dengan rapi di bawah kolong tempat tidurnya. Rencananya ia baru akan memberikannya nanti saat tiba di rumah, mengingat papa kandung Anjani yang lagi-lagi tidak bisa turut ikut merayakan ulang tahunnya. Sama sepe
Pramana lupa, entah tertidur pukul berapa di meja kerjanya masih dengan kondisi laptop yang menyala. Namun yang jelas, beberapa jam setelahnya lelaki itu terbangun tepat saat jam weker di sebelahnya meraung-raung tanpa henti. Saat matanya memicing, ia mendapati jarum jamnya menunjukkan pukul enam. Pramana langsung terkesiap membelalakkan mata dan mematikan alarmnya. Lelaki itu buru-buru bangkit dari kursi malasnya dan menyambar handuk, lalu melesat ke kamar mandi secepat kilat. Pikirannya mengenai Anjani seketika menguap begitu saja pagi ini.Setengah jam kemudian Pramana sudah bersiap untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Lelaki itu sengaja melewatkan sarapannya karena takut terlambat. Mengingat perjalanan dari apartemennya ke sekolah memakan waktu hampir 20 menit, lelaki itu memutuskan untuk sarapan di kantin sekolah saja nanti. Ditambah lagi pagi ini Pramana harus mengajar anak kelas sepuluh Bahasa. Ia tidak boleh datang lebih lambat daripada murid-muridnya.**
Lisa memandangi setelan olahraga di tangannya sejenak dan memutar bola matanya. Saat ini gadis itu sedang berada di kamarnya sendiri. Sepersekian detik kemudian, ia melepas seragam yang melekat di tubuhnya dan menggantinya dengan setelan olahraga itu dengan gerakan secepat kilat. “Argh, dia menyebalkan sekali!” gerutu Lisa sambil memperhatikan bayangannya sendiri di cermin. “Lagi. Ini ke sekian kalinya ia menguntitku dan memberikan perhatiannya yang tidak biasa! Guru macam apa sih, Pramana itu sebenarnya? Ck.” Lisa memutar tubuhnya. Setelan olahraga baru pemberian Pramana ternyata ukurannya sangat pas. “Ah, aku merinding. Bahkan lelaki itu juga memilih ukuran yang sangat tepat. Astaga, apa dia memperhatikan lekuk tubuhku sejeli itu?” TOK! TOK! TOK! “LISA! INI BUNDA, SAYANG!” Mata Lisa membulat. Gadis itu buru-buru berlari membuka kunci pintu kamarnya. Bukannya Bunda bilang akan lembur hari ini? Pikirnya. “Bunda!” seru Li
Pelajaran sekolah hari ini berlalu begitu saja bagi Lisa. Namun entah apa yang ia pikirkan saat ini, karena ketika bel pulang berdentang bukannya segera pergi dari sekolah, tetapi gadis itu justru melangkahkan kakinya menuju gazebo dekat perpustakaan. Tiba-tiba ia malas untuk kembali ke rumah, mengingat Bunda lagi-lagi lembur, jadi sudah pasti rumahnya sepi hari ini. Begitu sampai, Lisa mengambil tempat untuk duduk di pojokan. Lalu dikeluarkannya sebuah novel yang sempat ia pinjam di perpustakaan saat jam istirahat tadi. Lisa pun bersandar dan membacanya pelan-pelan.Saat membalikkan halaman bukunya, Lisa mendengar sayup-sayup dua orang yang tengah mengobrol. Kemudian Lisa beringsut mengintip dari sela-sela pagar gazebo.“Mau ke mana kau?”“Mencari siswiku, lepaskan.”Lisa membelalakkan matanya, ternyata dua orang itu adalah Pramana dan guru olahraga wanita yang ia lihat tadi pagi.“Jangan ikuti aku lagi. Aku kan sudah
“Gila! Ini gila!” Lisa terus menerus mengutuk dirinya sendiri sepanjang jalan menuju toilet siswi. Usai kejadian ‘kecup’ di UKS tadi, gadis itu tidak bisa berhenti memikirkannya. Sensasi aneh dan mendebarkan yang ia rasakan tadi pagi memang masih melekat kuat. Sejujurnya Lisa melakukan itu karena ingin menuntaskan rasa penasaran yang ada di benaknya sendiri. Bahkan hingga detik ini dirinya masih tidak mengerti kenapa harus repot-repot menutup mata di kondisi seperti itu, seakan akan justru menunjukkan bahwa ia rela akan diperlakukan apa saja. Namun gadis itu tidak habis pikir mengapa ia mendapatkan perasaan itu bersama seseorang yang tidak pernah ia duga: Pramana, alias guru olahraganya yang super menyebalkan. Begitu masuk ke dalam toilet siswi, Lisa buru-buru menyalakan kran wastafel dan membasuh wajahnya beberapa kali dengan kasar. Lalu ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dan mendesah keras. Nampak jelas bahwa plester di dahinya basah karena ulahnya sendi
Anjani menghentikan langkahnya begitu melihat Pramana tiba-tiba menggendong salah seorang siswi dan bergegas menjauh. Ia menyerngit heran, jika melihat gelagat Pramana yang seperti itu Anjani menyimpulkan bahwa kondisi siswinya mungkin benar-benar urgent. Wanita itu mendesah keras, kali ini bukan waktunya. Ia harus mencoba membujuk Pramana dengan cara lain besok. Ingat, Anjani tidak ingin dicap sebagai guru yang tidak kompeten dan jika itu terjadi maka Pramana juga pasti akan membencinya. Anjani tentu tidak ingin itu terjadi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan kembali lagi ke lapangan. Lagi pula, muridnya dari kelas sepuluh Bahasa sudah menunggunya. “Lihat saja, Pramana, akan kupastikan kau akan kembali lagi ke pelukanku.” *** Pramana menarik kursi ke tepi ranjang dan duduk di hadapan siswinya. Tangannya sibuk menuangkan obat merah ke kapas. Ia masih belum menjawab pertanyaan Lisa sebelumnya. “Ini hanya luka lecet b
Pramana lupa, entah tertidur pukul berapa di meja kerjanya masih dengan kondisi laptop yang menyala. Namun yang jelas, beberapa jam setelahnya lelaki itu terbangun tepat saat jam weker di sebelahnya meraung-raung tanpa henti. Saat matanya memicing, ia mendapati jarum jamnya menunjukkan pukul enam. Pramana langsung terkesiap membelalakkan mata dan mematikan alarmnya. Lelaki itu buru-buru bangkit dari kursi malasnya dan menyambar handuk, lalu melesat ke kamar mandi secepat kilat. Pikirannya mengenai Anjani seketika menguap begitu saja pagi ini.Setengah jam kemudian Pramana sudah bersiap untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Lelaki itu sengaja melewatkan sarapannya karena takut terlambat. Mengingat perjalanan dari apartemennya ke sekolah memakan waktu hampir 20 menit, lelaki itu memutuskan untuk sarapan di kantin sekolah saja nanti. Ditambah lagi pagi ini Pramana harus mengajar anak kelas sepuluh Bahasa. Ia tidak boleh datang lebih lambat daripada murid-muridnya.**
Melinda segera bergegas ke parkiran rumah sakit setelah ia menutup sambungan telepon Anjani—anak gadisnya. Saat menemukan mobil BMW silvernya, wanita itu berjalan cepat lalu memasuki mobilnya dan tak lupa memasang seat-belt. Kali ini ia mengemudikan mobilnya sedikit terburu-buru, bahkan begitu ke luar dari parkiran, ia langsung membelah jalanan sepi di hadapannya dengan kecepatan penuh. Hal ini lantaran karena Melinda harus segera pulang ke rumah merayakan ulang tahun Anjani. Sebelumnya ia sudah memesan cheese cake dan serba-serbi makanan yang sudah ia simpan di kulkas tadi pagi.Tentunya Anjani juga mengetahui itu, kecuali mengenai kado ulang tahun pemberian papa kandungnya. Khusus untuk yang ini, Melinda masih merahasiakannya dan menyimpannya dengan rapi di bawah kolong tempat tidurnya. Rencananya ia baru akan memberikannya nanti saat tiba di rumah, mengingat papa kandung Anjani yang lagi-lagi tidak bisa turut ikut merayakan ulang tahunnya. Sama sepe
“Sebelum melaksanakan prosedur laparoskopi, kami perlu izin dari orangtuamu, apalagi usiamu yang terbilang hampir 15 tahun dengan siklus menstruasi yang belum datang teratur, sehingga saya sarankan untuk kabari walimu segera, oke?” jelas Dokter Mel usai melakukan pemeriksaannya. Wanita itu menenangkan Lisa dengan lembut. “Lisa, kamu masih muda. Jalan masa depanmu juga … saya yakin kamu bisa sembuh, kista tidak mematikan dan bisa dihilangkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Lisa mengangguk. Matanya masih panas akibat usai menangis tadi. “Lalu jika Lisa sudah menjalani laparoskopi itu, apa ada kemungkinan kista itu muncul lagi, Dok?” Dokter Mel menghela napas. “Memang masih ada peluang untuk kembali muncul, dan masih belum ada penelitian yang menemukan apa sebenarnya penyebab kista tumbuh di tubuh manusia.” Lisa tercenung. “Jangan terlalu khawatir, di sini ada Tante
“Bunda tidak mengangkat teleponku, bagaimana ini?” tanya Lisa pada Bima begitu mereka sampai di lobi Rumah Sakit Teratai Jingga. Sesuai dengan ajakan Bima, akhirnya Lisa pun menurut untuk memeriksakan kondisinya. Kebetulan jarak antara rumah sakit dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter. Mungkin tak sampai lima menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bima menggeleng. “Tidak perlu. Aku yang akan menjadi walimu!” ia menggamit lengan Lisa dan mengajak gadis itu ke dalam. Lisa menahan tawanya sekuat tenaga saat ini. Ekspresi Bima sungguh menyebalkan, tapi lucunya ada rasa hangat menyelimuti dadanya ketika lelaki itu peduli padanya. Begitu mereka tiba di bagian administrasi, Bima meminta Lisa duduk di kursi tunggu. Sementara Bima pergi mengambil nomor antrian. Lisa baru duduk sekitar lima menit, tapi Bima sudah menghampirinya sambil membawa sebuah form. Lelaki itu menyodorkannya pada Lisa, menyuruh gadis itu mengisinya. Lisa menerimanya den
“Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa. Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti. “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek